Menyikapi Pandemi Sebagai Orang Kristen

Kronologi Pandemi COVID-19

COVID-19 adalah singkatan dari Coronavirus Disease 2019 (Penyakit Virus Korona 2019). Penyebaran COVID-19 dimulai sejak bulan November 2019 dari kota Wuhan, Republik Rakyat Tiongkok. Awalnya, hanya tiga peneliti Wuhan Institute of Virology yang menderita sakit dengan gejala seperti flu.1 Namun dalam waktu beberapa minggu saja, banyak orang di kota Wuhan dan kota-kota lain mulai terjangkit penyakit yang sama. Kemudian di bulan Januari 2020, penyakit ini juga muncul di Thailand, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan lain-lain. Penyakit ini akhirnya masuk ke Indonesia pada bulan Maret 2020. Satu setengah tahun kemudian, penyakit ini sudah berkembang menjadi pandemi, yaitu penyakit yang telah merambah ke hampir seluruh muka bumi. Di bulan Juli 2021, tercatat setidaknya sudah ada 200 juta manusia yang terjangkit COVID-19 dan ada empat juta orang yang meninggal.2 Di Indonesia sendiri tercatat sedikitnya ada tiga juta orang yang terjangkit dan 90 ribu yang meninggal.3

Dalam waktu yang relatif singkat, COVID-19 telah mengubah kehidupan manusia di muka bumi. Mimpi dan ambisi menguap, relasi merenggang, bisnis anjlok, sistem kesehatan ambruk, tempat ibadah tutup, dan nyawa manusia melayang. 

Penyebab Pandemi: Virus SARS-CoV-2

Apakah yang menyebabkan penyakit COVID-19 ini? Penyakit ini disebabkan oleh virus SARS-CoV-2. Virus adalah materi organik yang sangat kecil. Virus SARS-CoV-2 kira-kira berukuran 1.000 kali lebih kecil daripada diameter rambut manusia.4 Virus hanya bisa dilihat dengan menggunakan mikroskop. Karena ukuran virus yang sangat kecil, kita tidak bisa melihatnya dengan mata kita. Walau mata kita tidak bisa melihatnya, bukan berarti virus ini tidak ada. Orang yang terpapar virus ini melalui mata, hidung, atau mulut kemungkinan besar akan menyebabkan virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan merusak tubuh sehingga menimbulkan gejala-gejala seperti bersin, pusing, batuk, demam, sesak napas, nyeri dada, dan sebagainya. Karena kita tidak melihat virus ini, salah satu cara pencegahan yang mungkin kita lakukan adalah dengan menghindari orang lain serta mencegah virus tersebut memasuki mata, hidung, dan mulut kita dengan masker dan mencuci tangan sebelum menyentuh mulut, hidung, dan mata kita. Namun, seketat apa pun protokol kesehatan yang kita lakukan, tetap ada kemungkinan bagi virus ini untuk masuk ke dalam tubuh kita dan menyebabkan kita menjadi sakit.

Mengetahui aspek ilmiah dari pandemi ini tentu adalah hal yang baik, tetapi tidak dapat memberikan kita penghiburan di tengah penderitaan. Tanpa mengerti maksud di balik penderitaan yang kita alami, kita akan mengalami keputusasaan (despair). Mengapa hidup jika hidup begitu menderita? Kalau hidup sulit seperti ini, mengapa saya harus hidup satu hari lagi? Mengapa di tengah kehilangan pekerjaan, kesakitan, isolasi, dan kematian kita harus bertahan hidup? Orang yang hanya mengerti aspek ilmiah pandemi saja tidak akan mempunyai alasan yang cukup untuk bertahan hidup. Mengingat pandemi ini mungkin bisa terus ada selama bertahun-tahun, kita mungkin akan bertanya, “Mengapakah saya harus hidup terus di tengah bayang-bayang kematian?” Bukankah lebih baik kita mati saja daripada harus terus menderita? (Pkh. 4:2-3).

