Happy Valentine’s Day
Hari Valentine adalah hari tentang cinta. Asal muasal hari ini bermula dari seorang martir, Valentine, yang dipenjarakan oleh karena dia menolong para pasangan Kristen untuk menikah. Selama di penjara, Santo Valentine melayani orang Kristen yang mengalami persekusi di bawah Kekaisaran Roma. Menurut sebuah tradisi, Valentine berdoa dan mencelikkan mata dari seorang perempuan buta, anak dari penjaga penjara tersebut. Lalu sebelum meninggal, Valentine menuliskan sebuah surat kepada anak perempuan tersebut yang ditandatangani dengan kata “Your Valentine”.
Sampai pada hari ini, khususnya di Barat, hari Valentine menjadi sebuah puncak perayaan tentang cinta. Selain Natal dan Paskah, hari Valentine menjadi sebuah hari perayaan dari sebuah tradisi sejarah yang cukup dikenang oleh masyarakat setempat. Entah itu orang yang masih “naksir-naksiran”, berpacaran, menikah, ataupun yang ragu-ragu dalam sebuah “hubungan tanpa status” (HTS), atmosfer tampak menjadi lebih hidup pada hari Valentine ketika adanya pemberian cokelat, bunga, atau hadiah kepada orang yang kita cintai. Tampaknya seperti drama Romeo dan Juliet atau drama Korea, suasana hidup kental dengan wangi romansa dan cupid yang menembak panah berbentuk hati kepada para kekasih. Akan tetapi, apakah cinta hanya terjadi pada hari Valentine saja?
Bagi banyak orang, cinta dimengerti sebagai sebuah perasaan dicintai. Sebuah dopamine rush, sebuah chemistry kebahagiaan yang terjadi di dalam sistem saraf, sesuatu yang dekat dengan pelukan, hubungan tangan, dan berbagai macam cuplikan tentang “sang pangeran dan sang putri”. Cinta seperti demikian sangat mungkin untuk luntur. Masalahnya adalah begitu banyak orang yang mencari-cari jenis cinta seperti demikian. Orang berbondong-bondong mengejar “istana di atas awan”, sebuah tempat yang mahaindah, namun ketika mereka mencari istana cinta itu, semuanya hanyalah awan abu-abu. Ketika dua orang saling jatuh cinta, perasaan itu bagaikan sebuah mujizat. Namun, seiring mereka mengenal satu dengan yang lain, perasaan itu akan berubah menjadi kebosanan dan kepahitan, yang lebih menyakitkan daripada perasaan mula-mula. Pada akhirnya, makin mereka “jatuh cinta”, itu tidaklah lain daripada jeritan rasa sendirian yang begitu mendalam pada dirinya sendiri.
Cinta sejati bukanlah sesuatu yang dapat digambarkan dengan kisah Romeo dan Juliet yang begitu “bucin” (budak cinta) sampai melakukan bunuh diri; mereka salah menyangka bahwa mereka akan hidup sendirian selamanya tanpa orang yang disukainya. Cinta sejati juga belum tentu dapat ditangkap dengan tukar kado, tukar cokelat, ataupun surat-suratan “Your Valentine” seperti yang dilakukan pada hari berwarna pink ini. Jadi mau tahu apa itu cinta? Cinta adalah sesuatu yang penuh dengan rasa sakit, luka, dan pengenalan akan kelemahan diri dan sesama—dan juga yang diakhiri dengan sikap saling mengampuni. Relasi tidak dapat dibangun dengan cokelat, disihir dengan ucapan “I love you”, dibayang-bayangkan dengan ekstasi dopamin. Relasi dibentuk dengan pengenalan, dengan luka dan air mata, dan juga dengan pengakuan bahwa kita hanyalah manusia berdosa yang membutuhkan kasih sejati dari Allah.
Bayangkan kalau di hari Valentine, ada seorang yang istrinya berselingkuh dengan laki-laki yang tidak dikenal dalam sebuah “hubungan tanpa status”. Istri itu pergi dating dengan “si Valentine” dengan pergi makan kue cokelat di suatu restoran terkenal. Malam itu, dia tidak pulang. Suaminya ditinggal di rumah sendirian untuk mengurus anak. Seminggu kemudian, istri itu menjadi miskin, terpukul babak belur, dan kembali ke rumah untuk bertemu dengan suami, sambil meminta uang darinya untuk pergi ke rumah sakit. Tidak disangka, suami itu jelas-jelas mengetahui kejahatan yang dilakukan oleh sang istri. Dia sudah dikhianati, dibohongi, dimanipulasi, diperas, lalu masih saja menjadi objek ketergantungan bagi sang istri. Kisah seperti ini bukanlah sesuatu yang jarang. Di jalanan, kita melihat pasangan yang saling bermesra-mesra. Akan tetapi, kita belum mengetahui apa yang terjadi di balik pintu rumah. Dalam kasus lain, banyak juga sang lelaki yang melakukan pelecehan kepada sang perempuan. Andaikan itu adalah hari Valentine buat kita yang menjadi korban, apa yang akan kita lakukan?
