Monday blues! (Paling bête deh masuk kantor pada hari Senin).
TGIF – Thank God It’s Friday! (nama sebuah restaurant asal Amerika, yang maksudnya adalah Thank God It’s Friday, karena setelah Friday adalah Weekend).
Kita sangat familiar dengan slogan-slogan di atas yang kerap kita temui di media-media ataupun sudah kita hidupi secara tidak sadar. Kita benci bekerja. Kita enggan melangkahkan kaki masuk ke kantor di hari Senin setelah Sabtu dan Minggu puas beristirahat dan bernikmat ria. Dunia ini pun seakan-akan mendorong kita meng-iya-kan pandangan bahwa weekdays itu sesuatu yang terkutuk dan hanya weekend yang kita celebrate. Padahal dunia pekerjaan adalah salah satu bidang kehidupan yang memakan porsi paling besar, andaikata kita mulai bekerja pada umur 22 tahun setelah lulus kuliah dan pensiun pada umur 62 tahun, maka 40 tahun dari 62 tahun kita habiskan dengan bekerja. Dan setiap hari dalam tahun-tahun tersebut kita habiskan lebih dari setengahnya di dalam kantor atau melakukan hal-hal yang berkaitan dengan dunia pekerjaan.
“Ahh… tapi kita yang Kristen tidak dugem (dunia gemerlap, bahas gaulnya untuk pesta pora) atau hidup kita kalau weekend aktif melayani, Sabtu ikut persekutuan pemuda, Minggu pagi kebaktian, siangnya ada KTB, lalu sorenya ada latihan choir…. Pokoknya weekend itu habis untuk melayani dehh.”
Jadi, bedanya Kristen dengan non-Kristen adalah kalo weekend yang non-Kristen ber-dugem-ria, sedangkan yang Kristen ke gereja aktif pelayanan? Artinya, kita hanya mengertinya sebagai perbedaan aktivitas, teman kita yang atheis hari Minggu pergi menyanyi karaoke, kita yang Kristen ke gereja menyanyi memuji Tuhan. Tapi dari Senin-Jumat, dari luar sih gak jauh berbeda kecuali waktu makan siang yang Kristen sebelum makan memejamkan mata dulu untuk berdoa. Jadi, apakah perbedaannya kita sebagai pegawai Kristen dengan pegawai-pegawai lainnya yang atheis, beragama Budha, Hindu, Islam, maupun yang scientology?
Bukan hanya impresi kita terhadap pekerjaan sama negatifnya dengan orang non-Kristen, konsep kita tentang tujuan bekerja pun terkadang masih diikat oleh konsep duniawi yang belum ditebus. Konsep kita tentang bekerja seringkali dibentuk sejak dari usia dini yaitu sejak dari sekolah. Orang tua akan menyuruh kita untuk rajin belajar. Lalu kita bertanya balik, “Kenapa harus rajin belajar?” Supaya dapat nilai bagus donk. Emang kenapa kalau dapat nilai bagus? Bisa lulus dengan cemerlang donk! Trus kalau lulus dengan cemerlang buat apa? Supaya gampang cari kerja yang bagus dan “basah” (Bukan kerja di kolam renang lohh). Oohh… jadi UUD (ujung-ujungnya duit). Lalu mami kita pasti berkata …. Bukan tentang uang aja! Biar lu jadi orang. Loh kalau sekarang saya bukan orang, lalu apa donk? Chimpanze?
Jadi, format ‘belajar untuk kerja, kerja untuk dapat uang‘ ini rupanya sudah ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anak sejak dari masa sekolah. Kalo belajarnya gak bagus, ntar masuk ke jurusan yang “kering” seperti sastra bahasa ataupun musik. Ntar mau makan apa? Apalagi kalo ada panggilan jadi pendeta, wahh siap-siap dihakimi seluruh keluarga besar dehh. Anak-anak mau dikasih makan batu?
