COVID-19: Allah, Setan, dan Malaikat Pencabut Nyawa

Sudah hampir setahun hidup kita diliputi oleh COVID-19. Setiap hari berita yang kita terima, kalau kita membacanya, adalah berita tentang COVID-19. Dari para petinggi yang duduk di dalam pemerintahan, para artis, para pebisnis, hingga buruh, dari para kaum terpelajar hingga pemulung, nyaris semua tahu tentang COVID-19. Dan berita yang paling menakutkan setiap orang adalah berita tentang kematian karena COVID-19. Tiada hari yang bebas dari pemberitaan tentang adanya kematian karena COVID-19. Di awal-awal mulai tersebarnya COVID-19 ke seluruh dunia, kita masih merasa bahwa COVID-19 masih jauh dari kehidupan kita. Tetapi kini, kita makin sering mendengar orang-orang yang kita kenal, tetangga kita, teman kerja kita, bahkan orang terdekat dalam lingkungan keluarga kita juga menderita COVID-19 dan tidak sedikit yang meninggal karena COVID-19 ini. Bahkan saat tulisan ini dibuat (17 Desember 2020), beberapa negara mulai kembali menerapkan lockdown karena COVID-19 yang tadinya dianggap mulai menurun, sekarang malah makin bertambah. Jerman, Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Korea Selatan, Italia, Spanyol, Belgia, Belanda, dan Prancis, setelah setahun terjadinya pandemi COVID-19, kembali menerapkan lockdown karena lonjakan kasus COVID-19. Bahkan ini adalah lonjakan kasus gelombang ketiga. Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Di beberapa kota, termasuk Jakarta, kasus COVID-19 kembali melonjak sehingga kembali diberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) secara ketat.

Tidak sedikit dari kita yang menganggap COVID-19 seolah-olah adalah malaikat pencabut nyawa yang bisa datang kapan saja untuk mencabut nyawa manusia, siapa pun dia, tidak peduli kaya-miskin, tua-muda, terpelajar-tidak terpelajar. COVID-19 ini sanggup mengalahkan ketakutan orang akan terkena penyakit kanker dibanding terkena COVID-19. Seolah-olah kalau sudah terkena COVID-19 ini (apalagi mereka yang mempunyai risiko tinggi, yang memiliki penyakit penyerta seperti hipertensi, kencing manis, penyakit paru kronis, kanker, dan sebagainya), tinggal menunggu kematian datang. Salah seorang adik kelas saya saat kuliah, ketika dia mengetahui bahwa dirinya terkena COVID-19, dia buru-buru menulis pesan terakhirnya dan dikirim ke seluruh grup WhatsApp di mana dia terdaftar dan teman-temannya secara pribadi dengan isi pesan meminta maaf atas kesalahannya selama ia hidup, dan seolah saat ini sedang menunggu kematian datang menjemputnya. Manusia mendadak berpikir bahwa kematiannya akan tiba ketika dia terkena COVID-19 dibandingkan bahwa Allah mendadak bisa memutuskan hidupnya di dunia ini. COVID-19 seolah menjadi penentu mati hidup manusia dibandingkan Allah.

