Tulisan ini lahir dari keresahan saya, seorang Kristen biasa yang, jujur saja, gatal sekali melihat firman Allah dipakai secara serampangan oleh politisi. Bagi orang percaya, Alkitab adalah firman yang hidup, sumber kebenaran yang harus ditafsirkan dengan hati yang gemetar.
Tetapi ketika firman itu dipelintir demi kepentingan politik, maka yang terjadi bukan kesalehan, melainkan penghinaan terhadap Allah sendiri. Dan itulah yang kita saksikan ketika seorang anggota DPR RI dengan ringan tangan mengutip Roma 13:1-7 di tengah badai protes rakyat atas kenaikan tunjangan dan gaji.
Kalau korupsi dilakukan diam-diam, para politisi biasanya memilih bungkam. Mereka tahu tidak ada ayat yang bisa dipakai untuk membenarkan perampokan terhadap hak rakyat. Tetapi begitu rakyat marah, begitu suara protes tidak terbendung, muncullah strategi lain: memakai ayat untuk membungkam.
Roma 13 dipajang seolah-olah menjadi pagar rohani, seolah-olah rakyat yang melawan kebijakan DPR sedang melawan Allah. Inilah bentuk manipulasi yang busuk, firman dijadikan perisai kerakusan.
Roma 13 sama sekali tidak memberi ruang untuk tafsiran semacam itu. Paulus menulisnya kepada jemaat di Roma yang hidup dalam tekanan politik imperium. Pesannya jelas: jangan cari masalah dengan negara, supaya Injil tidak dicap sebagai pemberontakan. Itu adalah nasihat pastoral dalam konteks khusus, bukan lisensi untuk penguasa agar bebas dari kritik.
Paulus malah menegaskan pemerintah adalah “hamba Allah untuk kebaikanmu.” Jadi kekuasaan hanya sah sejauh ia mendatangkan kebaikan. Begitu penguasa merampas keadilan, mandat itu gugur.
Tradisi Reformed sangat keras menekankan hal ini. John Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion (IV.20.6), menulis:
“Let rulers always remember, that they are God’s representatives, entrusted with a commission from Him, and that they must give an account of their stewardship.”
Penguasa adalah wakil Allah, diberi amanat, dan kelak harus memberi pertanggungjawaban. Bila mereka salah pakai kuasa, mereka bukan hanya berkhianat kepada manusia, tetapi juga menodai nama Allah. Dengan kata lain, Roma 13 bukanlah tameng, melainkan cambuk bagi penguasa yang lalai.
Dan justru di sinilah kita melihat kebusukan itu: firman Allah dipakai bukan untuk memperingatkan diri sendiri, tetapi untuk menutup mulut rakyat. Padahal, firman menuntut pejabat rendah hati, jujur, dan rela dikoreksi.
Ketika pejabat mengutip ayat demi mempertahankan fasilitas, ia sedang mempermalukan Alkitab di hadapan publik. Ia menjadikan firman alat politik, padahal firman berdiri untuk menghakimi setiap penguasa.
Lebih jauh lagi, Alkitab pun memberi kontras tajam terhadap kerakusan. Satu Timotius 6:10 menegaskan, “Cinta uang adalah akar segala kejahatan.” Jika DPR berkeras menaikkan gaji dan tunjangan di tengah penderitaan rakyat, bukankah jelas bahwa di balik semua itu ada cinta uang?
Dan kalau memang cinta uang adalah akar segala kejahatan, maka sungguh tidak berlebihan bila rakyat menuntut: potong semua gaji itu, batalkan semua kenaikan itu. Karena hampir pasti setiap politisi yang terlibat dalam keputusan ini sedang terjerat pada akar kejahatan yang sama.
Inilah nuansa Theologi Reformed yang harus kembali didengar, bahwa kedaulatan Allah berdiri di atas segala kuasa manusia. Pemerintah memang ditetapkan oleh Allah, tetapi otoritas mereka tidak pernah absolut. Mereka hanyalah hamba, bukan tuan.
Dan rakyat Kristen, sebagaimana para nabi dahulu, dipanggil untuk bersuara ketika firman disalahgunakan. Amos berteriak bahwa ibadah tanpa keadilan adalah kekejian. Yohanes Pembaptis menegur raja walau nyawanya hilang. Yesus sendiri menghardik penguasa munafik yang suka mengutip firman tetapi hidup dalam kepalsuan.
Maka ketika seorang anggota DPR RI hari ini mengutip Roma 13:1-7 untuk menuntut ketaatan buta, jawabannya jelas. Itulah korupsi ayat. Sama menjijikkannya dengan korupsi uang rakyat. Bedanya, yang satu merampas harta, yang lain menodai firman. Keduanya pengkhianatan, dan keduanya akan mendatangkan murka Allah.
Roma 13 bukan tameng, melainkan cermin.
Dan cermin itu menuntut agar penguasa sadar bahwa ia hanyalah hamba. Bila hamba itu mempermainkan firman demi menutupi kerakusannya, maka firman yang sama akan menjadi saksi penghukuman.
Rakyat mungkin bisa saja diintimidasi dengan ayat yang dipelintir, tetapi Allah tidak bisa dipermainkan. Firman itu hidup, firman itu tajam, dan firman yang dipakai untuk membungkam rakyat justru akan berbalik membungkam penguasa.
Hans Yulizar Sebastian
Jemaat GRII Pusat