Belakangan ini, bila kita membuka berita mengenai perkembangan Indonesia, mata kita akan tertuju kepada kehidupan masyarakat di Sumatra. Hujan yang tidak kunjung henti beserta permasalahan deforestasi ternyata sekarang menjadi sesuatu yang dikhawatirkan. Banjir di mana-mana dengan air terus naik, ditambah dengan tanah longsor yang menyebabkan kerusakan lahan dan rumah tinggal, menjadi sorotan di dunia nasional dan internasional. Apabila kita mendengar berita ini dari kawan-kawan yang bergereja di Sumatra, kita akan mendengar bagaimana di sana sedang “lumpuh”. Listrik, makanan, dan tempat tinggal menjadi sesuatu yang sulit untuk ditemukan.
Per 6 Desember pukul 14.00 WIB, tercatat dampak bencana yang sangat besar, dengan 883 orang meninggal, 520 orang masih hilang, dan 4.200 orang mengalami luka-luka. Kerusakan fisik juga signifikan, dengan sekitar 121 ribu unit rumah rusak. Secara wilayah, bencana ini telah memengaruhi 51 kabupaten/kota.[1]
Tentu kalau kita mau mencari pelaku, ada banyak yang bisa ditunjuk: hujan, lereng, batuan, topografi (bentuk muka bumi), gravitasi (gaya tarik bumi), hutan, dan seterusnya. Namun, kalau kita menyalahkan “pelaku-pelaku” tadi, diri kita tidak puas. Seolah-olah ada seruan di dalam diri bahwa ada oknum yang memiliki kehendak dengan segala kuasa yang ia punya sehingga bencana ini terjadi. Jadi, sebetulnya apa yang menjadi asal-usul permasalahan ini?

Sebelum kita membahas lebih lanjut kejadian di atas, perlu kita ketahui perbedaan antara bencana dan bahaya.
Kita mulai dari contoh konkret: jika di suatu daerah bernama Rapusing—yang tidak berpenghuni oleh manusia dan hanya berisi tanah tandus—dalam waktu satu tahun penuh mengalami letusan gunung api, gempa bumi yang dahsyat, hujan meteor, dan banjir sepinggang orang dewasa, apakah itu termasuk bahaya atau bencana? Saya bantu jawab: yang benar adalah bahaya. Akan berbeda ceritanya ketika di daerah tersebut terdapat satu saja manusia; maka statusnya berubah dari bahaya menjadi bencana.
United Nations Office for Disaster Risk Reduction menjelaskan ada perbedaan antara bahaya dan bencana. Bahaya adalah fenomena alam atau buatan yang memiliki potensi menyebabkan kerugian, sedangkan bencana adalah peristiwa serius yang mengganggu fungsi masyarakat dan menyebabkan kerugian meluas, melebihi kemampuan masyarakat untuk mengatasinya.[2] Artinya, kalau ada peristiwa lebih hebat—misalnya bintang terdekat dengan bumi, selain daripada matahari, meledak hingga melepaskan seribu triliun energi bom atom—maka semenakjubkan apa pun ledakan itu, selama tidak ada manusia yang terkena dampaknya, hal itu tetap berstatus sebagai bahaya.
Ada perkataan yang berbunyi: “earthquake doesn’t kill, but the buildings do.”[3] Fenomena alam terjadi setiap hari karena bumi ini dinamis, bergerak, dan berinteraksi dengan atmosfer serta hidrosfer.[4] Fenomena seperti longsor, muka air laut yang naik, gempa bumi, gunung meletus, banjir, tsunami, kebakaran hutan, badai, hujan es, dan seterusnya bisa terjadi kapan saja.[5] Hipotesis saya, sehebat apa pun fenomena yang sudah disebutkan, selama tidak berdampak kepada manusia, peristiwa tersebut bukan evil melainkan baik adanya. Bahkan Adam dan Hawa ditempatkan Allah pada dunia yang mungkin mengalami fenomena alam yang hebat itu. Kalau begitu, apakah Allah jahat menempatkan manusia di dunia yang mampu menghasilkan peristiwa catastrophic?

