Inkarnasi, COVID-19, dan Pengikut Kristus

Apabila tahun 2020 dipersonifikasi sebagai manusia, ini seperti sepasang kekasih yang sudah merencanakan kencan yang indah, tetapi tiba-tiba ada kejadian yang tidak diduga, entah ada kaki yang terkilir atau pekerjaan mendadak dari kantor, dan sebagainya. Pada akhirnya seluruh rencana mereka untuk berkencan malam itu batal.

Memasuki awal tahun 2020, begitu banyak orang membuat New Year’s Resolution, rencana liburan bersama keluarga, rencana mengembangkan bisnis, rencana studi ke luar negeri, dan lain-lain. Banyak orang sudah memasang target ingin lakukan ini dan itu. Banyak orang sudah siap dengan agenda-agenda besarnya. Namun, dalam berapa bulan saja seluruh dunia berubah total. Ratusan ribu penerbangan dibatalkan, tempat-tempat rekreasi ditutup, miliaran manusia “dikurung” di rumah, ekonomi terus merosot, nyawa terancam, dan sebagainya. Rencana sudah disusun begitu indah, tetapi batal dalam waktu beberapa bulan saja karena virus kecil bernama SARS-CoV-2.

Perubahan ini terasa sampai pada bulan Desember. Bulan Desember menjadi salah satu waktu sepanjang tahun yang paling dinanti-nantikan banyak orang. Pada bulan ini ada Hari Natal yang disertai dengan adanya diskon besar-besaran, memasang pohon Natal dengan berbagai dekorasi, bertukar kado dengan sahabat, makan dan kumpul bersama keluarga, berlibur, dan segala kemeriahan lainnya. Ya, Natal menjadi hari di mana begitu banyak orang merayakannya sebagai hari penuh sukacita. Namun, Natal pada tahun 2020 tidak lagi sama dikarenakan virus kecil mematikan itu. Seluruh dunia dilanda perasaan khawatir, jenuh, kesal, bingung, dan takut. Dengan demikian, Natal 2020 tidak diwarnai kemeriahan, pernak-pernik, dan pesta. Sebaliknya, Natal 2020 menjadi hari yang sepi dan tidak meriah. Hari Natal yang sepi, tanpa perayaan, tanpa pesta, tanpa kemeriahan, apakah ini merupakan hal baru? Ya, ini merupakan hal baru bagi orang-orang yang sepanjang tahun menunggu datangnya Hari Natal sebagai hari libur dan bersenang-senang. Tidak, ini merupakan hal yang memang sewajarnya terjadi bagi orang-orang Kristen sejati, pengikut Kristus.

Pada hari ini terlalu banyak orang yang menamakan diri sebagai orang Kristen. Mendengar istilah “orang Kristen” sudah sangat klise. Namun, jika menggunakan standar Allah, berapa banyak orang yang sungguh-sungguh merupakan pengikut Kristus? Meminjam istilah dari Pdt. Stephen Tong, jika “dilihat dari takhta sorgawi”, siapa yang qualified disebut pengikut Kristus?

Menjadi pengikut Kristus bukan sekadar dengan percaya diri menyatakan, “Saya Kristen!” ketika ditanya orang. Menjadi pengikut Kristus bukan sekadar bernyanyi lagu-lagu rohani dan terharu karenanya. Menjadi pengikut Kristus juga bukan sekadar menyebarkan kutipan-kutipan Kristen melalui media sosial kita. Orang Kristen adalah pengikut Kristus, dan pengikut Kristus berarti menjadi “kristus-kristus kecil” di dalam hidup. Di dalam Yohanes 15:5, Kristus menyatakan, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya.” Ranting dari pohon anggur pasti menghasilkan buah anggur. Ranting dari pohon anggur tidak mungkin menghasilkan buah selain anggur. Maka, jika kita menamakan diri orang Kristen, pengikut Kristus, hidup kita adalah hidup yang harusnya menyatakan Kristus dan menjalankan apa yang Kristus lakukan. Kristus yang mana? Kristus yang inkarnasi.

