Tak terasa kita telah sampai di akhir tahun 2020. Biasanya akhir tahun identik dengan pernak-pernik Natal yang dapat kita jumpai di berbagai tempat. Natal selalu dirayakan dan dinikmati dengan begitu sukacita nan meriah. Tetapi adanya pandemi COVID-19 telah mengubah banyak hal, termasuk perayaan Natal tahun ini. Kumpulan cahaya lilin yang biasa kita abadikan setiap tahunnya, kini hanya ada satu cahaya lilin yang kita pegang sendiri di rumah. Ditambah lagi dengan sebagian besar masyarakat yang masih merasakan dampak dari pandemi ini. Mulai dari rasa takut yang berlebihan hingga tekanan ekonomi yang makin meningkat. Celakanya lagi, orang Kristen sendiri pun turut serta di dalam menyebarkan kecemasan terhadap pandemi ini. Masih banyak di antara kita yang tidak berani datang beribadah secara fisik walaupun sudah menerapkan protokol kesehatan. Jika demikian, bagaimana kita, yang telah percaya kepada Kristus, dapat mewartakan Natal sebagai kabar baik kepada mereka yang belum percaya? Bukankah hanya melalui Yesus Kristus kita dapat memperoleh sukacita dan pengharapan yang sejati, terutama ketika menghadapi pandemi ini?
Mari kita sejenak telusuri bagaimana Kristus berinkarnasi ke dunia, berinteraksi di tengah-tengah situasi dunia pada saat itu. Bukanlah suatu kebetulan jika Kristus hadir di tengah-tengah sejarah, tempat, dan budaya yang spesifik (Luk. 3:1-2). Ia yang adalah Pribadi Kedua Allah Tritunggal, Raja di atas segala raja, sudah sepantasnya mendapatkan pujian dan hormat dari manusia. Tetapi Ia justru lahir di palungan, dan bahkan yang menyambut Dia hanyalah gembala yang adalah kalangan rakyat jelata (Luk. 2:16-17). Para ahli Taurat dan orang Farisi yang katanya mengerti luar dalam kitab-kitab di Perjanjian Lama justru baru sadar akan Mesias yang sudah hadir di tengah-tengah mereka ketika orang majus, yang adalah orang asing, bertanya kepada mereka (Mat. 2:1-6). Yesus Kristus yang adalah Mesias yang dinanti-nantikan oleh orang-orang Yahudi selama ini, pada akhirnya justru ditolak.
Di sisi yang lain, Tuhan Yesus hadir di tengah-tengah dunia di mana bangsa Romawi telah menguasai hampir seluruh wilayah yang dikenal saat itu. Pada zaman itu, bangsa Romawi berada pada puncak kejayaannya yang dipimpin oleh Kaisar Agustus. Kejayaan ini yang mendorong Kaisar Agustus untuk mengadakan sensus penduduk di seluruh wilayah jajahannya (Luk. 2:1-2). Hal ini bertepatan dengan saat Kristus Yesus akan lahir dan memaksa Yusuf kembali ke tanah kelahirannya di Betlehem (Luk. 2:4-6). Peristiwa tersebut akhirnya menggenapi nubuat mengenai kota di mana Kristus akan lahir (Mi. 5:1). Bukankah ini hal yang luar biasa bahwa Allah dapat memakai peristiwa mana pun untuk menggenapi rencana keselamatan yang sudah diberitahukan melalui para nabi Perjanjian Lama?
Walaupun demikian, hal ini tidak berjalan dengan mulus. Herodes, yang saat itu mengetahui kehadiran Sang Mesias, justru merasa terusik. Ia takut kekuasaannya sebagai raja akan disingkirkan oleh kehadiran Tuhan Yesus. Ia pun dengan begitu bengis memerintahkan pembunuhan bayi di bawah dua tahun (Mat. 2:13). Tuhan Yesus yang masih bayi itu terpaksa mengungsi ke Mesir (ay. 14). Sehingga boleh kita katakan bahwa ketika Kristus berinkarnasi ke dunia, Ia sungguh-sungguh tidak diterima oleh dunia. Ketika Ia lahir, tidak ada tempat layak yang Ia bisa tempati seperti bayi-bayi lainnya. Umat sebangsa-Nya pun tidak menyambut Dia. Ia bahkan harus rela dikejar-kejar untuk dibunuh walaupun umur-Nya masih di bawah dua tahun.
Kristus hadir di tengah-tengah dua ketegangan ini, antara tuntutan konsep Mesias dari orang Yahudi dan tekanan politik oleh bangsa Romawi. Bagi kita, Kristus seolah-olah datang pada saat yang “tidak tepat”, tetapi justru di saat seperti inilah Kristus memilih untuk datang, menyatakan pengharapan yang sesungguhnya. Pengharapan yang bukan berasal dari dunia ini, melainkan dari Allah yang hidup. Allah justru memakai itu semua untuk menggenapkan rencana keselamatan bagi umat pilihan-Nya.
Bukankah para malaikat memuji kedatangan Kristus ke dunia seperti demikian, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14)?