Di dalam Alkitab, Tuhan digambarkan sebagai Sang Suami itu, dan kita sebagai istri yang tidak setia. Kita adalah “perempuan bekasan” itu yang melacur ke sana sini. Tuhan memberikan perintah kepada Hosea untuk menikahi seorang pelacur (Hosea 1:2), dan perempuan itu melahirkan tiga anak, entah itu betul-betul anak dari Hosea dengan Gomer atau bukan, kemungkinan besar itu adalah anak-anak hasil perselingkuhan Gomer dengan pria-prianya, dan Tuhan akhirnya menyuruh Hosea mencintai kembali perempuan itu yang menjadi budak, dan membayarnya dengan harga yang mahal (Hos. 3:1-3). Kalau dipikir-pikir secara manusiawi, tindakan yang dilakukan Hosea kalau bukan bodoh, pastinya sudah gila karena “bucin” akan perempuan tidak jelas itu. Itu adalah sebuah judi yang sudah mustahil menang. Untuk apa mengasihi kalau track record-nya selalu gagal? Dia sudah betul-betul dilukai, dikhianati, dan dihancurkan oleh kejahatan istrinya. Namun, Hosea tetap memilih untuk mengasihi Gomer; Tuhan tetap memilih mengasihi Israel, yaitu kita, manusia berdosa ini.
Ketika Yesus berjumpa dengan perempuan Samaria (Yoh. 4:1-42), sebetulnya itu adalah “Hari Valentine” bagi perempuan tersebut, yaitu kita manusia berdosa ini. Kita terikat dengan “lima berhala yang menjadi suami kekasih” dan masih coba-coba dengan “satu hubungan tanpa status”. Kita coba-coba minum air dari sana sini, bereksperimen dengan “kado cokelat” sana sini tanpa merasa puas, sebab kita tidak pernah minum air hidup dan roti yang sesungguhnya. Bagaikan seorang anak yang terlalu senang bermain di lumpur, teradiksi dengan “perasaan jatuh” akan cinta semu, sebab kita tidak pernah bermain di pantai dan mencicipi kasih penebusan Allah yang sejati. Kita melukai Tuhan, tetapi our Valentine tetap memilih untuk mengasihi kita. Kasih itu betul-betul penuh dengan luka. Makin dalam sebuah relasi, maka makin sakit sekaligus menjadi dalam dan indah. Perasaan jatuh cinta akan mudah berhenti, tetapi kasih menjadi sangat berkuasa ketika situasi yang dihadapinya sulit.
Kita coba-coba minum air dari sana sini, bereksperimen dengan “kado cokelat” sana sini tanpa merasa puas, sebab kita tidak pernah minum air hidup dan roti yang sesungguhnya.
Kita sulit mengasihi sesama sebab kita sulit mengasihi diri yang berdosa ini. Kita hanya dapat mengasihi sesama jika kita sudah memberi diri yang berdosa ini untuk dikasihi Allah. Pada akhirnya, mengasihi itu adalah sebuah salib. Kasih itu sangat tidak enak, tetapi itulah jalan yang mengubah kita menjadi serupa dengan karakter Tuhan Allah dalam Yesus Kristus. Untuk menjadi sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak bermegah dan tidak sombong, sopan, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak pemarah, tidak mendendam dengan menyimpan kesalahan orang lain, merasa marah akan ketidakadilan, bersukacita dalam kebenaran, menutupi segala sesuatu kelemahan, percaya dan berharap bahwa segala sesuatu dapat dipulihkan, dan sabar menanggungnya secara tidak berkesudahan (1Kor. 13:4-8a). Sebagai manusia berdosa, “kasih” bisa terkesan indah romansa sekaligus adalah sebuah tugas yang terlampau sulit. Akan tetapi, sebagai orang Kristen, Tuhan Yesus sendiri menjadi sumber teladan bagi kita untuk saling mengasihi. He is our Valentine.
Kiranya hari Valentine ini menjadi sebuah peringatan bahwa mengasihi adalah sebuah perintah dari Allah, dan menjadi sebuah ingatan bahwa Allah telah terlebih dahulu mengasihi dengan seluruh totalitas luka untuk memenangkan kita kembali. Mengasihi adalah sebuah tindakan yang meniadakan nyawa sendiri, untuk diberikan kepada sesama dalam nama Yesus.
“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yoh. 13:34-35)
Kevin Nobel
Redaksi Editorial PILLAR
Pengasuh Rubrik Isu Terkini