Belakangan ini, kita sering mendengar kata “childfree”, yaitu bebas dari anak. Biasanya, kata ini muncul di antara kaum muda dari generasi Y dan Z, yang memutuskan untuk menikah tanpa mempunyai anak. Biasanya, kita akan menemukan kata tersebut di media sosial. Sesuatu yang cukup membuat “kaget” sebab fenomena ini merupakan sesuatu yang baru terjadi di Indonesia. Untuk memahami tren ini, mari kita ulas kembali perkembangan zaman dan latar belakang sosial yang mengakibatkan fenomena childfree.
Childfree dapat diartikan sebagai sebuah keputusan yang dilakukan secara sadar oleh orang dewasa untuk tidak mempunyai anak (childfree). Fenomena tersebut adalah sebuah tren yang terjadi di berbagai negara maju seperti di Eropa Barat, Eropa Utara (Skandinavia) Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan lainnya. Pada umumnya, negara-negara ini mempunyai karakteristik tertentu, yaitu menurunnya jumlah penduduk, piramida populasi yang makin “tipis” akan usia muda, dan rendahnya tingkat fertilitas. Mengenai hal ini, bukanlah sebuah “opsi” bagi sebuah peradaban untuk bertahan jika tidak mempunyai anak. Lantas kalau berkeluarga dan memiliki keturunan sedemikian penting, mengapa tren seperti ini sedang menjadi topik hangat yang dibicarakan oleh generasi sekarang?
Pertanyaannya adalah, “Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Mengapa baik di negara liberal seperti di Barat maupun konservatif seperti di Asia Timur sama-sama mengalami fenomena seperti demikian?”
Kalau ditinjau dari sisi biologis, tubuh manusia laki-laki dan perempuan dirancang untuk saling “berbagi” agar dapat mempunyai keturunan. Sistem reproduksi pada tubuh manusia bukanlah untuk dirinya sendiri. Dari sisi sosial, manusia memang dicipta untuk membangun pertemanan dengan sesamanya, sebab manusia tidak dicipta untuk hidup seorang diri.
“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kejadian 1:27)
“Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:28).
Kata “mereka” yang digarisbawahi menunjukkan bahwa pada “DNA” peta teladan manusia, kita dicipta untuk berelasi sebagai komunitas. Komunitas terkecil adalah pertemanan antara seorang pria dan wanita. Kita tidak dicipta hanya untuk menjadi independen, sebagai seorang “diri sendiri saja”, melainkan secara interdependen, agar kemudian dapat beranak, dan memenuhi dan menguasai bumi. Lalu, yang menjadi persoalan adalah mengapa pada saat ini kita cenderung hidup sebagai “aku” dan bukan “kita”, menjadi seorang diri dan bukan sebuah komunitas?
Saya kira permasalahan ini berangkat dari perubahan iklim kultural seperti yang dikemukakan oleh seorang intelektual dan rabi, Jonathan Sacks. Menurut Jonathan Sacks, ketika kehidupan masyarakat tidak lagi menghormati (menguduskan) relasi pernikahan yang ditopang oleh ajaran agama, maka cepat atau lambat kehidupan individualis dan konsumeris akan masuk. Suatu peradaban saat sudah mencapai titik puncak politik-ekonomi, itulah yang menjadi titik awal terjadinya kehancuran kebudayaan dan keluarga.[1]
Ada beberapa hal yang dapat terjadi menuju fenomena childfree. Kehidupan ekonomi yang konsumeris menimbulkan karakter individualis yang makin tinggi. Individu akan mencari pasangan hidup layaknya dalam sebuah “mal”, mencicipi setiap jenis “komoditas” yang dapat dicoba (try me), sebanyak mungkin (all you can eat), dan kemudian memilih satu sampai pada tanggal kedaluwarsa (expiry date). Lalu, memutuskan untuk memilih yang lain jika sudah bosan dengan yang lama. Kedua, tentunya hal ini berakibat kepada rasa cemas (insecure) bahwa tidak ada orang yang ingin berkomitmen untuk hidup bersama dengan sesamanya. “Cinta menjadi cair” (liquid love), kasih hanyalah untuk sementara, di mana seseorang akan datang dan pergi tanpa perlu meninggalkan bekas sedikit pun.[2] Itulah sebabnya mengapa penggunaan media sosial dan aplikasi kencan menjadi sangat trendy sebab fenomena itu memenuhi kekosongan hati masyarakat saat ini. Kita ingin lubang rasa sendirian itu diisi, tetapi tidak ingin memberi diri untuk hidup dengan sesama.
