Buletin PILLAR
  • Transkrip
  • Alkitab & Theologi
  • Iman Kristen & Pekerjaan
  • Kehidupan Kristen
  • Renungan
  • Isu Terkini
  • Seni & Budaya
  • 3P
  • Seputar GRII
  • Resensi
Isu Terkini

Kerajaan Allah di Tanah Air: Kabar Buruk dan Kabar Baiknya

4 September 2025 | Kevin Nobel 12 min read

Belakangan ini, kita sedang mengalami sebuah demonstrasi yang cukup mengkhawatirkan antara tanggal 28-31 Agustus pada tahun 2025. Semua orang menjadi aktif dalam memantau media sosial, dan menantikan berita-berita terakhir dari pers maupun dari sumber lainnya. Rasa panik mewarnai atmosfer di jalanan dan banyak orang hidup dalam nuansa kecemasan dan kekhawatiran. Baru saja kita merayakan kemerdekaan Indonesia ke-80 tahun, dan sekitar 11 hari kemudian dari 17 Agustus 2025, kita harus berhadapan dengan demo yang berlangsung selama berhari-hari. Semua ini berawal dari kondisi sosio-ekonomi yang semakin sulit, tetapi pemerintah justru menunjukkan sebuah gaya hidup dan tuntutan yang lebih keras terhadap rakyat di bawah.

Demo terjadi di siang menuju sore, tetapi peperangan, konflik, dan kekerasan terjadi di malam hari. Ada pelanggaran Hak Asasi Manusia, kerusuhan yang menimbulkan pembakaran dan penjarahan, upaya provokasi dalam menyebabkan konflik antarras yang lebih besar, dan lain sebagainya. Bermula dari Affan Kurniawan, seorang ojek online yang dilindas oleh Polri, dan juga terjadi kematian korban jiwa lainnya. Dari demo yang menuju anarkisme, unjuk rasa menjadi provokasi, dan jika tidak berhati-hati, ada upaya untuk mengorkestrasi semuanya ini untuk melompat ke dalam situasi “darurat militer”, tampaknya menjadi sebuah nuansa yang tidak menyenangkan. Bagi yang lahir pasca kerusuhan 1998, mungkin ini adalah sebuah cicipan bagi Anda. Pastinya, ini bukan fiksi, dan bukan sebuah peristiwa sejarah yang terjadi jauh di masa lampau. Ini kenyataan. Bagi yang mengalami 1998, pengalaman 28-31 Agustus ini menjadi sebuah momen bagi kita untuk melakukan evaluasi terhadap permasalahan kebijakan pemerintah dan budaya demokrasi di Indonesia – apakah sudah ada namanya kemajuan atau kemunduran.

Di tengah situasi sosial-politik yang tidak stabil, kita dapat merasakan bahwa negeri ini sedang berada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Ketika para pembaca membaca artikel ini, mungkin saja situasi sudah mengalami de-eskalasi. Akan tetapi, ini barulah awal dari dinamika sosio-politik yang akan berlangsung selama beberapa tahun kemudian sampai tahun 2030. Masyarakat sudah menaruh amarah dan tuntutan terhadap pemerintah, dan jika pemerintah kurang menanggapi dengan baik, maka potensi terjadinya hal yang serupa bisa meluap kembali. Pada saat ini, masyarakat menuntut “17+8”, yaitu 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang. Saya tidak akan menjabarkan satu per satu isi dari tuntutan tersebut. Pembaca yang budiman bisa membaca dan mencermatinya dari sumber lain. Akan tetapi, dalam tulisan ini, saya ingin memamparkan sebuah kabar baik dan kabar buruk mengenai kondisi Indonesia. Saya memulai dengan sebuah kabar buruk tentang negeri ini terlebih dahulu, dan menutupnya dengan kabar baik tentang perkembangan umat Kristiani di Indonesia. 