Jadi, beginilah konsep kita tentang kerja yang dibentuk oleh latar belakang keluarga, pendidikan dan juga budaya di sekitar kita. Mau tidak mau mengkondisikan kita untuk melihat pekerjaan sebagai sarana untuk mencapai sesuatu. Dan sesuatu itu pastinya bukan untuk melihat karya Tuhan digenapi dalam hidup kita; juga tidak untuk melihat bagaimana Tuhan sudah menaruh setiap talenta yang unik bagi kita tetapi yang kita cari adalah lahan mana yang lebih enak dan basah.
Orang Kristen mungkin akan segera berkelit, eittss tunggu dulu… bukan cuma sekedar itu, kita kalo kerja Senin – Jumat itu jujur loh, tidak korupsi, hidup berintegritas, kerjaan semuanya beres. Trus kalau begitu apa bedanya dengan orang beragama lain yang juga hidup jujur, tidak korupsi dan kerjaannya juga beres? Apakah perbedaannya hanyalah kita memakai kalung salib dan berdoa sewaktu makan? Artikel ini akan mencoba untuk mencari perbedaan yang lebih hakiki dan inti dibanding perbedaan yang superficial sekaligus mencoba mengerti panggilan kita di dunia pekerjaan.
Kita dapat menemukan kebenaran dalam firman Tuhan bahwa pekerjaan bukanlah merupakan kutukan dari Tuhan. Dalam Kejadian 1:28 dicatat bahwa Adam diberi tanggung jawab dari Allah untuk menaklukkan bumi dan berkuasa atas segala binatang ciptaan Allah. Lalu di Kejadian 2:15 dicatat bahwa Tuhan Allah menempatkan Adam dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Jadi, Adam sebagai representative manusia sudah diberi tanggung jawab untuk bekerja SEBELUM kejatuhannya di dalam dosa. Barulah kemudian di pasal ke-3 tentang Kejatuhan manusia, Allah mengutuk tanah sehingga manusia harus bekerja dengan bersusah payah dan berpeluh untuk mencari makanan. Bekerja bukanlah sesuatu yang kita kerjakan dengan susah payah sambil menggerutu sebelum Kejatuhan. Bekerja merupakan suatu tanggung jawab kepercayaan yang Tuhan berikan kepada manusia. Barulah setelah Kejatuhan dalam dosa, bekerja menjadi sesuatu yang kita tidak lagi nikmati.
Pandangan yang sehat tentang bekerja selain itu juga dibengkokkan oleh konsep dikotomi sacred-secular yang kerap kita jumpai. Suatu pandangan bahwa bekerja adalah sesuatu yang duniawi namun tidak bisa kita hindari karena mau tidak mau kita harus cari makan juga sedangkan pelayanan gereja adalah hal yang rohani, yang semata-mata harus kita kejar sangat santer di Abad Pertengahan (Middle Ages). Pada waktu itu, semua memiliki pandangan bahwa panggilan yang suci adalah masuk ke dalam biara sedangkan yang tidak bisa, yahh too bad, jadi pekerja sajalah.
Namun, pandangan dualisme tersebut setelah Reformasi dipatahkan oleh Martin Luther yang berkata, “dunia ini adalah biaraku.” Bukan hanya yang kita kerjakan di dalam biara saja yang rohani, melainkan semua hal di dunia ini yang kita kerjakan yang berkait dengan rencana kekal Allah adalah rohani. Ibadah bukan hanya yang kita lakukan di dalam gedung gereja selama 2 jam pada hari Minggu. Roma 12:1 “… persembahkanlah tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Ibadah yang sejati adalah totalitas hidup kita yang kita persembahkan kepada Allah. Kita beribadah di luar gedung gereja dalam keseharian kita ketika kita melakukan sesuatu sesuai dengan nilai Kerajaan Allah.
Ibadah tidak lagi dibatasi hanya sekedar pada hari Minggu karena setelah kita meninggalkan gedung gereja – setelah kebaktian Minggu – kita tetap beribadah kepada Allah melalui pekerjaan yang Ia percayakan kepada kita, kita adalah Gereja, tubuh Kristus. Kita masing-masing membawa Gereja ke dalam dunia. Kebanyakan orang non-Kristen tidak pernah menginjakkan kaki mereka masuk ke dalam gedung gereja tetapi melalui relasi dengan orang Kristen mereka mengenal Gereja Tuhan yang am. Hidup kita adalah kitab yang terbuka yang dibaca oleh semua orang.