Di dalam masa pandemi COVID-19 ini, agak ironis ketika melihat respons hidup kita terhadap COVID-19. Seharusnya Allahlah yang kita takuti dan menjadi fokus dalam setiap aspek hidup kita, seperti yang tertulis dalam Amsal 1:7, “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Tetapi di masa pandemi ini, yang terjadi adalah COVID-19 justru menjadi allah kita. Lebih tepatnya, virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit COVID-19 inilah yang menjadi allah kita. Bagaimana tidak? Seluruh pikiran kita bisa tercurah memikirkan bagaimana agar tidak terkena penularan virus tersebut. Bahkan kita sanggup mengubah pola, gaya, dan kebiasaan hidup kita demi tidak tertular virus tersebut. Dari yang tidak biasa cuci tangan, sekarang bisa berkali-kali cuci tangan; dari yang belum pernah pakai hand sanitizer, sekarang jadi sangat terbiasa dengan zat tersebut; dari yang tidak pernah memakai masker, sekarang tidak lupa memakai masker ketika keluar rumah; dari yang doyan jalan-jalan ke mal, sekarang rela membatasi diri dan berdiam di rumah; dan seterusnya. Kita bisa mengurutkan perubahan-perubahan hidup kita satu per satu supaya tidak tertular virus ini. Dari sekian banyak perubahan tersebut, yang paling drastis kita rasakan adalah perubahan pola belajar dan pola kerja, dan yang lebih dramatis lagi adalah beribadah online! Saya yakin kita semua tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari kelak seluruh pembelajaran, pekerjaan, bahkan beribadah pun harus dilakukan secara online. Seolah “hanya” COVID-19 yang bisa membuat semua itu menjadi kenyataan. Suka tidak suka, kita dibuat tunduk untuk melakukannya demi penyebaran virus SARS-CoV-2 tidak makin merajalela dan demi kita sendiri tidak terkena penyakit tersebut. Tanpa sadar kita telah membuat SARS-CoV-2 ini menjadi allah kita; dialah pusat perhatian seluruh hidup kita saat ini. Bukankah ketika kita lebih tunduk kepada sesuatu, lebih fokus kepadanya, dan mengarahkan seluruh perhatian kita kepadanya, sesungguhnya kita sedang menjadikan sesuatu itu allah? Mari coba kita simak, dalam kehidupan kita saat ini, kita lebih cepat berespons tentang peristiwa COVID-19 dan lebih betah mencari berita seputar COVID-19, ataukah lebih semangat mencari kebenaran firman Tuhan dan berespons kepada-Nya? Kita lebih takut akan kehadiran COVID-19 ataukah Allah?

Selain itu, kita juga melihat COVID-19 sebagai sesuatu yang jahat. Kita menjadikan dia setan yang harus dimusnahkan sesegera mungkin karena dia menghancurkan hidup kita, merusak seluruh tatanan hidup kita selama ini, bahkan membunuh sekian banyak manusia dalam waktu singkat. Bukankah ini sesuatu yang mengerikan?

Di sinilah terjadi ironi hidup manusia berdosa. Allah Bapa di sorga begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan memperoleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16), dan kita menganggap kita sudah beriman kepada-Nya, tetapi seolah hal itu tidaklah mempan untuk tetap memfokuskan hidup kita kepada-Nya. Kita lebih takut akan COVID-19 daripada mengingat cinta kasih Allah yang begitu besar bagi kita, cinta kasih yang kekal yang tidak mungkin terbalaskan oleh kita sampai kapan pun dan dengan apa pun. Seolah cinta kasih Yesus Kristus yang rela mati menggantikan kita manusia berdosa tidaklah cukup besar untuk mendorong kita hidup berfokus kepada Kristus dan tidak mengarahkan seluruh fokus kita melalui ketakutan kepada keberadaan COVID-19. Satu Yohanes 4:18 berkata, “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” Bila kita sungguh-sungguh mengasihi Allah, kita tidak akan takut melakukan panggilan-Nya, menjalankan pelayanan di tengah pandemi COVID-19 ini. Virus hanyalah suatu ciptaan yang paling kecil oleh Allah yang Mahakuasa. Betapa ironisnya bila kita lebih takut dan lebih cepat berespons kepada ciptaan yang terkecil itu (yang notabene tidak dapat melakukan apa pun tanpa izin Allah, dan yang kepada manusia Allah telah memberikan kuasa untuk menaklukkannya) dibandingkan Allah Sang Pencipta. Jangan salah mengerti, tulisan ini tidak bermaksud untuk mengajak kita hidup berespons secara sembarangan terhadap COVID-19 ini. Seluruh protokol kesehatan terkait dengan COVID-19 tetap harus kita jalankan sesuai proporsinya, itu adalah bagian dari tanggung jawab kita di hadapan Tuhan. Sikap tidak peduli dan mengabaikan bahwa sedang terjadi pandemi COVID-19 juga adalah suatu perbuatan yang tidak bertanggung jawab di hadapan Tuhan.