Kabar Buruk Dulu: Situasi Tanah Air

Secara singkat, yang terjadi belakangan ini adalah sebuah ketidakstabilan politik-ekonomi yang disebabkan oleh transisi kekuasaan yang kurang mulus. Banyaknya baggage kepentingan dari pemerintahan sebelumnya yang membuat seolah-olah bumi Indonesia sedang dipimpin oleh “dua matahari”, belum terhitung “bulan-bulan” yang mengitarinya. Transaksi politik yang tidak berjalan dengan perhitungan yang semestinya kadang membuat hal-hal yang berada di luar rencana masuk ke dalam situasi saat ini. Para mahasiswa dan aparatus negara menjadi “pion catur” yang saling bersitegang satu sama lain, tetapi yang menjadi permasalahan sebetulnya terletak pada “pemain catur” yang mengambil posisi strategis di balik layar. Dan jangan kaget, kalau nantinya ada “pemain ketiga” di tengah situasi ini, yang tiba-tiba muncul sebagai penyebab utama.

Banyak sekali variabel yang tidak tertebak maupun yang belum diketahui dari sini. Mari kita tunggu sampai para butiran debu itu beristirahat di bawah gelas (let the dust settle), lalu kita bisa melakukan analisis secara lebih rapi dan sistematik terhadap hubungan kekuasaan yang menyebabkan situasi negeri ini menjadi kurang baik. Jangan mudah melakukan tuduhan terhadap sebuah “kambing hitam” sebab itu akan menjadi sebuah teori konspirasi yang tidak bisa mengubahkan apa pun. Akan tetapi, kita ikuti saja terlebih dahulu arah dari fakta-faktanya, sampai akhirnya teka-teki ini bisa dipecahkan dengan baik. Pada akhirnya, kebenaran akan menyatakan diri seperti matahari, dan waktu akan membukakan kabut kebingungan yang menggelapkan masyarakat. Bersabar saja, nanti jawabannya akan muncul.

Dalam sebuah permainan wayang kulit, para penonton hanya dapat menangkap apa yang tampak di mata kepala. Akan tetapi, seorang pemain wayang (dalang) yang ulung adalah seseorang yang tidak muncul di depan publik, tetapi dialah yang melakukan orkestrasi secara diam-diam (pulling the strings). Di mana ada suatu cela, di situ menjadi kesempatan untuk membuat sebuah tragedi. Itulah sebabnya demonstrasi yang awalnya berjalan dengan tertib bisa dikooptasi oleh provokator maupun oknum-oknum tertentu. Kerumunan (crowd) dimanipulasi untuk menyebabkan sebuah skenario yang mirip kerusuhan, baik itu perusakan fasilitas umum atau konflik horizontal lintas ras, setidaknya untuk melumpuhkan ekonomi dan merusak rasa percaya antarwarga agar menjadi lebih rusuh. Kita belum tahu siapa di balik ini semua, tetapi jika ada temuan dan bukti seperti demikian, maka kita perlu bersiaga dan tetap cermat agar tidak mudah digiring oleh informasi yang tidak tepat.

Untuk menghindari kondisi anarkis, Thomas Hobbes pernah menjelaskan bahwa masyarakat membutuhkan sebuah pemerintah absolut yang disebut Leviathan. Leviatan hadir untuk menakut-nakuti setiap warga agar mereka tidak saling serang satu sama lain sebagaimana terjadi dalam film The Walking Dead, di mana yang mengerikan bukanlah para zombie, melainkan sesama manusia yang saling menyerang ketika tidak ada penegakan hukum. Bagi penganut pemerintahan absolut, mungkin darurat militer atau otoritarianisme adalah solusi untuk menekan kekacauan (chaos), tetapi itu juga mengurangi kebebasan sipil dan budaya demokrasi yang sehat. Sebaliknya, ada juga yang menjelaskan bahwa kekuasaan itu harus dipisahkan, baik itu dalam bentuk negara Federal sebagaimana dijelaskan oleh John Locke atau sistem Trias Politica sebagaimana dijelaskan oleh Montesquieu. Dalam situasi demokrasi yang lebih sehat, memang itu dapat digunakan untuk mencegah ketegangan yang terlalu panas antara pemerintah di atas maupun rakyat di bawah.