Tuhan Yesus di dalam doa-Nya kepada Bapa di surga untuk murid-murid-Nya yang dicatat di pasal yang terkenal, yaitu Injil Yohanes 17 berkata, “… Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia, dan Aku datang kepada-Mu, Ya Bapa yang kudus… Aku tidak meminta supaya Engkau mengambil mereka dari dunia …. Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia.”
Pertama-tama mari kita mengerti tentang dunia. Doktrin “total depravity of man” atau kejatuhan manusia secara total bukan hanya tentang moralitas dan spiritualitas manusia yang tercemar total namun juga merambah setiap pemikiran, karya, dan juga setiap sistem yang dibangun oleh manusia. Sehingga sistem dunia ini di segala bidangnya yaitu ekonomi, politik, hukum, sosial, pendidikan, dan lain-lain, semuanya tercemar oleh dosa. Dunia ini – menurut Yesus – membenci murid-murid Yesus karena mereka bukan dari dunia, sama seperti Ia bukan dari dunia. Dunia dengan segala kejatuhannya tidak lagi merupakan tempat yang nyaman bagi pengikut Kristus karena semua pola pikir dan sistem dunia ini bertolak belakang dengan prinsip kebenaran firman Tuhan.
Namun Kristus setelah menarik kita dari dunia berdosa untuk menerima anugerah keselamatan-Nya, Ia tidak mengambil kita, orang percaya, dari dunia melainkan Ia mengutus kita kembali ke dalam dunia, bahkan seperti mengutus domba ke tengah-tengah kumpulan serigala. Untuk apa? Untuk menjadi garam dan terang dunia!
Garam mempunyai beberapa karakteristik dan fungsi. Kita sudah sering mendengar tentang fungsi garam sebagai pengawet. Ikan yang digarami menjadi ikan asin akan menjadi lebih tidak cepat busuk. Dunia dengan segala kebobrokannya sedang menuju kebusukan total dan kehancuran, orang Kristen mempunyai fungsi menahan kebusukan tersebut. Dunia tidak akan menjadi jauh lebih baik, yang orang Kristen lakukan adalah menahan dan memperlambat kebusukan tersebut. G. K. Chesterton, seorang Kristen dan penulis terkenal dari Inggris berkata, “Jangan salahkan daging membusuk (karena daging pasti akan membusuk), salahkan di mana garamnya?” Dunia ini terus membusuk, dan bau busuk perbudakan, rasisme, genocide, sex abuse, korupsi, kapitalisme, dan komunisme, dan lain-lain menusuk hidung kita semua. Di manakah Martin Luther King Jr1 modern yang menahan kebusukan dalam masyarakat? Di manakah Robert Raikes2 abad ke-21? Kita mungkin tidak mampu dan juga tidak dipanggil melakukan hal sebesar mereka tapi dalam setiap lingkup pekerjaan kita, kebusukan dan dosa sudah mengintip di depan pintu dan sangat menggoda kita, tapi apakah kita berkuasa atasnya ataukah kita ikut berpartisipasi dalamnya?
Karakteristik garam lainnya adalah melarut. Orang Kristen hanya dapat menjalani fungsi panggilan mereka dalam pekerjaan kalau mereka benar-benar larut dalam komunitas masyarakat. Kecenderungan yang sering terjadi adalah semakin kita aktif dalam pelayanan-pelayanan gerejawi, kita semakin menarik diri dari komunitas umum, teman-teman kita semakin banyak yang satu gereja dan teman-teman non-Kristen semakin berkurang. Dan juga adanya kecenderungan kita menarik diri ke tempat-tempat “aman” dan menjauhi tempat-tempat “kotor” seperti politik. Kita sering mendengar, “Jangan masuk politik, politik itu kotor.” Kecenderungan-kecenderungan tersebut membuat dunia semakin terasing dari peran gereja di tengah-tengah mereka.
