A Christmas Carol: A Christless Carol?

A Christmas Carol mungkin adalah novel Charles Dickens yang paling luas dikenal. Novel ber-setting Natal ini memang sudah populer sejak pertama kali diterbitkan pada Desember 1843, di mana 6.000 eksemplar bukunya terjual hanya dalam beberapa hari saja. Setelah itu, buku ini tidak pernah berhenti dicetak ulang dan diterbitkan. Hingga saat ini, setidaknya terdapat lima versi film berbeda yang sudah diadaptasi dari novel ini, tidak termasuk kartun dan animasi. Disney harus yakin bahwa cerita ini masih menjual jika berani membayar Jim Carrey untuk memerankan Scrooge dalam animasi mereka yang diluncurkan musim Natal 2009 itu. Untuk seluruhnya, Disney mengeluarkan biaya hampir 200 juta USD untuk animasi ini. Sebagai imbalan, animasi ini menjaring 137,8 juta dolar untuk pasar domestik dan 185,8 juta dolar di luar AS. Jika satu tiket seharga 10 dolar, ini berarti 3,2 juta orang di seluruh dunia datang ke bioskop untuk menonton film ini pada saat itu. Seratus lima puluh enam tahun setelah ditulis Dickens, cerita itu masih dinikmati banyak orang.

Cerita tentang transformasi hati seorang kakek pelit menjadi murah hati ini begitu menyentuh bagi banyak orang, sejauh ini telah lulus dalam ujian waktu, dan telah menjadi cerita Natal yang klasik. Orang-orang Kristen juga banyak yang menyukai cerita ini karena sepertinya relevan dengan iman mereka. Saya juga termasuk salah satu yang sangat penasaran dengan cerita ini. Sambil mengikuti cerita ini dari satu sekuen ke sekuen lainnya, saya menanti dengan penuh harap bagaimana Dickens dengan kepiawaian narasinya mencerahkan saya dengan keajaiban Natal. Namun, setelah membaca novel ini, saya merasa bahwa orang Kristen harus lebih kritis ketika membaca atau menonton kisah tentang Scrooge ini. Artikel ini ditulis untuk menjelaskan cerita Natal seperti apakah A Christmas Carol ini, bagaimana kita dapat memahami ceritanya di dalam konteks penulisannya, dan memberikan alasan kenapa orang Kristen harus mengonsumsi cerita ini dengan berhati-hati.

Tanpa meremehkan pencapaian-pencapaian sastra yang terdapat dalam novel ini, saya menemukan bahwa Natal yang ditampilkan oleh Dickens dalam A Christmas Carol adalah Natal yang tak ada kaitan langsungnya dengan cerita Nativity. Judul novel ini sangat mengelabui ekspektasi pembaca seperti saya, yang mengharapkan kehadiran Kristus di dalam novel ini. A Christmas Carol adalah keyakinan Dickens tentang bagaimana Natal seharusnya dirayakan dan solusi yang diberikan Natal untuk menjawab permasalahan masyarakat Inggris pada periode 1840-an, yang sering disebut ‘hungry forties’. Natal dan solusi versi Dickens tidak secara otomatis identik dengan esensi dan semangat cerita Natal yang dicatat dalam Injil Matius dan Lukas.

Apa yang terjadi di dalam novel ini akan lebih dapat kita pahami jika kita melihat terlebih dahulu latar belakang Inggris pada tahun 1840-an, yang juga menjadi latar belakang novel ini. Pada abad sebelumnya, Inggris menjadi negara pionir dimulainya revolusi industri yang dipicu oleh kemajuan teknologi seperti penggunaan batubara, pembuatan besi yang efisien, penemuan dan penggunaan mesin uap untuk industri, dan sebagainya. Revolusi moda produksi ini membuat Inggris tidak pernah sama lagi dengan Inggris pra-industri. Pabrik-pabrik didirikan di seluruh negara ini. Industri telah menggeser pertanian sebagai moda produksi yang paling utama. Banyak orang desa yang kehilangan pekerjaan karena perubahan ini. Kota-kota pusat industri ‘menggemuk’ karena orang-orang berkerumun mencari pekerjaan di kota.

