Buletin PILLAR
  • Transkrip
  • Alkitab & Theologi
  • Iman Kristen & Pekerjaan
  • Kehidupan Kristen
  • Renungan
  • Isu Terkini
  • Seni & Budaya
  • 3P
  • Seputar GRII
  • Resensi
Isu Terkini
Wayang dan Dalang

Kegelapan Di Balik Janji Emas: Tanggapan Calvin dan Kuyper terhadap Kekuasaan Jawa

15 Maret 2025 | Kevin Nobel 24 min read

Belakangan ini muncul sebuah kabar berita mengenai “Indonesia Gelap” sebagai sebuah diskursus tandingan terhadap “Indonesia Emas”. Berbagai keresahan yang muncul di tengah pusat kota yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat umum merupakan sebuah protes dan kritik terhadap pemerintah Indonesia yang sudah berjalan 100 hari, yang pada satu sisi mencoba untuk menerapkan janji politik pada masa kampanye sekaligus menerapkan program “efisiensi” yang menghambat pelayanan publik, menutup jadwal baca dalam perpustakaan nasional dan universitas, dan lain sebagainya. Hal itu belum terhitung dengan kasus korupsi yang merugikan negara sebesar satu kuadriliun (15 nol) dalam sebuah perusahaan milik negara, mundurnya para investor dari Indonesia, mangkraknya proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal, dan masih ada yang lain-lain. Di tengah kericuhan seperti ini, muncul sebuah pemikiran yang bersuara: “Apakah betul Indonesia sedang menuju Indonesia Emas 2045 kalau pada tahun 2025 saja sudah mengalami kegelapan? Jika tahun 2025 saja adalah permulaan krisis, apa jadinya di tahun-tahun yang akan datang?”

Dalam artikel ini, saya akan mencoba untuk memberikan sebuah tanggapan kritis dan reflektif sebagai seorang warga negara dan pengikut Yesus terhadap permasalahan sosio-politik dan kondisi ekonomi di Indonesia. Berlanjut dari artikel sebelumnya pada tanggal 9 Februari 2024 (sebelum pilpres) dan 28 Agustus 2024, di Tengah Pertigaan dan Lembu Emas Indonesia, tulisan ini merupakan sebuah “evaluasi ulang” terhadap pemerintahan sebelumnya, dan juga merupakan sebuah tanggapan terhadap pemerintahan yang sedang berjalan pada saat ini.

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan di mana posisi dan peran gereja, yaitu sebagai warga negara Kerajaan Allah, terhadap kondisi sosio-politik. Saya akan mengacu kepada pemikiran John Calvin dan Abraham Kuyper dalam menanggapi budaya dan dinamika politik di Indonesia. Untuk memahami dinamika kekuasaan, kita perlu bersikap cerdik seperti ular dalam memahami potensi kejahatan, tetapi menolak untuk berbuat seperti itu dengan bersikap tulus seperti merpati. “Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara” (Ef. 6:12).

Politik Aliran di Indonesia

Untuk memahami dinamika sosio-politik di Indonesia yang mendekati usia ke-80, kita perlu memahami budaya dan konsep kekuasaan Jawa. Pengalaman sebagai sebuah bangsa-negara yang “merdeka selama 80 tahun” perlu dibaca dengan perspektif yang lebih luas, yaitu lekatnya budaya Hindu dan kebudayaan Jawa dalam pusat pemerintahan di kepulauan Nusantara. Secara mendasar, konsep pemerintahan negara Indonesia merupakan sebuah “derivasi” atau “turunan” dari konsep pemerintahan Jawa. Perlu dicatat bahwa dalam tulisan ini saya bukan sedang merendahkan unsur-unsur baik dalam budaya Jawa seperti tata krama dan hormat kepada alam dan leluhur, tetapi kita perlu memahami apa yang menjadi “roh” (semangat) atau worldview yang menjadi “cetak biru” dalam berpolitik. Untuk itu, kita perlu mulai dengan sebuah konsep dasar yang disebut sebagai politik aliran.

Berdasarkan tulisan Niels Mulder, kelompok-kelompok sektarian berbasis politik aliran ini ternyata didasarkan pada karakteristik budaya kejawaan. “Aliran, secara literal, dapat dimengerti sebagai arus – di dalam hal komitmen politik, hal itu dapat membagi populasi menjadi kubu nasionalis, komunis, serta kelompok Islamis tradisional dan ‘modern’… Kaum Jawa di antara kelompok nasionalis menjadi sadar akan identitas kejawen yang sinkretis, hal ini bertolak belakang dengan Islam ortodoks. Kelompok massa abangan – sering diasosiasikan dengan komunis – yang menempatkan diri pada suatu posisi kelas yang setara dengan kepemilikan tanah dari kaum santri. Namun kelompok Muslim ‘modern’ dan tradisional, juga mengalami pertengkarannya sendiri. Selain dari terbentuknya iklim politik yang hampir berlawanan dengan Bhineka Tunggal Ika, posisi-posisi keterpisahan ini turut menguatkan identifikasi kultural.” (Mysticism in Java, hlm. 21)

Deskripsi yang diberikan oleh Niels Mulder merupakan gambaran tentang permasalahan politik identitas yang relevan sampai hari ini. Menariknya, politik aliran tersebut tidak dapat dilepaskan dari deskripsi Geertz mengenai heterogenitas di tengah kultur keagamaan Islam di Jawa: “Kalangan abangan benar-benar tidak acuh terhadap doktrin, tetapi terpesona oleh detail keupacaraan. Sementara di kalangan santri, perhatian terhadap doktrin hampir seluruhnya mengalahkan aspek ritual Islam yang sudah menipis.” Secara sederhana, ketiga kelompok tersebut mencoba untuk memperoleh kekuasaan bagaikan gryffindor, slytherin, hufflepuff, dan ravenclaw yang berupaya untuk menguasai Hogwarts dalam kisah Harry Potter.