Tuhan Yesus rela hadir di tengah-tengah dunia yang penuh dengan keberdosaan, di dunia yang penuh dengan gejolak, dan di dunia yang penuh kecurigaan serta penolakan. Itu semua dikerjakan demi menggenapkan rencana keselamatan yang telah ditetapkan oleh Allah. Kedatangan-Nya ke dunia adalah untuk menghadirkan damai antara manusia berdosa dan Allah. Damai itu hadir bukan dengan tata cara agama Yahudi yang legalis, tidak juga dengan jalan kekuasaan militer Romawi, melainkan melalui jalan salib yang telah ditetapkan sejak kekekalan dan mulai dihadirkan sejak Ia berada di dalam rahim Maria. Melalui jalan salib inilah manusia dapat memperoleh damai sejahtera yang kekal. Damai yang membebaskan kita dari kutukan dosa dan membawa kita kepada hidup baru di dalam-Nya. Tidak ada satu pun agama, kebudayaan, ideologi, ataupun kekuasaan yang dapat melakukan hal sedemikian.
Lalu kita sebagai orang yang percaya kepada-Nya, sudahkah kita menghidupi teladan yang semacam demikian? Adakah kita menghadirkan semangat inkarnasi itu di dalam hidup kita, terutama saat masa pandemi seperti ini? Sembilan bulan sudah berlalu, bukankah masih banyak di antara kita yang masih takut beribadah fisik? Jangankan ibadah fisik, mungkin sekali kita sudah mulai meninggalkan ibadah online. Jika orang Kristen saja ketakutan terhadap pandemi, dari mana lagi dunia mendapatkan pengharapan yang sejati? Bukankah kita sudah percaya kepada Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat dunia? Serta mengamini pujian para malaikat bahwa ada damai sejahtera di bumi bagi mereka yang percaya kepada-Nya? Di manakah damai sejahtera itu jika kita, yang masih sehat ini, justru menyebarkan ketakutan dan kekhawatiran secara berlebih kepada orang-orang di sekitar kita? Kita bahkan hanya mementingkan keamanan dan kesehatan diri kita sendiri, tanpa menyadari ada orang-orang di sekitar kita yang mungkin jauh lebih buruk kondisinya dibanding kita.
Mari kita melihat pandemi ini bukan hanya sebagai musibah atau penderitaan yang “menyusahkan” saja, tetapi juga melihat dari sisi Allah yang berdaulat atas segala sesuatu. Allah yang baik dan yang memelihara umat-Nya, tentu menghadirkan sebuah peristiwa untuk mendidik umat-Nya. Begitu juga dengan pandemi ini. Mungkin ini adalah sarana Allah untuk menegur kita yang sering mengabaikan anugerah dari-Nya, sehingga kita boleh merenungkan makna Natal seperti yang Alkitab nyatakan. Bagaimana Tuhan Yesus rela hadir di tengah-tengah dunia yang begitu pelik dan bengis. Supaya kita boleh melihat bahwa pengharapan yang sejati bukan ada pada dunia ini, melainkan hanya melalui Anak Manusia, yaitu Yesus Kristus.
Maka dari itu, kita yang masih diberikan tubuh yang sehat, mari kita membuka mata kita lebar-lebar, melihat orang-orang di sekitar kita. Kepada mereka yang sedang putus asa karena pandemi, mari kita kuatkan mereka, bahwa Allah tidak melewatkan umat-Nya yang mengalami kesulitan. Sama seperti Kristus yang rela menjalani hidup yang sederhana, tetapi hal itu tidak membatasi-Nya untuk menggenapkan rencana keselamatan dari Allah Bapa. Di tengah pencobaan, Ia tetap berpegang pada firman yang tertulis di kitab Taurat (Mat. 4:1-11). Ia bahkan rela mati di kayu salib demi menghadirkan keselamatan bagi umat yang telah diserahkan kepada-Nya (Yoh. 17:6).
Kiranya melalui momen Natal ini, kita diingatkan sekali lagi berita Natal macam apa yang harusnya kita hadirkan. Natal bukan soal pernak-perniknya, bukan juga sekadar kesempatan untuk makan-makan enak dan sepuasnya, apalagi hanya sebagai momen menikmati libur panjang. Natal adalah hari di mana kita mengingat Kristus datang ke dunia yang tidak menerima Dia. Namun, Ia tetap datang karena selain ketaatan kepada kehendak Bapa, hanya Kristuslah satu-satunya jalan kita beroleh pendamaian dengan Allah. Hanya melalui Kristus kita memperoleh hidup yang dibebaskan dari kutuk dosa. Kristus datang dan Ia membawa damai sejahtera di bumi bagi mereka yang berkenan kepada-Nya.
Di tengah himpitan baik dari orang Yahudi maupun tekanan politik, keduanya tidak dapat menggagalkan rencana Allah dalam menghadirkan jalan pendamaian itu melalui Kristus. Kita yang ada di dalam Kristus, sudahkah menjadi orang Kristen yang membawa damai? Atau kita lebih mirip dunia yang justru menghadirkan teror ketakutan di tengah pandemi ini? Lihatlah kepada Kristus yang telah menjadi teladan bagi kita untuk setia kepada kehendak Bapa, walaupun di tengah kesulitan sekalipun. Melalui hal itulah damai sejahtera yang sejati dihadirkan oleh Allah di dalam kehidupan kita. Inilah makna Natal yang harusnya kita hidupi sebagai orang yang berada di dalam Kristus di tengah pandemi.
Jika kita ditanya, “Adakah damai di bumi?” Kiranya dunia dapat menjawab, “Ada,” oleh karena kehidupan orang Kristen yang sungguh-sungguh menghidupi teladan Kristus. Ia terlebih dahulu menghadirkan pendamaian itu melalui jalan salib, maka berikutnya kita yang telah ditebus oleh darah-Nya melanjutkan kuasa keselamatan itu melalui hidup kita sehari-hari.
Trisfianto Prasetyo
Pemuda FIRES