Meskipun ekonomi Inggris secara keseluruhan meningkat dua kali lipat dari sebelum revolusi industri, masalah-masalah sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh revolusi ini tidaklah kecil. Kota-kota industri menjadi over-populasi. Tidak semua yang datang mendapatkan kesempatan yang sama, dan jikalau mereka mendapat pekerjaan, kemungkinan besar digaji dengan sangat minim. Pekerja-pekerja pabrik miskin dan pengangguran yang berkumpul melahirkan tempat-tempat kumuh di mana tingkat kriminalitas dan kematian sangat tinggi. Tempat tinggal yang padat dan tidak mempunyai ventilasi yang baik menyebabkan penyakit cepat menyebar. Pabrik yang padat di kota seperti London membuat udara dan air terpolusi, menyebabkan bau busuk mengudara di banyak tempat, belum lagi mayat-mayat yang sering ditemukan di pinggir jalan, membuat kota London menjadi kota industri yang sangat menyesakkan.

Dickens tumbuh dewasa di tempat seperti ini. Kemiskinan keluarganya menyebabkan dia harus putus sekolah dan bekerja di pabrik semenjak dia berumur 12 tahun. Setelah menjadi penulis sukses nantinya, dia masih sering berjalan menelusuri jalan-jalan yang penuh dengan pemandangan tidak mengenakkan itu. Karena pernah merupakan bagian dari orang pinggiran, dan kesukaannya berjalan-jalan dan mengamati, gambarannya tentang sisi gelap London menjadi begitu kuat dan nyata. Novel-novelnya banyak menceritakan baik buruknya relasi antar kelas sosial dan perjuangan masyarakat kelas bawah untuk menjadi kelas menengah atau atas. Baik keadaan mengenaskan dari orang marginal maupun perlakuan masyarakat yang lebih makmur terhadap mereka menjadi bahan kritikan tulisannya.

Setelah menjadi sukses dan kaya, Dickens sangat memperhatikan nasib orang miskin dan daerah kumuh di sekitarnya. Bekerja sama dengan Angela Burdett-Coutts, perempuan terkaya kedua setelah Ratu Victoria, dia mempunyai misi memberikan amal untuk meringankan penderitaan orang-orang yang paling kumuh. Hanya saja, dia mempunyai pandangan yang berbeda dari kaum Injili tentang cara memberikan bantuan dan amal. Baginya, kaum Injili terlalu berpandangan sempit dan kaku. Dickens menganggap dirinya berbeda dari golongan berwajah dingin itu, dan berpendapat bahwa bantuan kepada orang miskin seharusnya muncul dari kemurahan hati dan wajah yang ceria. Selain itu, Dickens sangat mementingkan agar ketenangan sosial dapat terjaga. Bantuan dan amal adalah solusi bagi ketimpangan sosial, bukan protes dan demonstrasi kaum buruh (Smiley, 2002). Ini adalah kontras dari Karl Marx yang menghendaki terjadinya revolusi oleh kaum proletar supaya struktur sosial kapitalis dijungkirbalikkan untuk menuju struktur sosial komunis (Storey, 2008).

A Christmas Carol menyatakan pendirian Dickens dalam hal amal dan peran Natal di dalam menjalankannya. Ceritanya, Scrooge adalah seorang kakek tua yang kaya raya tapi pelit. Begitu pelitnya sehingga dia tidak mau membeli batubara untuk menghangatkan ruang kantornya di musim dingin. Sikap anti-sosialnya yang ditunjukkan kepada pegawainya, Cratchit, dan keponakannya, Fred, adalah karena dia tidak ingin terlibat dalam sebuah relasi apapun. Bagi dia setiap relasi meresikokan dirinya untuk mengeluarkan uang. Scrooge akhirnya mendapat pelajaran dari hantu Jacob Marley dan tiga roh Natal: Roh Natal Masa Lalu, Roh Natal Masa Kini, dan Roh Natal Masa Depan. Jacob Marley adalah partner bisnis Scrooge yang bersifat hampir sama dengannya. Arwahnya yang terbelenggu oleh beban berat mendatangi Scrooge untuk memperingati dia agar menjadi orang yang lebih bermurah hati. Hantu Marley kemudian memberi jalan keluar bagi Scrooge supaya rekannya ini tidak bernasib sama dengannya. Dia menjanjikan tiga roh untuk menolongnya. Roh Natal Masa Lalu datang dan membawa Scrooge kembali ke masa lalu, masa di mana dia belum tercemar oleh ketamakan. Scrooge menjadi teringat kembali akan perjalanan hidupnya dari satu masa ke masa yang lain, sampai masa di mana ketamakan membuat hidupnya menjadi dingin dan gelap. Calon istrinya meninggalkan dia, sehingga dia pun mulai hidup menyendiri. Roh Natal Masa Kini memperlihatkan perayaan Natal yang ceria di sekitar Scrooge yang sedang Scrooge lewatkan dengan sia-sia. Roh Natal Masa Depan membawa Scrooge melihat apa yang akan terjadi jika Scrooge tidak berubah menjadi bermurah hati. Orang-orang akan mensyukuri dan merayakan kematiannya. Untuk pertama kalinya, Scrooge mengambil jarak dari dirinya sendiri untuk melihat atau merefleksikan hidupnya sendiri. Untuk pertama kali juga dia melihat dirinya sendiri dari sudut pandang orang lain. Ternyata jika dilihat dari kejauhan, keegoisannya terlihat begitu jahat dan buruk. Di hadapan akhir perjalanan yang begitu mengerikan, dia meminta agar Roh Natal Masa Depan memberikan kesempatan kepada dia untuk kembali ke kehidupan sehari-harinya dan menjalani hidup yang sudah diubahkan. Masyarakat dari kelas menengah dan atas diperingatkan oleh Dickens untuk bermurah hati kepada orang miskin jika tidak ingin berakhir seperti dalam penglihatan Scrooge akan masa depannya.

