Lagu Natal ini sudah diputar dari awal November di sebuah supermarket ternama di Singapore. Meskipun belum semua bagian dari supermarket tersebut dihias dengan pernak-pernik Natal, tetapi telah tersedia sebuah corner khusus yang menjual berbagai macam coklat dengan potongan harga lumayan, dengan latar belakang display gambar Santa Claus yang sedang menunggangi rusa-rusa yang selalu setia menemaninya ke setiap rumah dengan suasana winter.
Bukan hanya itu, pohon Natal yang sangat megah dengan kelap-kelip lampunya pun sudah mulai dipasang di salah satu mall besar di kota Singapore. Jujur saja, hati ini pun sangat terpikat dengan keindahan dari pohon yang besar ini, dan tentu saja juga dengan adanya pemahaman bahwa alasan pemasangan pohon begitu awal ini adalah salah satu cara marketing untuk mengundang lebih banyak orang datang ke mall tersebut dan mulai berbelanja dalam rangka Christmas sale.
Family gathering, holiday season, Christmas party, Christmas shopping pun begitu familiar dan ‘kudu’ ada dalam list kegiatan kita menjelang Desember. Tanpa ini semua, sepertinya Natal belumlah komplit, atau bisa dikatakan “no Christmas spirit”, seperti yang sering diucapkan banyak orang.
Natal, rencana Allah yang begitu agung, telah direduksi menjadi sedemikian rendah oleh manusia sehingga begitu banyak penduduk di dunia tidak mengerti dan bahkan menghina pesan agung dan kekal yang ingin disampaikan oleh Allah, Pencipta kita, melalui peristiwa ini. “… For all have sinned and fall short of the glory of God.” (Roma 3:23) melukiskan kondisi manusia dengan penilaian yang sangat tepat. Karena kita berdosa, maka kita tak mengerti kalau makna Natal yang sesungguhnya sangat bertolak belakang dengan spirit zaman dalam merayakan Natal. Allah datang menjadi manusia agar manusia dapat menjadi anak-anak Allah adalah pesan sentral yang disampaikan oleh Allah kepada kita semua.
Living in Contentment
Satu pesan sederhana tetapi agung yang dapat direnungkan melalui peristiwa Natal adalah contentment. Contentment dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kondisi di mana manusia berpuas diri dengan apa yang dia miliki dalam hidup dia, tidak menginginkan lebih ataupun yang lain. Puas, tidak menggerutu, tidak mengamuk, tidak iri dengan kondisi orang lain yang lebih baik, dan bahkan mensyukuri kelimpahan dan kekurangan yang ada adalah ciri utama dari hidup yang content. Jika dua istilah digabungkan, manusia berdosa dan contentment, maka seorang manusia berdosa dapat hidup content dalam setiap kondisi adalah misteri kerohanian yang sangat agung.
Jeremiah Burroughs, seorang Puritan, menggambarkan pengertian mengenai contentment dengan concise dan jelas: “Christian contentment is that sweet, inward, quiet, gracious frame of spirit, which freely submits to and delights in God’s wise and fatherly disposal in every condition.”[1]
Kekuatan untuk hidup content bukan berasal dari kondisi di luar diri kita, tapi berasal dari hati kita yang tenang dan selalu berharap kepada Tuhan. Hati yang tenang tetapi tidak lemah, karena berpegang pada janji Tuhan. Sehingga orang Kristen yang content, tidak tenggelam ketika ujian dan pencobaan datang, tidak goyah dan takut ketika badai menerpa, dan tidak memberontak kepada Tuhan meskipun ada hal-hal yang terlihat ‘kurang mulia’ yang dialami dalam hidupnya. Bahkan lebih jauh daripada itu, orang yang content tunduk dengan rela dan bahkan bersukacita akan apapun yang Tuhan kerjakan atau rancangkan dalam hidupnya, meskipun itu berat. Orang Kristen yang content mengenal diri, mengenal Tuhan dan janji-Nya, karena tahu apapun yang terjadi dalam hidupnya pasti mendatangkan kebaikan bagi dirinya.[2]
Begitu indah misteri kehidupan spiritual yang content, tetapi seakan-akan begitu mustahil bagi kita mencapai standar tersebut. Adakah orang yang bisa mencapai standar tersebut? Tahukah kita kalau Kristus sendiri dalam peristiwa inkarnasi di hari Natal menjadi teladan hidup content yang paling ekstrim dan sempurna? Dikatakan paling ekstrim karena ujian, pencobaan yang dialami-Nya tidak pernah dialami manusia mana pun, dan paling sempurna karena meskipun penderitaan yang ekstrim, Ia tetap menggenapkan kehendak Bapa secara tuntas dan rela.
