Tahun Kemakmuran
Bagi banyak orang, tahun 2025 adalah tahun yang indah, di mana kekristenan sedang mengingat 1.700 tahun sejak terjadinya Konsili Nikea pada tahun 325. Bagi yang belum mengetahui apa itu Konsili Nikea, mungkin kita dapat memahaminya sebagai sebuah pertemuan para pemimpin gereja seluruh dunia pada saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Konstantin untuk merumuskan doktrin-doktrin dasar iman Kristen. Peringatan akan Konsili Nikea menjadi sebuah momen dalam sejarah gereja (dan dunia) bagaimana kepercayaan iman Kristiani dirumuskan sebagai sebuah credo yang bersifat universal.
Pengakuan iman yang lahir dari konsili Nikea berdekatan dengan dicetuskannya “Pengakuan Iman Rasuli” yang diucapkan pada tiap Minggu, yaitu sebuah dasar pengakuan iman bagi gereja di seluruh dunia: Katolik Roma, Ortodoks Timur, Koptik Oriental (Mesir), Protestan-Reformatoris, dan juga bagi golongan Yahudi-Mesianik (orang Yahudi yang percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Mesias). Adapun demikian, konsili-konsili ekumenis yang datang dalam sejarah seperti Konsili Konstantinopel, Efesus, Kalsedon, dan lainnya bermula dari Konsili Nikea tersebut.
Ketika Arius mengajarkan bahwa Yesus hanyalah manusia yang dicipta, di situlah para pemimpin gereja seperti Athanasius dan para uskup dari wilayah Timur dan Barat berkumpul bersama dan berembuk merumuskan isi iman Kristen. Apa yang diakui sebagai “Pengakuan Iman Nikea” adalah sebuah hasil dari pengakuan iman awal-awal yang merumuskan ajaran kekristenan secara menyeluruh.
Pengakuan Iman Nikea:
“Aku percaya kepada satu Allah Bapa yang Maha Kuasa, pencipta langit dan bumi, dan segala yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.
Dan kepada satu Tuhan Yesus Kristus, satu-satunya Anak Allah yang diperanakkan, diperanakkan dari Bapa sebelum alam semesta, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah yang sejati dari Allah yang sejati, diperanakkan, bukan dicipta, sehakikat dengan Sang Bapa, oleh siapa segala sesuatu dicipta; yang untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita telah turun dari sorga, dan diinkarnasikan oleh Roh Kudus dari anak dara Maria, dan dijadikan manusia; Ia telah disalibkan, juga bagi kita, di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Ia menderita dan dikuburkan; dan pada hari ketiga Ia bangkit kembali, sesuai dengan kitab suci, dan naik ke sorga; dan duduk di sebelah kanan Bapa; dan Ia akan datang kembali dengan kemuliaan untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati; yang kerajaan-Nya tak akan berakhir.
Dan aku percaya kepada Roh Kudus, Tuhan dan pemberi kehidupan, yang keluar dari Bapa dan Anak, yang bersama-sama dengan Bapa dan Anak disembah dan dimuliakan, yang telah berfirman dengan perantaraan para nabi.
Dan aku percaya satu gereja yang am dan rasuli, aku mengakui satu baptisan untuk pengampunan dosa, dan aku menantikan kebangkitan orang mati, dan kehidupan di dunia yang akan datang.
Amin.”
Dapat dikatakan bahwa pada saat ini, kekristenan sedang mengalami sebuah “persatuan ekumenis” atau reunifikasi sekali lagi dalam perjalanan sejarah. Setelah lamanya terjadi pemisahan oleh sebab persoalan doktrinal dan konflik kepentingan manusia dalam sejarah gereja, dialog di dalam kalangan Kristiani sendiri sudah mulai terjadi. Persatuan yang terbentuk bukanlah tanpa sebab, di mana terjadinya krisis yang terjadi pada tingkat global, nyatanya hal itu menjadi sebuah titik kritis di mana umat Kristiani, yaitu gereja yang tidak terlihat, mulai memikirkan sebuah fellowship yang menyatukan terlepas dari latar belakang denominasi dan tradisi yang membatasinya.
