Apabila kita bertanya, apa yang menyatukan Indonesia? Selain perasaan nasib bersama sebagai bangsa yang pernah dijajah, bahasa Indonesia yang berfungsi sebagai bahasa ibu yang menjalin hubungan komunikasi, terdapat juga Pancasila. Dari kecil ketika kita upacara, kita sudah cukup sering mendengarkan kata “Pancasila”, serta simbol burung garuda dan kelima sila tersebut di depan kelas. Bangsa Indonesia dibangun berdasarkan Pancasila sebagai ideologi negara dan nilai-nilai kebangsaan. “Pancasila” bagaikan shema yang disuarakan adalah jati diri dari masyarakat Indonesia. Pancasila berarti “lima prinsip” yang menjadi dasar-dasar nilai kebangsaan kita. Kelima prinsip ini seperti “Sepuluh Hukum Taurat” yang mendasari kehidupan berbangsa.
Ketika Sukarno bersama Muhammad Yamin dan Soepomo merumuskan apa yang menjadi nilai-nilai dan ideologi kebangsaan tanah air, mereka mencoba untuk memungut nilai-nilai kebudayaan Nusantara, dan merumuskannya dalam beberapa poin. Setelah melalui waktu yang cukup lama dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), tersusunlah ideologi “Pancasila” dan menjadi nilai-nilai yang diingat oleh tiap warga negara di tanah air. Setelah tersusunnya ideologi Pancasila pada 1 Juni 1945, barulah disusul dengan proklamasi pada 17 Agustus 1945.
“Pancasila” bagaikan shema yang disuarakan adalah jati diri dari masyarakat Indonesia. Pancasila berarti “lima prinsip” yang menjadi dasar-dasar nilai kebangsaan kita. Kelima prinsip ini seperti “Sepuluh Hukum Taurat” yang mendasari kehidupan berbangsa.
Pada awalnya, Pancasila seperti yang dianut sebagai ideologi negara dan nilai kebangsaan saat ini turut mengalami tentangan yang cukup besar. Sampai hari ini pun, terdapat baik oknum maupun kelompok masyarakat yang berupaya untuk menggeser Pancasila sebagai ideologi negara-bangsa. Menjelang hari kemerdekaan, terdapat Piagam Jakarta yang menyatakan bahwa sila pertama berbunyi sebagai berikut: “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal tersebut ditujukan kepada kaum Muslim yang mendorong Nasionalisme-Religius di tanah air, dan itu bukanlah sebuah paksaan yang menuntut kelompok non-Muslim untuk mengikuti sila tersebut.
Walau demikian, kaum Kristiani seperti Johannes Latuharhary menyampaikan keberatannya bahwa Piagam Jakarta cukup “eksklusif” kepada Muhammad Hatta. Wakil Presiden pertama kita lalu mengumpulkan para tokoh agama, dan dengan besar hati, sila pertama dikembalikan menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Langkah tersebut merupakan sebuah langkah persatuan yang diberikan oleh kelompok keagamaan dalam membangun persatuan bangsa. Bagi kelompok Islam moderat, prinsip menjalankan syariat Islam sudah tertuang dalam sila pertama tersebut. Dalam bahasa kita, menjalankan etika Yudeo-Kristiani, seperti menjalankan hukum-hukum yang tertuang dalam Kitab Suci, sudah “difasilitasi” melalui sila pertama tersebut. Dengan kata lain, sejak dari awal, halaman pertama persatuan negara-bangsa Indonesia sudah membuka ruang yang terbuka bagi tiap golongan agama, ras, dan suku. Seseorang bisa 100% seorang Kristen dan tetap 100% Indonesia. Kita tidak perlu mengurangi salah satu bagian untuk menjadi yang lain.
Walau demikian, Pancasila tidaklah kebal terhadap tantangan ideologi alternatif. Pada zaman Orde Lama, perkembangan komunisme cukup menjadi suatu kekhawatiran. Komunisme menuntut negara dictator-proletariat, yang kuat dalam menolak hak asasi manusia dan kebebasan agama. Mereka mengatasnamakan “keadilan sosial” dalam mewujudkan utopia komunisme. Hal itu sudah berlalu; komunisme sebagai sebuah ideologi sudah terbukti gagal di berbagai belahan dunia internasional.