Makna Natal yang sesungguhnya sangat jauh dari Christmas glamour yang diagung-agungkan pada zaman sekarang ini. Pada malam Natal itu, Yesus datang ke dalam dunia, dan mengosongkan diri-Nya mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia.[3] Sebuah peristiwa yang takkan pernah dimengerti oleh manusia mana pun, bahkan oleh malaikat-malaikat sekalipun. Ia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan, Dia tunduk sepenuhnya dengan rela pada kehendak Bapa. Ia membatasi diri-Nya. Ia yang seharusnya adalah the only begotten Son, datang ke dalam dunia, lahir di palungan. Ia tak punya reputasi yang respectable di masyarakat, bahkan Ia dicemooh oleh orang banyak sebagai si tukang kayu.[4] Ia datang dan hidup di dunia ini hanya sekitar 33½ tahun dan mati di kayu salib, sehingga dikenal orang sebagai seorang pecundang. Tetapi Ia tidak pernah menggerutu, mengamuk, dan iri kepada orang lain karena kondisi-Nya, Ia dengan rela dan taat melakukan apa yang dikehendaki Bapa daripada-Nya. Inilah teladan hidup content yang sesungguh-sungguhnya.
Kita sadar bahwa contentment tidak mudah dilaksanakan. Walaupun demikian, kita harus mempelajarinya. Seperti yang Paulus katakan dalam Filipi 4:11, “I have learned, in whatsoever state I am, therewith to be content.” Mari kita belajar menghidupi firman dalam meneladani Tuhan dan Guru yang agung kita, Tuhan Yesus Kristus.
Penyangkalan Diri (Self-Denial)
Ini adalah langkah penting menuju contentment. Orang yang tahu hidup menyangkal diri akan sadar dan mengatakan, “Lord, I am nothing, Lord. I deserved nothing, Lord, I can do nothing, I can receive nothing, and can make use of nothing.”[5] Orang yang menyadari keberadaan dia begitu kecil dan tak berarti akan selalu memandang kepada Tuhan sehingga memandang penderitaan sebagai hal yang kecil, serta mercy dari Tuhan begitu besar. Tak akan pernah ada manusia yang begitu content dengan hidupnya tetapi tak pernah menyangkali dirinya. Dan tak ada seorang pun yang pernah menyangkali dirinya sedahsyat penyangkalan diri Yesus. Penyangkalan Diri-Nya menjadikan Ia sebagai orang yang paling content yang pernah hidup di dunia, dan semakin kita belajar untuk menyangkal diri seperti yang dilakukan Kristus, kita akan mengalami hidup yang semakin content.
Kebijaksanaan untuk menilai mana yang mutlak penting dan mana yang tidak
Ketika Yesus datang ke rumah Maria dan Marta, Marta sibuk mempersiapkan makanan untuk menyambut Sang Guru Agung, sampai ia mengomel karena Maria hanya duduk dan mendengarkan Yesus. Tetapi Yesus justru meresponi Marta dan mengatakan, “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.” Sebelum Tuhan menegurnya, Marta tidak mengerti mana yang lebih penting dan mana yang tidak. Ia mengira mempersiapkan makanan bagi Guru, men-service Guru atau melayani Guru adalah yang paling penting dilakukan oleh seorang tuan rumah, seorang murid yang baik. Seringkali kita pun seperti itu, kita kurang bisa membedakan mana yang penting dan mana yang bukan. Kita tak menyadari bahwa bukanlah sesuatu yang mutlak penting untuk hidup senikmat mungkin di dunia, tetapi yang seharusnya mutlak penting adalah mendapatkan Tuhan. Bukanlah hal yang mutlak penting mendapatkan kehormatan dari orang lain, tapi adalah hal yang mutlak penting untuk menjadi bagian di dalam Kristus. Bukan berarti hidup enak atau kehormatan adalah hal-hal yang tidak ada artinya. Kita patut bersukacita kalau Tuhan memberi kita rumah yang baik, penghasilan yang stabil, pakaian, pasangan hidup, tetapi semua itu bukan yang paling utama yang menjadi sumber contentment kita. Apa gunanya kita memiliki semua ini tetapi binasa selama-lamanya karena hidup tanpa Kristus. Hidup di dalam Kristus, pengampunan dari Tuhan adalah hal yang mutlak penting. Karena Dialah Sumber contentment yang sesungguhnya.
