Istilah anosmia menjadi tren di masa pandemi COVID-19 ini. Istilah anosmia yang tadinya terdengar asing dan tidak kita ketahui artinya sekarang menjadi satu kata yang umum kita baca, dengar, atau utarakan sendiri. Anosmia adalah bahasa Latin dengan dua penggalan kata “an”, yang artinya “tidak”, dan “osme”, yang artinya “bau”. Jadi anosmia berarti kehilangan kemampuan mencium bau. Ada juga istilah hiperosmia, yang berarti peningkatan kemampuan mencium bau; hyposmia, yang berarti penurunan kemampuan mencium bau; parosmia, yang berarti salah menafsirkan apa yang dicium, misalnya bau kentang goreng dirasakan seperti mencium daging busuk. Proses penciuman terjadi ketika bau yang masuk ke dalam hidung diterima oleh sel-sel saraf yang berfungsi membau. Sel-sel ini kemudian mengirim sinyal ke otak di bagian temporal sehingga bau teridentifikasi. Bila ada gangguan atau kerusakan di jalur tersebut, akan terjadi gangguan penciuman.
Anosmia bisa disebabkan oleh banyak hal; karena hidung buntu akibat pilek, flu, sinusitis, polip, atau faktor-faktor lain seperti penuaan, diabetes melitus, cedera kepala, hingga tumor. Penyebab yang paling ramai sekarang dibicarakan sehingga timbul anosmia adalah SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit COVID-19. Anosmia menjadi sering disebut di masa pandemi COVID-19 karena akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia, banyak ditemukan pasien-pasien COVID-19 yang mengeluh kehilangan penciuman. Pasien tidak dapat mencium bau apa pun, termasuk bau yang sangat menyengat sekalipun. Selain kehilangan penciuman, pasien pun tidak dapat merasakan makanan. Akibatnya, pasien menjadi kehilangan nafsu makan yang berujung pada penurunan berat badan, dan bila berlanjut akan terjadi malnutrisi hingga depresi. Namun puji Tuhan, kehilangan penciuman ini tidak berlangsung lama. Sebagian besar pasien akan segera pulih kembali dan bisa kembali mencium bebauan dan merasakan sedapnya makanan. Bayangkan kalau anosmia ini menetap meski pasiennya sudah sembuh dari COVID-19, alangkah frustrasinya dan bisa membuat depresi berat. Bahkan sekitar 10-20% pasien yang telah sembuh dari COVID-19 bisa mengalami parosmia, bisa mencium tetapi mencium hal yang berbeda dari aslinya. Bau kopi dicium sebagai bau sampah busuk; bau ayam goreng bisa dicium sebagai bau bangkai; dan seterusnya.
Maraknya kasus COVID-19 dengan gejala anosmia membuat kita sangat sensitif bila ada orang yang mengeluh bahwa dia kehilangan penciuman. Hal pertama yang kita langsung pikirkan adalah orang tersebut sedang terkena COVID-19. Secara tidak sadar, kita langsung berespons dengan cepat menjauhkan diri dari orang tersebut agar terhindar dari penularan COVID-19 dan memberi tahu dia agar segera berobat untuk menghindari kondisi yang lebih berat dan kemudian menyebabkan kematian. Kita meminta orang tersebut untuk mengarantina diri agar tidak menularkan kepada orang lain. Kita mendadak bisa sangat peka dengan kondisi anosmia tersebut tanpa diajarkan untuk menjadi peka, tanpa dipaksa untuk peka, tanpa didorong untuk selalu peka, tanpa diiming-imingi supaya mau peka. Kita menjadi sangat peka, karena kita menganggap anosmia tersebut terkait dengan hidup mati manusia, khususnya hidup mati kita. Kita bahkan dengan sigap melindungi diri kita dengan berbagai macam obat atau vitamin yang kita anggap mampu meningkatkan imunitas kita sehingga terhindar dari COVID-19.
Bila kondisi anosmia karena COVID-19 tersebut membuat kita sangat peka, pertanyaannya adalah, apakah kita memiliki kepekaan yang sama akan dosa? Apakah kita dengan sigap mencari jalan keluar agar kita tidak lagi jatuh ke dalam dosa, apalagi dosa yang berulang kali dilakukan? Kita berada di zaman akhir di mana orang tidak lagi peduli akan dosa. Lebih tepatnya, dunia tidak lagi memperhitungkan dosa. Dosa hanya dianggap sebagai suatu kelemahan atau suatu penyakit. Zaman ini kita bukan hanya mengalami anosmia, tidak mampu mencium bebauan, tetapi kita juga mengalami anosmia dosa, tidak lagi mampu “mencium” akan adanya dosa. Apalagi bila perbuatan atau tindakan tersebut sudah umum diterima masyarakat, kita akan menganggap itu bukanlah suatu dosa.
Dalam Efesus 2:1-3 Paulus mengatakan, “Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat.” Paulus memberitahukan kepada jemaat Efesus bahwa sebelum percaya kepada Kristus, yaitu sebelum mengalami kelahiran kembali, baik Paulus, jemaat Efesus, maupun orang percaya lainnya adalah orang-orang yang kelihatannya hidup, bisa makan, minum, kerja, belajar, pacaran, duduk, tidur, lari, dan hal-hal sebagainya yang dilakukan oleh manusia yang hidup, tetapi sesungguhnya adalah manusia yang mati di dalam dosa. Kata mati di dalam bahasa Yunaninya adalah nekros yang berarti mayat atau tubuh yang mati, mengalami kematian rohani. Kita tentu tahu orang yang mati tidak memiliki sense apa pun. Dia tidak memiliki kepekaan sama sekali. Demikian juga bila rohani kita mati, kita tidak memiliki kepekaan sama sekali akan dosa. Kita malah hidup di dalam dosa, dan bangga bila kita sanggup melakukannya. Kita menjadi anosmia terhadap dosa. Makin kita hidup dalam keagamaan kita, makin kita anosmia terhadap dosa. Mengapa? Karena kita menganggap sudah saleh dengan melakukan berbagai ritual keagamaan. Makin kita merasa saleh, kita makin membohongi diri kita dan tidak menyadari bahwa kita sesungguhnya telah anosmia terhadap dosa. Keadaan yang demikian membuat kita tidak mempunyai keinginan untuk bertobat. Makin kita tidak ingin bertobat, makin membuat kita jauh dari Allah. Menakutkan, bukan?
