Buletin PILLAR
  • Transkrip
  • Alkitab & Theologi
  • Iman Kristen & Pekerjaan
  • Kehidupan Kristen
  • Renungan
  • Isu Terkini
  • Seni & Budaya
  • 3P
  • Seputar GRII
  • Resensi
Isu Terkini

Sejarah: Fakta atau Rumor?

20 Juni 2025 | Kevin Nobel 9 min read

Seorang penulis, George Orwell, pernah menulis sebuah kutipan: “cara paling ampuh untuk menghancurkan suatu bangsa adalah dengan membuatnya lupa akan sejarahnya sendiri”. George Orwell adalah seorang novelis yang pernah membuat karya-karya ternama, seperti 1984 dan The Animal Farm, yang merupakan kritik terhadap perkembangan masyarakat pada saat terjadinya Perang Dingin. Perang Dingin adalah sebuah konteks kehidupan bangsa-negara yang dipenuhi dengan tawaran ideologi yang membentuk persepsi dan memori masyarakat. Kesadaran akan apa yang benar dan salah juga dibentuk sedemikian rupa oleh kekuatan-kekuatan politik yang mencoba untuk mengendalikan masyarakatnya melalui propaganda.

Belakangan ini, terdengar sebuah berita yang cukup heboh, yaitu adanya upaya untuk melakukan penulisan ulang kurikulum buku sejarah Indonesia. Yang lebih menarik adalah salah satu individu di tengah kementerian Indonesia, seorang lulusan doktor sejarah dari universitas ternama di Tanah Air, menyatakan bahwa tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada tahun 1998. Itu hanyalah rumor. Fenomena ini bukanlah kali pertama terjadi dalam tahun pertama masa pemerintahan yang baru ini; ada juga seorang menteri yang sempat menyatakan bahwa pelanggaran HAM 1998 bukanlah pelanggaran HAM yang berat.

Saya tidak perlu menyebutkan nama tokoh atau oknum tersebut, sebab saya percaya bahwa para pembaca sudah kira-kira mengetahui siapa yang dimaksud. Sebagai pengikut Yesus dan musafir di Tanah Air Indonesia, saya kira berita seperti demikian sudah sepatutnya kita ketahui. Selain membaca Alkitab, kita juga perlu membaca berita, dan juga sejarah bangsa-negara di mana kita ditempatkan. Apabila kita kurang memiliki rasa khawatir akan berita di atas, maka ada beberapa kemungkinan yang sedang terjadi. Pertama, mungkin saja kita semua sudah habis kata dan menjadi apatis dalam membaca berita yang makin menunjukkan bahwa negara sedang menuju “Indonesia Gelap”. Atau yang kedua, kita terlalu sibuk membaca konten-konten populer dalam smartphone, dan tidak mengetahui sejarah negara sendiri, khususnya jejak-jejak pelanggaran HAM yang pernah terjadi di masa lampau. Entah yang pertama ataupun yang kedua, saya bisa menyatakan bahwa negara kita sedang tidak baik-baik saja, dan yang disayangkan adalah kalau masyarakat Indonesia tergolong pada kelompok yang kedua, yaitu kita tidak peduli dengan sejarah kita sendiri.

Mengapa sejarah itu penting untuk dipelajari, terlebih lagi ketika sejarah itu menunjukkan dosa-dosa masa lampau? Bukankah apa yang sudah terjadi di masa lampau sepatutnya kita “ampuni”, tutupi, dan kuburkan dalam lupa—supaya kita bisa memulai lembar yang baru? Sejarah menunjukkan sifat manusia dan karakter sebuah bangsa. Apa yang pernah terjadi di masa lampau cenderung mudah terjadi kembali di masa depan. Untuk mencegah “kutukan” dan dosa yang sama, kita perlu mengakui dan mempelajari dosa yang pernah terjadi. Jika kita tidak mengakui dan menerima kesalahan yang pernah terjadi, maka kita akan mengulanginya di masa depan. Kita hanya bisa mengubah apa yang sudah kita terima. Dengan kata lain, ketika kita mempelajari sejarah, kita harus menyadari bahwa sejarah harus diterima apa adanya, yakni sisi terang maupun sisi gelapnya. Namun, sisi gelap itulah yang perlu kita perhatikan dengan lebih dalam, sebab itulah hal-hal yang perlu kita perbaiki. Kegagalan untuk membangun masa depan tidak disebabkan hanya oleh kurangnya sisi terang, melainkan juga oleh penolakan untuk mengakui sisi gelap dan memperbaikinya.

