Boleh dikatakan tahun 2021 adalah Tahun Vaksin COVID-19. Bagaimana tidak, hampir seluruh negara yang ada di dunia menyelenggarakan vaksinasi untuk menangkal COVID-19. Negara-negara berlomba-lomba melakukan vaksinasi sebanyak mungkin bagi warganya secara gratis, kalau bisa seluruh warganya mendapatkan vaksin agar terhindar dari penyakit COVID-19 tersebut.
Apakah vaksin itu? Vaksin adalah suatu zat yang sengaja dibuat dan merupakan produk biologis yang berisi antigen, yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu, sehingga bisa mencegah terjangkit penyakit tersebut. Maka bila dilakukan vaksinasi dengan vaksin COVID-19, diharapkan tubuh orang tersebut berespons dan memunculkan antibodi untuk melawan virus SARS-CoV-2 bila tubuhnya terpapar virus tersebut.
Ada hal yang menarik bila kita mengamati pola tingkah manusia dalam berespons terhadap vaksin tersebut, khususnya di negara kita, Indonesia. Ada yang “mengejar” vaksin tersebut agar ia tidak tertinggal dalam mendapatkan vaksin. Ada yang cuek-cuek saja. Ada yang menanti sambil mencari tahu dari berita-berita yang dibacanya, apakah ada efek samping yang membahayakan nyawanya bila divaksinasi. Di sisi lain, ada yang terang-terangan menolak untuk divaksinasi karena takut terjadi sesuatu dengan dirinya akibat vaksin tersebut. Uniknya, baru kali ini nyaris semua orang memperhatikan atau peduli dengan vaksin. Padahal, sejak dahulu kala sudah ada berbagai macam vaksin yang diberikan kepada manusia, bahkan sejak bayi. Sebut saja vaksin BCG untuk TBC; vaksin DPT untuk difteri, pertusis, tetanus; vaksin MMR untuk measles, mumps, rubella; vaksin hepatitis untuk hepatitis B; dan sebagainya. Namun penggunaan vaksin-vaksin tersebut tidaklah seheboh vaksin COVID-19. Mengapa? Bukan saja karena zaman ini adalah zaman media sosial yang dengan cepat memengaruhi kita melalui berita yang ada-entah itu berita benar ataupun hoaks-tetapi juga karena kita ingin menyelamatkan diri dari kematian akibat COVID-19 tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa COVID-19 membuat nyaris semua manusia di dunia menjadi takut terkena penyakit ini karena risiko kematian yang ditimbulkannya.
Terlepas dari berbagai respons yang ada di tengah masyarakat, kita tahu bahwa tujuan seluruh negara di dunia melakukan program vaksinasi secara darurat (Emergency Use Authorization) ini, di bawah “komando” World Health Organization (WHO), adalah untuk menciptakan herd immunity. Herd immunity untuk COVID-19 adalah kekebalan secara berkelompok untuk mempersempit bahkan menghambat penyebaran virus SARS-CoV-2, penyebab penyakit COVID-19 tersebut.
Sayangnya, sebagai orang Kristen, terkadang kita berespons secara berlebihan terhadap keadaan ini. Kita menganggap bahwa setelah divaksinasi kita akan terhindar atau kebal terhadap COVID-19. Kita menganggap bahwa pelindung diri kita dari kematian karena COVID-19 adalah vaksin tersebut. Kita lupa bahwa hidup mati kita ada di tangan Tuhan. Vaksin hanyalah salah satu alat yang Tuhan pakai di masa pandemi ini untuk meminimalkan risiko terkena COVID-19, ataupun, bila terkena, meminimalkan risiko kematian. Namun vaksin bukanlah pelindung utama dan penentu hidup kita. Allah sanggup memutarbalikkan kondisi yang ada, karena Dialah penguasa hidup manusia. Faktanya adalah kita mendengar, atau mungkin mengalami dalam lingkaran sekitar hidup kita, bahwa orang yang sudah divaksinasi, baik itu satu dosis maupun sudah dua dosis, tetap bisa terkena COVID-19, bahkan meninggal. Sedangkan ada yang menjalani hidup apa adanya (seolah-olah tidak ada pandemi COVID-19) yang “aman-aman” saja. Apakah sebabnya?