Pada saat ini, tantangan terhadap Pancasila dibunyikan oleh ragam kelompok. Kelompok radikal keagamaan yang menolak kelompok moderat dan minoritas keagamaan turut mengatasnamakan “Ketuhanan yang Maha Esa” untuk kepentingan politik-religius. Kelompok liberal ekstrem yang tidak suka dengan kelompok agamis konservatif-radikal membalas kembali dengan “kemanusiaan yang adil dan beradab”” untuk mengonstruksi utopia liberalisme-humanisme di ruang publik. Fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini cukup banyak mencerminkan fenomena ideological splityang sudah terjadi di Amerika: left vs right, liberal vs conservatism, secular vs religious, democrat vs republican, donkey vs elephant.
Sebagai seorang warga negara, Pancasila perlu dipandang secara utuh. Ketuhanan akan melahirkan kemanusiaan, kemanusiaan akan membangun persatuan, persatuan akan membentuk demokrasi dan mencapai keadilan sosial. Apabila kita “mencomot” salah satu sila dan melakukan interpretasi sesuai agenda suatu kelompok, maka hal tersebut akan merugikan kelompok lain dan memangkas keutuhan persatuan Indonesia. Sebagai orang Kristen, kasih akan Tuhan akan berkonsekuensi kepada kasih kepada sesama manusia. Kasih kepada sesama manusia akan membangun persekutuan yang sehat, dan lain sebagainya. Orang Kristen dapat memberikan interpretasi yang memuat napas Kristiani terhadap Pancasila, tetapi tidak sepantasnya memanfaatkan Pancasila untuk memajukan agenda pribadi sebagai keinginan untuk mewujudkan utopia Christendom. Christendom adalah suatu organisasi atau kerajaan beragama Kristen secara politik, tetapi tidaklah sama dengan kekristenan yang merupakan Kerajaan Allah secara spiritual.
Pada saat ini, Indonesia mulai mengalami polarisasi yang makin kuat. Kelompok agama mulai mewakili “suara tuhan/agama”, kelompok kerakyatan mewakili “suara rakyat/netizen”, dan kelompok birokrat mewakili “suara negara/elit”. Suara mana pun dapat berubah menjadi sebuah kekuatan politik, terlebih lagi Indonesia sudah mulai bergerak menuju tahun politik yang makinmemanas. Bagaimana kita harus menanggapi “keributan” di media sosial? Bagaimana kita harus bersikap secara tenang dan hangat kepada orang yang “berbeda” secara suku, agama, ras, status sosial, ekonomi? Bagaimana kita harus berstrategi dan memilih secara etis calon pemimpin di negeri ini? Apakah kita sadar terhadap kondisi sosio-politik di negeri ini? Jika Muhammad Hatta dan para tokoh agama dahulu kala memperhatikan kita yang sangat kecil dari 3% jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1945, sudah waktunya kita yang sekitar 10% penduduk Indonesia mulai memperhatikan sesama saudara Indonesia lainnnya.
Suara orang Kristen adalah untuk membawa shalom (damai). Agustinus menyatakan bahwa ada dua kota: Kota Allah di mana orang Kristen adalah warga negara, dan Kota Dunia di mana orang Kristen adalah musafir yang diberi “paspor” di negeri tersebut. Sebagai musafir (the stranger) di negeri ini, kita perlu membawakan kabar bahwa setiap pribadi manusia dan kelompok masyarakat adalah berharga di mata Allah. Sebagai warga negara, kita akan mendukung baik tokoh maupun kelompok yang mendukung nilai-nilai Pancasila: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Pancasila adalah ideologi negara yang sangat baik. Melalui ideologi tersebut, Tuhan telah memberikan damai sejahtera seperti kebebasan beragama bagi gereja-Nya. Oleh karena itu, kita yang telah menerima anugerah khusus, tidak boleh lupa dan harus bersaksi dengan lebih baik lagi untuk membawa damai dan kesejahteraan bagi tanah air.
Kevin Nobel Kurniawan
Pemuda GRII Pusat
1 Temuan ini diperoleh dalam karya Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.
2 Ide diambil dari kuliah-kuliah Rm. Prof. Franz Magnis Suseno.
3 Fenomena Ideological Split di Amerika Serikat ditelusuri oleh Jonathan Haidt dalam bukunya The Righteous Mind: Why Good People are Divided by Politics and Religion. Menurut temuan Haidt, kelompok liberal cenderung digerakkan oleh perasaan compassion bagi kelompok miskin dan marginal sehingga cenderung menolak tradisi yang eksklusif. Kelompok konservatif cenderung digerakkan oleh perasaan purity sehingga mempertahankan tradisi yang memiliki nilai yang baik. Kunci untuk membentuk “perdamaian” adalah dengan membangun rasa hormat, saling memahami, dan berdialog.
4 Temuan ini diperoleh dari buku Pdt. Prof. Jan Aritonang dan Karel Steenbrink, The History of Christianity in Indonesia, Hlm. 65.