Mengenai kasus 1998, sudah banyak sekali buku dan temuan-temuan yang menyatakan terjadinya pelanggaran HAM: pembunuhan mahasiswa Trisakti, penculikan para aktivis, diperkosanya perempuan-perempuan Tionghoa, penjarahan toko-toko, pembakaran manusia, dan lain sebagainya. Terlepas interpretasi politik adanya kudeta atau tidak, entah itu dari kubu A atau kubu B, fakta historis menunjukkan bahwa kekerasan fisik, seksual, dan kematian adalah kejadian yang nyata. Kalau memang demikian, lalu mengapa ada upaya dari oknum di pemerintah Indonesia, dari kementerian, yang ingin menulis ulang sejarah?

“Selama ada orang-orang yang mengingat masa lalu, pasti akan selalu ada orang-orang yang tidak bisa menerima apa yang bisa terjadi. Mereka akan melawan. Aku membuat sebuah dunia baru, yang penghuninya tidak mengetahui apa yang hilang dari mereka, hanya apa yang telah diberikan kepada mereka. Sebuah dunia yang bersyukur. Sebab kalian tidak akan ada untuk menceritakannya kepada mereka.” (As long as there are those that remember what was, there will always be those that are unable to accept what can be. They will resist. I create a new one, teeming with life that knows not what it has lost, but only what it has been given. A grateful universe. Because you won’t be alive to tell them.) Ini adalah kutipan dari Thanos dalam film Avengers: Endgame, sang vilain yang menghabisi setengah dari populasi bumi, dan dia merasa dia harus menghabisi seluruhnya agar dapat memulai sebuah dunia baru di mana tidak ada seorang pun yang mengingat sejarah masa lalu. Kekuasaan yang dibentuk dengan senjata bisa saja bertahan beberapa tahun. Akan tetapi, kekuasaan yang dibentuk dengan roti dan sirkus (bread and circus), makan siang gratis dan konten viral di medsos, serta rumor dan propaganda untuk membentuk sebuah memori yang direkayasa, termasuk melalui penulisan ulang sejarah dan pembentukan wacana baru, itu lebih mematikan—sebab manusianya akan menerimanya dan “mensyukurinya” tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya.

Sepertinya, pola yang serupa terjadi di suatu negara yang bergerak menuju totalitarianisme, yaitu dengan mengubah sejarah agar “tidak ada yang mengingat masa lalu”. Jika ada orang yang mengingat peristiwa 1998, maka pastinya akan ada penolakan terhadap pemerintahan yang berkuasa. Oleh karena itu, cara paling efektif adalah dengan “menghapuskan seluruh populasi” atau “menghapuskan ingatan seluruh populasi”. Jika pilihan pertama tidak bisa dilakukan melalui jalur genosida, maka pilihan kedua bisa dilakukan melalui jalur propaganda via institusi pendidikan, yaitu penulisan ulang buku sejarah untuk sekolah dan membuat framing bahwa segala dosa pelanggaran hanyalah “rumor”. Sejarah akan menulis nama orang yang melakukan kejahatan tersebut, dan mengukirnya dalam lembar-lembar halaman yang dibaca oleh peserta didik.