Situasi Indonesia pada saat ini sedang tidak baik-baik saja. Kalau kita harus menganut sistem Leviatan di mana kekuasaan eksekutif memegang posisi absolut dengan kekuatan militer dan kepolisian yang bersenjata, itu hanyalah sebuah langkah represif untuk menekan masalah. Bagaikan sebuah bom waktu, sewaktu-waktu akan meledak dan menimbulkan permasalahan yang lebih besar lagi seperti yang pernah terjadi pada tahun 1965 maupun 1998. Jikalau presiden dan pemerintah tidak menyadari akan hal ini, dan menggunakan “naskah represif” seperti yang pernah terjadi di Orde Baru, maka itu hanyalah sebuah keputusan untuk mengulang tragedi 1998 sekali lagi. Kekuatan bangsa tidak ditentukan dari kekuatan bersenjata saja, tetapi dari kebersatuan di tengah masyarakat dan kelompok sosial. 

Sebaliknya, kalau kita harus kembali kepada keseimbangan Trias Politica, MPR-DPR yang menjadi wakil rakyat sudah tidak dipercaya oleh publik dan menjadi sangat lemah sampai saja harus dipanggil oleh presiden untuk “didamaikan” dengan masyarakat. Sekali lagi, tampaknya kekuasaan legislatif sudah “diserap” oleh eksekutif yang memiliiki wewenang dalam mengendalikan situasi sosial melalui kekuatan senjata dari kepolisian maupun TNI. Mengingat bahwa partai politik seperti sudah “gagal” untuk menjadi wakil rakyat yang baik di dalam gedung DPR, sampai saja beberapa anggota berminta maaf dan sudah trauma terhadap tragedi belakangan ini, maka diperlukan pihak lain untuk mengembalikan situasi untuk mendapatkan kepercayaan rakyat. Terdapat 16 organisasi keagamaan dari kepercayaan Islam juga sudah diundang oleh Presiden untuk menyampaikan pesan perdamaian dan ketertiban sosial. Selama tiga jam mereka merapat dengan Presiden di Hambalang, dan kemudian pada menyampaikan pesan pada malam 30 Agustus 2025.

Kabar Baik: Posisi Gereja dan Orang Kristen di Indonesia

Di tengah situasi sosial yang memanas sejak 25 Agustus 2025, sebetulnya saya melihat ada beberapa hal yang menarik. Pada tanggal 28 Agustus 2025, muncul sebuah video dari GRII Batam yang tegas menyuarakan keadilan terhadap pemerintah Indonesia untuk mendengarkan masyarakat. Lalu, demonstrasi terjadi mulai dari siang menuju sore di depan gedung DPR (Jakarta), disusul dengan tragedi kematian Affan Kurniawan pada malam hari. Dari situ juga, gereja-gereja di Indonesia dari berbagai denominasi mulai menyatakan sikap dan seruan pastoral secara tertulis dari tanggal 29-31 Agustus 2025. Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB, 29 Agustus), Gereja Orthodox Indonesia (GOI, 29 Agustus), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP, 29 Agustus), Gereja Kristen Indonesia (GKI, 30 Agustus), Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW, 30 Agustus), Gereja Masehi Injili di Minahasa (30 Agustus), Konferensi Waligereja Indonesia (Katolik, 30 Agustus), Persekutuan Baptis Indonesia (31 Agustus), Gereja Toraja (GT, 31 Agustus), Gereja Bethel Indonesia (GBI, 31 Agustus), dan berbagai sinode lainnya turut menyarakan sikap: Pemerintah harus rendah hati, rakyat tetap harus tertib, jemaat dan umat gereja harus menjaga perdamaian dan menghindari pesan-pesan provokatif, dan gereja hadir untuk menyuarakan nurani masyarakat sebagai terang dan garam dunia.