Hari Natal telah diputarbalikkan 180 derajat menjadi hari senang-senang dan penuh kemewahan. Padahal, Alkitab menyatakan bahwa sejak Kristus lahir hingga akhirnya mati di Golgota, tidak ada kekayaan dan kemewahan yang melekat pada-Nya. Dalam situasi pandemi ini, Natal sekarang tidak mungkin mewah dan meriah seperti tahun-tahun sebelumnya. Kesulitan-kesulitan selama pandemi ini “mendesak” orang Kristen, pengikut Kristus zaman ini untuk merenungkan beberapa hal, khususnya dalam momen Natal:

1. Belas kasihan: Kristus memperhatikan orang miskin dan lemah.

Inkarnasi berarti Kristus tidak menghindarkan diri dari dunia yang cemar. Kristus bukan hanya “numpang lewat sebentar” ke bumi, lalu cepat-cepat kembali ke sorga. Sebaliknya, salah satu hal yang sering diperhatikan Kristus ketika di dunia ini adalah kelemahan dan kemiskinan yang dialami manusia. Karena itu, pengikut Kristus juga harus memiliki belas kasihan kepada orang dalam kesulitan. Untuk diri kita sendiri, Paulus mengatakan dalam 1 Timotius 6:8, “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.”

Bentuk perhatian Kristus kepada orang-orang yang lemah dan miskin merupakan salah satu manisfestasi dari gambar dan rupa Allah yang sejati. Manusia diciptakan dengan aspek relasi, dan melalui relasi ini manusia saling melengkapi dan menjadi berkat bagi sesamanya. Ketika manusia hidup secara egois, melupakan aspek ketersalingan ini, maka sebenarnya manusia itu sedang mengabaikan identitas dirinya sebagai gambar dan rupa Allah. Dengan demikian, cara hidup yang egosentris adalah cara hidup berdosa. Di dalam keberdosaannya, manusia pandai sekali mencari alasan untuk menghidupi dan menikmati keegoisannya tersebut.

Jika selama ini kita selalu merasa sibuk dalam pekerjaan, studi, ini dan itu, sehingga tidak ada waktu untuk memperhatikan orang lain, saat ini tidak ada alasan bagi kita untuk menghindar. Pandemi COVID-19 dilewati dengan berat oleh banyak orang. Orang yang di-PHK, orang yang tidak sanggup membeli makan, orang-orang yang sulit dalam hidup sehari-hari kini menjadi begitu nyata ada di sekitar kita. Pengikut Kristus, baik secara individu maupun sebagai tubuh Kristus (gereja), harus menyatakan belas kasihan melalui kepedulian kita kepada mereka yang lemah dan berkekurangan. Melaluinya inkarnasi menjadi tindakan nyata dalam kehidupan orang Kristen, yaitu bersedia menyatakan belas kasihan dan menolong mereka yang sulit. Kristus bahkan memberikan nyawa-Nya bagi orang yang paling hina seperti kita, mengapa sebagai pengikut Kristus, kita sulit untuk memberikan baik sedikit uang maupun makanan yang bahkan bukan berasal dari diri kita sendiri?

Namun, kita perlu dengan tajam membedakan kehidupan seorang filantrop dengan kasih seorang Kristen. Seorang filantrop membantu dan mengasihi orang lain karena hal itu memberikan kepuasan bagi batin mereka, sedangkan orang Kristen mengasihi orang lain karena Allah sudah terlebih dahulu mengasihi mereka. Letak perbedaannya adalah sumber dari kasih tersebut. Kasih dari seorang filantrop adalah kasih yang bersumber dari diri dan berbagi dengan orang lain karena hal ini dianggap bisa memberikan kepuasan bagi jiwa mereka. Sedangkan orang Kristen mengasihi karena Allah sudah terlebih dahulu mengasihi mereka sehingga jiwanya dipenuhi oleh kasih Allah, bahkan melimpah keluar memberkati orang lain. Kasih Allah yang berlimpah inilah yang menggerakkan hati seorang Kristen untuk mengasihi orang lain. Oleh karena itu, sebagai seorang yang sudah ditebus oleh Kristus dan menerima kasih Allah, kita sudah seharusnya berbagi dan menolong orang lain, menjadi berkat bagi orang lain sebagaimana yang Kristus telah lakukan kepada kita.

