Belakangan ini, terdapat sebuah film dokumenter yang sedang sangat terkenal disebut In The Name of God: A Holy Betrayal. Film dokumenter ini menceritakan tentang seorang pendeta asal Korea Selatan, Jeong Myeong-seok, yang membangun sebuah gereja sesat dan memerkosa ratusan perempuan. Ketika Korea Selatan sedang berada dalam masa pembangunan pasca Perang Dunia II, Jeong Myeong-seok membangun JMS Church. Dalam waktu yang cukup singkat, perkembangan gereja tersebut meningkat sangat pesat, bermula dari puluhan cabang menjadi ratusan cabang. Yang menjadi ironi adalah Jeong Myeong-seok menjadi sosok yang sangat terkenal di Korea Selatan. Dia dijuluki sebagai “mesias”, bahkan orang berdoa dalam namanya, mengabdi kepadanya layaknya seorang nabi. Katanya, dia mampu melakukan “mujizat”, menyembuhkan orang sakit, dan lain sebagainya. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Apabila kita mempelajari kasus JMS Church di Korea Selatan, kita bisa menemukan beberapa hal yang memungkinkan fenomena itu bisa terjadi. Pertama-tama, masyarakat Korea Selatan adalah budaya Timur yang mewarisi struktur feodalisme yang bersifat hierarkis. Hal ini mirip dengan masyarakat Jepang dan Tionghoa yang berakar pada budaya Kongfuzu. Kepatuhan kepada atasan adalah sebuah pengabdian. Hormat kepada atasan merupakan bagian dari jati diri masyarakat Korea Selatan. Kemudian, di antara negara-negara Asia Timur yang berakar dari nilai Kongfuzu, satu-satunya yang meresapi agama Kristiani adalah Korea Selatan. Jepang menganut Shintoisme, Tiongkok menganut budaya dan agama Tionghoa atau Komunisme. Di antara itu semua, satu-satunya agama yang memberikan sosok Mesias adalah agama Kristiani.
Pasca masa Perang Dunia, masyarakat Korea Selatan mengalami kondisi ekonomi yang sangat terpuruk. Penduduk merasa kelaparan, dan masyarakat berharap kepada sosok juruselamat yang dapat mengangkat penderitaan dari kehidupan mereka. Pada umumnya, masyarakat pada lapisan kelas bawah dalam struktur feodalisme akan berjerit meminta pertolongan. Agama merupakan salah satu kekuatan kultural yang dapat memberikan semangat kepada suatu masyarakat untuk berjuang dan membangun kondisi kehidupan yang kurang baik. Agama memang dapat memberikan ketenangan di tengah kesulitan. Harapan kepada Tuhan di tengah masalah besar menjadi salah satu tawaran religius. Yang menjadi persoalan adalah pada masa seperti ini akan muncul orang-orang tertentu yang mengaku dirinya sebagai mesias, sosok juruselamat, yang dinanti-nantikan oleh rakyat jelata. Salah satu orang seperti ini adalah Jeong Myeong-seok yang mendirikan dan menjadi pemimpin karismatik dalam JMS Church.
Ketika para korban mencoba untuk melawan, maka mereka akan dibungkam. “Kamu kalau berhenti menjadi pengantin bagi mesias, kamu akan diancam.” “Kamu kenapa mencoba untuk melawan dia? Kamu kerasukan setan.” Demikianlah kata-kata yang muncul dari Jeong Myeong-seok dan para pengikutnya kepada para korban yang baru saja menyadari permasalahan yang terjadi. Sandangan titel sebagai “hamba Tuhan”, “nabi”, “mesias”, dan lain sebagainya menjadi kedok yang membuat sistem kultus dalam gereja sesat tersebut bertumbuh. Akhirnya, Jeong Myeong-seok ditangkap dan masuk ke dalam penjara selama 10 tahun. Selepas dari penjara pada tahun 2018, dia ketahuan lagi melakukan pelecehan seksual kepada perempuan dan kembali dimasukkan ke dalam penjara pada tahun 2022.
“Sebab banyak orang akan datang dengan memakai nama-Ku dan berkata: Akulah Mesias, dan mereka akan menyesatkan banyak orang.” (Matius 24:5)
Mungkin dalam benak, kita akan melihat bahwa kasus Jeong Myeong-seok atau JMS Church adalah contoh ekstrem dari narsisme. Pemimpin agama yang memiliki sosok karismatik, kekuatan retorika yang mampu membuat orang terpesona kepadanya, tampilan ganteng, dan pengetahuan theologis yang cukup memadai menjadikan dirinya sosok yang “tidak dapat disentuh”. Ragam bentuk abuse bermula dari spiritual abuse, yaitu penggunaan istilah dan ajaran agama untuk melakukan manipulasi terhadap pengikut oleh rohaniwan sampai physical-sexual abuse yang dilakukan secara fisik dan seksual. Ada juga abuse yang dilakukan secara emosional, moneter, sosial, intelektual, dan lain sebagainya. Pada umumnya, ketika para korban mencoba untuk berteriak, mereka akan diekskomunikasi terlebih dahulu supaya tidak ada suara yang membongkar watak pemimpin seperti ini.