Kita harus melihat kepada Allah supaya kita beroleh pengharapan. Kita harus mengerti maksud Tuhan memberikan pandemi ini supaya kita beroleh penghiburan. Kita harus percaya kepada Yesus Kristus supaya kita boleh hidup berkelimpahan.

Tujuan Pandemi: Penghakiman bagi Manusia

Jadi, mengapa Allah memberikan wabah ini kepada manusia? Pertanyaan ini terdengar sangat sulit untuk dijawab. Apakah pertanyaan ini mungkin dijawab? Bagaimanakah kita dapat menemukan jawabannya?

Bagi manusia modern yang sekuler, mereka tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan ini. Bagi mereka, pandemi dan penderitaan secara umum adalah hal yang acak (random) yang terjadi pada hidup manusia: penderitaan terjadi karena kesialan dan ketidakberuntungan orang tersebut. Karena mereka tidak melihat tujuan yang jelas dari pandemi ini, mereka tidak mencoba memetik pelajaran hidup, melainkan mencoba melewati pandemi ini secepat mungkin (misal: dengan vaksinasi massal) supaya mereka dapat segera kembali menikmati hidup dengan jalan-jalan, berkumpul bersama teman-teman, dan sebagainya. Oleh karena itu, media, artikel, dan seminar sekuler tentang pandemi biasanya hanya berfokus kepada pencegahan dan penyembuhan COVID-19 dan bukan bagaimana memaknai dan bertahan melalui pandemi ini. 

Bagi orang Kristen, bagaimanakah cara kita dapat menemukan jawaban dari pertanyaan di atas? Tidak lain dan tidak bukan adalah dengan kembali ke Alkitab. Melalui Alkitab, Allah memberikan jawaban-Nya kepada kita. Apakah tujuan dari pandemi? Mengapa Allah memberikan wabah kepada manusia? Allah memberikan wabah kepada manusia karena Allah ingin menyadarkan manusia akan keberdosaan dan akan penghakiman-Nya.

Penghakiman Allah adalah pukulan Allah sebagai Hakim yang adil terhadap manusia berdosa. Ketika kita mendengar penghakiman, kita mungkin langsung teringat akan Penghakiman Terakhir (The Last Judgment) di hari kiamat. Alasan penghakiman tersebut disebut terakhir adalah karena adanya penghakiman-penghakiman lain yang mendahului Penghakiman Terakhir. Penghakiman-penghakiman tersebut terjadi di hidup ini.

Pandemi (wabah) adalah salah satu dari empat penghakiman Allah di hidup ini. Yehezkiel 14:21 berkata, “Ya, beginilah firman Tuhan ALLAH: Jauh lebih dari itu, kalau Aku mendatangkan keempat hukuman-Ku yang berat-berat [ESV: four disastrous acts of judgments atau keempat tindakan penghakiman yang mendatangkan malapetaka], yaitu pedang, kelaparan, binatang buas, dan sampar, atas Yerusalem untuk melenyapkan dari padanya manusia dan binatang!” Demikian juga di bagian Alkitab lain: 2 Samuel 24:13, Yeremia 27:8, dan Wahyu 6:8 menyatakan pandemi sebagai tindakan penghakiman Allah.

