Bulan September adalah Suicide Prevention Awareness Month. Belakangan ini, kita makin melihat maraknya gejala depresi dan pemikiran bunuh diri, khususnya pada kalangan anak muda di tengah masyarakat kita. Ketika kita melihat berita di media sosial, miris sekali rasanya melihat adanya keberadaan orang yang pernah mencoba melakukan self-harm, cutting, dan juga berbagai jenis perilaku yang dapat membahayakan baik diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, artikel akan disusun dalam sebuah dialog dengan seorang psikolog profesional yang secara khusus melayani individu yang mengalami gejala bunuh diri. Ibu Hani Kumala adalah seorang psikolog Kristen yang lama menggumuli kebatinan manusia dan bagaimana kita dapat mengalami pemulihan dalam Tuhan.
Dalam kesempatan ini, tokoh psikologi yang akan didalami adalah Marsha Linehan. Linehan adalah penemu terapi perilaku dialektis atau Dialectical Behavioral Therapy (DBT) yang menjadi salah satu pendekatan mutakhir dalam menangani gejala bunuh diri. Marsha Linehan sendiri banyak mempelajari Zen Buddhisme dan menerapkannya ke dalam terapi yang dikembangkannya. Perlu dicatat juga bahwa pendekatan dialektis dalam menyeimbangkan penerimaan (acceptance) dan perubahan (change) cukup banyak digunakan dalam terapi psikologi sekuler. Dalam beberapa hal, terdapat irisan antara pendekatan ini dan ajaran ragam keagamaan. Artikel ini mencoba untuk menawarkan sebuah penafsiran terhadap pendekatan psikologi melalui iman Kristen.
Mengenai Dunia Psikologi
Ketika masuk psikologi di tingkat sarjana (S1), itu tidak sesuai harapan. Belajar angka-angka, tabel, rumus, dan mencatat tingkah laku seseorang. Melihat berapa kali dia garuk hidung, berapa kali dia lipat tangan. Betul-betul tidak sesuai ekspektasi. Namun, itu adalah basic skill yang betul-betul menjadi dasar menjadi seorang psikolog. Saat lulus magister (S2), ternyata juga masih merasa kosong tetapi lebih banyak “modal”. Tiap psikolog ada “jurus” atau pegangan ilmu yang mau dipakai dalam dunia klinis, yaitu bentuk terapi yang akan dia terapkan. Ada Cognitive Behavioral Therapy (CBT), ada Acceptance Commitment Therapy (ACT), dan lain sebagainya. Pada awalnya, saya tidak pernah mendengar tentang Dialectical Behavioral Therapy (DBT) sama sekali.
Pada suatu hari, ada sebuah seminar yang harganya 100 ribu. Saya mengikuti seminar itu, untuk “intip-intip” materinya, ternyata sangat menarik. Lama-lama jalannya kebuka, saya menjadi asisten bagi narasumber, dan akhirnya mendalami DBT itu sendiri dengannya secara privat. Lalu, saat pandemi COVID-19, saya mulai ikut kursus online. Saya diberikan stipendium untuk mengikuti berbagai acara webinar, mengikuti intensive course, mengikuti supervisi, ambil kasus, dan akhirnya makin mendalami DBT. Tidak terasa, ini sudah tahun ke-6 saya bekerja sebagai psikolog klinis. Saya dipimpin Tuhan untuk berkenalan dengan orang-orang yang mendalami ilmu psikologi, terapi, dan lain sebagainya. Dan akhirnya saya mengambil konsentrasi di Dialectical Behavioral Therapy (DBT) atau terapi perilaku dialektis.