Ketika saya membaca surat-surat tersebut satu demi satu, tampaknya situasi gereja di Indonesia mengalami sebuah persatuan dan kebangunan rohani dalam menanggapi situasi sosio-politik yang kurang baik. Situasi saat ini memang tidak enak, saudara-saudara. Saya tidak akan meringankan (sugarcoat) bahwa negeri ini sudah pincang (dan bisa lebih pincang lagi). Akan tetapi, justru di tengah krisis seperti demikian, gereja menjadi sebuah mercusuar bagi masyarakat. Perhatikan baik-baik kronologis berdasarkan tanggalnya, sebelum Presiden bertemu dengan organisasi masyarakat Islam dan partai politik, pengikut Kristus sudah membunyikan kasih, kebenaran, dan keadilan. Sepertinya, gereja sudah berdiri secara independen dengan pemerintah. Kita tidak berada di bawah agenda politik pemerintahan maupun mendukung arus anarkisme dari masyarakat. Suara raja bukanlah suara Tuhan, dan suara rakyat juga bukan suara Tuhan. Suara Tuhan berbunyi melalui Firman-Nya dan umat-Nya menjadi saksi terhadap ketidakadilan dalam negeri ini.

Sejak 1998, gereja menjadi komunitas dan institusi sosial yang merajut hubungan lintas ras. Banyak orang Tionghoa yang bergereja dan di situ juga kasih Allah yang memungkinkan hubungan antarras, dan memulihkan luka sejarah. Contoh hubungan interpersonal seperti demikian juga yang kemudian meredamkan suara-suara provokatif yang tersebar melalui media sosial. Di tengah akar rumput, jemaat menjadi kelompok yang mampu menyuarakan kebenaran dan kasih untuk meredakan permasalahan sosial dan menghindarkan perjalanan bangsa-negara dari anarkisme total (chaos) maupun dari absolutisme kekuasaan (leviathan). Suara seperti demikian menjadi sebuah titik contoh (point of reference) untuk memuat pesan yang berpengharapan di tengah dunia digital yang semakin meluas dan dinamis.

Di saat yang sama, umat Kristiani juga sudah mulai menduduki beberapa posisi strategis dalam jabatan pemerintahan. Sikap yang harus dimiliki adalah seperti Yusuf, Mordekai dan Ester, Daniel dan ketiga sahabatnya. Sebagaimana transisi kekuasaan beralih dari raja Babel ke raja Persia, harus ada orang Kristen yang menjaga agar sistem pemerintahan tidak hancur, dia tetap topang sistem (running the system). Tokoh-tokoh ini tampaknya tidak terlalu dikenal dalam sejarah sekuler, tetapi merekalah orang-orang yang menjaga agar seluruh sistem tidak hancur sehingga melukai umat Allah dan masyarakat secara umum. Jika ada Nebukadnezar yang demikian keras, setidaknya ada birokrat-birokrat yang menjadi “penengah” (middlemen) yang menegosiasikan dan mempertemukan kebutuhan raja dan rakyat. Raja berganti raja, tetapi Daniel dan ketiga sahabatnya mampu menjaga keberlangsungan hidup masyarakat Babel, Persia, dan umat Yahudi di dalamnya. Tentunya, dalam hal ini, Tuhan akan menuntut lebih keras lagi daripada anak-anak-Nya yang mengaku “Kristen” saat menjalankan keadilan dari meja istana. Mari kita doakan agar Tuhan memelihara mereka agar tetap setia melayani Tuhan, pemimpin bangsa ini, dan juga masyarakat di bawah.