Struktur novel ini sendiri terdiri dari lima bab, yang setiap babnya diberi nama “stave”, atau garis tangga nada. Stave I dimulai dengan “Marley’s Ghost”. Stave II-IV adalah ketiga roh Natal. Novel ini ditutup dengan Stave V: The End of It. Dimulai dengan nada rendah yang menyeramkan dan berakhir dengan nada tinggi yang ceria, musikalitas novel ini tidak berhenti pada judulnya. Kisah hidup Scrooge sendiri adalah sebuah nyanyian Natal, a Christmas carol. Natal yang dinyanyikan oleh Dickens adalah Natal yang ceria dan penuh dengan kemurahan hati.

Seperti telah ditunjukkan oleh Storey, Natal di Inggris zaman Victoria adalah Natal komersial buatan masyarakat kelas menengah, bukan didorong oleh kenangan atas kelahiran Kristus, tetapi sebagai akibat dari revolusi industri, dan perayaannya selalu dilakukan dengan was-was terhadap warga miskin yang tidak puas. Kartu Natal pertama, yang didesain oleh J.C. Horsley, bergambar acara makan bersama sebuah keluarga dari kelas menengah. Di sebelah kirinya terdapat gambar pemberian makanan kepada orang miskin, sedangkan di sebelah kanannya adalah pemberian pakaian. Ada keresahan dalam warga Inggris Victoria bahwa ketidakseimbangan ekonomi dapat mewujudkan apa yang diramalkan oleh Marx. Namun, Dickens berbeda dari Marx dalam hal Dickens tidak menggunakan ancaman revolusi kaum proletar, melainkan tekanan sosial dan hati nurani, untuk mengikis keegoisan kelas menengah. Scrooge harus berubah atau dia dibenci sampai mati dan orang bersorak di atas kuburnya. Sebagai alternatif, Scrooge dapat bermurah hati dan menjalani hidup yang bahagia, yang diterima baik oleh masyarakat di sekitarnya. Dickens lebih memilih reformasi daripada revolusi. Dibaca dalam konteks ketegangan antar kelas sosial, amal dan kemurahan hati seperti yang dikerjakan Scrooge adalah cara yang ditawarkan oleh Dickens untuk mempertahankan struktur sosial dan mencegah revolusi. Sebagai kontras dari pendistribusian harta masyarakat sosialis yang dilakukan dengan paksa, Dickens menunjukkan sebuah alternatif pendistribusian uang dari kelas menengah-atas kepada kelas bawah dengan sukarela dan sukacita melalui amal.

Menurut Smiley, dalam A Christmas Carol Dickens menunjukkan dari mana perubahan sosial seharusnya berasal. Bukan dari perebutan kekuasaan secara paksa oleh kaum buruh, tetapi dari perubahan hati yang di dalam. Koneksi hati seseorang kepada orang lain harus diubah dengan mengikuti model relasi Yesus Kristus dengan sesama-Nya. Sayangnya, tidak ada bagian di dalam novel ini yang membuktikan pernyataan Smiley tentang peran Kristus di dalam novel ini. Ketika sudah sangat dekat dengan rujukan kepada Sang Mesias, arah pembicaraannya tiba-tiba berbelok, seperti yang terjadi dalam perkataan Marley yang menyesali masa lalunya tidak peka terhadap kebutuhan orang miskin.

