Buletin PILLAR
  • Transkrip
  • Alkitab & Theologi
  • Iman Kristen & Pekerjaan
  • Kehidupan Kristen
  • Renungan
  • Isu Terkini
  • Seni & Budaya
  • 3P
  • Seputar GRII
  • Resensi
Isu Terkini
Lukisan Keruntuhan Menara Babel

Ketika Babel Roboh: Analogi Kehancuran Peradaban yang Pongah

17 September 2025 | Hans Yulizar Sebastian 9 min read

Menara Babel yang pertama runtuh ribuan tahun silam, tetapi Babel yang sesungguhnya tidak pernah mati. Ia bereinkarnasi dalam setiap peradaban yang membangun dirinya di atas fondasi kesombongan, yang mabuk akan kuasa hingga lupa bahwa ada Tuhan yang mengatur jagat raya ini.

Ketika Rasul Yohanes menerima penglihatan di Pulau Patmos yang tandus, ia tidak sedang menulis dongeng apokaliptik tentang masa lalu yang sudah berlalu. Ia sedang menyingkap pola abadi sejarah manusia: setiap bangsa yang meninggikan dirinya di atas Allah akan mengalami kehancuran yang sama dahsyatnya dengan kemegahan yang pernah mereka bangun.

Babel yang ditulis oleh Yohanes di Patmos di Wahyu 18:1-5, bukanlah sekadar kota kuno di Perjanjian Lama, melainkan pola besar kesombongan manusia yang terus berulang. Pola itu adalah eksemplarnya. Sedangkan peradaban demi peradaban, dari Babel Kuno, Roma, sampai bangsa-bangsa zaman ini, hanyalah analogi dari kesombongan yang sama.

Apa yang kita lihat di Amerika, Indonesia, atau Nepal bukanlah kebetulan baru, melainkan cermin dari pola lama: manusia yang meninggikan diri di atas Allah pada akhirnya berjalan menuju kehancuran.

Wahyu 18 bukanlah ramalan kabur tentang masa depan yang jauh. Ini adalah diagnosis yang tepat tentang penyakit kronis peradaban manusia, yang gejalanya bisa kita saksikan dengan mata telanjang di era ini. Malaikat yang turun dari sorga dengan kemuliaannya yang menerangi bumi membawa kabar yang mengguncang: “Sudah roboh, sudah roboh Babel, kota besar itu.”

Bukan pengumuman yang akan datang, tetapi deklarasi tentang realitas yang sedang berlangsung. Babel sedang roboh, meskipun para penghuninya masih sibuk berpesta di reruntuhan yang mereka sebut sebagai kemajuan.

Amerika Serikat adalah prototipe sempurna dari Babel kontemporer. Negeri yang dengan megah menyebut dirinya sebagai “land of the free, home of the brave” kini menjadi teater absurd di mana kebebasan berubah menjadi kebebasan untuk membunuh. Setiap tahunnya, lebih dari 40.000 jiwa melayang akibat kekerasan senjata api, angka yang lebih tinggi dari korban perang di banyak negara. Ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat suci pembelajaran berubah menjadi medan perang, di mana anak-anak harus berlindung di bawah meja sambil berdoa agar peluru tidak menemukan mereka.

Yang lebih tragis lagi, sistem politik Amerika tahu persis akar masalahnya. Mereka memiliki data, penelitian, dan bukti empiris yang menunjukkan korelasi langsung antara kemudahan akses senjata dan tingginya angka kematian. Namun, undang-undang senjata tetap dipertahankan dengan dalih konstitusi dan kebebasan individu. Lobi industri senjata telah mengubah Second Amendment menjadi dewa yang harus disembah, meskipun altar persembahannya dipenuhi dengan mayat anak-anak sekolah yang tidak berdosa yang menjadi korban dari mass shooting.

