Merayakan Pancasila: Kemanusiaan, Ketuhanan, dan Bernegara

Di awal bulan ini kita merayakan lahirnya Pancasila, sebuah dasar negara adiluhung nan perkasa. Pancasila yang merupakan dasar negara digadang sebagai satu arah pikiran, satu arah kepercayaan sebagai sebuah bangsa. Namun, belakangan ini makna Pancasila ini seakan kabur, dan lebih jauh sebagai seorang Kristiani, apa yang membuat kita turut merayakan Pancasila? Kepragmatisan atau herd mentality-kah? Atau ada alasan lain? Pada saat kali ini, penulis akan mencoba merefleksikan pemikiran Pancasila yang tak lepas dalam refleksi iman kita sebagai seorang Kristiani.

Kemanusiaan & Ketuhanan

Sila-sila Pancasila bertautan satu dengan yang lain. Tak mungkin kita memikirkan dan menghendaki keadilan sosial tanpa mengasumsikan konsep martabat manusia. Di sini martabat manusia bukan sekadar pernyataan faktual manusia sebagai makhluk beraspek rohani, lebih jauh di dalam kekristenan kita mengakui manusia adalah cerminan Tuhan, imago Dei. Itulah sebabnya kita menuntut demokrasi. Di dalam kerangka kebangsaan saat ini, satu-satunya cara untuk menghormati penuh martabat manusia dalam bernegara ini adalah demokrasi atau isonomia.

Di sini kita melihat negara menjadi sarana dalam Perikemanusiaan atau penyempurnaan manusia. Mengapa? Karena manusia harus bertumbuh sebagai cerminan Tuhan. Suatu imago, suatu tiruan bisa jauh dari aslinya (archetype) namun bisa juga dekat, dalam keberdosaan ini. Di dalam penyucian, manusia sebagai imago Dei harus bertambah sebagai imago; di situlah letak perkembangan dan penyempurnaannya, meskipun pasti selalu berbeda karena sifatnya analogis.

Maka dalam penjelasan singkat tersebut, kita dapat melihat bahwa sila Ketuhanan menjiwai dan mendasari segala sila yang ada. Sila Ketuhanan merupakan sesuatu yang fundamental di sini. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana sila Ketuhanan ini menjadi asas negara? Mudah sekali menerangkan kenapa demokrasi merupakan asas negara, tidak susah juga mengerti mengapa kebangsaan menjadi dasar negara, tetapi akan sangat sukar dimengerti bila Ketuhanan yang menjadi asas negara, terutama dalam kerangka modern. Bukankah Tuhan harus diisolasi dalam domain gereja saja? Bukankah negara harus murni sekuler?

Untuk memahami kesukaran ini, mari kita ingat sebentar akan Perikemanusiaan. Sila ini, bagaimanapun juga mengandung suatu antropologi tertentu. Nah, pengertian akan antropologi ini mungkin tidak sama bagi tiap-tiap manusia. Yang lebih sukar lagi, ide ini tidak bisa dipaksakan. Antropologi menurut kekristenan, juga Pancasila, mengasumsikan kerohanian manusia. Tetapi jika di dalam bernegara ada orang yang tidak dapat mengakui sisi rohani manusia, ya tidak dapat dipaksakan. Kesukaran ini bertambah hebat ketika membicarakan Tuhan Yang Maha Esa di ranah publik. Soal membuktikan pengertian manusia akan Tuhan (sensus divinitatis) saja sudah susah sekali. Apalagi kalau orang ingin mengerti tentang hubungan Tuhan dengan alam semesta, hubungan Tuhan dengan manusia khususnya, serta hubungan antara kemahakuasaan Tuhan dengan kemerdekaan manusia. Kesemuanya ini hanya untuk menunjukkan kesukaran yang kita hadapi jika kita mengakui sila pertama sebagai dasar negara.

Syukur-syukur, kita yang Kristen ini tidak mengalami kesulitan dalam mengerti hal ini. Tetapi bisa jadi ketidaksulitan yang kita alami mencerminkan sifat naif kita, yang sebetulnya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika bahaya datang sedikit saja, robohlah semua pemikiran dan pendirian kita.