Ketiga kelompok tersebut mencoba untuk menjadi “supir bus” yang menyetir arah perkembangan sejarah dan politik Indonesia sesuai dengan agenda dan “utopia” masing-masing. Bagi kelompok sudra-kerakyatan, utopia yang ingin dicapai adalah “persatuan dan keadilan”; pada masa Orde Lama, kelompok tersebut mencoba untuk membangun masyarakat tanpa penjajah (dan tanpa kelas) melalui revolusi. Bagi kelompok ksatria-militer, utopia yang ingin dicapai adalah “Macan Indonesia ala Majapahit empire”; pada masa Orde Baru, kelompok ini menitikberatkan pembangunan ekonomi sekaligus menerapkan kekuatan militer secara represif. Bagi kelompok brahma-agama, utopia yang dicita-citakan adalah menjadikan Indonesia sebagai negara Islam atau semi-Islam pada masa Orde Reformasi. Melalui demokrasi, agenda tersebut dapat dilihat pada politik identitas yang memisahkan “pihak sekuler” dan “pihak religius”. Ketiga kelompok tersebut mencoba untuk saling merebut “posisi supir dalam bus negara”, dan menarik kelompok yang lain untuk mengikuti ideologi dan proyek konstruksi utopia tersebut menurut jalan yang dipandang “baik”.

Permasalahannya terletak pada pertanyaan ini: “Apa yang terjadi jika jalan menuju utopia itu dipenuhi dengan hambatan dan tantangan?”, “Andaikan utopia itu sungguh-sungguh tercapai, berapa lama kelompok aliran tersebut akan bertahan?”, dan juga “Jika utopia dan cita-cita itu ternyata ditandingi oleh kelompok yang lain, maka apa saja bentuk konflik dan kekerasan yang akan terjadi di tanah air?” Inilah pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita refleksikan. Bagaikan sebuah siklus dinasti, suatu politik aliran akan naik dan jatuh, melalui masa keemasan dan kegelapan, seorang ratu adil akan bangkit dan kemudian diturunkan, demikian juga dengan pola siklus politik yang sudah, sedang, dan akan terjadi di Indonesia. Tidak ada yang baru di bawah matahari. Mengingat bahwa setiap orde pemerintahan yang diwakili oleh suatu kelompok aliran dalam catatan sejarah akan bertahan sekitar 20-30 tahun, maka di manakah kita pada saat Orde Reformasi ini, dan apa yang perlu dilakukan oleh gereja, yaitu umat Allah, di tengah bangsa Indonesia pada momen-momen kritis seperti ini?

Konsep Kekuasaan Jawa

Untuk memahami lebih lanjut mengenai sikap dan perilaku pemerintahan di Indonesia, kita perlu menelisik konsep kekuasaan dalam kebudayaan Jawa. Menurut tulisan Benedict Anderson, The Idea of Javanese Power (Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa), dijelaskan bahwa terdapat beberapa perbedaan antara konsep kekuasaan di Barat dan Jawa. Dalam kebudayaan Barat, kekuasaan dipandang sebagai sebuah “konsep yang abstrak”. Apakah ada kekuasaan yang sah disebut sebagai “otoritas” atau yang tidak sah disebut sebagai “kuasa”? Sumber-sumber kekuasaan juga dipandang secara terpisah, yaitu sistem pemerintahan, militer, keuangan, dokumen keabsahan, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, untuk membangun sebuah pemerintahan Barat yang kokoh, para pendiri negara perlu “memisahkan” berbagai unsur dan melihat bagaimana semuanya bekerja (to break things apart). Kekuasaan juga dipandang dari segi etis menurut pandangan masyarakat Barat, yaitu sebuah warisan dari pemikiran Plato dan Aristoteles, yang menjelaskan peran philosopher king dan prinsip jalan tengah dalam praktik politik: kekuasaan yang etis perlu dipisahkan dari kekuasaan yang tidak etis.