Ironi mencapai puncaknya ketika seorang tokoh politik sayap kanan, yang selama bertahun-tahun membela hak memiliki senjata, justru menjadi korban peluru di tengah keramaian. Kebebasan berpendapat yang diagungkan berubah menjadi risiko nyawa bagi mereka yang berani bersuara.

Inilah wajah Babel Amerika: kebebasan yang berubah menjadi anarki, demokrasi yang dikuasai oleh kepentingan kapital, dan “American Dream” yang berubah menjadi mimpi buruk bagi jutaan warganya. Semua ini hanyalah analogi dari pola yang lebih dalam, eksemplar kesombongan manusia yang percaya bisa membangun dunia tanpa Allah.

Indonesia, tanah air yang kita cintai, memperlihatkan gejala Babel yang tak kalah mengkhawatirkan. Rakyat tidak hanya menderita karena bencana alam atau kemiskinan struktural, tetapi juga karena arogansi elite yang sudah kehilangan empati.

Pajak dinaikkan secara drastis hingga mencekik leher rakyat kecil, sementara para kepala daerah bisa berucap dengan enteng bahwa demonstrasi puluhan ribu orang hanyalah “gangguan kecil” yang bisa diabaikan. Ucapan seperti ini bukan sekadar insensitivitas politik, tetapi manifestasi dari hati yang sudah mengeras, yang tidak lagi mampu merasakan penderitaan rakyat yang dipimpinnya.

Saya mendadak teringat kalimat yang begitu keras ternyatakan dalam Alkitab: “Tetapi Aku akan mengeraskan hati Firaun, sehingga ia tidak akan membiarkan bangsa itu pergi.”

Di gedung parlemen yang megah, para wakil rakyat dengan wajah tanpa dosa menyetujui tunjangan rumah puluhan juta rupiah per bulan. Ketika dikritik, mereka membela diri dengan retorika kosong bahwa “uang ini akan kembali kepada rakyat melalui berbagai program.”

Pembelaan semacam ini terdengar seperti ejekan kepada ibu-ibu yang harus menghitung receh untuk membeli beras, bagi petani yang sawahnya kering karena irigasi rusak, bagi guru honorer yang gajinya tidak cukup untuk menafkahi keluarga.

Puncak dari insensitivitas itu bahkan lebih jelas terlihat ketika ada salah seorang anggota DPR dengan enteng mengatakan bahwa suara rakyat yang meminta “bubarkan DPR” adalah statement paling–maaf–tolol. Lebih memilukan lagi ketika seorang kurir ojek online pengantar makanan tewas dilindas oleh mobil tempur anti huru-hara yang dibeli dengan pajak rakyat.

Inilah wajah asli Babel Indonesia: kekuasaan yang pongah, kata-kata yang sembarangan, dan nyawa rakyat kecil yang begitu murah harganya. Semua ini hanyalah analogi nyata dari eksemplar yang lebih besar, yaitu kesombongan peradaban yang melupakan Allah.

Nepal, negeri miskin yang terjebak di antara dua raksasa Asia, memperlihatkan drama Babel yang lebih brutal dan telanjang. Rakyat di sana bukan hanya miskin secara ekonomi, tetapi sengaja dimiskinkan secara politik. Media sosial ditutup untuk membungkam suara kritik, kebebasan pers dibatasi untuk mencegah penyebaran informasi, dan rakyat dibiarkan kelaparan agar tetap tunduk pada kekuasaan.

Strategi politik “starve them into submission” diterapkan dengan sistematis oleh rezim yang lebih takut kehilangan kursi daripada melihat rakyatnya menderita.

Ketika kesabaran rakyat mencapai batas, ledakan sosial tidak bisa dihindari lagi. Demonstrasi besar meletus seperti gunung berapi yang sudah lama menahan tekanan.

Parlemen diserbu, gedung pemerintahan dibakar, dan perdana menteri akhirnya mundur dengan muka pucat. Tetapi respons pemerintah bukannya introspeksi, melainkan kekerasan yang lebih brutal. Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet, bahkan peluru sungguhan, kepada demonstran yang sebagian besar adalah rakyat biasa yang frustrasi.