Setiap komunitas baik itu kantor usaha, militer, politik, perkumpulan sosial mempunyai tata cara, aturan, sistem maupun tujuan mereka masing-masing. Dan kita tidak bisa masuk menggarami kalau kita tidak larut ke dalamnya terlebih dahulu. Setiap komunitas akan menolak kalau kita masuk dengan mengkritik sini-sono (karena pasti banyak yang bisa kita kritik). Peran orang Kristen akan lebih efektif dengan larutnya orang Kristen ke setiap komunitas tersebut, bersama-sama dengan setiap pemain di komunitas tersebut mencoba mencapai tujuan bagi kebaikan semua di dalam komunitas itu. Larut ke dalam komunitas yang mempunyai sistem nilai dan budaya yang kadang bertolak belakang dengan iman kekristenan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Slogan “go into the world but not a part of it” is easier said than done. Pergi ke dalam dunia tapi tidak menjadi bagian dalam dunia terdengar enak dan mudah diucapkan tetapi sulit dijalankan.
Bagai garam yang larut ke dalam segelas air dan kita tidak dapat melihat butiran-butiran garam di dalam gelas tersebut namun kita dapat merasakan kehadirannya dengan sungguh-sungguh. Kita kadang harus melepaskan segala atribut gerejawi (misalnya berseru haleluya di setiap kesempatan, ataupun memasang lagu-lagu Kristen dengan keras-keras) untuk dapat lebih melebur ke dalam komunitas kantor kita yang tidak mengenal kekristenan. Melebur atau larut bukan berarti kehilangan identitas dan iman kita. Contoh di Alkitab yang kita bisa temui adalah Yusuf, yang dicatat di Kejadian 43, ia menjabat sebagai mangkubumi di Mesir ketika ditemui oleh saudara-saudaranya yang datang untuk membeli bahan makanan karena Israel sedang dilanda kelaparan. Dicatat di ayat ke-8 bahwa ia tidak dikenali oleh saudara-saudaranya sendiri. Pastilah Yusuf tidak lagi berpakaian ala Israel namun sudah memakai busana Mesir dan menggunakan bahasa maupun kosa kata-kosa kata budaya mesir. Yusuf berpenampilan seperti seorang Mesir namun imannya tidak menyembah kepada dewa-dewa Mesir tetapi tetap kepada Allah Yahweh.
Lalu sampai di manakah batasannya tentang larut ke dalam budaya komunitas kita? Sepertinya kita tidak bisa secara kaku dan tegas menarik garis karena setiap kasus dan kejadian memerlukan bijaksana dan pimpinan Tuhan yang berbeda. Tentunya kita harus secara bijaksana membedakan mana yang mutlak yang kita tidak boleh berkompromi sama sekali (seperti ikut terlibat dalam kegiatan dosa seperti korupsi, entertainment yang melibatkan seks, dan lain-lain) dan mana yang relatif yang boleh kita kompromikan. Tentunya pembahasan tentang larut dalam komunitas ini dibatasi dalam konteks komunitas yang legal, mempunyai tujuan yang baik dalam masyarakat, dan tidak bertentangan dengan iman Kristen; karena tentunya akan sangat sulit (kalau tidak mustahil) untuk berbagian dalam komunitas yang tujuan dasarnya bertentangan dengan iman kita misalnya kita bekerja di kasino atau klinik aborsi. Bayangkan bagaimana nama Tuhan bisa dipermuliakan kalau karena kegiatan kita bekerja menjadikan semakin banyak orang melakukan aborsi atau semakin banyak keluarga yang sengsara akibat perjudian.