Sekarang ini, kita melihat ada orang fasik yang mati terbunuh karena COVID-19. Namun, kita juga melihat banyak orang Kristen yang mati karena penyakit yang sama. Di sini kita belajar bahwa menjadi orang Kristen yang saleh dan setia bukan berarti tidak akan terkena penyakit ini sama sekali. Demikian juga di Alkitab dikatakan bahwa baik orang benar maupun orang fasik menderita hal yang sama (Pkh. 8:14). Kita bisa memaklumi jika orang fasik menderita hukuman dari Tuhan, karena memang mereka sudah melawan Tuhan, menolak Tuhan, dan melanggar perintah-perintah Tuhan. Ketika mereka menderita, mereka menuai apa yang mereka tabur. Ketika seorang pembunuh mati mengenaskan, kita bisa mengamini bahwa Allah adalah Sang Hakim yang adil dan Dia menghajar manusia berdosa dan membalaskan kejahatan mereka. Namun, mengapakah Allah juga menghajar orang benar, orang yang percaya kepada Yesus Kristus, yang setia, yang rajin berbuat baik? Padahal Dia sudah mengampuni dosa kita di dalam Anak-Nya sendiri. Mengapakah Allah masih menghukum kita yang sudah dibenarkan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita perlu mengingat dua cerita di Alkitab mengenai orang benar: Ayub dan Yesus. Ayub adalah seorang yang saleh dan hidup tidak bercela di hadapan Allah (Ayb. 1:1). Namun, Allah memberikannya penderitaan yang begitu berat: api menyambar domba-dombanya, pedang membunuh hamba-hambanya, angin ribut membunuh anak-anaknya, dan penyakit menggerogoti tubuhnya. Teman-teman Ayub menuduh dia telah berdosa besar sehingga penghakiman datang kepadanya. Ayub kemudian protes dan menyatakan bahwa dia adalah orang tidak bercela (Ayb. 31). Namun, Allah menghardik Ayub karena merasa diri benar (self-righteous) (Ayb. 40:7-8). Dari sini kita belajar bahwa tidak ada seorang manusia pun yang hidup sedemikian rupa tanpa dosa sehingga bisa luput dari penghakiman Allah selain Yesus Kristus sendiri. 

Sesungguhnya Yesus Kristus adalah seorang manusia yang tidak berdosa. Tidak ada seorang manusia pun di zaman Dia yang dapat menunjukkan dosa-Nya (Yoh. 18:13, 38). Namun, Dia sendiri harus menjalani penghakiman Allah (Yes. 53:4). Jadi, jika satu-satunya Orang Benar tidak luput dari penghakiman, tidak ada seorang pun yang bisa melarikan diri dari penghakiman Allah. Demikian 1 Petrus 4:17 berkata, “Sudah saatnya penghakiman dimulai dari keluarga Allah. Dan, jika penghakiman Allah dimulai dari kita, bagaimanakah nasib orang-orang yang tidak taat kepada Injil Allah?” Semua manusia sudah berdosa dan semua manusia akan menerima penghakiman.

Berikutnya, kita perlu mengerti perbedaan antara penghakiman orang fasik dan orang benar. Saya akan membiarkan Yohanes Calvin menjelaskan hal ini kepada kita. Berikut adalah kutipan tulisan yang diambil dari karyanya, Institutes III.iv.31-34:

“[S]etiap dari kita gelisah untuk mengerti tujuan dari ganjaran yang Allah pakai untuk menegur dosa-dosa kita dan betapa berbedanya hal ini dari contoh-contoh ketika Dia memburu orang fasik dan yang terkutuk dalam kemarahan-Nya.

Demi kepentingan pengajaran ini, penghakiman yang satu kita sebut sebagai pembalasan (vengeance); yang lain sebagai ganjaran (chastisement).

Adapun dengan penghakiman pembalasan, kita harus mengerti bahwa Allah membalaskan dendam kepada musuh-musuh-Nya; sehingga Ia mengerjakan murka-Nya atas mereka, Ia mengacaukan mereka, Ia menyerakkan mereka, Ia menjadikan mereka tidak ada lagi. Sebab itu, mari kita mengerti bahwa hal ini sesungguhnya adalah pembalasan Allah: ketika hukuman disertai dengan kegeraman-Nya.

Dalam ganjaran, Ia tidak bersikap keras seperti dalam kemarahan ataupun membalaskan dendam sampai menimbulkan kehancuran. Oleh karena itu, sesungguhnya hal ini bukanlah hukuman atau pembalasan, melainkan koreksi dan teguran.

Yang satu adalah perbuatan seorang hakim, yang lain adalah perbuatan seorang ayah. Sebab, ketika seorang hakim menghukum seorang penjahat, ia menimbang pelanggarannya dan menerapkan hukuman kepada kejahatan itu sendiri. Namun, ketika seorang ayah dengan cukup keras mengoreksi anaknya, ia tidak melakukan hal itu untuk membalaskan dendam kepadanya atau untuk menyiksa dia, melainkan untuk mengajar dia dan membuat dia lebih hati-hati lagi dan menjadi lebih baik.