Sebaliknya, dalam kebudayaan Jawa, kekuasaan dipandang sebagai sebuah “benda yang konkret”. Budaya Jawa yang lekat dengan dunia alam (pantheisme) memandang bahwa segala sesuatu yang “ada” atau eksis memiliki kuasa. Dari keris, senjata militer, sampai kepada istana pemerintahan, terdapat unsur mistis yang menjadi “energi” kekuasaan. Kedua, kekuasaan tidak dipandang sebagai suatu hal yang terpisah-pisah, melainkan homogen, yaitu kekuasaan berasal dari satu tempat. Kebudayaan Jawa memandang bahwa ada “Yang Satu” di atas sana yang memancarkan “energi” kekuasaan di dunia, dan tugas seorang raja adalah untuk mengumpulkan semuanya dan mengatur bagaimana setiap unsur itu dapat bekerja dalam kesatuan (to put things together), bermula dari militer, polisi, hukum, keuangan, dan lainnya – semuanya diikat dalam satu pusat yang sama. Terakhir, hal itu menunjukkan bahwa dalam budaya Jawa, tidak ada distingsi yang tegas dalam membedakan “baik dan jahat”. Kekuasaan hanya berbicara tentang apa yang “ada” atau berkuasa, bukan soal pihak yang baik atau buruk. Sebab kuasa yang “baik” dan “buruk” sama-sama berasal dari “Sang Esa” di atas sana.

Seorang pemimpin yang berkuasa adalah mereka yang mampu “menyerap” pihak lawan ke dalam dirinya, dan bukan soal “mengubah yang jahat menjadi baik” atau “mengalahkan yang jahat”, tetapi “menjadi yang terbesar dengan menyerap yang baik dan jahat”. Sang pemimpin menjadi serupa dengan “Yang Maha Kuasa”. Itulah sebabnya seorang penguasa Jawa tidak bertujuan untuk memerintah dengan orang-orang yang sepemikiran dengannya, tetapi akan lebih “baik”, jikalau seorang raja Jawa dapat menyerap para pemimpin besar yang menjadi lawannya. Bagi banyak orang, itu disebut kompromi, tetapi dalam kebudayaan Jawa, itulah kekuasaan sejati. Contoh dari tokoh yang berhasil melakukan hal ini adalah Sukarno yang mengemukakan konsep “Nasakom” (Nasionalis, Agama, Komunis) untuk menyatukan pihak kawan dan lawan pada sisinya. Lalu, dalam pemerintahan yang sekarang, kita juga bisa melihat “koalisi gemuk” yang mencerminkan prinsip “penyerapan” dalam kekuasaan Jawa dengan memberikan pengelolaan tambang dan posisi strategis dalam pemerintahan.

Apabila saya menggunakan sebuah analogi yang lebih sederhana, permainan kekuasaan dalam budaya Barat dapat digambarkan sebagai permainan catur, sedangkan pemusatan kekuasaan dalam budaya Jawa dapat digambarkan sebagai monopoli. Dalam permainan catur, suatu kerajaan terdiri dari berbagai bidak catur: ratu, benteng, menteri, kuda, pion. Mereka semua bekerja dalam kesatuan dan bekerja dalam “peraturan main” yang sah, dan tujuannya adalah untuk mengalahkan lawan (bukan menyerapnya). Siapa yang dapat “mengunci” lawan dalam posisi sekakmat, maka dialah pemenangnya. Bukanlah demikian dalam konsep kekuasaan Jawa. Dalam permainan monopoli, setiap orang bermula dengan “kuasa yang terbatas”, yaitu jumlah uang kertas, dan tujuannya adalah untuk mengumpulkan properti di papan monopoli, membuat “lawan bangkrut”, membeli properti lawan (menyerap), dan akhirnya menjadi yang paling besar. Apabila memungkinkan, bukan hanya pihak “lawan” saja yang diserap, tetapi pihak “netral” ataupun “petak kosong” yang belum terisi juga diserap.

Penguasa Jawa dan Kekuatan Mistis

Secara filosofis-theologis, sebetulnya kebudayaan Jawa seperti demikian cukup mendekati prinsip Gnostisisme. Gnosistisme menjelaskan bahwa segala sesuatu berasal dari “Satu Kuasa yang Maha Esa”. Neo-Platonisme menyebut hal itu sebagai “Sang Satu” (To Hen), dan dalam ajaran Kejawen, hal itu sebut sebagai Sang Hyang Tunggal. Itulah sumber dari segala sesuatu yang ada. Lalu, ketika dunia ini menjadi ada, kita hanya dapat menangkap “serpihan-serpihan” energi dari Keberadaan Yang Satu di atas sana. Ada energi yang terlihat “baik” (putih), dan ada juga yang terlihat “kurang baik” (hitam). Bagaikan sebuah peperangan tanpa henti antara terang dan gelap, putih dan hitam, seperti yang diceritakan dalam Yin-Yang dan Manikeanisme, demikian juga yang terjadi dalam ranah politik antara “pihak kawan” dan “pihak lawan”, antara tesis dan antitesis, antara politik aliran yang satu dan yang beroposisi.

Namun, pada suatu ketika, akan muncul seorang ratu adil dan raja Jawa yang akan “mendamaikan” semuanya pada dirinya, dalam sebuah sintesis, dan munculnya sebuah masyarakat yang “adil dan beradab” dalam sebuah kerukunan. “Harmoni” yang dihasilkan dari penyerapan segala kekuatan dalam satu pusat adalah cita-cita dan tujuan dari suatu pemerintahan. Seorang pemimpin yang berperan sebagai “orang sakti” (imam) sekaligus seorang raja berperan untuk menguasai dunia gaib (mistis) dan dunia politik, sehingga apa yang diucapkannya adalah tanda kekuasaan dan kesaktian (sabda pandita ratu). Raja Jawa adalah “titisan Ilahi” atau dewa. Dia yang mampu menguasai semesta (makrokosmos) dengan ilmu kebatinan dan bacaan siklus politik, dia akan dipandang sebagai penguasa sejati. Selama penguasa tersebut dapat “bersintesa” (manunggal) dengan rakyat dan alam, maka entah dia naik dengan cara yang baik atau/dan buruk, itu dapat dibenarkan.

