Dalam perjalanan sejarah sebuah peradaban, ada yang dikenal sebagai “Masa Keemasan”. Apabila kita membuka Kitab Suci, kita akan menemukan masa keemasan Israel pada masa kerajaan Daud dan Salomo. Pada zaman itu, Daud adalah raja yang memenangkan banyak peperangan dan tiap bangsa lainnya tunduk kepada kekuasaannya. Salomo adalah raja yang membawa perdamaian dan kemakmuran sampai saja ada sebuah ayat yang mengatakan bahwa perak dipandang tidak berharga (1 Raja 10:21). Bayangkan suatu masa di mana seluruh dunia tunduk kepada suatu negara superpower dan alat tukar yang menjadi mata uang adalah batu-batu berharga.
Tidak hanya di Israel, kita juga bisa menemukan masa keemasan pada kerajaan Tiongkok pada Dinasti Tang. Di masa itulah, kesusastraan, ekonomi, seni, dan berbagai macam perkembangan sains sangat dimajukan oleh kaisar Tang Tai Zong. Tidak hanya di situ, kita juga akan menemukan masa keemasan Inggris pada zaman kerajaan Victoria. Wilayah kekuasaan yang ditempati oleh kerajaan Inggris hampir di seluruh wilayah dunia, lebih besar daripada kerajaan Ottoman. Sampai saja, ada sebuah pepatah yang berbunyi: “Kerajaan yang mana matahari tidak pernah terbenam” (the empire on which the sun never sets). Menariknya, masa keemasan ini adalah momen yang menimbulkan rasa bangga yang sangat besar sekaligus menimbulkan rasa pahit yang demikian mendalam.
Negara Israel hari ini sangatlah jauh daripada bangsa Israel pada zaman kerajaan Daud dan Salomo. Negara Tiongkok yang pernah dijajah oleh Inggris, jatuh dan bangkit dalam “kekaisaran” atau pemerintahan Komunisme tidak bisa mencapai masa kejayaan seperti pada masa dinasti Tang. Demikian juga, negara Inggris yang baru terkikis dari sistem perekonomian Uni Eropa melalui Brexit dan disertai dengan masalah rasisme tidak bisa mencapai kejayaannya pada masa Victoria. Yang sudah berlalu ada di masa lampau, dan hanya berhenti menjadi sebuah kenangan nostalgia, seperti sebuah mimpi yang pernah terjadi. Sebesar apa pun kerajaan yang pernah bangkit dan ada, dia tetap saja akan menjadi sebuah kenangan. Di manakah Mesir, Asiria, Babel, Persia, Yunani, dan Romawi yang raksasa itu? Baik Alkitab maupun sejarah mencatat bahwa mereka pernah ada dan ditakuti oleh setiap kerajaan, dan ketika kita melihat kembali, mereka hanya menjadi sebuah catatan sejarah – yang boleh ada dan boleh tidak ada.
Pada saat ini, Indonesia sedang menghadapi sebuah titik kritis. Titik kritis itu mengarah kepada beberapa kemungkinan, dan ada dua yang ada di hadapan kita. Yang pertama, “Bangsa ini akan mencapai Indonesia Emas pada tahun 2045”. Yang kedua, “Bangsa ini akan terjebak dalam middle-income trap”, yaitu menjadi negara yang terjepit di antara negara berkembang dan maju. Terakhir, “Bangsa ini akan jatuh lebih parah daripada masa-masa sejarah sebelumnya”. Kalau kita menggunakan pendekatan saham dan finansial, ada sebuah prediksi yang bersifat optimis, konservatif, dan pesimis. Dan kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya kecuali dengan mempelajari sejarah, dan menunggu sampai peristiwa itu betul-betul sudah terjadi.