Puluhan orang tewas, ribuan terluka, dan Nepal berubah menjadi medan perang sipil. Inilah Babel di puncak Himalaya: kekuasaan yang berdiri di atas penderitaan rakyat, sistem yang lebih memilih kekerasan daripada keadilan. Semua ini sekali lagi hanyalah analogi dari eksemplar kesombongan yang menolak Allah, pola yang sama sejak menara Babel pertama kali dibangun.

Tiga negara ini, Amerika, Indonesia, dan Nepal, mewakili spektrum yang lengkap dari patologi Babel modern. Amerika menunjukkan bagaimana kebebasan bisa berubah menjadi lisensi untuk melakukan kekerasan. Indonesia memperlihatkan bagaimana demokrasi bisa dibajak oleh elite yang korup dan tidak sensitif. Nepal mendemonstrasikan bagaimana otoritarianisme bisa menggunakan kemiskinan sebagai alat kontrol politik. Namun, di balik perbedaan sistem dan konteks, ada benang merah yang sama: kesombongan kekuasaan yang sudah kehilangan kontak dengan kemanusiaan. Semua hanyalah analogi yang berbeda wajah dari satu eksemplar yang sama: kesombongan manusia melawan Allah.

Abraham Kuyper pernah mendeklarasikan dengan suara yang bergemuruh, “Tidak ada satu inci pun dari dunia ini yang Kristus tidak berteriak, ‘Itu milik-Ku!'” Kalimat ini bukan sekadar statement theologis yang indah, tetapi proklamasi revolusioner tentang kedaulatan Allah yang absolut. Dunia ini bukan milik Babel dengan segala kemegahannya. Dunia ini bukan milik para penguasa yang pongah dengan segala kekuasaannya. Dunia ini bukan milik sistem kapitalis, oligarki politik, atau rezim otoriter dengan segala eksploitasinya. Dunia ini adalah milik Kristus, dan Dialah yang memegang kendali sejarah dengan tangan yang adil dan kasih yang sempurna.

Kristus adalah Tuhan sejarah yang sejati, yang mengingat setiap air mata yang ditumpahkan oleh penindasan, yang mencatat setiap jeritan keadilan yang diabaikan, dan yang melihat setiap kebusukan yang berusaha disembunyikan di balik topeng kemajuan. Dialah yang akan menutup pesta Babel dengan penghakiman yang adil, tidak dengan dendam, tetapi dengan keadilan yang memulihkan tatanan yang benar. Creation, regain!

Dan di tengah kehancuran Babel yang sedang berlangsung, gereja mendapat panggilan yang jelas dan tidak bisa ditawar: “Pergilah kamu, hai umat-Ku, pergilah dari padanya supaya kamu jangan mengambil bagian dalam dosa-dosanya.”

Ini bukan ajakan untuk menjadi pertapa yang lari dari tanggung jawab sosial. Ini adalah panggilan untuk menjadi countercultural community yang menolak nilai-nilai Babel, yang tidak ikut mabuk dalam pesta kekuasaan dan kekayaan, dan yang tidak mencari legitimasi dari sistem yang busuk.

Gereja yang sejati adalah gereja yang berani berkata “tidak” pada Babel, meskipun harus membayar harga yang mahal. Gereja yang sejati adalah komunitas yang memilih untuk berpihak pada yang lemah dan tertindas, meskipun harus berhadapan dengan kekuasaan yang korup. Gereja yang sejati adalah persekutuan yang mendemonstrasikan alternatif dari sistem Babel dengan cara hidupnya yang penuh kasih, keadilan, dan integritas.