Setelah 400 tahun semenjak peristiwa Reformasi Protestan dan Counter-Reformasi Katolik Roma, yaitu pada Perang Dunia Pertama dan Kedua, pengalaman perang melahirkan dua pemikir raksasa, J. R. R. Tolkien (seorang Katolik) dan C. S. Lewis (seorang Protestan-Anglikan) yang menulis karya The Lord of The Rings dan The Chronicles of Narnia sebagai ekspresi iman di mana terang akan mengalahkan kegelapan. Tolkien menginjili C. S. Lewis sehingga dia yang awalnya seorang atheis menjadi pengikut Yesus. Selanjutnya, pengalaman Perang Dingin di mana gereja Barat dipukul dengan sekularisme dan post-modernisme serta gereja Timur yang ditekan oleh atheisme dan komunisme, kedua pengalaman dari dua belah dunia mulai mengantarkan gereja Barat dan Timur untuk bersatu setelah mengalami Skisma sejak tahun 1054. Setelah ratusan dan ribuan tahun tubuh Kristus mengalami keterpisahan, sekarang kita hidup di suatu masa yang indah di mana terjadi persatuan seperti masa Gereja Mula-mula.
Berdasarkan hal itu, kita dapat memetik sebuah pembelajaran bahwa gereja sedang mengalami persatuan ekumenis di tengah dunia yang pernah, sedang, dan akan mengalami krisis global. Di mana ada krisis, di situ pengikut Yesus bersaksi. Dan di mana ada penindasan terhadap gereja, di situlah kita bertumbuh dan bersatu lebih dekat satu dengan yang lain. Sebagaimana Gereja Mula-mula mengalami pertumbuhan dan persatuan yang erat, demikian juga dengan umat Kristiani yang percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Tahun 2025 adalah momen persatuan kita, dan tahun-tahun setelahnya yang akan disertai dengan banyak krisis global dan nasional, itu menjadi momen di mana kita bersaksi, menjadi terang dan garam bagi dunia yang akan mengalami tahun-tahun kelaparan.
Tahun-Tahun Kelaparan
Tahun 2025 bukanlah sebuah saat yang mudah, dan itu bukanlah akhir dari segala sesuatu. Tahun-tahun yang akan datang justru akan menjadi lebih sulit lagi. Dunia sedang dikuasai oleh para strongmen, yaitu penguasa yang menggunakan tangan besi dan menjanjikan keamanan nasional di tengah dunia global yang sedang mengalami krisis perang militer dan perang dagang. Para strongmen, sebagaimana pernah berdiri pada Perang Dunia Pertama dan Kedua, akan berdiri dan memegang kendali dalam krisis dan potensi perang: Trump (Amerika), Putin (Rusia), Xi Jin Ping (Tiongkok), Netanyahu (Israel), dan lain-lainnya yang belum dapat disebutkan satu per satu dalam artikel ini.
Permasalahan ini adalah hal yang cukup serius. Seandainya dunia tidak berada dalam peperangan global oleh karena keberadaan seorang pemimpin di negara adidaya yang mengancam agar dunia tidak perang, itu pun hanyalah sebuah solusi sementara. Apa yang terjadi jika pemimpin tersebut yang sudah tua tiba-tiba sakit dan meninggal, atau terpaksa turun setelah masa jabatannya? Bukankah para pemimpin lainnya akan menantikan waktu untuk melanjutkan perang, setidaknya untuk meluaskan pengaruh dan wilayah penguasaannya? Perang Dingin tidak berhenti setelah tembok Berlin diruntuhkan. Setelah Perang Dingin, sebagaimana dijelaskan oleh Samuel Huntington dalam bukunya Clash of Civilizations, akan digantikan dengan perang kultural antara Barat, Timur, dan blok-blok lainnya. Ini baru urusan yang terjadi di luar negeri.