Pada dasarnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang masih bernostalgia. Masa keemasan Indonesia adalah pada zaman kerajaan Majapahit. Luas wilayah kerajaan tersebut sudah seperti kerajaan Romawi. Bila kita membuka sebuah peta dan mencoba untuk melihat kemiripan antara Indonesia dan Romawi, maka kita dapat melihat sebuah persamaan. Luas wilayah Indonesia sudah seperti Eropa, luas wilayah kerajaan Majapahit sudah seperti kerajaan Romawi. Masa Keemasan yang muncul pada kerajaan Majapahit melekat dalam benak masyarakat Indonesia dari masa kolonialisme VOC-Belanda, kolonialisme Jepang, bahkan sampai hari ini. Sebagaimana bangsa Eropa terus bernostalgia tentang “Romawi Baru”, demikian juga kita juga sering memikirkan “Majapahit Baru”, “Majapahit zaman now”, “Majapahit di masa depan” yang dijanji-janjikan pada Indonesia Emas 2045.
Pada masa Orde Lama, Sukarno dipandang sebagai “ratu adil” yang akan menyelamatkan Indonesia dari penjajahan. Pada masa Orde Baru, Suharto dipandang sebagai “raja Jawa” yang melakukan pembangunan Indonesia menjadi “macan Asia”. Pada masa Orde Reformasi, yaitu ketika pertama kali sistem demokrasi baru dijalankan secara prosedural, masyarakat Indonesia terus menerus melakukan voting untuk mencari “raja Jawa” yang akan membawa Majapahit itu kembali. Akan tetapi, sebagaimana setiap dinasti bangkit dan jatuh, setiap “ratu adil” yang menjadi sosok mesianis Jawa naik takhta, pada akhirnya jatuh sebagai seorang penindas dan pengkhianatan “rakyat kecil” (wong cilik). Dengan demikian, konotasi yang menjadi “raja Jawa” tidak betul-betul mutlak menjamin bahwa dia adalah ratu adil yang sejati. Hayam Wuruk dan Gadjah Mada yang membawa Majapahit menjadi kerajaan superpower di Asia Tenggara sekalipun tidak menjamin keberlangsungannya selama beberapa generasi setelah mereka bertemu dengan ajalnya.

Dalam 20 tahun lagi, memang benar Indonesia akan menuju masa “keemasan”. Perekonomian Indonesia bisa menjadi salah satu dari 7 negara dengan perekonomian terkuat di dunia. Populasi masyarakat Indonesia yang besar berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi. Hal inilah yang menjadi sebuah “janji”, mimpi yang diinginkan, dan sebuah bayangan tentang “Kebangkitan Majapahit Baru”. Dalam situasi politik saat ini, banyak sekali elit yang ingin mengambil kesempatan ini untuk mendapatkan uang dan kekuasaan, sambil berlindung di balik nama “Indonesia Emas 2045” untuk melakukan segala cara demi mempertahankan posisi kekuasaan (status quo). “Jikalau kita bisa mendapatkan hasil yang bagus, maka segala cara untuk mencapainya dapat dibenarkan” (the end justify the means). Bukankah cara berpikir pragmatis seperti demikian yang dipakai sehingga hukum dan kesehatan konstitusional pun dipandang sebagai sebuah aksesoris yang dapat diutak-atik?
Kalau mau konsisten dengan cara berpikir seperti demikian, maka sebetulnya hal tersebut dapat membenarkan apa pun. Mari kita coba jabarkan satu per satu. Demi mempertahankan kesatuan dan kestabilan negara, maka dua juta jiwa (2,000,000) boleh dimatikan oleh karena perihal 30 September 1965. Demi membuat Indonesia menjadi macan asia, maka korupsi dapat dilakukan dan negara boleh “jual pasal” demi kapitalisme global. Demi menjaga Indonesia bisa mempunyai “keberlanjutan” dalam pembangunan menuju Indonesia Emas 2045, maka institusi hukum boleh dilecehkan oleh tokoh politik, dan rakyat menjadi “pion-pion” yang boleh dijadikan budak kekuasaan. Seolah-olah, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) bisa menjadi sebuah tiket emas yang mengantar bangsa ini menuju Indonesia emas 2045.