Untuk itu, mari kita melihat dua kisah dalam Perjanjian Lama. Kisah pertama adalah tentang Abraham, Sara, dan Firaun (Kej. 12:10-20). Kisah ini menggambarkan bagaimana Abraham membawa Sara dan rombongannya meninggalkan tanah Negeb, sebab hebat kelaparan di negeri itu, menuju ke Mesir dan tinggal di situ sebagai orang asing. Singkat cerita, supaya dirinya selamat, Abraham mengajarkan Sara untuk berbohong kepada Firaun, bahwa Sara adalah adiknya. Di satu sisi memang benar Abraham dan Sara adalah bersaudara, yaitu dari satu ayah namun berbeda ibu. Namun di sisi lain Sara adalah istri Abraham. Demi ia tidak dibunuh karena Sara yang cantik tersebut adalah istrinya, maka ia mengajarkan Sara untuk berbohong. Bagaimanapun, separuh kebenaran tetaplah bukan kebenaran. Karena mengira Sara bukanlah istri Abraham, maka Firaun berencana menjadikan Sara istrinya. Firaun menyambut Abraham dengan baik-baik karena ia mengingini Sara, lalu Abraham mendapat kambing, domba, lembu sapi, keledai jantan, budak laki-laki dan perempuan, keledai betina, dan unta. Tetapi kemudian Tuhan menimpakan tulah yang hebat kepada Firaun, demikian juga kepada seisi istananya, karena Sara, istri Abraham tersebut. Firaun menjadi takut dan ia tidak jadi mengambil Sara sebagai istrinya. Ia menyerahkan kembali Sara kepada Abraham. Lalu Firaun memerintahkan beberapa orang untuk mengantarkan Abraham pergi, bersama-sama dengan istrinya dan segala kepunyaannya.
Kisah kedua adalah tentang Abraham, Sara, dan Abimelekh (Kej. 20:1-18). Kisahnya nyaris mirip dengan kisah antara Abraham, Sara, dan Firaun. Persoalannya sama, karena kecantikan Sara, maka Abimelekh, raja Gerar, ingin mengambil Sara. Dalam hal ini, Abimelekh percaya atas pengakuan Sara, bahwa ia adalah saudara Abraham. Sekali lagi di sini terlihat bahwa Abraham ingin menyelamatkan dirinya sendiri dengan mengorbankan istrinya, Sara. Namun Allah tidak membiarkan hal itu terjadi. Allah mendatangi Abimelekh pada waktu malam dan mengatakan bahwa Abimelekh harus mati bila ia mengambil Sara menjadi istrinya. Dalam hal ini, Abimelekh memang tidak bersalah karena ia mengira Sara adalah saudaranya Abraham. Abimelekh bertanya kepada Tuhan, “Tuhan! Apakah Engkau membunuh bangsa yang tak bersalah?” (Kej. 20:4). Oleh karena Allah mengetahui ketulusan hati Abimelekh tersebut, maka Allah tidak jadi menghukum Abimelekh, asal Abimelekh mengembalikan istri Abraham tersebut.
Dari dua kisah tersebut, kita mempelajari bahwa Allah sanggup mengintervensi setiap kehidupan manusia dengan cara-Nya untuk menolong umat-Nya. Kisah di mana tampaknya Sara tidak mungkin lepas baik dari cengkeraman Firaun maupun Abimelekh, toh Allah memakai cara-Nya untuk menolong Sara. Tujuan Allah menolong Sara bukanlah bagi kepentingan Sara semata, tetapi karena Allah hendak memakai Sara sebagai istri Abraham yang sah. Melalui Sara, Allah akan memberikan banyak keturunan Abraham, seperti pasir di laut dan bintang di langit. Keturunan Abraham inilah yang akan menjadi umat Allah.
Di sisi lain, kita pun bisa melihat bila waktu hidup kita sudah selesai di dunia ini, Allah akan mengakhiri kehidupan manusia di dunia, seberapa pun hebatnya manusia itu, atau baiknya manusia itu, atau sehatnya manusia itu. Alkitab banyak memuat kisah seperti ini. Saat waktunya tiba, maka Goliat harus mati di tangan Daud hanya dengan sebutir batu dari katapel yang diarahkan Daud ke dahi Goliat; sesuatu yang sangat mustahil di kondisi perang saat itu, di mana Daud berperawakan kecil dan tidak pernah ikut berperang, sedangkan Goliat berperawakan tinggi besar dan selalu menang perang. Toh Allah melakukan intervensi dengan memberikan ketepatan dan ketangkasan kepada Daud untuk membunuh Goliat (1Sam. 17). Demikian juga saat waktunya tiba, maka Ahab, raja Israel, harus mati di tangan musuh. Seorang prajurit dengan sembarang memanah ke arah musuh, dan mengenai raja Israel di antara sambungan baju zirahnya. Padahal raja Israel tersebut masuk dalam pertempuran dengan menyamar, tidak ada musuh yang mengenalinya (1Raj. 22:29-40).