Bagaimana dengan Indonesia? Mungkin Indonesia menjadi sebuah negeri yang terlihat “aman-aman” saja, sebab di tengah perang dagang, baik kubu Barat maupun Timur sama-sama memandang Indonesia sebagai “lahan investasi”. Amerika menginvestasikan Netflix dan perangkat media teknologi, Tiongkok menginvestasikan infrastruktur keras dan uang, untuk memenangkan Indonesia di bawah pengaruh kedua negara adidaya tersebut. Ibarat sedang bermain futsal, Indonesia berada sebagai “penerima bola” yang tidak dapat dilawan sebab Indonesia adalah negara yang tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai “anak kecil” yang diberi permen agar dia mengikut salah satu dari kubu tersebut. Menariknya, “anak kecil” ini mempunyai jumlah populasi yang sangat besar, dan yang cukup menguntungkan bila dijalin hubungan kerja sama oleh negara-negara yang sudah “menjadi orang dewasa” tersebut.
Akan tetapi, “anak kecil” ini tetaplah anak kecil yang belum mampu berpikir matang. Kesehatan demokrasi yang diwarnai dengan politik identitas, ketegasan struktur hukum yang dapat digoyangkan dengan kepentingan oknum-oknum berkuasa, otot ekonomi yang bergantung pada “trading barang impor” dan belum memiliki kemandirian teknologi manufaktur yang kuat, semuanya itu menunjukkan bahwa Indonesia masih merupakan negara-bangsa yang rawan. Potensi krisis moneter global (debt crisis), potensi krisis militer global, potensi krisis pergantian roda kekuasaan di Indonesia, dan permasalahan politik identitas di negeri ini semuanya menjadi ramuan yang mematikan. Dari luar, di dunia global, akan terjadi perang kultural sebagaimana dijelaskan oleh Samuel Huntingan. Dari dalam, di ruang lingkup nasional, pergantian roda kekuasaan menurut golongan di masa pemerintahannya dapat menyebabkan permasalahan.
Semoga saja analisis pesimistis ini salah dan belum tentu terjadi. Andaikan saja itu tidak terjadi, maka hidup akan lebih baik. Akan tetapi, seandainya semua itu harus terjadi, maka kita harus siap. Tulisan ini bukanlah sebuah firman yang diilhamkan Tuhan melalui perantara para nabi dan rasul. Dengan mengidentifikasi isu-isu sosial secara sosiologis dan politis, sebetulnya kita dapat mengukur potensi bahaya dan menarik sebuah hipotesis terhadap konflik yang dapat berkembang. Bila kita mempelajari sejarah dan menemukan pola yang berulang, maka kita dapat menyiapkan beberapa hipotesis dalam mengantisipasi masa depan.
Menjadi Garam dan Terang
Menjadi garam dan terang dunia berarti kita menjadi saksi Kristus. Menjadi terang adalah menjadi saksi yang dilihat oleh banyak orang dalam menyatakan kebenaran di tengah kegelapan. Kejujuran dan kebenaran bukanlah sesuatu yang disukai oleh orang. Menjadi garam berarti menjadi berkat yang tidak terlihat, bekerja secara terselubung, dan menjadi saluran hidup bagi banyak orang. Kadang kala, peran sebagai seorang saksi bukanlah sesuatu yang mudah tetapi itu dibutuhkan.
Ketika Yusuf dipanggil dari penjara untuk menghadap Firaun, dia sedang bertatapan dengan seorang manusia paling berkuasa pada saat itu, yang dapat menentukan hidup dan mati. Menafsirkan mimpi Firaun bukanlah sesuatu hal yang mudah. Jika Yusuf berbohong demi menyenangkan hati Firaun, Yusuf sedang berbuat salah dan rencana untuk menyimpan makanan akan gagal. Jika Yusuf harus jujur menyatakan kebenaran meskipun itu dapat menyatakan “terang kebenaran” yang menyakitkan, Firaun bisa saja memerintahkan Yusuf masuk dalam penjara–atau lebih parah lagi, dihukum mati. Di tengah situasi terjepit itu, Yusuf tetap menyatakan kebenaran dalam hormat kepada tuannya, Firaun.