Apabila kita membaca Kitab Suci, kita akan melihat bahwa “penyerapan” baik dan jahat adalah untuk menjadi individu yang berkuasa. Ular itu berkata kepada manusia, “Tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” (Kej. 3:5). Tipuan terbesar di taman Eden adalah kita bisa menjadi seperti Tuhan dengan “menyerap” baik dan jahat, seolah-olah kita yang dapat menentukan apa yang baik dan jahat menurut keinginan kita. “Baik dan jahat itu tidak penting, yang penting AKU-lah yang berkuasa, akulah tuhan.” Dan seperti yang terjadi dalam sejarah, setiap manusia yang mengklaim dirinya adalah tuhan dan menjadi penguasa akan tumbang dan digantikan dengan yang lain.

Benedict Anderson menjelaskan pemikiran Satono bahwa pemikiran historis Jawa tradisional, karena antara lain dipengaruhi oleh tulisan-tulisan kosmologi Sanskerta, memandang sejarah sebagai suatu lingkaran zaman (Yuga) yang bergerak dari zaman keemasan (Kertayuga), seterusnya secara berturut-turut melalui zaman-zaman yang kurang bahagia (Tretayuga dan Dyaparayuga) sampai kepada masa Kaliyuga yang buruk, sebelum pada akhirnya roda itu berputar kembali dan mengembalikan suatu zaman Kertayuga yang baru. Awalnya, seorang raja menerima “wahyu” (keprabon) atau mandat Ilahi untuk menjalankan kekuasaan melalui takhta, sampai suatu ketika masanya sudah berakhir, dan dia harus menyerahkan takhtanya kepada penguasa berikutnya, dan hal itu dilakukan dapat dengan damai atau dengan kekerasan. Konflik bisa saja berlanjut, tetapi nantinya akan muncul sebuah “sintesis-sintesis Hegelian” yang baru dan masyarakat akan terus berkembang dan berlanjut dalam siklus naik turunnya raja-raja Jawa yang lama dan baru.

Apa yang terjadi jika ada pihak yang “belum diserap”? Dalam catatan sejarah, kita sudah melihat beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para raja Jawa sebelumnya. Pada masa Orde Lama, presiden membuat slogan “Nasakom” dan dengan karisma retorik dia mencoba untuk menarik sebagian besar rakyatnya. Pada masa Orde Baru, prinsip “kestabilan politik” diartikan sebagai kondisi tanpa konflik. Seorang raja Jawa yang membiarkan kondisi kekacauan alam ataupun sosial akan sulit menegakkan kekuasaannya; atau lebih tepatnya, pemimpin yang “mengendurkan” kekuasaan justru akan jatuh. Pada prinsipnya, tidak ada dua matahari yang boleh memerintah di atas bumi, hanya boleh ada satu penguasa tunggal yang menjadi episentrum yang menarik gravitasi semesta dan perhatian rakyat.

Konflik sosial harus ditekan, inflasi harus dicegah, kalau tidak itu berarti sang raja sudah dibiarkan semesta untuk jatuh. Pada masa Orde Reformasi, yang sudah terdapat “fragmentasi kekuasaan” pada berbagai jenis partai politik dan pemimpin-pemimpin yang sedang “bermain monopoli”, seorang raja Jawa adalah mereka yang mampu “meneruskan secara berkelanjutan” warisan kekuasaannya sambil menyerap pihak lawan dalam koalisi kekuasaan. Kelompok “lawan” yang jelas bermasalah (seperti teroris dan radikalis) akan dipinggirkan dan menjadi gelandangan, tetapi kelompok “independen” yang menolak tawaran untuk bergabung bisa saja dipandang sebagai “pihak netral yang lebih berbahaya” dan harus diserap atau dilumpuhkan. Dalam sudut pandang seperti ini, gereja-gereja yang mempunyai pendirian dan menolak untuk “diserap dan ditelan” dalam kekuasaan Jawa seperti demikian, biasanya akan dipandang sebagai “potensi ancaman” yang lebih besar daripada kelompok teroris atau separatis. Sekali lagi, itu bukan karena gereja sedang melakukan revolusi, tetapi karena ada “objek yang tidak bisa dihisap” yang menolak untuk diserap ke dalam lubang hitam kekuasaan dunia.

Dalam kebudayaan Jawa, koalisi besar bukanlah sebuah tanda kompromi, tetapi wujud kekuasaan. Dan perubahan hukum dan peraturan dalam sistem tata negara bukanlah sebuah tindakan yang melawan etika, sebab kekuasaan sebagaimana sudah disebutkan hanya berbicara tentang “ada kuasa atau tidak”, bukan tentang “berkuasa dengan benar atau salah”. Hukum, militer, keuangan, pandangan masyarakat, dan “serpihan-serpihan” lainnya harus diserap dan dijadikan satu warna yang sama dengan raja, sebab kekuasaan itu bersifat terpusat. Jika ada unsur yang tidak searah dengan keinginan raja, maka unsur itu harus dianulir – termasuk kalau itu adalah hukum sendiri. Raja Jawa yang berposisi pada posisi eksekutif seolah-olah mempunyai wewenang untuk mengubah posisi yudikatif, padahal posisi yudikatif tidak dapat dicampur aduk oleh kuasa eksekutif (Etika Politik, hlm. 281).