Supaya kita dapat menyimpulkan keseluruhan hal ini dengan cepat, biarlah hal ini menjadi yang pertama dari dua perbedaan: di mana ada hukuman untuk pembalasan, di sana kutukan dan murka Allah diperlihatkan, dan Ia tidak pernah memberikan kedua hal ini kepada orang-orang percaya. Sebaliknya, ganjaran adalah berkat Allah dan juga memberikan kesaksian mengenai kasih-Nya, seperti yang Kitab Suci ajarkan (Ayb. 5:17; Ams. 3:11-12; Ibr. 12:5-6).

Berikutnya, marilah kita memperhatikan perbedaan yang kedua. Ketika orang fasik dihajar dengan cambuk Allah, mereka seakan-akan sudah memulai menerima penghukuman sesuai dengan penghakiman-Nya. Walaupun mereka tidak akan dapat melarikan diri dari hukuman, karena mereka tidak mengindahkan tanda-tanda dari murka Allah, mereka tidak dihukum supaya mereka memiliki watak yang lebih baik, tetapi hanya supaya mereka mendapati Allah ternyata adalah seorang Hakim dan Pembalas di dalam penderitaan berat mereka. Sebaliknya, anak-anak dihajar dengan tongkat, bukan supaya mereka membayar hukuman dosa-dosa mereka kepada Allah, melainkan supaya mereka dibawa kepada pertobatan. Dengan demikian, kita mengerti hal-hal ini lebih berhubungan dengan masa depan daripada masa lalu.”5

Di sini Calvin mengajarkan bahwa penghakiman bagi orang fasik dan orang benar mempunyai dua tujuan yang berbeda. Bagi orang fasik, penghakiman ditujukan Allah untuk membalas orang berdosa. Sedangkan bagi anak-anak Allah, penghakiman ditujukan Allah sebagai disiplin seorang Bapa kepada anak-Nya: supaya mereka menjadi makin kudus. Setiap anak akan mendapat disiplin dari ayahnya. Ibrani 12:7-8 berkata, “Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.” Jadi, orang fasik dihakimi untuk dihukum dan orang kudus dihakimi untuk dikuduskan.

Menyikapi Penghakiman Allah

Pandemi COVID-19 merupakan sebuah penghakiman Allah bagi dunia ini dan bagi Gereja-Nya. Sejak Adam berdosa hingga hari ini, dunia tidak pernah kekurangan alasan untuk menerima penghakiman Allah. Di tengah pandemi pun masih ada banyak orang yang melakukan kejahatan: mendaur ulang alat tes antigen, mafia obat-obatan, kartel pemakaman, korupsi dana bansos, eksploitasi pekerja dan buruh, dan seterusnya. Namun, fokus kita seharusnya bukan kepada kejahatan dunia ini, melainkan kepada diri kita sendiri sebagai Gereja Tuhan. 