“Baiklah juga tuanku Firaun berbuat begini, yakni menempatkan penilik-penilik atas negeri ini dan dalam ketujuh tahun kelimpahan itu memungut seperlima dari hasil tanah Mesir. Mereka harus mengumpulkan segala bahan makanan dalam tahun-tahun baik yang akan datang ini dan, di bawah kuasa tuanku Firaun, menimbun gandum di kota-kota sebagai bahan makanan, serta menyimpannya. Demikianlah segala bahan makanan itu menjadi persediaan untuk negeri ini dalam ketujuh tahun kelaparan yang akan terjadi di tanah Mesir, supaya negeri ini jangan binasa karena kelaparan itu.” (Kejadian 41:34-36)
“mulailah datang tujuh tahun kelaparan, seperti yang telah dikatakan Yusuf; dalam segala negeri ada kelaparan, tetapi di seluruh negeri Mesir ada roti. Ketika seluruh negeri Mesir menderita kelaparan, dan rakyat berteriak meminta roti kepada Firaun, berkatalah Firaun kepada semua orang Mesir: ‘Pergilah kepada Yusuf, perbuatlah apa yang akan dikatakannya kepadamu. Kelaparan itu merajalela di seluruh bumi.’ Maka Yusuf membuka segala lumbung dan menjual gandum kepada orang Mesir, sebab makin hebat kelaparan itu di tanah Mesir. Juga dari seluruh bumi datanglah orang ke Mesir untuk membeli gandum dari Yusuf, sebab hebat kelaparan itu di seluruh bumi.” (Kejadian 41:54-57)
Jika dunia sedang menuju krisis global dan Tuhan telah memberikan Indonesia sebagai negara yang sangat makmur akan sumber daya alam, maka seharusnya Indonesia menjadi “Mesir” yang memberi makan kepada dunia yang akan ditelan dalam “kelaparan”. Akan tetapi, siapakah “Yusuf” itu yang akan memberi tahu bahwa kita harus menyimpan bahan persediaan? Di manakah orang-orang yang dipenuhi Roh Allah untuk menyatakan bahwa kita perlu bersiap sedia untuk masa-masa sulit yang akan datang? Di manakah para pemimpin dan penilik di tengah bangsa ini yang dapat mengajarkan untuk menyimpan seperlima (20%) dari pendapatan untuk menghadapi kekeringan yang datang di tahun-tahun kelaparan demi menjaga keluarga dan bangsa?
Bukankah itu seharusnya peran yang dijalankan oleh orang Kristen, para pengikut Yesus di tengah dunia ini? Ketika dunia akan jatuh dalam kesulitan, kita yang sudah dipersatukan dalam Kristus, apa pun denominasi dan tradisi gereja yang telah kita tempati, seharusnya bersatu dan bersaksi di tengah dunia yang akan mengalami kelaparan. Jika kita sudah dipersatukan melalui satu pengakuan iman, satu harapan, dan satu kasih dalam Kristus, maka kita sepatutnya menyatakan kasih yang sama kepada dunia. Justru ketika dunia akan jatuh dalam kelaparan dan kegelapan, terang Tuhan Yesus dalam diri kita, seharusnya menyinari dunia. Dan garam yang mengasinkan makanan di tengah kelaparan, akan memberikan rasa dan kesan kepada mereka yang bertemu dengan kita.
Oleh karena itu, mari kita umat Kristiani bersatu di tahun 2025 ini, dan menyiapkan hati untuk melayani Tuhan, gereja, dan bangsa kita – khususnya di tahun-tahun yang akan mendatang. Mari kita “tafsirkan” tahun-tahun kelaparan bukan sebagai sebuah tahun yang sulit saja. Akan tetapi, dengan bijaksana kita perlu memandangnya sebagai sebuah kesempatan di mana Allah bekerja melalui kita untuk menyatakan kasih-Nya kepada dunia. “Taklukanlah pikiran untuk dapat menjalani tanggung jawab dan mimpi. Dengan rendah hati membuat kita suatu hari, jadi pemimpin yang sejati. Pemimpin yang diperlukan punya kasih dan keadilan dalam perjalanan, teguhkan dan kuatkanlah hatimu.”
“supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Yohanes 17:21)
Kevin Nobel Kurniawan
Pemuda GRII Pusat