Fenomena ini tidak berhenti dalam gereja JMS. Fenomena ini sebetulnya cukup dekat dengan gereja di mana kita berjemaat. Serigala di antara kita bukanlah mereka yang tampil dengan tato, baju yang dipakai oleh para geng motor, dan lainnya. Serigala tampil sebagai domba, Lucifer tampil sebagai malaikat terang, monster tampil sebagai rohaniwan. Bukankah hal itu sesuatu yang pernah terjadi pada masa abad kegelapan di mana para rohaniwan gereja Roma saling bertarung untuk merebut kekuasaan? Bukankah itu juga menjadi fenomena yang terjadi pada gereja kita saat ini? Perebutan kekuasaan, status gerejawi, gelar rohaniwan, dan lain sebagainya adalah salah satu bentuk dari abuse di dalam budaya gereja. Bukankah hal ini yang juga membuat Tuhan geram dalam Perjanjian Lama dan Baru?
Lalu sesudah Yeremia selesai mengatakan segala apa yang diperintahkan TUHAN untuk dikatakan kepada seluruh rakyat itu, maka para imam, para nabi dan seluruh rakyat itu menangkap dia serta berkata: ”Engkau harus mati!” (Yeremia 26:8)
Amarah Tuhan terhadap para imam yang melecehkan nama-Nya dan amarah Tuhan Yesus kepada orang Farisi yang mempermainkan jubah agama. The same pattern applies today. Selama kita masih manusia berdosa, dan selama gereja diisi oleh manusia berdosa, dosa yang sama dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru juga akan terulang pada komunitas kita.
Ada beberapa tanda yang dapat kita perhatikan untuk mendeteksi bahaya ini, dan mencegah menjamurkan budaya gereja yang makin bersifat luciferian. Tuhan Yesus turun dari tempat paling atas dan menjadi sama seperti manusia, bahkan lebih rendah dari semuanya. Sebaliknya, Iblis mencoba untuk naik ke tempat yang paling tinggi, merasa dirinya lebih tinggi daripada yang lain. Tuhan Yesus tidak pernah sekolah theologi, menjadi tukang kayu, guru tanpa gelar, duduk bersama orang-orang “najis”, dan berbagi hidup sebagai seorang biasa dari Nazaret. Hal ini sangat berbeda dengan ahli Taurat dan orang Farisi yang berjubah agama, begitu mementingkan titel religius, namun dalam kehidupannya ingin terlihat “lebih tinggi daripada yang lain”.
Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: “Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.” (Matius 23:1-3)
Jadi kalau di dalam sebuah komunitas gereja muncul keinginan untuk membangun sistem hierarki tanpa ada sistem pertanggungjawaban atau “check and balance“, di situlah mulai ada tanda bahwa gereja sudah mulai bergerak kepada sistem kultus yang menyesatkan. To be better, to be the best, to be like “god”.
Theologi yang diajarkan bisa saja benar, tetapi sistem budaya di dalamnya sudah seperti sebuah cult. Sifat anti-kritik yang berlindung di balik kastel sistem theologis, kekompakan, persaudaraan, dan lainnya adalah contoh dari sifat cult. Pemimpin agama bisa berkhotbah dengan benar. Namun, ingatlah khotbah adalah khotbah; pengkhotbah tidak sama dengan kebenaran. Khotbah seorang Farisi bisa benar, tetapi orang Farisi sendiri bisa tidak benar. Jikalau ada dorongan untuk merasa special, sebagai orang yang “lebih tinggi”, “lebih berjiwa pelayanan”, “makin holy seperti hamba Tuhan”, dan seterusnya—itu bisa berubah menjadi abuse. Biasanya, hal ini cukup sulit dideteksi oleh jemaat awam. Akan tetapi, anggota keluarga terdekat seperti istri atau anak dari “pemimpin agama” akan melihat adanya sebuah gap yang besar antara dirinya sebagai suami dan ayah di rumah, serta sebagai persona rohaniwan di gereja.
Diane Langberg, seorang psikolog klinis yang mendalami kasus-kasus abuse dalam gereja memberikan dua cara untuk mencegah budaya gereja yang abusive. Pertama, kita perlu sadar bahwa setiap pemimpin gereja adalah manusia biasa. Tidak ada yang istimewa pada dirinya. Jadi, dia tidak berada “lebih tinggi” untuk diberhalakan, dan para pengikut akan berlutut kepadanya. Kedua, kita perlu sadar bahwa hanya ada satu Mesias Tuhan, tidak ada yang lain. Salah satu sebab mengapa jemaat mudah sekali jatuh kepada sosok juruselamat semu (pseudo-messiah) adalah karena mereka kurang berelasi dengan Allah secara personal, melainkan bertransaksi melalui “perantara-perantara” manusia. Masih baik kalau perantara itu adalah manusia yang setia kepada Allah, apa yang terjadi kalau tidak?
Sehebat apa pun seorang pemimpin gereja, dia hanyalah manusia biasa yang masih berdosa, perlu makan, minum, dan tidur. Kalau manusia merasa dirinya lebih tinggi daripada yang lain, dia sedang playing god dan mampu untuk melakukan manipulasi terhadap para pengikutnya. Secara tidak sadar, dia sedang mengemis untuk mendapatkan pujian dari pengikutnya. Suntikan “rasa direndahkan” dapat ditanamkan kepada pengikut ketika mereka gagal untuk “menyembah” pemimpin special yang berada di atas mereka. Akan tetapi, hal itu tidak akan terjadi jika para jemaat awam memiliki relasi pribadi dengan Allah, yang akan melihat pemimpin sebagai manusia biasa—yang tidak berhak menanamkan rasa direndahkan kalau ekspektasinya tidak dipenuhi.
“Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias. Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Matius 23:8-12)
Kevin Nobel Kurniawan
Jemaat GRII Pusat
Pengasuh Rubrik Isu Terkini