Kita perlu melihat pandemi COVID-19 sebagai disiplin Allah bagi kita, panggilan bagi kita untuk meninggalkan dosa-dosa kita, dan hidup bagi Tuhan dengan lebih sungguh-sungguh. Kita perlu menguji diri kita, apakah selama ini kita hidup hanya bagi diri sendiri atau bagi Tuhan? Apakah selama ini kita lalai mempersiapkan kematian dan terlalu menikmati dunia, sehingga kita terkejut dan ketakutan ketika kematian tiba-tiba mengetuk pintu rumah kita? Apakah selama ini kita menjalankan bisnis yang mengeksploitasi pekerja dengan menggaji karyawan di bawah upah hidup layak? Apakah selama ini kita lebih bersandar kepada harta dan teknologi daripada Tuhan sehingga kita kecewa karena kedua hal ini gagal menyelamatkan kita saat ini? Apakah selama ini kita hanya hidup bagi diri kita dan keluarga kita dan gagal memperhatikan kehidupan sesama jemaat? Apakah selama ini kita hanya menumpuk harta bagi keluarga kita sendiri dan gagal membagikannya kepada orang di sekitar kita yang membutuhkan? Apakah selama ini kita hidup sebagai pelahap dan peminum sehingga sekarang kita ketakutan karena pandemi ini banyak membunuh orang-orang yang memiliki penyakit gaya hidup seperti diabetes, obesitas, dan darah tinggi? Apakah selama ini kita menunda-nunda panggilan pernikahan dari Allah demi ambisi karier pribadi dan sekarang kita khawatir kita tidak akan mendapat pasangan hidup karena sulitnya bersosialisasi di tengah pandemi? Apakah selama ini kita menganggap remeh kebaktian dan sakramen dan baru sadar betapa kita telah kehilangan kesempatan untuk dapat beribadah bersama-sama di hadapan Tuhan? Apakah selama ini kita meremehkan firman Tuhan dan lebih menyukai hiburan?

Penulis Ibrani berkata, “Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (12:5-6). Dan juga di Ibrani 4:5, “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!” Oleh karena itu, marilah kita tidak mengeraskan hati kita dan memaknai dan menyikapi pandemi ini sebagai disiplin Tuhan bagi kita supaya kita menyadari kesalahan kita dan memperbaiki kelakuan kita di hadapan Tuhan. Calvin mengatakan, “Terkadang Allah memukul suatu bangsa dengan perang, atau wabah, atau suatu bencana. Di bawah penderitaan bersama ini, seluruh orang harus mendakwa diri mereka sendiri dan mengakui kesalahan mereka.”6 Bapa Gereja Siprianus, seperti dikutip oleh Francis Turretin, berkata demikian, “Tuhan menghajar orang-orang kudus supaya Ia dapat membuat mereka menjadi lebih kudus, dan Ia membuat mereka menjadi lebih kudus supaya Ia dapat menyelamatkan mereka.”7

Mari kita mengingat cerita Nabi Yunus yang mengumumkan penghakiman atas kota Niniwe dan bagaimana penduduk kota tersebut langsung merendahkan diri di hadapan Allah Israel dan berbalik dari kejahatan mereka dan bagaimana Ia berbalik dari rencana penghakiman-Nya (Yun. 3). Kita juga mengingat Yakobus berkata, “Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu” (Yak. 4:8). Demikian juga hari ini, ketika kita meninggalkan dosa kita dan mendekatkan diri kepada Bapa kita melalui Anak-Nya Yesus Kristus, Ia akan menyudahi disiplin-Nya dan memberikan kelegaan kepada kita karena tujuan disiplin-Nya sudah tercapai. Jangan sampai kita menyia-nyiakan didikan Tuhan, menjadi congkak, dan menolak berbalik kepada Dia karena Allah pasti akan menentang kita (Yak. 4:6).

Marilah kita juga sadar bahwa Allah sajalah yang berkuasa di tengah kekacauan pandemi ini, bukan manusia. Dia yang memberikan pandemi ini, Dia sajalah yang dapat mengakhirinya (Yes. 45:7; Am. 3:6). Tanpa berkat Allah, vaksin, masker, tabung oksigen, obat-obatan, isolasi mandiri, penelusuran kontak, protokol kesehatan, dan usaha-usaha lainnya tidak dapat mengakhiri pandemi ini. Mari kita memakai hal-hal ini, tetapi tidak bersandar kepada mereka, tetapi bersandar kepada Allah saja dan mengingat perkataan Ayub, “Sesungguhnya, berbahagialah manusia yang ditegur Allah; sebab itu janganlah engkau menolak didikan Yang Mahakuasa. Karena Dialah yang melukai, tetapi juga yang membebat; Dia yang memukuli, tetapi yang tangan-Nya menyembuhkan pula” (Ayb. 5:17-18).