Ternyata salah satu hal yang saya suka tentang DBT adalah sejarah terbentuknya terapi itu sendiri. Yang mengembangkan terapi tersebut adalah seorang believer, yaitu seorang pengikut Yesus, namanya Marsha Linehan. Saat remaja, dia dirawat di rumah sakit jiwa selama 2,5 tahun. Di tengah situasi itu, dia berjumpa dengan Tuhan. Dia mengikat sebuah janji, “Tuhan, saya akan keluar dari neraka, dan saat saya sudah keluar, saya akan kembali dan menjemput orang lain bersamaku.” “Neraka” yang dimaksud bukan rumah sakit jiwa, tetapi pengalaman batinnya, yaitu gangguan jiwa yang sangat tidak stabil. Berkali-kali dia mencoba bunuh diri, self-harm, dan lain sebagainya. Pada suatu ketika, dia sedang berdoa di gereja dan seluruh atmosfer dan ruang itu dipenuhi dengan sinar cahaya. Saat itu, Marsha Linehan menyadari bahwa Allah mencintainya. Terapisnya yang adalah seorang atheis berkata, “Aku adalah atheis. Saya tidak paham tentang apa yang terjadi pada dirimu, tetapi kamu tidak perlu mengikuti terapi lagi.” Sekarang, dia adalah seorang profesor di bidang psikologi, dan terapinya telah menyelamatkan ratusan ribu jiwa di seluruh dunia, khususnya bagi mereka yang mengalami gejala bunuh diri.
Mengenai Gejala Bunuh Diri
Tidak semua orang yang berniat bunuh diri sebenarnya ingin benar-benar mati. Terkadang, mereka merasa terlalu lelah dengan kehidupan dan mendambakan istirahat. Namun mereka menyadari bahwa selama masih hidup, tidak ada istirahat yang benar-benar menyeluruh. Dalam kondisi tersebut, mereka melihat kematian sebagai jalan menuju istirahat kekal, sebuah pelarian dari semua masalah yang mereka hadapi. Sayangnya, mereka tidak menemukan cara lain untuk meredakan kelelahan yang dirasakannya.
Ada juga orang yang berpikir untuk bunuh diri sebagai cara untuk memberi hukuman kepada mereka yang masih hidup. Mereka merasa tidak mendapatkan perhatian yang cukup atau tidak sama sekali selama hidupnya. Dengan bunuh diri, mereka berharap orang-orang yang masih hidup akan menyesali tindakan mereka setelah kehilangan dirinya.
Di sisi lain, ada individu yang benar-benar ingin mengakhiri hidup mereka tanpa memikirkan konsekuensi yang akan terjadi kemudian. Kebanyakan dari mereka tidak sadar bahwa akan ada kehidupan setelah kematian. Mereka merasa hidupnya sudah gagal dan tidak berarti, sehingga putus asa dan berpikir bahwa cara terbaik adalah menghilangkan atau memusnahkan diri mereka sendiri.
Secara umum, ada gejala-gejala awal atau deteksi dini yang dapat menunjukkan bahwa seseorang mengalami gangguan kesehatan mental, termasuk keinginan untuk bunuh diri. Gejala-gejala ini dapat terlihat melalui perubahan signifikan dalam beberapa aspek kehidupan seseorang.
Pertama, perubahan pada proses berpikir. Misalnya, seseorang yang sebelumnya mampu berkonsentrasi di kelas tiba-tiba menunjukkan kesulitan dalam berkonsentrasi. Kedua, perubahan dalam perasaan atau emosi. Contohnya, seseorang yang sebelumnya jarang terlibat dalam pertengkaran, kini menjadi lebih sering adu mulut. Ketiga, perubahan dalam kehidupan relasi sosial. Seseorang yang biasanya ceria dan suka makan siang bersama teman-teman, kini lebih sering menyendiri dan menjadi pendiam. Keempat, perubahan dalam perilaku. Seseorang yang sebelumnya jarang menangis dan rajin bekerja, kini menjadi mudah menangis dan sering kali menunda pekerjaan dengan berbagai alasan.