Yang terjadi pada saat ini masihlah sebuah “pemanasan”. Bagi para adik-adik yang belum pernah mengalami 1998, maaf, tetapi tampaknya kalian harus mulai terbiasa dengan situasi sosial politik di negeri ini. Mulailah membaca buku-buku sejarah Indonesia dan pelajari “naik-turun”-nya negeri ini dan melihat bahwa setidaknya ada kemajuan. Demo 2025 bukanlah kerusuhan 1998, kita mengalami kemajuan, masalah SARA tidak berkembang lebih besar. Sekali lagi, komunitas Kristiani adalah faktor yang merajut hubungan lintas ras selama 27 tahun belakangan ini. Bagi kawan-kawan dan para senior yang pernah mengalami 1998, terima kasih sudah cerdik dalam mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati, dan sepertinya kita berhasil lolos dari kejatuhan lebih parah dibandingkan masa-masa sebelumnya. Sekali lagi, ini masih permulaan. Mungkin saja di tahun berikutnya maupun di tahun-tahun yang akan datang, konflik yang serupa akan datang.

Terlebih lagi pada tahun 2028-2030, ketika suatu masa pemerintahan sudah mulai “goyang”, di situ akan muncul konflik yang lebih besar lagi. Maka dari itu, kita sedang dipersiapkan. Entah siapa pun itu presiden, oposisi, mafia, dalang dalam maupun luar negeri, yang bisa menyebabkan perpecahan lebih besar, Tuhan kita tetap pegang kendali. Dia yang menentukan nafas pertama dan terakhir setiap raja dunia, Dia yang menentukan suatu peradaban naik dan turun dalam panggung sejarah, demikian juga Tuhan yang berdaulat ini adalah Tuhan yang memelihara umat-Nya. Dialah Grandmaster yang menentukan pemain catur yang menang dan kalah, gerak-gerik dari setiap buah catur, sampai rambut di kepala kita jatuh – Dia pun tahu.  Menjelang masa-masa yang lebih sulit, kita saat ini betul-betul perlu melek dan bangkit, tidak lagi bersantai-santai. Memang, kita hanyalah 10,5% itu. Akan tetapi, suatu perubahan sosial yang besar membutuhkan sekelompok minoritas yang kecil, setia, tulus dan disiplin melakukan kebaikan tanpa kekerasan, dan dunia bisa diubah menjadi lebih baik. Inilah momentum bagi umat Kristiani di Indonesia. Lilin yang kecil dapat membukakan kabut kegelapan, dan garam bisa mengasinkan seluruh makanan. Tuhan tidak butuh matahari-matahari yang besar, Dia hanya ingin kita menjadi terang dan garam bagi dunia. Tuhan Yesus sudah mengalahkan dunia, kita sudah dimenangkan. Sekarang, di tengah peperangan rohani dan situasi sosial ini, yang kita perlu lakukan adalah percaya dan berjalan di dalam nama-Nya.

Semoga analisis dan kabar di tengah kegelapan ini bisa menjadi semangat sukacita bagi kita semua, bagi gerejaku dan juga gerejamu, dan untuk bangsa kita. Salam damai dalam Kristus.

Bagi bangsa ini kami berdiri
Dan membawa doa kami kepada-Mu
Sesuatu yang besar pasti terjadi
Dan mengubahkan negeri kami
Hanya nama-Mu Tuhan ditinggikan
Atas seluruh bumi Indonesia

Soli Deo Gloria.

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” Yeremia 29:11

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah… Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan. Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.” Roma 8:28 & 36-37

Kevin Nobel Kurniawan
Pemuda GRII Pusat

Tag: Demonstrasi, Ekonomi, kerajaan allah, Sosial Politik, Trias Politica

Langganan nawala Buletin PILLAR

Berlangganan untuk mendapatkan e-mail ketika edisi PILLAR terbaru telah meluncur serta renungan harian bagi Anda.

Periksa kotak masuk (inbox) atau folder spam Anda untuk mengonfirmasi langganan Anda. Terima kasih.

logo grii
Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia

Membawa pemuda untuk menghidupkan signifikansi gerakan Reformed Injili di dalam segala bidang; berperan sebagai wadah edukasi & informasi yang menjawab kebutuhan pemuda.

Temukan Kami di

  facebook   instagram

  • Home
  • GRII
  • Tentang PILLAR
  • Hubungi kami
  • PDF
  • Donasi

© 2010 - 2025 GRII