Hal seperti itulah yang terjadi dalam kehidupan ahli Taurat dan orang Farisi di zaman Tuhan Yesus. Mereka menganggap diri merekalah yang paling suci karena sudah menaati hukum Taurat. Mereka justru melihat orang lain di luar diri mereka sebagai orang berdosa yang harus meminta pengampunan kepada Allah, sedangkan mereka tidak. Tetapi Tuhan Yesus tahu isi hati mereka. Tuhan Yesus mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang munafik, “Sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran” (Mat. 23:37). Kerohanian yang mati membawa manusia hidup munafik; luarnya kelihatan saleh, tetapi sesungguhnya hatinya penuh kejahatan. Seperti yang tertulis dalam Yeremia 17: 9-10, “Betapa liciknya hati, lebih licik daripada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya? Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya.” Kerohanian yang mati membuat manusia menjadi anosmia terhadap dosa dan murka Allah. Dalam keadaan demikian, tidak ada satu manusia pun yang sanggup menolong manusia yang lain, karena sama-sama anosmia terhadap dosa. Tidak ada kuasa apa pun yang sanggup melepaskan manusia dari anosmia dosa tersebut. Hanya kuasa darah Kristus yang sanggup menghidupkan manusia dari kematian rohani dan dengan demikian membebaskan manusia dari anosmia dosa.
Lebih parah lagi, selain karena anosmia dosa, manusia juga mengalami parosmia dosa. Seperti yang telah dijelaskan di atas, parosmia adalah suatu keadaan di mana manusia salah menafsirkan bau yang diciumnya. Demikian juga dalam kehidupan kerohanian kita. Kita bukan hanya tidak peka akan dosa yang kita lakukan ataupun yang terjadi di sekitar kita, malah kita juga menganggap apa yang kita lakukan itu bukan dosa. Kita akan mencari pembenaran-pembenaran untuk menjustifikasi apa yang kita perbuat, apalagi kalau kita mendapat dukungan publik karena hal-hal tersebut adalah kondisi yang umum terjadi. Salah satu contoh kisah dalam Alkitab adalah ketika Lot menyerahkan kedua anak perempuannya untuk diperkosa oleh orang-orang yang bernafsu untuk memerkosa dua malaikat yang menjadi tamunya. Kehidupan Lot yang sudah masuk ke dalam dunia Sodom dan Gomora yang rusak, bejat, dan jahat (itu sebabnya Allah hendak menghancurkan Sodom dan Gomora) membuat dia melihat caranya untuk menyelamatkan kedua tamunya dari nafsu jahat orang-orang Sodom dan Gomora itu sebagai hal yang benar. Inilah parosmia dosa, yang tidak benar dijadikan benar. Ketidaktaatan Lot dari awal dia mengikuti pamannya, Abraham, membuat dia terus terjebak dalam “kebenarannya” yang menyesatkan. Bukankah keadaan demikian juga sama dengan yang kita alami hari ini? Kehidupan kita yang tidak lagi bersekutu dengan Allah (kita mengabaikan persekutuan doa, membaca Alkitab, bertumbuh dalam keseharian melalui respons kepada firman Tuhan hari demi hari) membuat kita menempuh jalan pembenaran kita sendiri. Inilah parosmia dosa. Dan ini sangat menakutkan karena kita tidak akan merasa perlu untuk bertobat oleh karena kita menganggap yang kita lakukan itu benar. Suatu ironi yang patut kita tangisi. Adakah jalan kelepasan dari keadaan tersebut? Jelas ada. Allah sendiri menjaminnya melalui firman-Nya, “Oleh Injil itu kamu diselamatkan, asal kamu teguh berpegang padanya, seperti yang telah kuberitakan kepadamu – kecuali kalau kamu telah sia-sia saja menjadi percaya. Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah menampakkan diri kepada Kefas dan kemudian kepada kedua belas murid-Nya. Sesudah itu Ia menampakkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara sekaligus; kebanyakan dari mereka masih hidup sampai sekarang, tetapi beberapa di antaranya telah meninggal” (1Kor. 15:2-6).
Anosmia dan parosmia, karena COVID-19 dalam urusan mencium bebauan, bisa kembali normal seiring terjadinya pemulihan saraf penciuman. Namun anosmia dan parosmia dosa tidaklah bisa pulih dengan sendirinya. Hanya kuasa darah Kristus yang mampu memberikan pemulihan itu. Kristus sudah mati dan bangkit untuk mengalahkan kuasa dosa. “‘Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?’ Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia” (1Kor. 15:55-58).
Mari kita meminta kepada Tuhan agar kita memiliki kepekaan akan dosa. Tanpa kepekaan akan dosa, kita akan menjadi orang-orang munafik yang berbajukan kesalehan. Kiranya Allah berbelaskasihan kepada kita!
Diana Samara
Pembina FIRES