Gambar 2. Volcanologist yang sedang mengumpulkan sampel lava di tengah bahaya gunung api
Ketika kita membaca Kejadian 1 dan 2, Allah menciptakan dunia ini baik adanya. Dunia sudah fully function atau berfungsi seutuhnya karena Allah membuatnya demikian. Benda penerang di cakrawala terus menerangi tanpa bantuan manusia, binatang beranak tanpa bantuan manusia, dan seterusnya. Bahkan diameter observable universe atau semesta yang bisa diamati adalah 93 miliar tahun cahaya.[11] Jika kita menempatkan diri sebagai skala, kehadiran kita sangat insignificant. Lalu apa “butuhnya” Allah menempatkan manusia—yang rata-rata dimensinya hanya 170 cm × 15 cm × 17 cm[9]—menjadi bagian dari ciptaan? Jawaban saya: Allah tidak butuh kita, tetapi Allah senang kita ada. Allah berkenan dan puas (delighted and pleased). Coba Saudara bayangkan, Allah yang berbijaksana, sempurna, dan kekal, puas akan ciptaan-Nya. Berarti semesta ini adalah the best possible universe ever existed atau alam semesta terbaik yang pernah ada. Richard Sibbes, seorang Puritan, menggambarkannya seperti ibu yang berhasil melahirkan seorang anak: keberadaan anak itu saja, tanpa kemampuan membalas cinta, sudah cukup membuat sang ibu bahagia.[10]
Hal ini perlu terus kita ingat: Allah delighted dan pleased dengan keberadaan kita di dunia yang Ia ciptakan. Inilah kebenaran yang kita temukan di Alkitab. Allah puas karena dunia yang Ia ciptakan dengan segala fenomena alam yang saya katakan “catastrophic” ini, bisa dipercayakan untuk diusahakan dan dipelihara oleh manusia.
Mungkin Anda kaget dengan statement saya. Tetapi inilah kebenaran itu bahwa manusia dipanggil untuk menjadi šāmar dan ʿābad—mengusahakan dan memelihara.[12] “Seantero” dunia dengan diameternya yang besar itu boleh diusahakan dan dipelihara oleh manusia. Alasan kita tidak bisa mengeluarkan seluruh potensi ini karena kita telah jatuh dalam dosa. Dahulu saya berpikir, jika Adam tidak jatuh dalam dosa, salah satu cucu Adam mungkin sudah bisa menerbangkan pesawat hingga ke galaksi terdekat, membangun dan memelihara planet-planet di sana sambil memuji Allah. Keren banget, kan? Bahkan saya—seorang geologist dan Kristen dari tradisi Reformasi—pernah berpikir bahwa kalau dunia tidak jatuh dalam dosa, peristiwa magmatik yang mencetus erupsi gunung api, peristiwa tektonik yang memungkinkan tsunami terjadi hingga badai siklon besar, bisa kita nikmati dan kita rekayasa demi kelimpahan hidup manusia. Karena pada hakikatnya peristiwa-peristiwa alam tersebut adalah natur dari alam yang Allah ciptakan, dan itu baik adanya. Namun nyatanya tidak demikian; kita hanya bisa memiliki rasa “ngeri” ketika gunung api meletus, dan gentar ketika ombak tsunami setinggi 20 meter melanda daerah kita. Padahal gunung api yang mengerupsi material vulkanis adalah baik untuk fertilitas tanah,[6] dan tsunami bisa berperan untuk meredistribusi nutrisi biotik untuk laut dan pantai.[7] Saya bukan berangan-angan tanpa dasar tetapi kemampuan rekayasa bumi yang dilakukan manusia terus meningkat dan bertahap. Seperti rekayasa atmosfer untuk mengatur hujan, kestabilan lereng, pembuatan waduk, deteksi dini kegempaan, penggunaan panas bumi, dan seterusnya.
Jika panggilan kita adalah mengusahakan dan memelihara, maka lawan dari panggilan kita adalah mengabaikan dan membinasakan. Menariknya, ketika ada oknum manusia yang melakukan hal sebaliknya, kita marah. Banjir Sumatra diindikasikan terjadi karena penebangan liar, sehingga tanah yang seharusnya dapat menyerap volume air besar kehilangan kemampuan itu.[13] Hujan turun, datanglah banjir, dan air melanda rumah-rumah tersebut. Respons masyarakat Indonesia yang mengetahui ini sangat marah besar; bahkan profesor ahli sejarah Anhar Gonggong mengharapkan oknumnya dihukum mati.[14]
Penebangan hutan terjadi bukan karena orang “iseng” tidak ada kerjaan. Ada kebutuhan manusia untuk mengusahakan dan memelihara ciptaan, memerlukan bahan baku yang salah satunya berbahan dasar kayu, sehingga pohon-pohon tertentu ditebang dalam skala besar.[15] Permasalahannya bukan memotong kayu per se, melainkan keseluruhan kerangka aktivitas manusia demi mengusahakan dan memelihara ciptaan—yang perlu dipertimbangkan secara matang.