Jika gejala-gejala tersebut sudah muncul, hal ini perlu mendapat perhatian serius. Secara khusus terkait dengan bunuh diri, tanda-tanda yang muncul bisa sangat bervariasi. Mereka mungkin mengungkapkan keinginan untuk bunuh diri dalam bentuk terselubung, seperti sering mengatakan, “Aku sudah capek, saya mau istirahat,” dan kalimat ini diucapkan berulang kali. Ada juga yang secara terang-terangan mengatakan bahwa mereka ingin mati.
Keinginan untuk bunuh diri menjadi lebih serius jika mereka mulai membeli barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri, seperti tali atau bahan beracun. Kadang, tanda-tanda ini dapat terlihat, tetapi sering kali tidak terlihat. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan sejak awal jika ada perubahan dalam empat aspek tadi, karena hal ini bisa menjadi tanda bahaya.
Jangan pernah mengabaikan jika ada orang yang mengatakan, “Aku mau mati.” Meskipun mungkin kalimat tersebut sudah sering diucapkan dan terdengar seperti ancaman belaka atau sekadar mencari perhatian, tetap saja hal ini memerlukan perhatian. Logikanya, jika hidup seseorang baik-baik saja, mereka tidak akan mengancam bunuh diri. Jadi, meskipun ancaman tersebut berulang dan tidak selalu dilakukan, tetap ada makna di baliknya yang perlu diperhatikan. Lihatlah lebih jauh daripada apa yang terlihat oleh pancaindra.
Dialectical Behavioral Therapy (DBT)
Ada sebuah terapi yang sangat berguna untuk menolong mereka yang mengalami gejala bunuh diri. Terapi Perilaku Dialektis atau Dialectical Behavioral Therapy (DBT) adalah sebuah terapi yang menerapkan pendekatan dialektis. Yang dimengerti sebagai “dialektis” adalah mencoba untuk melakukan penyeimbangan antara dua hal yang terkesan saling bertolakbelakang. Dalam hal ini, individu yang mengalami gejala bunuh diri diarahkan untuk belajar melakukan penerimaan (acceptance) sekaligus di saat yang sama belajar untuk berubah (change). Pada satu sisi, dia harus menerima keadaan dan mengakui segala hal yang pernah terjadi di masa lampau. Akan tetapi, di sisi yang lain, dia perlu bergerak untuk berubah menjadi lebih baik. Justru karena dia sudah menerima dirinya sendiri apa adanya, makanya dia ingin membuat dirinya menjadi lebih baik. Sintesis antara penerimaan dan perubahan merupakan bagian dari proses terapi ini.
Apabila kita hanya menerima keadaan tanpa melakukan perubahan, maka kita hanya dapat “menonton” situasi hidup seseorang dan membiarkan dia terikat dalam penderitaan. Kita dapat memberi validasi terhadap pengalaman hidup seseorang, tetapi jika kita membenarkan tindakannya yang salah karena masa lampau, maka itu adalah sebuah pembiaran. Sebaliknya, jika kita hanya menuntut perubahan saja, maka individu akan merasa dihakimi, ditolak, dan ditekan oleh tuntutan-tuntutan untuk berubah. Pendekatan dialektis ini sebetulnya mengarahkan individu untuk lebih melihat situasi hidup secara utuh. Melihat tentang apa yang kurang dari masa lampau, dan bergerak untuk melengkapi apa yang dapat dilakukan untuk masa depan. Kekurangan dan kelebihan, kelemahan dan kekuatan, semuanya ini adalah bagian dari kehidupan. Tanpa adanya kelemahan, maka sebetulnya hidup tidak akan menjadi utuh. Hidup yang utuh adalah hidup yang mencoba untuk mengubah kelemahan menjadi bagian yang indah bagi yang lain.