Jangan kira institusi pendidikan adalah sebuah institusi yang “indah, mulia, terdidik”. Memang benar, idealnya institusi pendidikan harusnya menjadi pilar kebenaran untuk mengajarkan ilmu dan kebenaran. Akan tetapi, ketika institusi pendidikan tidak lagi berdiri secara independen, melainkan dikuasai oleh kekuatan politik dan konglomerat, maka para intelektual hanya akan menjadi suatu sarana hegemoni dari tangan penguasa. Pendidikan seperti ini bukanlah pendidikan yang sesungguhnya, sebab fungsi yang dijalankan adalah distribusi kebohongan dan sirkulasi kekuasaan. Jika sekolah dipegang oleh pengusaha, sekolah akan menjadi serupa dengan bisnis. Jika sekolah dipegang oleh politikus, sekolah akan berubah menjadi mirip dengan sistem kaderisasi partai. Sekolah adalah sekolah, dan bukan sarana bagi pemegang kepentingan! Selain institusi gereja, sekolah dan keluarga adalah institusi yang sangat dekat dengan manusia yang sepatutnya diarahkan untuk menjadi serupa dengan Allah (imago Dei). Jangan sampai institusi-institusi yang dekat dengan manusia direduksi sebagai “mesin cetak” uang dan “mesin kader” kekuasaan.

Penulisan ulang sejarah dan pelanggaran HAM 1998 oleh kepentingan penguasa adalah sebuah tindakan kekerasan yang lebih berbahaya. Kekerasan terhadap nyawa manusia adalah satu hal. Akan tetapi, penolakan akan kekerasan tersebut, bahkan dilakukannya “revisi” untuk menutupi kesalahan masa lampau adalah sebuah dosa yang lebih besar. Hal itu seperti perkataan Kain, “Apakah aku penjaga saudaraku?” Perhatikan, Kain bukan hanya tidak mengakui dosa pembunuhan, dia membenarkan pembunuhannya dengan meniadakan Habel sebagai saudaranya. Sama juga, petinggi negara kita sedang berkata, “Pelanggaran itu tidak terbukti”—walaupun jelas-jelas ada buktinya. Akan tetapi, sebetulnya pesan yang lebih mendalam adalah “kemanusiaan itu sebetulnya tidak perlu dihormati, melainkan penguasa harus dimutlakkan di atas kemanusiaan”. Ketika suatu negara sudah diduduki oleh pemimpin-pemimpin yang gila kekuasaan, maka langkah berikutnya adalah melakukan redefinisi akan apa yang “baik dan jahat”. Mengambil sedikit dari pemikiran Nietzsche mengenai kekuasaan yang sebetulnya hanyalah sebuah pengulangan akan godaan setan di Taman Eden, mungkin kita bisa menerka sedikit isi kepala manusia berdosa: “tidak ada yang baik dan jahat, melainkan hanya kekuasaan”, selama seseorang berkuasa, itulah yang “baik”, yakni kamu bisa menjadi seperti Tuhan. Dan, “sejarah” ditulis oleh penguasa (history), sampai suatu waktu tertentu, dan penguasa ditulis ulang oleh sejarah yang dinarasikan oleh Tuhan (HIS-story)

“Celakalah mereka yang menyebutkan kejahatan sebagai kebaikan dan kebaikan sebagai kejahatan, yang mengubah kegelapan menjadi terang dan terang menjadi kegelapan, yang mengubah pahit menjadi manis dan manis menjadi pahit.” (Yes. 5:20)

Ketika kita kembali kepada ajaran Kitab Suci, kita cukup membuka halaman-halaman yang terbuka di dalamnya, dan kita akan melihat sejarah dan dosa manusia. Dari Kitab Kejadian pasal ketiga, kita sudah melihat kejatuhan manusia. Sebelum bangsa Israel menerima Sepuluh Hukum di Kitab Keluaran, drama keluarga terparah dalam sejarah dari sibling rivalry sampai incest semuanya dibukakan dalam Kitab Kejadian. Setelah menerima Sepuluh Hukum, maaf, baru menerima Sepuluh Hukum langsung ada kasus lembu emas. Tokoh-tokoh terbesar dalam Kitab Suci, selain Yesus yang adalah Tuhan, semuanya mempunyai dosa. Kitab Suci adalah buku sejarah yang paling setia membukakan dosa manusia, dan juga anugerah Allah dalam menopang dan menebus ciptaan-Nya. Justru sejarah yang baik ditulis dengan cara seperti demikian, agar kita tetap sadar akan dosa, rendah hati, dan berlutut meminta belas kasihan Allah.