Kiranya kisah-kisah tersebut menjadi pelajaran bagi kita. Allah selalu melakukan intervensi di dalam setiap peristiwa yang ada sekalipun peristiwa tersebut tampak natural, karena tidak ada peristiwa di dunia ini yang bisa terjadi tanpa campur tangan Allah. Demikian juga dengan iman kita kepada Allah di dalam masa pandemi ini. Di satu sisi, kita percaya Allah memelihara hidup kita. Tetapi di sisi lain, kita menaruh pengharapan hidup kita kepada vaksin atau vitamin-vitamin yang kita minum dengan pemahaman bahwa vaksin dan vitamin-vitamin tersebut akan melindungi kita dari COVID-19. Jadi bagaimana, apakah kita hanya percaya kepada Tuhan dan mengabaikan vaksin dan vitamin-vitamin tersebut? Atau kita tetap melakukan vaksinasi dan minum berbagai vitamin tersebut dengan harapan dapat meningkatkan imunitas kita sehingga tidak terkena COVID-19 sambil berdoa mohon pertolongan Tuhan? Respons sebagai orang Kristen tentunya bukan respons secara dualisme, tetapi berespons dengan satu pemikiran yang jelas: segala sesuatu ada dalam kedaulatan Allah.
Respons di dalam hidup kita termasuk di masa pandemi ini adalah respons terhadap kehendak Tuhan, apa pun itu caranya. Sandaran hidup kita bukanlah segala ciptaan yang ada di dunia ini, tetapi Allah yang kita percaya di dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Dalam menjalankan semua itu, kita percaya bahwa Allah akan melakukan intervensi dengan cara-Nya untuk menggenapkan kehendak-Nya di dalam hidup kita. Allah akan melakukan intervensi lewat vaksin atau obat-obat yang kita minum, tetapi Allah juga akan intervensi melalui cara lain seturut kehendak-Nya untuk menolong umat-Nya dalam menggenapkan kehendak-Nya di dunia ini, khususnya selama masa pandemi.
Sekali lagi ingat, seperti dua kisah di atas, intervensi Allah kepada umat-Nya tidak semata demi keselamatan umat-Nya, tetapi demi menyatakan kebesaran kemuliaan-Nya di muka bumi ini. Tidak ada peristiwa di dunia ini yang membuat Allah terkaget-kaget. Allah telah mengetahuinya dan Dia telah merancangnya untuk kemuliaan-Nya. Marilah kita menjadi manusia yang berbagian di dalam menggenapkan rancangan Allah. Menjadi alat di tangan Tuhan, dipakai untuk menyatakan kebesaran dan kemuliaan-Nya di masa pandemi ini. Intinya, bukan merasa “safe” karena sudah divaksinasi, lalu yang belum divaksinasi tidak merasa “safe”, tetapi kita bersandar sepenuhnya kepada Tuhan. Kita hanya menjalankan tugas tanggung jawab kita sesuai panggilan Tuhan di zaman kita berada, dan tidak bergantung kepada ada tidaknya pandemi ataupun ada tidaknya vaksin. Tentu saja kita memerlukan hikmat kebijaksanaan dalam menjalankan semua itu, dengan tidak melepaskan tanggung jawab kita dalam menyikapi kondisi pandemi COVID-19. Selain itu, aspek hidup manusia bukanlah hanya berurusan dengan COVID-19 semata. Masih banyak aspek hidup manusia lain yang harus diperhatikan, dan semuanya itu harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Firman Allah kepada Yesaya, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yes. 55:8-9), mengingatkan kita untuk sadar bahwa hidup manusia terbatas di dalam segala hal, termasuk terbatas di dalam melihat masa depannya, sehingga ia pun terbatas di dalam merancang hidup dan masa depannya. Berbagai alat atau produk yang ada di dalam “tangan” manusia adalah alat atau produk yang diizinkan Tuhan untuk dipakai oleh manusia sebagai respons hidupnya di hadapan Tuhan, bukan justru menaruh sandaran hidupnya pada alat-alat atau produk tersebut. Kiranya Allah menolong kita untuk berespons dengan benar selagi “hari masih siang”.
Diana Samara
Pembina FIRES