Marsha Linehan menggunakan DBT sebagai sarana untuk menolong individu-individu yang mengidap gejala bunuh diri. Pada umumnya, individu yang mengalami gejala seperti demikian mengidap kepribadian ambang (borderline personality). Dalam satu tahun, sekitar 77% dari individu yang melalui proses terapi ini akan mengalami pemulihan dari gejala bunuh diri.[1] Secara empiris dan penelitian ilmiah, terapi yang melibatkan validasi (acceptance) dan upaya untuk berubah menjadi lebih baik (change) adalah salah satu pendekatan terbaik, sehingga DBT dapat dikatakan sebagai sebuah “Cognitive Behavioral Therapy yang baru” dalam dunia psikologi.
Pada zaman dahulu, obat-obat kimia seperti antidepresan dan antipsikotik belum mampu menyelesaikan masalah ini, dan pendekatan yang dikembangkan oleh Freud dan para psikoanalisis juga belum mampu menolong individu dengan gejala seperti itu. Kendati demikian, dengan kontribusi dari Marsha Linehan, ratusan ribu sampai jutaan manusia telah mendapatkan manfaat dan pemulihan dari terapi yang dikembangkannya. Pada umumnya, terapi seperti ini sangat efektif dan terbukti menolong orang-orang yang pernah mengalami abuse. Entah itu mereka yang berasal dari keluarga yang diwarnai dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perundungan dan pelecehan, kelompok minoritas seksual (LGBTQ+), dan lain sebagainya.
Biasanya individu yang mengalami gejala bunuh diri atau kepribadian ambang akan mempunyai cara berpikir splitting. Cara berpikir hitam putih seperti “kalau orang tidak mutlak sempurna dalam kebaikannya, maka dia pasti jahat sekali”. Pola berpikir seperti demikian menjadi mekanisme pertahanan untuk melindungi diri. “Orang lain harus betul-betul baik, maka saya aman. Jika dia sedikit salah, maka dia pasti jahat. Dan saya harus melindungi diriku dengan menjauhi dan menyerangnya terlebih dahulu.” Itulah sebabnya orang terdekat di keluarga atau teman-temannya bisa merasa bingung. Mengapa di suatu waktu, individu tersebut bisa sangat ceria tetapi langsung menjadi sedih dan marah hanya karena hal-hal kecil. Mood swing yang sedemikian cepat menyebabkannya menjadi sulit dipercaya dan ditakuti oleh orang lain. Dia memasang ekspektasi yang sedemikian tinggi kepada orang lain dan dirinya sendiri. Ketika dia atau orang lain gagal, maka dia akan mengeluarkan sikap menghakimi sebagai bentuk pelampiasan emosional. Padahal itu adalah proyeksi, yaitu kegelapan dalam dirinya yang mewarnai kehidupannya, sehingga dia melihat orang lain sebagai kegelapan yang menakutkan.
Marsha Linehan dalam bukunya, Building a Life Worth Living, menyatakan bahwa setiap nyawa manusia adalah hal yang berharga, tetapi pengalaman hidup dalam nyawa tersebut tidak selalu demikian. Proses pemulihan adalah untuk mengantar pengalaman yang sulit kepada jalan hidup yang semestinya. Salah satu contoh keterampilan (skill) yang diajarkan adalah Wise Mind (pikiran yang bijak). Setiap manusia mempunyai akses untuk bersikap dan berpikir dengan bijak. Di satu sisi, kita mempunyai pola berpikir emosional (emotional mind) yang sangat dinamis dan panas. Di sisi lain, kita mempunyai pola berpikir rasional (rational mind) yang stabil dan dingin. Diri manusia yang sejati (true self) dapat ditemukan pada irisan antara sisi emosional dan rasional, yaitu pada sisi bijak kita. Kita boleh merasa kaget dan marah ketika ada satu piring jatuh dari meja, tetapi kita bisa menyeimbangkan dengan sisi rasional kita bahwa serpihan piring yang ada di lantai perlu dibersihkan.