Jika kita ingin menghapus dosa dalam buku sejarah, maka kita akan menjadi suatu masyarakat yang sombong dan termakan oleh ego. Di situ, kita tidak akan mempunyai kerendahan hati untuk berdialog dan menerima orang yang berbeda, tidak memiliki kesadaran untuk berubah dan memperbaiki diri, tidak ada kebutuhan untuk bertobat dan kembali kepada Allah. Hanya dengan mempelajari dan mengakui sejarah sebagai sebuah cermin yang membukakan dosa manusia dan bangsa, kita baru memiliki kesempatan untuk bertobat. Percuma kalau kita ingin mengaku bahwa kita adalah “bangsa pilihan Allah”, “negeri yang kaya raya”, “satu-satunya yang paling benar”—justru kita menyatakan kebodohan dan keangkuhan, sebuah fantasi yang direka-reka oleh hati yang memproduksi berhala, menurut John Calvin. Pembentukan “narasi palsu” yang menjadi penipuan diri (self-deception) dalam sejarah adalah sebuah dosa yang sering tidak disadari oleh suatu bangsa (mass-deception).

Jika ada satu orang yang berani berteriak tentang kebenaran di tengah kebohongan, itu seperti satu lilin yang menyala di tengah suatu ruangan yang gelap. Demikian juga, jika kita dipanggil sebagai garam dan terang, untuk menyuarakan yang benar di tengah sebuah sistem dan kultur yang makin kental dengan propaganda, bisa saja kita tidak disukai dan konsekuensinya tidak enak, tetapi itulah jalan lurus dalam membentuk skenario yang paling benar.

Semoga para guru, yang bergelut dalam bidang sosial-humaniora, tetap kritis dan reflektif dalam menyatakan kebenaran faktual mengenai sejarah Indonesia. Dan kiranya guru-guru Kristiani diberikan keberanian untuk bersaksi tentang kebenaran Kitab Suci, akan dosa manusia dan karya penebusan Kristus, dan bisa menjadi contoh bagi kita untuk menyatakan posisi dan peran pengikut Yesus di tengah fase sejarah Indonesia saat ini.

“Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya; dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti cahaya, dan hakmu seperti tengah hari. Berdiam dirilah di hadapan TUHAN dan nantikanlah Dia; jangan marah karena orang yang berhasil hidupnya, karena orang yang melakukan tipu muslihat.” (Mzm. 37:5-7)

“Jauhilah yang jahat dan lakukan yang baik, maka engkau akan tetap tinggal selamanya; sebab TUHAN mencintai keadilan, dan tidak meninggalkan orang-orang yang dikasihi-Nya; selamanya mereka terpelihara, tetapi keturunan orang-orang fasik akan dilenyapkan.” (Mzm. 37: 27-28)

Link Berita

https://www.tempo.co/politik/fadli-zon-pemerkosaan-massal-mei-1998-1711849

https://nasional.kompas.com/read/2025/06/15/18414231/fadli-zon-sangkal-pemerkosaan-mei-1998-koalisi-sipil-upaya-hapus-jejak

Kevin Nobel Kurniawan

Pemuda GRII Pusat

Tag: 1998, Fakta, iman kristen, indonesia, sejarah

Langganan nawala Buletin PILLAR

Berlangganan untuk mendapatkan e-mail ketika edisi PILLAR terbaru telah meluncur serta renungan harian bagi Anda.

Periksa kotak masuk (inbox) atau folder spam Anda untuk mengonfirmasi langganan Anda. Terima kasih.

logo grii
Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia

Membawa pemuda untuk menghidupkan signifikansi gerakan Reformed Injili di dalam segala bidang; berperan sebagai wadah edukasi & informasi yang menjawab kebutuhan pemuda.

Temukan Kami di

  facebook   instagram

  • Home
  • GRII
  • Tentang PILLAR
  • Hubungi kami
  • PDF
  • Donasi

© 2010 - 2025 GRII