Babel sedang roboh, meskipun para penghuninya masih belum menyadarinya. Debunya sudah mulai beterbangan di Amerika, terlihat dalam setiap tragedi penembakan yang tidak berkesudahan. Retak-retaknya sudah tampak di Indonesia, terungkap dalam setiap skandal korupsi dan arogansi elite. Fondasinya sudah goyah di Nepal, terbukti dalam setiap kerusuhan sosial dan penindasan politik. Semua ini adalah analogi nyata dari pola besar yang Yohanes lihat, eksemplar yang sama tentang kesombongan manusia yang akhirnya akan dihakimi oleh Allah.

Pertanyaan yang mendesak bagi kita semua adalah: di manakah kita akan berdiri ketika Babel benar-benar runtuh? Apakah kita akan tenggelam bersama peradaban yang pongah, ikut terseret dalam pusaran kehancuran yang mereka ciptakan sendiri? Ataukah kita akan berdiri bersama Kristus, satu-satunya Raja yang memerintah dengan keadilan dan damai, yang kerajaan-Nya tidak akan pernah berakhir?

Berdiri bersama Kristus dalam konteks kita sebagai orang Kristen berarti apa? Apakah ada jawaban konkretnya? Ada.

Gereja harus berani hidup jujur di tengah sistem yang korup, menolak ikut dalam pesta kekuasaan yang busuk, menjaga integritas di pekerjaan sekalipun ada tekanan, menghormati martabat profesi mulia seperti guru dan petani, memperjuangkan suara rakyat tanpa kekerasan, serta menjadikan gereja sebagai rumah yang berpihak kepada yang lemah dan tertindas.  

Pendeta, majelis, dan tua-tua di gereja harus menjalankan tugas dan tanggung jawabnya di mana pun mereka ditempatkan. Semua harus mengambil bagian, baik di gereja maupun di dunia pekerjaan. Jangan korupsi, tetap setia menjalankan mandat yang Tuhan sudah percayakan kepada kita masing-masing. Beri contoh kepada jemaat. Beri contoh kepada dunia. Jalankan fungsi garam dan terang dalam hal ini.

Inilah wujud konkret dari iman yang tidak abstrak, iman yang hadir dalam kehidupan sehari-hari, iman yang menolak tunduk pada Babel. Gereja tidak boleh mencari muka kepada para pebisnis untuk membesarkan rekening, sedangkan mereka yang marginal malah tetap dikucilkan dan diperlakukan seperti bagaimana pemerintah korup memperlakukan rakyatnya.

Pilihan ini bukan sekadar preferensi theologis atau pandangan hidup yang abstrak. Ini adalah pilihan eksistensial yang menentukan masa depan kita, masa depan gereja, dan masa depan bangsa!

Pilihan inilah yang akan menentukan: apakah kita menjadi bagian dari masalah atau bagian dari solusi, apakah kita menjadi agen Babel atau agen Kerajaan Allah.

Babel sedang roboh, dan suara dari sorga terus bergema: “Pergilah, hai umat-Ku.” Waktu untuk memilih sudah tiba. Waktu untuk berdiri sudah datang. Dan dalam pilihan ini, kemuliaan kembali kepada Allah yang berdaulat atas seluruh sejarah, yang akan menegakkan keadilan-Nya di tengah kehancuran dunia yang sombong.

Soli Deo Gloria.

Hans Yulizar Sebastian

Jemaat GRII Pusat

Tag: babel, indonesia, isu terkini, Korupsi, nepal, Politik, suara gereja

Langganan nawala Buletin PILLAR

Berlangganan untuk mendapatkan e-mail ketika edisi PILLAR terbaru telah meluncur serta renungan harian bagi Anda.

Periksa kotak masuk (inbox) atau folder spam Anda untuk mengonfirmasi langganan Anda. Terima kasih.

logo grii
Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia

Membawa pemuda untuk menghidupkan signifikansi gerakan Reformed Injili di dalam segala bidang; berperan sebagai wadah edukasi & informasi yang menjawab kebutuhan pemuda.

Temukan Kami di

  facebook   instagram

  • Home
  • GRII
  • Tentang PILLAR
  • Hubungi kami
  • PDF
  • Donasi

© 2010 - 2025 GRII