Demikian juga prinsip hidup dan pola berpikir ini dapat kita bawa dalam keseharian kita. Cara berpikir seperti demikian akan sangat membantu individu tersebut untuk menerima kenyataan yang memiliki warna hitam (kurang baik) dan putih (baik), dan itu membuatnya menjadi lebih stabil, seimbang, dan utuh. Hal ini serupa dengan kehidupan orang Kristen yang diterima sebagai seorang pendosa (acceptance) sekaligus ditebus dan diubahkan untuk menjadi makin serupa dengan Kristus (change). Dengan menerima diri sebagai pendosa yang ditebus (saint & sinner), sebagai yang terbatas (necessity) dan yang dimungkinkan untuk kekekalan (possibility), sebagai manusia berdosa sekaligus yang dikasihi oleh Allah yang tidak terbatas, kita belajar untuk menerima diri sendiri. Tuhan mau menerima setiap sisi diri kita, termasuk yang paling gelap sekalipun. Maka, tidak ada keputusasaan (despair) yang sebetulnya dapat memisahkan kita dari Allah, sebab Allah telah mengasihi diri kita sampai berkorban mati di kayu salib untuk kita. Itulah diri kita yang sejati (true self), gambar rupa Allah yang berharga dalam diri manusia.
“Acceptance can transform but if you accept in order to transform, it is not acceptance. It is like loving. Love seeks no reward but when given freely comes back a hundredfold. He who loses his life finds it. He who accepts, changes.” – Marsha Linehan
Testimoni Pemulihan
Seorang klien berusia sekitar 21 atau 22 tahun, seorang mahasiswa di salah satu kampus terbaik di Bandung, merupakan individu yang sangat cerdas dan genius. Saat memulai konseling, terungkap bahwa ia telah menjalani berbagai terapi selama bertahun-tahun. Terapi yang dilaluinya mencakup pengobatan medis, rawat inap, TMS (Transcranial Magnetic Stimulation, terapi aliran listrik ringan untuk bagian tertentu di otak yang tidak menyakitkan), bahkan mencoba berbagai metode alternatif. Namun, keinginan untuk bunuh diri dan melukai diri sendiri masih sangat kuat. Kedua lengan bagian bawah dan atas, baik sisi luar maupun dalam, serta paha atas kanan dan kiri, hampir seluruhnya dipenuhi bekas sayatan. Hampir tidak ada bagian kulit yang tidak terdapat bekas luka.
Dalam terapi Dialectical Behavior Therapy (DBT), ia diajari teknik mindfulness dan regulasi emosi. Terungkap bahwa sejak kecil, ia sering dibandingkan dengan kedua kakaknya. Selain itu, ia pernah mengalami pelecehan saat kecil, yang membuatnya hingga saat ini merasa tidak nyaman berada dekat dengan laki-laki. Ia sering merasa dinilai sebagai perempuan yang genit, penggoda, atau perayu, sehingga ia mengembangkan rasa tidak suka terhadap dirinya sendiri. Selalu merasa dirinya buruk. Berdasarkan observasi, ia tampak mengenakan jilbab saat sesi konseling di Google Meet, namun dalam data dirinya tertulis bahwa ia beragama Kristen.
Sepanjang sesi, ia sering menyebut kasih Tuhan Yesus dan rencana-Nya. Setelah dikonfirmasi, ternyata ia berasal dari keluarga Muslim yang sangat kuat, dan keluarganya adalah penganut agama Islam yang taat. Namun, saat berkuliah di Surabaya, ia menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Awalnya ia berasal dari Lamongan dan berkuliah di Fakultas Kedokteran di Surabaya. Setelah menyelesaikan kuliah, ia kembali ke kampung halamannya, tetapi merasa kehilangan komunitas karena tidak berani mengungkapkan identitas barunya, mengingat keluarganya merupakan tokoh agama.
Dalam sesi terakhir, kami membahas ayat Yesaya 43:4. Mungkin itu adalah kali pertama ia membaca ayat tersebut. Ia merasa sangat lega dan menyatakan bahwa akhirnya ia menemukan jawaban atas pencariannya selama bertahun-tahun. Ia merasa bahwa Tuhan Yesus sangat mengasihinya, dan melalui pemahaman ini, ia tidak lagi melihat dirinya sebagai wanita yang tidak berharga. Pada sesi ini, ia juga menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan kuliah di Surabaya agar dapat kembali memiliki komunitas yang mendukung. Baginya, ayat Yesaya 43:4 telah membuka matanya akan betapa berharganya dirinya di mata Tuhan:
“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu.”