Pesan Penutup

Sadarkah kita bahwa hidup kita bukanlah milik kita sendiri, melainkan milik Tuhan kita Yesus Kristus? Kita diberikan hidup yang baru di dalam Yesus Kristus supaya kita menjalankan panggilan-Nya (Ef. 2:10). “Panggilan Tuhan” bukan berarti kita melakukan apa yang kita bisa (talenta kita) atau mengejar apa yang kita mau (ambisi kita), seperti yang sering disalahmengerti banyak orang. Yang dimaksud dengan panggilan Tuhan adalah tanggung jawab yang Tuhan berikan secara umum kepada semua orang dan secara spesifik di dalam situasi kehidupan kita. Misalnya, panggilan seorang laki-laki Kristen adalah mengerjakan tanggung jawabnya di hadapan Allah sebagai seorang Kristen, suami (jika beristri), ayah (jika beranak), anak (jika orang tuanya masih hidup), tetangga, anggota gereja, teman, pekerja, seorang warga negara, dan sebagainya. Orang yang menghidupi panggilannya seturut kehendak Tuhan adalah orang benar dan hanya jalan orang benar yang Tuhan kenal (Mzm. 1:6). Hanya kepada orang benar Tuhan berjanji, “Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab, Aku akan menyertai dia dalam kesesakan, Aku akan meluputkannya dan memuliakannya” (Mzm. 91:15). Rasul Paulus, yang mengalami penderitaan yang begitu berat, boleh memiliki penghiburan dan pengharapan akan keselamatan dari Allah karena dia hidup seturut dengan panggilan Kristus.

Sesuai dengan panggilan Tuhan kepada setiap kita, marilah kita membuang segala kejahatan kita. Marilah kita memohon belas kasihan Allah, pengampunan dosa, dan hidup yang baru melalui Anak-Nya, Yesus Kristus. Marilah kita membagikan apa yang kita punya kepada orang yang membutuhkan. Marilah kita berhenti korupsi. Marilah kita berhenti menjadi hamba uang dan mencukupkan diri kita dengan apa yang ada pada kita. Marilah kita berhenti menjadi raja kecil di dalam hidup kita dan tunduk kepada Raja yang sejati, Yesus Kristus. Marilah kita menuruti panggilan-Nya di dalam keluarga, gereja, pekerjaan, pernikahan, dan masyarakat. Marilah berhenti hidup hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga mementingkan orang lain lebih daripada diri sendiri. Marilah kita lebih rajin mempelajari firman Tuhan. Marilah kita hidup menurut firman Tuhan dan bukan menurut passion kita. Marilah kita percaya bahwa pada akhirnya Tuhan yang akan menyertai kita dan mengerjakan segala sesuatu demi kekudusan kita (Rm. 8:28). 

Hans Tunggajaya

Pemuda GRII Singapura

Endnotes:

1. https://internasional.kontan.co.id/news/3-peneliti-lab-wuhan-dirawat-di-rumahsakit-sebelum-pandemi-asal-usul-virus-corona. Diakses pada tanggal 31 Juli 2021.

2. https://www.worldometers.info/coronavirus. Data diambil pada tanggal 31 Juli 2021.

3. https://www.worldometers.info/coronavirus/country/indonesia/. Data diambil pada tanggal 31 Juli 2021.

4. https://www.sciencedirect.com/topics/medicine-and-dentistry/coronaviridae.

5. Calvin, J. (2011). Institutes of the Christian Religion. (J. T. McNeill, Ed., F. L. Battles, Trans.) (Vol. 1, pp. 659-660, 662). Louisville, KY: Westminster John Knox Press. Terjemahan oleh penulis.

6. Calvin, J. (2011). Institutes of the Christian Religion. (J. T. McNeill, Ed., F. L. Battles, Trans.) (Vol. 1, pp. 1242–1243). Louisville, KY: Westminster John Knox Press. Terjemahan oleh penulis.

7. Turretin, F. (1994). Institutes of Elenctic Theology (J. T. Dennison, Jr., Ed., G. M. Giger, Trans.) (Vol. 2, p. 443). Philipsburg, NJ: P&R Publishing. Terjemahan oleh penulis.