Ketuhanan sebagai Aspek Tidak Langsung

Maka dalam menjawab pertanyaan ini, penulis akan mencoba dengan dua pendekatan, langsung dan tidak langsung. Prinsip langsung adalah prinsip yang mendasari bentuk-bentuk tertentu dari suatu buatan (thing) atau suatu aktivitas. Misalnya, main pingpong itu suatu aktivitas, yang main menggerakan bola dalam suatu bidang tertentu. Maka, prinsip langsungnya adalah adanya bidang tertentu, adanya batasan-batasan, dan adanya pemukul untuk menggerakkan bola. Bahwa orang yang bermain itu bertujuan untuk bersenang-senang ataupun menguruskan badan, tujuan itu tidak dituntut oleh bentuk aktivitas yang kita sebut main pingpong. Orang bisa bermain dengan atau tanpa tujuan yang lain, tetapi yang mutlak adalah tujuan permainan itu sendiri, yaitu mematahkan permainan lawan.

Demikian juga menegara itu sebagai suatu karya raksasa manusia yang memiliki prinsip-prinsip langsung dan prinsip-prinsip tak langsung. Kalau asumsinya menegara itu untuk menciptakan kesejahteraan umum, masyarakat tersebut akan menjelmakan diri menjadi sekumpulan fungsi tertentu, misal fungsi pengamanan dan pertahanan, fungsi perhubungan, fungsi produksi, dan sebagainya. Kesemuanya itu sebagai macam-macam aktivitas yang memiliki prinsip-prinsip langsungnya sendiri. Untuk kesemuanya itu dalam artian tertentu, bisa saja demokrasi dan keadilan sosial dikatakan sebagai prinsip langsung.

Tetapi lebih jauh lagi, seperti yang dikatakan di awal, keadilan sosial sendiri bukanlah fungsi langsung. Keadilan mengasumsikan a fortiori Perikemanusiaan dan sila yang pertama. Misal dalam mengorganisasikan ekonomi suatu negara, mungkin orang-orang hanya akan berpikir prinsip langsungnya saja, yaitu efisiensi, produksi. Nah, prinsip-prinsip tidak langsung bahwa ekonomi untuk menciptakan syarat-syarat berkembangnya kemanusiaan, bisa dipikirkan, bisa juga tidak.

Di sini Perikemanusiaan hanya bekerja sebagai prinsip tidak langsung, sebab Perikemanusiaan sulit untuk diatur dalam undang-undang, ditentukan, dan dikontrol. Di ranah publik Perikemanusiaan juga dimaknai dengan sangat beragam, begitu pula dengan asumsi di belakangnya. Di dalam konsep Puritanisme, konsep Ketuhanan harus menjadi asas yang tidak langsung dalam bernegara. Namun, hal ini bukan berarti prinsip tidak langsung menjadi kalah efisien.

Ketuhanan memang bukanlah prinsip yang langsung dalam bernegara, tetapi kita harus memahami bahwa kita, demi cinta kita kepada Tuhan, akan berusaha menghadirkan prinsip-prinsip Kerajaan-Nya di tempat kita berada. Kata “tak langsung” di sini tidak memungkiri bahwa prinsip tersebut “menyentuh” objek. Di sini mungkin perkataan Rasul Paulus dapat dimengerti, “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1Kor. 10:31).

Ingatlah bahwa menegara, yang praktiknya terpancar dalam macam-macam fungsi itu, merupakan aktivitas yang tertentu. Aktivitas itu memiliki bentuk-bentuk yang tertentu dan tujuannya sendiri. Namun jelas, sebagai orang Kristen, kita melihat tujuan tak langsung yaitu penjelmaan keyakinan kita dan rasa kasih kita kepada Tuhan.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara adalah batasan, adalah hal yang merupakan wajib minimal dan maksimal. Di sini negara harus mengakui Ketuhanan, karena itu wajib di dalam kemanusiaan. Jikalau mengurangi tuntutan ini, negara akan menjadi atheistis.

Dengan demikian kita melihat sila pertama sebagai prinsip bernegara, dengan menjiwai manusia yang menegara. Maka, hidup dan pekerjaan manusia yang menegara itu dijiwai oleh sila Ketuhanan. Dengan ini perbuatan kita beralih menjadi kebaktian dan perayaan akan Ketuhanan, di sinilah kita merayakan Pancasila. Maka, mari kita merayakan Pancasila!

Robin Gui

Pemuda FIRES