“Mereka melakukan kejahatan dengan kedua belah tangan, dan betapa mahirnya mereka menggunakan tangan mereka! Penguasa maupun hakim menuntut suap. Orang besar berbuat sesuka hati mereka. Hukum dan keadilan diputarbalikkan di antara mereka.” (Mikha 7:3)
Bukankah ada suatu bangsa yang rela hidup diperbudak di Mesir dengan modal kasih bawang dan daging, demikian juga berikan suatu bangsa “makan siang gratis” dan juga hiburan joget di media sosial seperti yang pernah dilakukan oleh Romawi (bread and circus). Lepas dari Mesir tidak menjamin suatu bangsa sudah merdeka dari budaya perbudakan. Setelah melalui Laut Merah pun, bangsa yang pernah menjadi mantan-budak masih dapat menipu diri sendiri dengan menciptakan sebuah utopia yang akan mengantarkan mereka kepada “kejayaan” seperti yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain. Diterimanyalah itu dari tangan mereka, dibentuknya dengan pahat, dan dibuatnyalah dari padanya anak lembu tuangan. Kemudian berkatalah mereka: ”Hai Israel, inilah Allahmu, yang telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir!” (Keluaran 32:4).
Sayangnya, bangsa Indonesia yang lama diperbudak dalam mentalitas “gratis dan instan” juga ingin terus diperbudak oleh sistem dan budaya seperti demikian. “Hai bangsa Indonesia, inilah lembu emasmu, yang akan membawa engkau keluar dari masa kesulitan. Inilah raja Jawa dan ratu adilmu yang akan membawa kita kepada masa keemasan. Dan demi utopia tersebut, yaitu demi kembalinya Indonesia ke masa “Majapahit Baru”, mari kita rela menjual integritas hukum dan demokrasi yang sudah diperjuangkan puluhan tahun, demi bisa “makan siang gratis, nonton joget, makan gaji besar. Gitu saja kok repot?”. Andaikan saja suatu kerajaan sedang berjalan ke suatu keemasan, kita dapat melihat bahwa mereka mulai dengan cara berpikir “kita sedang mengalami kesulitan, maka kita harus berjuang”. Kerajaan Israel dihadapkan dengan Filistin, Dinasti Tang dihadapkan dengan Yan, dan Inggris dihadapkan dengan armada Spanyol. Mereka semua hanya dapat mencapai masa keemasan dengan darah, keringat, dan air mata (blood sweat and tears), bukan makan gorengan gratis dan nonton konten micin. Itu pun tepat setelah dia mencapai titik puncak, sekali dalam seluruh sejarah peradaban, bangsa itu akan mulai jatuh. Terjebak dalam individualisme dan kenyamanan, mereka tidak lagi mempunyai komitmen untuk berjuang.
Kita tidak perlu jauh-jauh bermimpi tentang Indonesia Emas 2045, sekarang saja sudah mulai jatuh. Saat ini saja, nyaris 10 juta generasi Z secara masif sulit mendapatkan kerja[1]. Itu pun belum terhitung dengan tren menurunnya minat warga Indonesia untuk berkeluarga yang akan berujung pada depopulasi. Jumlah kegiatan seks meningkat, tetapi komitmen untuk bertanggung jawab dalam berkeluarga menurun.[2] Awalnya, saya mengira bahwa tren individualisasi, di mana tiap orang lebih mementingkan diri dan kehidupan soliter, akan berkembang pada tahun 2030an, ternyata itu sudah mulai terjadi sekarang. Individualisme, pragmatisme, dan kehidupan konsumtif tanpa rasa peduli terhadap orang lain, yakni mentalitas manja dan egosentris, menjadi sebuah wabah saat ini. Itulah akar masalah yang rentan dimanipulasi dengan “janji-janji utopia”. Hasil akhir tidak membenarkan sarana, tetapi sarana pasti menentukan hasil akhir (the end does not justify the means, the means will always determine the end).
“Ada jalan yang disangka lurus, tetapi ujungnya menuju maut” (Amsal 16:25)
“yang berkata kepada sepotong kayu: Engkaulah bapaku! dan kepada batu: Engkaulah yang melahirkan aku! Sungguh, mereka membelakangi Aku dan tidak menghadapkan mukanya kepada-Ku, tetapi pada waktu mereka ditimpa malapetaka mereka berkata: Bangkitlah menyelamatkan kami! Di manakah para allahmu yang kaubuat untuk dirimu? Biarlah mereka bangkit, jika mereka dapat menyelamatkan engkau pada waktu malapetakamu!” (Yeremia 2:27-28)
Seandainya kita bisa melek terhadap masalah yang sedang berkembang saat ini, kita akan melihat bahwa bangsa kita sedang diancam dengan “Indonesia Cemas 2025-2045”. Keinginan untuk mengembalikan Majapahit dapat saja berujung kepada “Masapahit”. Jangankan kita bermimpi untuk menjadi negara middle income, kita sudah menjadi negara hukum yang dikonversi menjadi negara korup. Setiap Orde pemerintahan di Indonesia akan berhenti pada suatu ketika. Kita tidak pernah tahu kapan “Orde Reformasi” akan berhenti dan digantikan dengan “Orde Neo-Orba”, “Orde Majapahit”, “Orde Khilafah”, dan “Orde-Orde” lainnya dengan segala versi ideologis dan utopia yang ditawarkannya.