Mari kita bangkit kembali. Jangan mau dikalahkan oleh virus yang kecil itu. Masa depan kita dan perjalanan dunia tidak disetir oleh ciptaan terkecil itu, tetapi oleh Allah Sang Pencipta dan Pengatur sejarah umat manusia. Hidup mati manusia bukan di tangan virus kecil itu, tetapi di tangan Allah Sang Penghulu Hidup. Kita tidak dipanggil untuk merespons kepada keadaan, tetapi merespons kepada Tuhan. Kondisi yang ada tidak menjadi alasan untuk kita tidak melakukan pelayanan pemberitaan Injil. Dalam surat keduanya kepada Timotius, Paulus berkata, Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran, dan pengajaran” (2Tim. 4:1-2).

Nasihat ini ditulis Paulus kepada Timotius menjelang hari-hari kematiannya. Paulus sangat memahami bahwa dunia memerlukan Kristus, tetapi dunia menolak Kristus, seperti yang tertulis dalam Yohanes 1:10-11, “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.” Kristus ditolak oleh dunia, yang sebenarnya sangat memerlukan Kristus. Inilah yang membuat pemberitaan Injil sering kali menghadapi penolakan dan tantangan yang tidak ringan. Namun pemberitaan Injil tidak boleh terhenti oleh karena keadaan, termasuk keadaan pandemi COVID-19 saat ini. Justru di saat-saat seperti ini, ketika manusia tidak lagi memiliki pengharapan, ketika manusia mengalami ketakutan akan kematian yang tidak jelas kapan datangnya karena COVID-19, sebagai orang yang sudah mendapat anugerah keselamatan dan hidup yang kekal, seharusnya kitalah yang membawa kabar pengharapan itu kepada dunia. Dalam 2 Timotius 4:2, dapat kita lihat bahwa kita bukan hanya memberitakan kabar baik Injil Yesus Kristus untuk keselamatan kekal saja, tetapi juga harus mengoreksi yang salah, menegur dan mengarahkan kepada yang benar, menasihati dengan penuh kesabaran, dan memberikan pengajaran. Artinya, kita tidak ikut tenggelam dalam ketakutan karena pandemi COVID-19, tetapi kita dapat menyikapi kondisi ini dengan benar dan menolong mereka di luar sana untuk dapat berespons juga dengan benar terhadap kondisi pandemi ini.

Di masa-masa bulan Natal dan menyambut tahun 2021, mari kita kembali mengingat kasih Allah yang membawa Anak Allah yang mulia berinkarnasi menjadi sama seperti kita manusia, rela menjadi hina dimulai dengan lahir di palungan yang hina, untuk membawa kita yang hina menjadi mulia. Kekekalan dan kemuliaan kita peroleh oleh karena anugerah-Nya. Oleh karena itu, marilah kita berbenah diri dan berespons secara benar selama Tuhan masih memberikan kesempatan kita hidup dalam dunia ini. Tuhan Yesus berkata, “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja” (Yoh. 9:4). Kalimat ini diucapkan Tuhan Yesus atas pertanyaan murid-murid-Nya tentang seorang yang buta sejak lahir. Tuhan Yesus tahu bahwa waktu hidup yang Ia lalui sangatlah berharga dan tidak boleh disia-siakan. Ia pasti tahu bahwa waktu hidup-Nya sangat singkat, tidak lebih dari 35 tahun. Setiap kesempatan yang ada harus digunakan semaksimal mungkin untuk menjalankan misi yang diberikan Allah Bapa kepada-Nya. Oleh karena itu, setiap waktu yang Ia lewati adalah waktu untuk tunduk dan menjalankan kehendak Allah Bapa. Demikian juga dengan kita hari ini. Kesadaran akan waktu hidup yang tidak lama, kesadaran bahwa kematian bukanlah akhir segalanya, kesadaran akan anugerah terbesar yang Allah berikan, dan kesadaran akan adanya kuasa Allah melalui Roh Kudus-Nya yang memimpin hidup kita, seharusnya membuat kita tidak tenggelam dalam situasi dunia yang sementara, tetapi mendorong kita untuk tetap semangat mengerjakan pekerjaan Tuhan sesuai dengan panggilan yang Ia berikan kepada kita.

Ketika Allah bertanya di masa pandemi COVID-19, “Siapakah yang akan Kuutus?” Mari kita bersama berespons, “Ini aku Tuhan, utuslah aku!”

Diana Samara

Pembina FIRES