Pemisahan Kekuasaan

Bagi Anda yang membaca artikel ini, mungkin ada suatu perasaan yang “mengganjal”. “Kalau memang betul Indonesia adalah sebuah negara republik, di mana rakyat mengikat pemimpin dalam sebuah kontrak sosial sebagaimana dijelaskan Rousseau, bukankah hal itu berarti kedaulatan berada di tangan rakyat?” Mungkin ada juga yang bisa bertanya, “Kalau memang sistem Trias Politica yang dijelaskan oleh Montesquieu mencoba untuk memisahkan kekuasaan agar tidak terjadi single sovereignty system, lalu mengapa terkesan bahwa pemikiran tradisional Jawa mengenai kekuasaan justru bertolak belakang?” Seolah-olah sistem republik dan sistem eksekutif-legislatif-yudikatif bertolak belakang dengan seluruh konsep kekuasaan Jawa. Kekuasaan Jawa memusatkan kuasa pada satu raja yang menjadi pemimpin tunggal; sistem pemerintahan Barat yang bersifat republik dan pemisahan kekuasaan justru bersifat desentralisir.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, pasal 1 ayat 2, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, jadi jelas bahwa pertanggungjawaban pemimpin negara adalah kepada masyarakat yang memilihnya secara demokratis. Akan tetapi, dalam konteks masyarakat Indonesia yang belum terdidik secara kritis untuk memahami perannya sebagai warga negara, demokrasi justru menjadi demagogi, yaitu ketika rakyat yang kurang terdidik dapat dimanipulasi oleh penguasa untuk memilihnya. Lagi pula, sebelum adanya sistem demokrasi dan hukum negara, prinsip tradisional dalam kuasa Jawa sudah berjalan sekitar ribuan tahun sejak kerajaan Hindu (sejak abad ke-4) dan puncaknya pada Kerajaan Majapahit (1293). Jikalau orang harus memilih untuk membangun negara kesatuan Indonesia atau Majapahit Empire yang menjadi nostalgia sejuta umat, ya kira-kira mereka akan memilih yang kedua – terlebih lagi kalau ada Majapahit Empire versi Emas 2045, itu akan menjadi keinginan para elite, rakyat, dan juga lawan politik.

Pemikiran mengenai pemisahan kekuasaan sebetulnya bukanlah sesuatu yang menghambat kemajuan suatu bangsa. Justru, ketika suatu bangsa terlalu memusatkan kuasa pada seseorang atau sekelompok penguasa semata, korupsi akan mengawali sebuah kejatuhan. Peradaban Romawi melakukan hal seperti itu: korupsi dalam pemerintah ditutupi dengan bread and circus. Peradaban keemasan Islam kehilangan daya semangat yang menyatukan (asabiyah) dan jatuh dalam korupsi dalam politik sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Khaldun. Dan itulah sebabnya dalam konteks kehidupan gerejawi, para reformator menjelaskan bahwa sistem hierarkis cenderung mudah jatuh ke dalam korupsi yang serupa, ketika tidak ada transparansi, akuntabilitas, dan pemisahan kekuasaan yang jelas – dan hal itu menjadi batu sandungan.

John Calvin menjelaskan bahwa sistem tua-tua atau presbiter merupakan hal yang sepatutnya diterapkan dalam kehidupan gerejawi. Mengacu kepada Kitab Suci (Kis. 6:1-6; 14:23; 15:4-6), terlihat bahwa gereja tidak memiliki suatu pemerintahan yang terpusat. Tuhan Yesus adalah pusat, dan kita adalah pelayan. Dalam Institutes of the Christian Religion (Buku 4, Bab 3, Bagian 8), Calvin menulis: “Di sini, kita dapat melihat bahwa para rasul tidak memimpin seorang diri, tetapi meminta para tua ke dalam konsili, dan inilah contoh yang harus diikuti oleh gereja sepanjang zaman. (Here, then, we see that the apostles alone did not rule, but that they took the elders into their council, and that this example must be followed by the Church in every age).”

Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan ini sebetulnya cukup alkitabiah, mengingat bahwa manusia adalah makhluk yang berdosa dan rentan untuk memanfaatkan kekuasaan demi dirinya sendiri. Pemisahan atau pembagian kekuasaan berfungsi untuk menjaga manusia agar tetap bersikap sebagai manusia, bukan memainkan posisi sebagai Tuhan (playing God). Tuhan yang berdaulat meminta umat-Nya untuk memisahkan jabatan kekuasaan. Musa yang telah membelah laut dan dikenal sebagai sang hamba Tuhan yang memimpin Israel keluar dari Mesir, dinasihati oleh mertuanya Yitro, untuk mengangkat pemimpin-pemimpin dalam menghakimi rakyat Israel (Kel. 18). Jika Musa dan para rasul (rohaniwan) sekalipun meminta bantuan tua-tua (non-rohaniwan) untuk memimpin umat Allah, maka sebetulnya itu menunjukkan bahwa seorang pemimpin gereja (dan negara) sepatutnya menerapkan prinsip yang sama. Kita hanyalah manusia biasa, dan bukan Tuhan.