Mesias yang Menyelamatkan
Dalam kisah Kitab Suci, ada seseorang yang mengalami gejala bunuh diri dan luka batin seperti demikian. Perempuan Samaria yang berjumpa dengan Tuhan Yesus dalam Yohanes 4 adalah contoh kasus paling dekat dengan individu-individu yang terluka. Bisa jadi, dia tidak mempunyai figur ayah yang mencintainya atau mengalami pelecehan seksual, sehingga dia terus-menerus mencarinya dari suami pertama sampai kelima. Dia berharap untuk menemukan seorang pria yang dapat mengasihinya, untuk mencegah rasa bunuh diri dan kebencian diri itu merasuki dirinya, tetapi hanya untuk dikecewakan berkali-kali. Itu pun dengan pria yang baru dalam Hubungan Tanpa Status (HTS), dia masih berada dalam posisi uji coba karena sudah dilukai kesekian kali.
Pada suatu hari, ada seorang pria Yahudi yang datang kepadanya untuk meminta air minum. Di antara semua pria yang melihat perempuan ini sebagai “perempuan rendahan”, dan para wanita yang menggosipkan keburukan perempuan ini, ternyata ada seorang pria yang merendahkan diri-Nya untuk meminta pertolongan kepada seseorang seperti itu.
Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.) Jawab Yesus kepadanya: “Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup” (Yoh. 4:9-10). Ketika perempuan itu mendengar “janji manis” yang diberikan oleh Yesus, dia menginginkannya. Dia sudah sangat haus, bukan hanya untuk mendapatkan air hidup demi menghindari gosip-gosip dan cibiran, tetapi mencari apa yang selama ini tidak pernah dia dapatkan: cinta kasih. Dia ingin diperhatikan oleh pria-pria, ingin merasa eksis dan divalidasi keberadaannya oleh orang lain. Akan tetapi, seperti biasanya yang sudah sering dikecewakan, dia meragukan apakah sungguh betul manusia Yahudi itu bisa memberikan yang dia idamkan selama ini.
Kata perempuan itu kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau memperoleh air hidup itu? Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya?” (Yoh. 4:11-12). Apakah Tuhan bisa mengembalikan saya untuk tidak dicibir oleh sesama perempuan di Samaria? Apakah Tuhan bisa membebaskan saya agar saya bisa mendapatkan cinta kasih dari seorang pasangan hidup?
Jawab Yesus kepadanya: “Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal” (Yoh. 4:13-14). Seandainya perempuan itu mendapatkan seorang pasangan hidup, itu pun tidak akan memuaskan dahaga batinnya. Bahkan setelah dia tidur bersama sang pria untuk “menguncinya” dalam sebuah komitmen, dia akan merasa bahwa suatu saat dia akan ditinggalkan. Dan sebelum dia ditolak, maka perempuan ini akan menolak sang pria itu. Dia bisa selingkuh lebih dahulu, berkhianat lebih dahulu untuk mencegah dirinya ditolak dan dikuasai oleh rasa bunuh diri, hanya untuk menyesal berkali-kali setelah itu.
Kata perempuan itu: “Aku tidak mempunyai suami.” Kata Yesus kepadanya: “Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar.” Kata perempuan itu kepada-Nya: “Tuhan, nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi” (Yoh. 4:17-19). Ketika Tuhan Yesus membuka keaslian dari kebobrokan dosanya, dosa yang diperbuat orang lain terhadapnya, dosa yang dia perbuat kepada orang lain, di situlah si perempuan Samaria merasa terbongkar. Akan tetapi, itu pun dia masih belum mampu sungguh-sungguh mengakui. Untuk menutupi rasa malu, dia “memuji” Yesus, bukan supaya dia jujur terhadap dosanya, tetapi supaya dia terlihat cerdas secara theologis, dan disenangi oleh sang nabi. Sikap manipulatif yang lahir dari rasa takut dan harga diri yang rendah menyebabkan dia susah jujur terhadap dirinya dan khawatir bahwa Allah tidak akan mengampuninya.