Kalau sifat dan fungsi orang Kristen sebagai garam dunia adalah “spirit of hiddenness” (tersembunyi – namun berkuasa) maka sifat dan fungsi orang Kristen sebagai terang dunia bersifat sebaliknya – harus di tempat di mana sebanyak mungkin orang dapat melihat dan tidak boleh tersembunyi. Matius 5:14 “Kamu adalah terang dunia… Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.” Dunia ini gelap dan bagaimanakah orang-orang ini dapat mengetahui arah tujuan mereka kecuali ada terang yang menerangi petunjuk jalan. Sifat terang yang harus sebisa mungkin memamerkan terangnya akan lebih efektif kalau ia ditaruh di posisi yang tinggi atau di atas. Penulis mencoba mengkaitkan hal tersebut dengan lingkup pengaruh dalam posisi atau hierarki perusahaan dan komunitas.
Seorang pegawai biasa secara umumnya kita mengerti akan jauh tidak mempunyai pengaruh dibandingkan dengan seorang CEO di suatu perusahaan (kecuali kalau perusahaan perorangan yang CEO dan pegawainya adalah orang yang sama). CEO akan mempunyai pengaruh dan kuasa atas suatu perusahaan besar bukan hanya dalam policy-making yang mempengaruhi kehidupan semua pegawai di perusahaan tersebut namun CEO juga bertanggung jawab dalam membangun jiwa atau culture dari perusahaan tersebut, sesuatu yang mungkin sangat sulit dilakukan oleh hanya seorang akuntan atau seorang salesman di perusahaan tersebut.
Jadi, apakah artikel ini mendorong semua orang untuk menjadi CEO? Ya dan tidak. Tidak, dalam hal kita mengerti bahwa tidak semua orang dipanggil dan mempunyai kapasitas sebagai CEO dan di lain pihak bukan untuk mengecilkan atau meremehkan peran seorang pegawai biasa karena Tuhan mampu melakukan banyak hal luar biasa dengan memakai orang-orang yang seakan-akan tidak mempunyai pengaruh maupun posisi dalam masyarakat, seperti yang banyak dicatat di Alkitab. Misalnya Tuhan memakai seorang budak wanita untuk menasehati istri Naaman untuk mencari seorang nabi di Israel untuk menyembuhkan sakit kustanya Naaman. Pdt. Billy Kristanto pernah mengkhotbahkan bagian ini yang mengatakan bahwa ada suatu line of command yang terbalik. Dalam 2Raja-Raja 5:1-5 kita melihat siang budak wanita Israel berkata kepada nyonyanya, lalu nyonyanya – Naaman – Raja Aram. Padahal seharusnya Raja Aram memerintah Naaman, Naaman berkuasa atas nyonyanya dan nyonyanya atas sang budak wanita Israel tersebut. Kalau Tuhan berkehendak, Ia bisa memakai seorang budak wanita yang remeh bahkan namanya tidak dicatat di Alkitab untuk menggenapkan rencana-Nya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh Alkitab di mana Allah memakai orang-orang pinggiran seperti beberapa nelayan Galilea yang akhirnya menjadi para rasul yang menggemparkan seluruh dunia. 1Kor 1:27-28 “Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah.”
Namun di lain pihak, tidak bisa kita pungkiri bahwa seorang CEO atau manajer akan mempunyai pengaruh yang lebih besar dan lebih mendalam terhadap orang-orang yang bekerja di bawahnya dan terhadap perusahaannya. Setiap orang Kristen yang mempunyai posisi yang lebih tinggi dalam suatu komunitas mempunyai tanggung jawab sebagai seorang “gembala”. Loh bukannya peran gembala itu diemban hamba Tuhan di gereja? Peran hamba Tuhan di gereja lebih kepada tugas memperlengkapi dan mendidik jemaat dalam kebenaran firman Tuhan dan otoritasnya adalah di-ordained. Sedangkan secara generalisasi kita mengatakan bahwa gembala dalam komunitas tidak mempunyai peran dan otoritas yang sama. Gembala dalam komunitas mempunyai peran yang lebih sebagai teladan dan model (dibanding khotbah di saat memimpin rapat umum perusahaan) dan otoritasnya adalah otoritas yang berdasarkan moral-authority. Seorang manajer atau bos Kristen yang baik, yang hatinya tertuju kepada Tuhan akan diberi tanggung jawab sebagai seorang gembala di mana banyak orang Kristen lainnya yang bergumul dalam bidang pekerjaan datang kepadanya untuk mencari nasihat, teladan karena ia sudah pernah melalui “lembah kekelaman” yang sulit. Jika kita sebagai pimpinan, adakah orang-orang Kristen lainnya yang meminta nasihat dan bimbingan dari kita tentang bagaimana menjalani rute yang penuh godaan, rayuan dosa maupun intimidasi terhadap iman? Karena kalau tidak, jangan-jangan kita belum bersinar sebagaimana seharusnya. Peran kita sebagai gembala dalam komunitas bagaikan sebuah mercusuar yang mengeluarkan cahaya yang membimbing kapal-kapal di dekatnya untuk melalui rute yang aman dari karang-karang yang dapat menenggelamkan kapal.