Ketika Allah Sang Pencipta yang menjadi sumber contentment kita, maka hal-hal kecil dalam dunia tidak akan lagi mengganggu kita, dan kita akan benar-benar mengalami hidup yang content.
Kesadaran kalau kita adalah musafir
Berikutnya adalah kita harus sadar bahwa di dunia yang hanya sementara ini, kita hanyalah seorang musafir. Artinya fokus hidup kita bukanlah di dunia ini tetapi di sorga.
Mungkin ilustrasi berikut dapat menggambarkan dengan lebih jelas. Ambil contoh suatu saat kita harus meninggalkan rumah dan berlibur ke sebuah tempat penginapan. Ketika di tempat penginapan, kita melihat kalau tempat penginapan tersebut tidaklah baik dan nyaman. Atap bocor, lampu remang-remang, pipa ‘mampat’, tempat tidur yang keras, dan sebagainya. Tetapi kita biasanya akan mencoba untuk beradaptasi karena kita menyadari bahwa kita hanya singgah sementara saja. Kita pun terus menghibur diri kita kalau yang dialami hanyalah sementara dan terus memikirkan akan rumah kita yang jauh lebih nyaman. Mungkin kita membayangkan kalau pulang mau mandi berendam air panas, kembali pada ranjang kita yang empuk, dan lain-lain. Pemikiran seperti ini membuat kita content ketika kita bepergian, dengan kesadaran kalau semua ini akan selesai ketika kita pulang ke rumah, sehingga meskipun di tempat penginapan itu hanya makan daging yang tidak segar, ketika kita pulang, kita akan mendapatkan segala sesuatu yang tidak kita dapatkan di penginapan itu.
Sorga adalah rumah kita. Kesulitan, ketidaksempurnaan yang kita alami di dunia ini adalah sementara. Sambil terus memandang kepada janji Tuhan akan konsumasi, kita mempunyai kekuatan untuk hidup content di dunia ini.
Masih banyak hal yang harus kita pelajari dari teladan Kristus mengenai contentment. Bahkan semakin kita mendalami kebenaran firman Tuhan, semakin kita dapat melihat dengan lebih jelas kalau providensia Tuhan begitu nyata sehingga memberi kekuatan pada kita untuk hidup berserah pada Tuhan, content, serta selalu mengucap syukur kepada-Nya. Contentment bukanlah sebuah pelajaran yang mudah untuk kita kuasai, apalagi capai secara instan, melainkan membutuhkan proses pembelajaran seumur hidup. Firman Tuhan menjadi pedoman yang mengajarkan kita kebenaran, Roh Kudus yang memurnikan hati kita, dan Kristus yang menjadi Guru Agung, Teladan satu-satunya bagi kita yang akan terus memimpin kita dalam proses pembelajaran kita. Kiranya memasuki Natal tahun ini, kita kembali belajar dari Kristus yang telah menjadi teladan hidup content satu-satunya dan yang paling sempurna sehingga kita dapat mengalami contentment dalam arti yang sesungguh-sungguhnya, dan yang membawa kita semakin lebih dekat kepada Tuhan dan kehendak-Nya. Amin.
Yenny Djohan
Pemudi GRII Singapura
Endnotes:
[1] Jeremiah Burroughs, “The Rare Jewel of Christian Contentment”, p.19
[2] Roma 8:28
[3] Filipi 2:7
[4] Markus 6:3
[5] Jeremiah Burroughs, “The Rare Jewel of Christian Contentment”, p.89
[6] Lukas 10:41-42