Sebagai umat Kristiani, kita hadir bukan untuk mengabdi kepada Kota Dunia di mana raja Jawa atau raja-raja dunia lainnya bertakhta. Mereka hanyalah manusia yang Tuhan izinkan berkuasa untuk sementara waktu. Kita ada di dunia, tetapi bukan milik dunia. Kita adalah warga milik Kota Allah yang kebetulan saja sedang bersinggah di suatu masa dengan berhala “lembu emas” yang ditawarkan dan dipuja oleh orang-orang setempat. Ketika dunia menawarkan “lembu emas” atau utopia, kita tidak tunduk kepadanya sebab kita sudah mendapatkan jati diri yang lebih berharga di Kota Yerusalem Baru. Ketika berhala tidak dapat menyelamatkan kota Dunia yang sedang hancur, di mana segala kemuliaannya menjadi fana, kita dapat berseru kepada penduduk setempat bahwa ada Kota Allah di sana, dan pengharapan itu nyata.
Setiap kali Indonesia mengalami krisis dalam sejarah, umat Kristiani bertumbuh. Pada peristiwa 30 September 1965, umat Kristiani membuka pintu gereja dan bersaksi tentang Injil kepada orang “Komunis dan PKI” yang akan dimatikan. Pada kerusuhan 1998, gereja adalah tempat yang menyatakan bahwa kasih Allah dapat menyatukan manusia dari ras mana pun. Di hadapan Tuhan, tidak ada lagi orang Yahudi maupun Yunani, Tionghoa maupun non-Tionghoa. Inilah semangat persatuan yang diidam-idamkan oleh bangsa Indonesia, dan bersumber dari gereja yang dilandaskan pada kasih Kristus yang menyatukan. Sekarang, Indonesia sedang mengalami krisis dalam kehidupan negara, masyarakat, dan berhadapan dengan sebuah “utopia” atau lembu emas, kira-kira apa yang perlu kita lakukan untuk menjadi saksi di tengah bangsa ini?
“Kesudahan mereka ialah kebinasaan, Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan mereka ialah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara duniawi.
Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat” (Filipi 3:19-20)
Kevin Nobel Kurniawan
24 Agustus 2024
Referensi
Anderson, Benedict. 1990. The Idea of Power in Javanese Culture. Cornell University Press.
Augustine. 2003. The City of God (M. Dods, Trans.). Modern Library.
Dawson, Christopher. 2002. The Dynamics of World History. Liberty Fund.
Ellul, J. 1965. Propaganda: The Formation of Men’s Attitudes (K. Kellen & J. Lerner, Trans.).
Kurniawan, Kevin. 2023. Refuge for The Stranger: A Baumanian-Levinasian Review on Religion Amid Refugee Crisis. Societas Dei, 10(2): 125-144.
Mannheim, Karl. 1936. Ideology and utopia: An introduction to the sociology of knowledge (L. Wirth & E. Shils, Trans.). Harcourt, Brace & Co.
Roosa, John. 2006. Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia. University of Wisconsin Press.
Suseno, Franz Magnis. 1999. Etika politik: Prinsip-prinsip moral dasar kenegaraan modern. PT Gramedia Pustaka Utama.
Suseno, Franz Magnis. 2017. Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme. Kompas Penerbit Buku.
Situs Internet
[1] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20240529103105-532-1103213/989-juta-gen-z-di-indonesia-menganggur
[2] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240807194006-20-1130461/bkkbn-tren-pernikahan-dini-menurun-hubungan-seks-meningkat