Prinsip demokrasi dan aristokrasi seperti ini bukanlah suatu fenomena yang diterapkan terdahulu di Yunani oleh Perikles dan Plato, melainkan sudah tertuang dalam Kitab Keluaran. Dalam anugerah umum, pemikir Yunani menyadari potensi kejahatan dalam manusia. Dalam anugerah khusus yang dinyatakan melalui firman, terdapat prinsip pemisahan kekuasaan yang sama untuk mencegah pemusatan yang memberhalakan suatu individu atau posisi. Jabatan di kerajaan Israel kuno terbagi menjadi tiga: raja, imam, nabi. Raja tidak bisa menjabat sebagai imam dan nabi sekaligus, demikian juga dengan yang lain. Satu-satunya yang dapat menjabat tiga posisi itu adalah seorang Manusia tanpa dosa bernama Yesus Kristus dari Nazaret.

Dalam bahasa Jawa, tokoh-tokoh raksasa iman yang “titisan Allah” sekalipun juga adalah manusia biasa, dan mereka tidak memosisikan diri sebagai pengganti Allah (Yak. 5:17). Gereja adalah sebuah komunitas bersama yang diwakili dan dipimpin oleh rohaniwan dan tua-tua, bukan sebuah kekaisaran duniawi. Model kepemimpinan gereja yang diungkapkan dalam Kitab Kisah Para Rasul, dirumuskan oleh John Calvin, nantinya memengaruhi pemikiran John Owen, dan John Owen memengaruhi pemikiran John Locke dan Montesquieu dalam melakukan pemisahan/pembagian kekuasaan (separation/division of power). Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan gerejawi justru bisa menjadi model untuk dibagikan kepada dunia. Di sini, sepatutnya orang Kristen dapat menawarkan hikmat mengenai “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarahan (konsili) perwakilan”.

Dalam Institutes of the Christian Religion, Calvin menjelaskan bahwa monarki cenderung rentan menjadi tirani (Buku 4, Bab 20, Bagian 9). Jikalau Calvin harus memilih bentuk pemerintahan yang ideal, selain dari theokrasi yaitu ketika Yesus datang kedua kali, maka dia akan memilih aristokrasi. Aristokrasi adalah perwakilan rakyat yang dipilih oleh masyarakat. Model inilah yang dilakukan sebagaimana para presbiter dipilih oleh jemaat dalam Kisah Para Rasul 6:3: “Para rasul meminta jemaat untuk memilih tujuh orang yang dikenal baik, penuh Roh Kudus dan hikmat, untuk mengurus pelayanan ini.” Perhatikan, para rohaniwan meminta jemaat untuk memilih tua-tua yang menjadi perwakilannya, bukan “menentukan perwakilan jemaat” tanpa sepengetahuan jemaat. Dengan kata lain, kesalehan hidup, transparansi, dan kompetensi menjadi hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan seorang pemimpin. Dan jika para rasul tidak melakukan pemusatan kekuasaan pada diri mereka, maka sebetulnya kita pun juga tidak boleh melakukan pemusatan yang serupa. Satu-satunya yang berkuasa adalah Tuhan, Dialah yang memegang segala kuasa.

Bagaimana dengan Indonesia?

Kita masih hidup di tengah dunia, tetapi bukan milik dunia. Demikian juga, kita sedang hidup di Indonesia, tetapi umat Allah bukanlah milik politik aliran. Kita bukan sudra-kerakyatan yang sedang menuju manifesto tertentu. Kita bukan brahma-agama yang dimandatkan untuk mengubah Indonesia menjadi negara agama. Kita bukan ksatria-militer atau waisya-kapitalis dan konglomerat yang ingin membangun masa keemasan. Kita adalah eklesia, umat milik Allah yang diikat dalam janji untuk mengikut Kristus, dan bukan untuk “termakan” atau “diserap” dengan kekuasaan dunia. Sebab dunia akan diwarnai dengan politik aliran yang terus-menerus berkonflik dalam sebuah tesis-antitesis, lalu akan muncul “sosok mesianik”, juruselamat-wannabe, seorang ratu adil, mampu menyatukan semua pihak dalam sintesa, yang datang dari rakyat dan naik takhta tetapi tidak mendatangkan keadilan di akhir pemerintahannya. Dunia dan segala nafsunya akan berlalu, tetapi yang menjalankan firman-Nya akan kekal selamanya.

Kita hadir untuk mengikut dan menyatakan His Holy Thesis, yaitu firman-Nya di tengah dunia ini; bukan tesis (pro-monarki/pro-oligarki), antitesis (pro-revolusi/pro-anarkisme), ataupun sintesis (koalisi kekuasaan). Orang Kristen seharusnya menjadi umat Allah yang sungguh-sungguh mencintai Indonesia, sebab kita tidak diikat oleh ideologi atau kelompok politik aliran, tetapi langsung kepada Tuhan dan bangsa ini. “Selama kita hidup dengan sesama manusia, kita hidup untuk membangun dan menjaga ibadah kepada Allah, menjaga ajaran yang benar dan kondisi gereja, dan menerapkan tingkah laku kita di tengah masyarakat, untuk menjaga sikap kepada keadilan sipil, dan membangun kebersamaan, serta melestarikan kedamaian dan keamanan bersama” (Institutes of the Christian Religion, Buku 4, Bab 20, Bagian 8). Jika gereja tidak lagi berpegang pada kebenaran firman Allah, menjadi “inklusif dan harmonis” dan tunduk kepada lubang hitam kuasa berhala yang menghisap segalanya dengan menawarkan “pendamaian”, maka cepat atau lambat, gereja akan kehilangan garam dan terangnya.