Di Barat, fenomena childfree sudah makin kuat sejak terjadinya Revolusi Seksual pada tahun 1960. Di situ, pertama kalinya fenomena “seks sebelum pernikahan” terjadi dalam peradaban Barat yang terjadi secara masif. Pada masa generasi boomers, keluarganya sudah mempunyai anak sebelum pernikahan, tetapi mereka tetap menghormati pernikahan walau kemudian berakibat pada ledaknya perceraian. Hasilnya, makin banyak anggota tidak bergereja. Di Eropa Barat, sekularisme meningkat oleh karena kencangnya individualisme oleh karena Revolusi Seksual. Di Amerika, keluarga masih “ditahan” agar tidak menjadi sekuler oleh karena adanya peran gereja yang masih berkhotbah tentang pentingnya relasi, pernikahan, dan komunitas.[3] Namun, dengan makin menurunnya peran komunitas gereja, makin kuatnya tren individualisme dalam gereja, permasalahan ini justru makin kuat. Orang tidak lagi menikah, melainkan melakukan kumpul kebo tanpa mau mempunyai anak karena adanya rasa tidak percaya (distrust) yang tinggi bahwa pasangannya (partner) akan meninggalkan mereka kapan pun untuk siapa pun. Fenomena childfree di peradaban Barat merupakan sebuah pengulangan dari kebudayaan Romawi yang mulai meninggalkan nilai kekeluargaan menuju hedonisme individualis.
Di Timur, fenomena childfree terjadi karena kepentingan negara yang mendorong “Revolusi Aseksual”. Di Tiongkok, perkembangan ekonomi dan politik menuntut agar masyarakatnya tidak mempunyai anak lebih dari satu (one child policy). Sampai pada tatanan tertentu, hal ini memang membantu kemajuan negara. Akan tetapi, mindset yang terbentuk selama beberapa generasi tersebut telah memunculkan one child or no child culture pada generasi muda. Meskipun pemerintah komunis Tiongkok sudah melebarkan pintu bagi para warga negaranya untuk memiliki lebih dari dua anak, tetapi hal tersebut kurang disambut baik oleh masyarakatnya sendiri yang sudah terbiasa hidup sendiri.[4] Ke depannya, Tiongkok akan bergerak menuju corak masyarakat seperti Jepang yang diisi dengan ageing population.
Di Singapura dan Jepang, tuntutan kerja yang terlalu berat juga menguras waktu untuk berelasi dan mempunyai anak.[5] Di Korea Selatan yang merupakan negeri “penuh romansa” menurut drama di layar televisi, ternyata juga mengalami penurunan demografi yang cukup pesat.[6] Individu, khususnya wanita, lebih memilih untuk berkarier dan mencukupi hidup secara ekonomi daripada harus meluangkan waktu berkencan, menikah, dan membangun keluarga.[7] Ketika negara-negara Asia Timur berharap bahwa dengan mengorbankan waktu berkeluarga demi mengejar karier justru bisa memajukan ekonomi, sekarang mereka melihat bahwa tindakan tersebut justru melumpuhkan perkembangan ekonomi itu sendiri. Sekolah-sekolah menjadi makin sepi, dan itu menjadi pertanda bahaya bagi suatu negara. Dalam sejarah umat manusia, inilah pertama kalinya tren childfree melanda dalam peradaban yang dibangun berdasarkan nilai Confucianism.
Sekarang, tren seperti ini sudah mulai tersebar di media sosial. Indonesia sendiri juga akan menuju kepada kemajuan ekonomi yang sangat pesat. Kehidupan generasi muda juga sudah diisi dengan tantangan untuk “membeli rumah dengan harga tinggi” versus “jalan-jalan traveling dan tinggal di apartemen kecil”. Biaya infrastruktur tempat tinggal, tawaran untuk berjalan-jalan, dan budaya liberal yang mulai mempertanyakan nilai-norma keagamaan mulai masuk ke Indonesia dan sudah mulai menjadi pupuk yang menguatkan sifat individualisme—yang nantinya akan menguatkan fenomena childfree. Ketakutan untuk memiliki relasi yang dalam dan ketakutan menghadapi tantangan masa depan menjadi atmosfer yang dihadapi oleh kaum muda. Being childfree is about being risk-free.