2. Penderitaan: Kristus rela menderita.

Kristus yang inkarnasi tidak lahir di sorga yang sempurna, tetapi di dunia yang terbatas, penuh ancaman, dan kekacauan. Kelahiran-Nya bukan di istana dengan pengamanan maksimum. Lukas 2:7 mengatakan bahwa tidak ada tempat bagi Dia setelah lahir, sehingga Maria membaringkan-Nya di palungan, tempat makan dan minum bagi hewan. Bahkan tidak lama setelah kelahiran-Nya, Herodes memerintahkan semua bayi laki-laki berusia dua tahun ke bawah dibunuh. Sejak kelahiran dan sepanjang hidup-Nya, Kristus terus menanggung penderitaan satu per satu sampai puncaknya mati disalibkan. Lalu, mengapa kita mati-matian menghindarkan diri dari penderitaan dan merasa tidak seharusnya kita menderita? Bukankah justru melalui penderitaan kita dapat belajar bergantung kepada Allah, belajar rendah hati, dan belajar untuk senantiasa melihat dan menyerupai Kristus?

Saat ini, dua ancaman yang paling nyata akibat COVID-19 adalah ancaman ekonomi dan ancaman kesehatan. Seluruh dunia mengalaminya, termasuk orang Kristen, entah PHK, pemotongan gaji, terancam tertular COVID-19, dirawat di rumah sakit, dan bahkan mengalami kematian. Dalam kondisi sulit, setan akan bekerja keras meruntuhkan iman orang Kristen sehingga akhirnya menghina Tuhan. Kesulitan akibat pandemi ini memang tidak mudah, sebab uang dan kesehatan adalah hal penting dalam kehidupan kita. Namun, mari kita belajar memperhatikan dan menolong orang yang kesulitan seperti Kristus yang menaruh kasih-Nya pada orang-orang demikian. Kemudian mari kita juga belajar untuk melihat bahwa Kristus menderita dan Dia tidak terkecuali, maka pengikut-Nya pun layak menderita. Apabila dalam penderitaan fisik pun kita tidak siap menanggungnya, bagaimana dengan ancaman penderitaan iman?

Sebagai orang Kristen pada abad ke-21 ini, kita sudah sangat terbiasa dengan Hari Natal yang mewah dan foya-foya. Orang Kristen lupa kalau Kristus lahir tanpa kemewahan dan pesta. Sebaliknya, Kristus inkarnasi dan Dia lahir disambut dengan ancaman kemiskinan dan kematian. Natal 2020 sudah pasti tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Kiranya ini menjadi momen bagi setiap orang Kristen untuk memikirkan kembali sebagai pengikut Kristus, siapakah Kristus yang dimaksud, apakah Kristus yang inkarnasi dan yang berbelas kasih kepada yang lemah serta dengan rela menanggung penderitaan, atau justru kristus palsu yang tidak pernah ada di dalam Alkitab karena hanya bicara berkat dan tidak pernah bicara penderitaan? Mari kita belajar untuk lebih perhatian kepada orang-orang di sekitar kita, khususnya mereka yang lemah pada saat pandemi ini, dan kita belajar untuk rela menanggung penderitaan bersama mereka. Sebab, hidup kita bukan hanya soal mendapatkan uang dan kesehatan saja, tetapi soal mengejar pengenalan sejati akan Kristus dan meneladani-Nya, termasuk melalui kelahiran-Nya.

Sharon Nobel

Pemudi GRII Bandung