Kebenaran menyatakan bahwa kebaikan itu lebih penting daripada kekuasaan, terlebih lagi kalau itu adalah kekuasaan yang berasal dari pihak yang bersalah dan jahat. Agustinus menjelaskan bahwa kebaikan tidak butuh kejahatan, malah kejahatan justru bersifat seperti parasit, mengatasnamakan “kebaikan” untuk membenarkan perbuatannya yang salah. Buah dari pohon yang jahat tetap bergantung kepada nutrisi yang diberikan dari tanah yang baik (Enchiridion, Bab 4). Demikian juga, kemajuan Indonesia menuju “keemasan” kalau itu ada pun juga sebetulnya tidak bergantung kepada orang-orang yang mengaku “kamilah ratu adilmu, pilihlah kami, percayalah bahwa kami akan menyelesaikan semua masalah”. Malah sebaliknya, ide baik mengenai “Indonesia Emas 2045” justru menjadi tirai pelindung untuk menutupi kepentingan-kepentingan yang jahat. Janji emas ditawarkan untuk menutupi kegelapan di baliknya.

Namun, seperti yang pernah diucapkan Plato, “Tidak ada manusia lain yang lebih dibenci daripada yang menyatakan kebenaran kepada orang lain” (Gorgias, 458a). Terang akan dibenci oleh yang hidup dalam kegelapan. Pertanggungjawaban kita di hadapan Allah sebagai gereja adalah untuk menyatakan kebenaran, dan setiap penguasa akan bertanggung jawab kepada Allah atas kelakuan mereka (Institutes of the Christian Religion, Buku 4, Bab 20, Bagian 31). Kita tetap harus menghormati penetapan Allah yang telah mengangkat para penguasa di atas. “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah” (Mat. 22:21). Kita bukanlah “kaum revolusionis” yang mencoba untuk melakukan penumbangan pemerintahan sebab kita semua adalah manusia berdosa yang rentan melakukan dosa yang sama dengan penguasa yang dilawan (Common Grace, hlm. 49). Kaum proletar yang diungkapkan oleh Marx sebetulnya bukan menginginkan keadilan sosial sehingga melakukan revolusi, tetapi mereka ingin menjadi kaya seperti para kapitalis, makanya mereka menyuarakan revolusi dan menjadi “borjuis yang lebih kejam”.

Sebagaimana Daniel menghormati Nebukadnezar, Belsyazar, dan Darius, kita pun juga harus bersikap seperti demikian. Meskipun ada rasa tidak suka, kita tetap harus berani menyatakan kebenaran dalam sikap hormat. Akan tetapi, penguasa yang tertinggi, entah itu raja Babel, raja Persia, atau raja Jawa, tetap tunduk kepada kedaulatan Allah, Raja di atas segala raja, yang akan menuntut pertanggungjawaban. Di masa keemasan Babel, Nebukadnezar kehilangan akal sampai menjadi “sapi” ketika dia menyatakan kemuliaannya melawan Allah. Ketika Belsyazar melecehkan perkakas Bait Allah untuk kepentingannya, Tuhan menyatakan penghakiman-Nya dalam tulisan di dinding dan hari itu adalah akhir hidup sang raja. Memang, apa yang menjadi milik kaisar adalah untuk kaisar, tetapi nyawa kaisar sendiri adalah milik Allah dan pemerintahannya akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya.

Kedaulatan Allah tidak berlaku hanya dalam ruang lingkup gereja, tetapi sampai kepada pemerintahan-pemerintahan dunia. Penetapan Allah tidak hanya terjadi kepada raja-raja Israel, tetapi juga kepada raja-raja Babel, Asyur, Persia, Yunani, dan Romawi. Abraham Kuyper, dalam bukunya Common Grace, turut memberi komentar seperti ini:

“Dengan demikian, jelas bahwa para penguasa seperti kaisar Tiongkok, emir Afganistan, dan sultan Yogyakarta memiliki kewajiban untuk mengakui kebenaran firman Tuhan, memperkaya pengetahuan mereka tentang kehendak Ilahi melalui wahyu dalam firman tersebut, serta bertindak dan memimpin rakyat mereka sesuai dengan kehendak yang dinyatakan dalam firman itu. Secara prinsip, tidak ada satu pun pengecualian bagi siapa pun, dan tidak ada pandang bulu.

Demikian pula, warga negara di negeri kita yang saat ini mengambil berbagai posisi yang bertentangan dengan kehendak Tuhan—baik dalam hal pernikahan dan keluarga, pengasuhan anak, kehidupan sosial, maupun peran pemerintahan—tidak dapat dibenarkan. Mereka juga memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan kebenaran Kitab Suci yang telah dinyatakan oleh Tuhan. Jika mereka memilih untuk menutup mata terhadap kebenaran ini dan bertindak bertentangan dengannya, mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Tuhan.