Seseorang dengan kerja keras dan dengan promosi akhirnya bisa memanjat hierarki dan menjadi seorang manajer atau direktur bahkan CEO namun tidak dengan otomatis posisi tersebut diiringi dengan otoritas moral. Bawahan kita bisa saja mengikuti perintah kita karena gajinya tergantung dari kuasa kita, tapi dia sama sekali tidak menghormati kita di dalam hati. Berbeda dengan seorang pemimpin yang bukan hanya mempunyai kuasa formal namun juga otoritas moral yang harus diraihnya melalui hidup yang disiplin dan jiwa yang takut akan Tuhan. Sadarlah bahwa setiap privilege yang Tuhan berikan kepada kita untuk mempunyai posisi yang tinggi dalam suatu komunitas bukanlah untuk kesenangan ataupun kepentingan pribadi namun ada tugas berat yang harus kita emban.
TYPICAL CHRISTIANS AT WORK
SURRENDERED CHRISTIANS AT WORK
Artikel yang singkat ini tentunya hanya akan menjadi stimuli bagi kita untuk memikirkan panggilan kita masing-masing di dunia pekerjaan dan melihat peran kita di dunia kerja bukanlah sekedar “kebetulan” dan fakta yang harus diterima semata-mata demi cari makan. Sebagian besar dari kita mungkin tidak dipanggil menjadi hamba Tuhan full-time, pendeta, ataupun penginjil, namun bukan berarti kita tidak menggumuli panggilan kita masing-masing di dalam dunia ini. Tuhan menciptakan setiap dari kita unik dan Ia memberikan talenta dan kemampuan yang khusus pula …. karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau supaya kita hidup di dalamnya (Ef. 2:10). Bayangkan kalau Mozart berkata saya lebih baik menjadi bankir aja karena ladangnya lebih basah (Mozart mati dalam keadaan miskin sekali, bahkan tidak dikuburkan dengan layak), dunia ini akan menjadi lebih suram tanpa musik-musik Mozart. Dan karya-karyanya seperti The Marriage of Figaro, Piano Concerto, Requiem Mass in D Minor tidak akan pernah terdengar dialunkan di dalam Aula Simfonia Jakarta.
Bayangkan kalau Fanny Crosby yang buta menjadi putus asa dan memutuskan jadi tukang pijat tuna netra saja, gereja-gereja dan dunia akan kehilangan 8.000 himne yang ditorehkan oleh penanya. Bayangkan kalau … (taruh namamu di sini) memutuskan menjadi …………… (pekerjaan yang kamu suka padahal tidak dipanggil) dibandingkan menjadi ………………. (panggilan hidupmu yang Tuhan berikan), apakah akibatnya? Bayangkan….
Artikel ini sukses jika membuat Anda membayangkan, dan akan lebih sukses lagi jikalau Tuhan memakai artikel ini untuk membuat Anda membayangkan panggilan Anda, berdoa minta kejelasan, dan berani melangkah.
Heruarto Salim
Redaksi Pelaksana PILLAR
1. Martin Luther King, Jr. adalah seorang pendeta dari gereja Baptis yang menjadi pemimpin gerakan African American civil rights movement di Amerika. Dia menjadi ikon dari gerakan HAM.
2. Robert Raikes adalah seorang dermawan Inggris yang dikenal sebagai bapak pendiri Sekolah Minggu.