Selama belasan tahun, apabila kita melihat kondisi perhutanan di Sumatra, tampaknya terjadi sebuah deforestasi yang cukup besar. Pohon-pohon ditebang untuk menjalankan sebuah industri ekstraktif, yakni pertambangan dan juga penumbuhan kelapa sawit, demi memutar roda perekonomian. Arah perkembangan ekonomi pasca-Reformasi tampaknya tidak berbeda jauh dengan yang terjadi pada saat Orde Baru. Meskipun kekuatan militer tidak lagi menjadi sebuah sarana untuk memegang kendali dan kontrol sosial atas masyarakat Indonesia, tetapi orientasi untuk arah perkembangan ekonomi masih menjadi prioritas institusional dalam negara kita. Indonesia, sebagai salah satu negara yang terkaya akan sumber daya alam, secara ironis justru menjadi negara yang juga dilanda dengan bencana alam ketika keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kondisi ekologi tidak dijaga dengan baik.
Ditambahkan juga sekarang sudah adanya agenda untuk memajukan kondisi Indonesia yang sedang bleeding secara ekonomi, maka metode untuk tetap “menambal” kekurangan tersebut adalah dengan melakukan ekstraksi terhadap sumber daya alam. Pergantian fungsi dari hutan yang dikonservasi menjadi sistem agrikultur kelapa sawit dan pertambangan emas, jika bukanlah sebuah agenda yang diprioritaskan, itu menjadi sebuah dorongan politik-ekonomi untuk menjaga perekonomian Indonesia secara menyeluruh. Sumber daya dari Sumatra, tetapi keuntungannya adalah untuk “Indonesia”, atau lebih tepatnya pemerintah pusat. Alhasil, keuntungan ekonomi didapatkan untuk membiayai kebutuhan belanja negara yang mahal-mahal, tetapi sumber daya dari tempat asal dikorbankan dan digantikan dengan sebuah bencana yang cukup mengerikan. Deforestasi di Sumatra mengalami lonjakan paling drastis di Indonesia pada tahun 2024, dengan peningkatan hingga 173,9% dibanding tahun 2023. Luas hutan yang hilang naik dari 33.311 hektare menjadi 91.248 hektare, atau hampir tiga kali lipat hanya dalam satu tahun.
Persepsi publik terhadap pemerintah pusat akan mengalami sebuah “penurunan”. Baru saja, beberapa bulan yang lalu, Jakarta dan Indonesia baru lolos dengan demonstrasi yang cukup mengerikan di berbagai kota, sekarang sudah diwarnai dengan sebuah fenomena bencana alam di Sumatra—yang enggan diberi status “darurat”. Permasalahan hujan yang tidak kunjung henti dan meningkatnya air laut juga bukanlah sebuah fenomena yang terjadi “jauh di luar sana”, khususnya bagi saudara-saudara yang membaca ini dari wilayah non-Sumatra. Khususnya, bagi yang berada di wilayah Jabodetabek, tanggul Jakarta yang menahan air laut juga tidak bisa terus-menerus menahan air yang terus meningkat dan secara perlahan menggerus tembok pertahanan tersebut.
Ketika ada suatu aspek kehidupan atau segi institusional yang terlalu dipentingkan (lebih tepatnya diberhalakan), maka itu akan memberikan konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Pemberdayaan sumber daya alam dan manfaatnya tidak semestinya dialih fungsi untuk hal-hal yang berada di luar yurisdiksi geografis. Keuntungan manfaat di suatu tempat adalah untuk membangun ekologi dan kesejahteraan hidup masyarakat setempat. Bukanlah hal yang etis bila suatu kekuatan politik dapat mendikte suatu wilayah untuk mengekstrak sumber daya demi kepentingan suatu pemusatan kekuasaan. Permasalahan ini adalah tentang ketegangan antara masyarakat lokal dan pemerintah pusat. Apabila tidak dijalankan dengan baik, maka peristiwa ini rentan untuk dikembangkan menjadi suatu persoalan yang lebih luas.
Ketika terjadi suatu gejala ketidakadilan, bukan hanya dari segi ekonomis, tetapi juga dari segi ekologis, hal itu bisa menimbulkan sebuah cara berpikir yang diwarnai dengan mentalitas “dendam”. Hal ini tidak membenarkan baik pertambangan maupun kebijakan ekstraktif nasional yang melupakan sisi etika dan lingkungan hidup. Justru, ketika muncul sebuah nuansa adanya pihak yang “mengopresi”, secara perlahan masyarakat lokal setempat akan mengambil posisi untuk mendukung budaya dan kebijakan anti-opresif. Yang dikhawatirkan adalah ketika rasa percaya kepada pemerintah menurun (distrust towards governance), maka tendensi munculnya konflik sosial dan ragam ideologi berbasis “ekologi dan kehijauan” turut menjadi sebuah cela untuk masuknya pengaruh-pengaruh negatif lainnya.