Hal yang lebih berat akan dituntut kepada mereka yang menduduki jabatan lebih tinggi dalam memimpin orang lain atau yang memiliki wewenang untuk mengatur orang lain sebagai pejabat pemerintahan. Tidak ada seorang pun yang memiliki otoritas atas sesama manusia kecuali sejauh otoritas tersebut diberikan oleh Tuhan. Pemerintah adalah dan tetap menjadi “hamba Tuhan” (Rm. 13:4).” (Common grace, hlm. 153).

Bila kita perhatikan, istilah “Yogyakarta” digunakan oleh Kuyper untuk menjelaskan pusat dan puncak kekuasaan di Nusantara pada saat itu. Ketika Kuyper menulis karya tersebut, belum ada Negara Kesatuan Republik Indonesia atau presiden di Jakarta atau di IKN pasca kemerdekaan, melainkan yang ada adalah kerajaan Jawa di Yogyakarta. Jadi, sultan atau raja Jawa merupakan kekuasaan tertinggi di Nusantara. Dengan kata lain, jika gereja memiliki peran untuk menyuarakan suara kenabian untuk menyatakan bahwa ada yang salah dengan pemerintahan, maka kita harus bersuara dalam sikap hormat terhadap penguasa seperti yang dilakukan Daniel. Sebab Tuhan akan menuntut itu kepada gereja untuk menyatakan kebenaran kepada pemerintah. Andaikan seorang raja Jawa betul-betul berkuasa dan mampu menyerap segalanya, sejauh yang penulis pelajari dalam ajaran tradisional kejawen, raja pun tidak memiliki kuasa untuk melawan Gusti Allah, Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan segalanya) sebab raja pun berasal dan akan kembali bertanggung jawab kepadanya. Dalam hal itu, Tuhan Yesus menyatakan, “Aku adalah Alfa dan Omega, firman Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa” (Why. 1:8).

“Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (Kis. 5:29). Jika kita tidak takut akan Allah, maka kita akan takut kepada manusia. Dan bila gereja tidak lagi mengikut Yesus, Sang Kepala, maka gereja akan terhisap oleh dunia dan menjadi serupa dengannya. Kristendom, atau “kekaisaran Kristen”, hanya menjadi sebuah “cabang pemerintahan dunia”. Indonesia saat ini sudah mulai berkarat (bukan emas), dan sedang menuju gelap, tetapi Indonesia akan betul-betul gelap jika orang Kristen tidak mencerminkan terang Kristus. Gereja, yaitu kita, dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia, dan sepertinya terang dari kota Allah itu tidak akan tersembunyi (Mat. 5:13-14). Kegelapan akan mencoba untuk menguasai tetapi Terang itu akan mengalahkannya. Maka dari itu, di tengah situasi yang makin sulit, gereja harus berdiri dan bersaksi. Inilah kesempatan yang belum tentu bisa terulang, untuk memberitakan Injil dan menyatakan kebenaran firman di tengah pemerintahan dunia Indonesia, bahwa Tuhanlah yang memegang kerajaan, kuasa, dan kemuliaan, sampai selama-lamanya.

“Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.” (Kol. 1:16)

Kevin Nobel Kurniawan

Pemuda GRII Pusat

Referensi:

Anderson, Benedict. (1976). The Idea of Javanese Power (Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa). Bagian Penerbitan Fakultas Ilmu Ilmu Sosial, Universitas Indonesia.

Augustine. (1955). Enchiridion. Westminster John Knox Press.

Calvin, John. (2008). Institutes of the Christian Religion (H. Beveridge, Trans.). Hendrickson Publishers. (Original work published 1559).

Kartodirdjo, Satono. (1959). Catatan tentang segi-segi mesianistis dalam sejarah Indonesia.

Kuyper, Abraham. (2013). Common Grace (N. D. Kloosterman & E. M. van der Maas, Trans.). Christian’s Library Press.

Magnis-Suseno, F. (1993). Etika politik: Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern. Gramedia Pustaka Utama.

Mulder, Niels. (2005). Mysticism in Java: Ideology in Indonesia. Kanisius.

Plato. (2004). Gorgias (W. Hamilton, Trans.). Penguin Classics. (Original work published c. 380 BC)

Tag: Aristokrasi, calvin, Demokrasi, Gnostisisme, Indonesia Gelap, Jawa, sosio-politik, Trias Politica

Langganan nawala Buletin PILLAR

Berlangganan untuk mendapatkan e-mail ketika edisi PILLAR terbaru telah meluncur serta renungan harian bagi Anda.

Periksa kotak masuk (inbox) atau folder spam Anda untuk mengonfirmasi langganan Anda. Terima kasih.

logo grii
Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia

Membawa pemuda untuk menghidupkan signifikansi gerakan Reformed Injili di dalam segala bidang; berperan sebagai wadah edukasi & informasi yang menjawab kebutuhan pemuda.

Temukan Kami di

  facebook   instagram

  • Home
  • GRII
  • Tentang PILLAR
  • Hubungi kami
  • PDF
  • Donasi

© 2010 - 2025 GRII