Jawab perempuan itu kepada-Nya: “Aku tahu, bahwa Mesias akan datang, yang disebut juga Kristus; apabila Ia datang, Ia akan memberitakan segala sesuatu kepada kami” (Yoh. 4:25). Ya memang betul sih, engkau adalah nabi. Seorang ahli Taurat bisa mendeskripsikan apa yang bersih dan kotor, seorang nabi dapat menamakan siapa yang bersih dan kotor. Sebagai nabi, engkau dapat memberi diagnosis, label, dan bahkan terkesan menghakimi, tetapi tidak dapat menyelamatkan. Hanya seorang Mesias yang dapat menyelamatkan, bukan? Kalau engkau tidak bisa melakukan apa-apa untuk memulihkan aku, sudahlah percuma dengan semua ini. Saya sudah minum banyak obat, bertemu banyak psikolog dan psikiater, konselor dan hamba Tuhan, tetapi di manakah Tuhan yang meninggalkan saya itu?
Kata Yesus kepadanya: “Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau” (Yoh. 4:26).
Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ: “Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?” (Yoh. 4:28-29).
Semenjak dia dijamah Tuhan, dia meninggalkan tempayannya, dia meninggalkan dirinya yang lama. Dia tidak lagi takut akan cibiran dan gosip mak-mak, kepada cowok-cowok yang dipandangnya sebagai buaya, dan dia tidak lagi takut kepada dirinya sendiri. Dia sudah menjadi diri yang diselamatkan oleh Tuhan Yesus. Dan hidupnya yang telah menerima air hidup yang kekal mengalir kepada orang-orang di seluruh kota itu. Satu kali pertemuan dengan Allah, cinta kasih yang kekal mengubahnya menjadi utuh kembali.
Kisah perempuan Samaria bukan kisah orang yang mengalami gejala bunuh diri ataupun yang mengalami masalah luka batin saja. Itu adalah kisah kita semua sebagai manusia berdosa. Sebagai Gomer, perempuan sundal yang ditebus oleh Hosea. Sebagai gereja yang dibeli oleh darah Anak Allah yang sangat amat mahal. Bukan karena perbuatan baik maka kita lebih baik, dan bukan karena perbuatan buruk sehingga kita tidak layak dikasihi. Cukupkanlah dirimu dalam kasih Allah yang kekal. Tidak ada luka batin atau dosa yang demikian gelap dan dalam sampai saja Tuhan tidak sanggup untuk menyelamatkan.
There is nothing you can ever do
To make God love you more than He does right now
And there is nothing you can ever do
To make Him stop, this is the love of God.
Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu? Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku. Jika aku berkata: “Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam,” maka kegelapan pun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang.” (Mzm. 139:7-12)
Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Rm. 8:38-39)
Hani Kumala
Kevin Nobel Kurniawan
September 2024
Referensi
Linehan, Marsha. (2020). Building a Life Worth Living: A Memoir. Random House.
Linehan, Marsha. (2015). DBT Skills Training Manual (2nd ed.). Guilford Press.
Kierkegaard, S. (1983). The Sickness unto Death (H. V. Hong & E. H. Hong, Trans.). Princeton University Press. (Original work published in 1849).
Situs Internet
[1] https://www.mhs-dbt.com/blog/dbt-and-borderline-personality-disorder/#:~:text=these%20conditions%20experience.-,While%20DBT%20cannot%20cure%20BPD%2C%20it%20is%20proven%20effective%20for,year%20of%20treatment%20with%20DBT.