Dari paparan deforestasi Sumatra di atas, pelakunya adalah dosa kolektif manusia—keserakahan yang membuat manusia gagal fully function dan akhirnya membawa kerusakan. Deforestasi Sumatra adalah salah satu contoh lokal yang bisa diantisipasi oleh daerah-daerah lain. Bahkan skenario seperti ini bisa terjadi pada lingkup dan industri lain.
Kalau Saudara melihat betapa banyaknya kemungkinan manusia mengusahakan bumi ini: Elon Musk bisa membuat roket yang terbang dan kembali ke bumi hingga ditangkap dengan “sumpit” besar, namun sekaligus menghasilkan emisi yang besar[16]; manusia bisa membuat kota bercahaya dan kita sangat tertolong dengan pencahayaan yang terang, namun para astrofisikawan kesulitan mempelajari benda langit karena polusi cahaya[17]; manusia bisa membuat mesin berpikir canggih—artificial intelligence—namun mesin itu sangat rakus energi listrik[18]; di saat yang bersamaan, yang manusia usahakan menimbulkan byproduct atau hasil sampingan yaitu sisi buruk terhadap manusia itu sendiri.
Kompleksitas memelihara dunia tidak sesederhana anak-anak yang menyiram bunga dengan ember; itu hanya bagian kecil dari realitas besar mengusahakan dan memelihara dunia. Dari tiga contoh tersebut kita melihat bahwa mengusahakan dunia demi memelihara, manusia membutuhkan kebijaksanaan kolektif: pemerintah yang membuat kebijakan tepat guna, engineer yang memberi solusi praktis, ilmuwan yang menemukan kebaruan, dan seterusnya. Menariknya, semua yang dihasilkan oleh kebijaksanaan kolektif tersebut masih mungkin menghasilkan dampak buruk pada lingkup-lingkup peradaban manusia. Namun demikian, partisipasi kolektif ini sudah menggambarkan bagaimana Allah mau dunia ini diusahakan oleh manusia. Sehingga kita bisa membantah pendapat Alan Weismann yang mengatakan bahwa dunia lebih baik tanpa kita.
Dunia ini adalah hunian yang berkenan (delighted and pleased) bagi Allah dan bagi manusia untuk hadir di dalamnya. Kalau saya ulangi penjelasan saya di awal, bagi Allah dunia tidak lebih baik tanpa aku, kamu, dan dia; tanpa kami, kalian, dan mereka. Sehingga kita bisa senada dengan Allah ketika kita memelihara dunia ini dan melihat pekerjaan tangan manusia sambil berkata, “Sungguh amat baik.”
Inilah realitas dari kalimat: “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” Apa kehendak Allah? Dunia yang diperbarui dan kejahatan yang dihancurkan. Maka setiap usaha manusia yang sejalan dengan kehendak Allah adalah cicipan manis dari kalimat itu. Baik dampaknya besar maupun kecil seperti membuat undang-undang atau membersihkan kamar; menangkap mafia minyak atau menegur orang yang tidak berbaris rapi; semuanya menghadirkan kehendak Allah di bumi seperti di sorga.
Di tengah situasi seperti banjir Sumatra, sudah sepantasnya gereja-gereja mengarahkan tim diakonia atau pelayanan sosial untuk membantu para korban banjir dan tanah longsor di Sumatra. Sudah sepantasnya gereja menjalankan fungsi dan tugasnya seperti ini. Kita bukanlah kelompok komunitas yang berbagian dalam tugas pertambangan, melainkan untuk menjalankan tugas dalam menyediakan bantuan dan tempat bersinggah bagi mereka yang mengalami kesulitan. Mengenai lingkungan hidup, sumber daya dan keseimbangan ekologis merupakan sebuah “rumah” bagi mereka yang tinggal di lokasi setempat. Mari kita doakan agar situasi di Sumatra dapat segera membaik, dan agar dari peristiwa ini, justru gereja-gereja dapat mengambil peran yang lebih aktif untuk menjadi saksi bagi teman-teman di sekitar sana.
Di saat yang sama, kita harus berhati-hati agar sumbangan dan donasi yang dikerahkan oleh para korban tidak malah dialirkan kepada pihak yang tidak bertanggung jawab.
Filipi 4:8
“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”
Pikirkanlah itu, Saudara, ketika kamu membuat kebijakan pemerintah; pikirkanlah itu ketika kamu membuat penelitian; pikirkanlah itu ketika kamu sedang menganyam baju; pikirkanlah itu ketika kamu sedang memilih rute perjalanan yang akan kamu tempuh.
Ezra Emmanuel
Pemuda GRII Graha Famili
Kevin Nobel
Pemuda GRII Pusat