Untuk saat ini, solusi terdekat untuk menghadapi ini adalah dengan berkomunitas. Komunitas menawarkan jalan agar individu bisa belajar berelasi dan mendapatkan support system dalam menghadapi tantangan ekonomi. Di sinilah kita bisa belajar sharing dan memberikan masukan dan dukungan kepada satu sama lain. Ketika berbicara tentang komunitas, hal ini merupakan sebuah antitesis terhadap gaya hidup individualis. Ketika kita berkomunitas, kita dikondisikan dan dipaksa untuk tidak bersikap egois. Orang egois diisi dengan banyak ketakutan, dan ketakutan itulah yang membuat seseorang hidup sendirian. Ketakutan untuk mengambil tanggung jawab, mengambil langkah untuk memiliki keturunan adalah beberapa hal yang terjadi ketika kita hidup dalam semangat zaman yang membuat diri menjadi “konsumtif”, nyaman dalam zona diri (comfort zone).
Kedua, kita juga bisa belajar berkomunitas di dalam gereja. Di tengah perkembangan budaya yang makin individualis, ketakutan untuk berkomunitas adalah sesuatu yang cukup nyata. Individu memilih untuk hidup individualis sebab itu berisiko minim. Bertemu orang dan mengalami konflik adalah suatu hal yang tidak nyaman. Hal-hal seperti inilah yang menyebabkan gerakan childfree atau gaya hidup risk-free menjadi suatu hal yang cukup menarik bagi banyak generasi muda. Sebaliknya, komunitas gereja adalah tempat yang mengajarkan kita untuk berkonflik dengan sehat, mengakui kesalahan, dan belajar dari kesalahan untuk menjadi pribadi yang lebih matang dan berani untuk menghadapi risiko. Tidak ada tempat yang risk-free, termasuk di dalam gereja sendiri. Akan tetapi, lebih baik menghadapi risiko di dalam komunitas gereja dan bertumbuh, karena memang di situlah wadah untuk berkembang menjadi lebih dewasa.
Pendewasaan inilah yang menjadi dasar bagi individu untuk menjadi sesama. Barangkali, ketidakmampuan kita untuk menjadi dewasa adalah hal yang tidak disadari. Penyadaran itu akan terjadi ketika kita hadir dalam sebuah komunitas, untuk saling berbagi masukan dan kritik, yang memampukan kita untuk bercermin. Tanpa risiko tersebut, kita sulit bertumbuh. Tetap berkomitmen untuk menghadapi masalah, dan bukan lari, adalah menjadi dasar bagi kita untuk bertumbuh. Di dalam berkomunitas, kita belajar untuk menghadapi masalah dan menjadi diri yang diperbaharui.
Kevin Nobel Kurniawan
Pemuda GRII Pusat
Redaksi Editorial PILLAR, pengasuh rubrik Isu Terkini
[1] https://www.rabbisacks.org/videos/cultural-climate-change/, diakses pada 27 Februari 2023, pukul 11:00 WIB.
[2] Bauman, Zygmunt. 2003. Liquid Love: On the Frailty of Human Bonds. Polity Press.
[3] Brown, Callum. 2001. Death of Christian Britain: Understanding Secularisation 1800-2000. Second Edi. Routledge.
[4] https://www.theguardian.com/world/2023/jan/20/the-last-generation-young-chinese-people-vow-not-to-have-children, diakses pada 27 Februari 2023, pukul 11:09 WIB.
[5] https://www.worlddata.info/asia/singapore/populationgrowth.php#:~:text=The%20biggest%20decrease%20in%202021,35.60%20years%20(median%20value)., diakses pada 27 Februari 2023, pukul 11:10 WIB.
[6] https://learningenglish.voanews.com/a/south-korea-in-population-crisis-as-many-stop-having-babies/6850611.html#:~:text=South%20Korea’s%20fertility%20rate%20has,severe%20damage%20to%20the%20economy., diakses pada 27 Februari 2023, pukul 11:14 WIB.
[7] https://wya.net/asias-rapidly-declining-population-growth-implications-for-the-region/, diakses pada 27 Februari 2023, pukul 11:00 WIB.