“Why did I walk through crowds of fellow-beings with my eyes turned down, and never raise them to that blessed Star which led the Wise Men to a poor abode! Were there no poor homes to which its light would have conducted me!”

Dalam ingatan Marley, Bintang yang diberkati itu memimpin ketiga orang Majus ke rumah seseorang yang miskin. Tapi kalimat berikutnya langsung memberitahu kita apa yang Marley maksudkan. Marley menyesali kenyataan mengapa dia tidak dipimpin oleh terang bintang itu ke kediaman orang miskin supaya dia dapat membantu mereka. Cerita orang Majus versi Marley adalah cerita perjalanan kelas menengah-atas untuk mengunjungi rumah seorang kelas marjinal. Berbeda dengan perspektif Injil Matius yang menceritakan ketiga orang yang merasa inferior datang untuk menyembah yang superior, Marley melihat tiga orang dari golongan superior dipimpin oleh terang itu kepada yang inferior.

Selain absen di dalam cerita orang Majus, Kristus dan Injil-Nya juga tidak berbagian di dalam tranformasi hidup Scrooge. Satu-satunya jalan supaya hidup Scrooge tidak berakhir seperti Marley adalah melalui pekerjaan tiga roh Natal yang membawanya keluar dari wawasan dunia yang sempit untuk menilai sendiri hidupnya dari sebuah jarak. Ketiga roh, “spirit”, Natal Masa Lalu, Kini, dan Depan juga mewakili semangat Natal yang memeriahkan setiap akhir tahun Inggris Victoria. Semangat Natal yang disosialisasikan adalah semangat perayaan, festival, konsumsi, dan kemurahan hati untuk berbagi. Semua semangat inilah yang hilang dalam hidup Scrooge yang dingin, anti-sosial, dan kikir. Dan semangat inilah yang menurut Dickens harus dinyalakan di dalam hidup Scrooge supaya terhindar dari jalan kehancuran.

Dalam A Christmas Carol, ibadah Natal tidak menjadi pusat kegiatan Natal. Mungkin karena skeptisisme Dickens terhadap gereja, institusi ini telah kehilangan tempat dalam novelnya ini sebagai pemain utama dalam menjalankan acara dan kegiatan Natal sebagaimana mestinya. Roda penggerak perayaan Natal adalah masyarakat kelas menengah-atas dengan kapital mereka. Sedangkan dalam kesemarakan tersebut, Yesus Kristus dan gereja-Nya tidak diundang.

Sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud untuk menyarankan dijauhkannya novel ini dari kehidupan orang Kristen. Karya ini adalah salah satu maha karya dalam sejarah kesusasteraan Inggris, sebuah warisan yang harus diapresiasi. Di dalamnya terdapat gaya narasi dan penokohan yang luar biasa baiknya, yang tidak dalam ruang lingkup pembahasan artikel ini. Hanya saja, artikel ini mengajak jemaat untuk kritis di dalam membaca Natal dan semangat Natal versi novel ini, sebuah versi yang tidak mewakili perspektif para penulis Injil.

Betapa berbedanya semangat Natal yang ada dalam Injil. Dalam konteks kota London zaman Victoria yang penuh kemiskinan, semangat Natal dalam Injil dapat menghadirkan Kristus yang adalah Imanuel, one among us, dalam kerendahan hati yang ultimat. Jika banyak warga kumuh tidur di kediaman yang mirip kandang binatang, sang Mesias pernah dilahirkan di kadang binatang sungguhan. Namun, Dia tidak hanya hadir menjadi satu di antara kita. Dia datang dengan membawa pengharapan. Kemiskinan Yesus tidak menghilangkan sukacita para gembala yang datang berkunjung. Lebih daripada roti, susu coklat hangat, kalkun, dan seluruh makan malam Natal, janji yang digenapi memberikan sukacita dan semangat hidup bagi para gembala. “Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka.” Semangat kesederhanaan, kerendahan hati, dan pengharapan atas janji yang digenapkan, semangat seperti inilah yang juga seharusnya menjadi semangat masyarakat Inggris periode hungry forties dan juga kita hari ini dalam menjalankan Natal.

Erwan
Redaksi Umum PILLAR

Smiley, J. (2002). Charles Dickens. New York: The Berkley Publishing Group.

Storey, J. (2008). The invention of English Christmas. In Whiteley, S. (Ed.). Christmas, ideology, and popular culture. Edinburgh: Edinburgh University Press.