Dalam Dunia Tetapi Tidak Duniawi

Suatu hari Jes duduk diam di tengah lapangan bola berumput hijau yang terhampar bagaikan sebuah teratai besar yang terjatuh dari lautan langit biru di atas. Ia menengadah ke atas dan melihat horison cakrawala yang tidak terbatas dengan dibubuhi awan putih yang mengalir lambat. Ia termenung sadar betapa kecil dan fana dirinya dibandingkan tata surya yang begitu terhampar tanpa tepi. “What a stunning view!” gumamnya.

Malamnya ketika Jes menonton acara TV “History Channel”, dia menonton riwayat Mahatma Gandhi yang penuh dengan perjuangan. Mulai dari awal di mana dia diperlakukan dengan tidak adil oleh kaum golongan kolonialisme Inggris hingga dipenjarakan berkali-kali karena perjuangannya melawan ketidakadilan yang melanda rakyat India. Gandhi terkenal dalam melawan tirani kekuasaan dengan gerakan anti-kekerasan yang melibatkan massa secara luas dan akhirnya berhasil membawa kemerdekaan kepada India dan juga menginspirasi gerakan hak sipil dan kemerdekaan di negara-negara lain. Dokumentari tersebut ditutup dengan suatu kalimat singkat, “Mahatma Gandhi adalah salah seorang paling agung yang pernah hidup di abad ke-20 karena kehidupannya yang penuh penderitaan dan ketidakadilan telah menginspirasikan gerakan menjunjung keadilan dan memberantas penderitaan di dalam dunia”. Jes tanpa sadar mencucurkan air mata karena hatinya berkobar melihat suatu dokumentari yang begitu menyentuh.

Kemudian keesokan harinya di dalam pelajaran biologi, Jes belajar tentang anatomi tubuh. Guru biologinya, Bu Mitra sedang mengajar, “Tubuh kita ini adalah sebuah micro-universe (alam semesta kecil) yang ratusan sel dan jutaan selnya saling terkait secara misterius. Tubuh manusia adalah suatu ‘Grand Masterpiece’ yang tidak ternilai, tidak ada desain yang lebih indah atau lebih efisien dan praktis dibandingkan dengan desain tubuh kita yang diciptakan Tuhan.”

KRING!!! KRINGGG!!! Bel berbunyi keras dan semua murid langsung berhamburan keluar untuk segera pulang. Tapi ada satu pasang langkah kaki yang menapak pelan keluar dari ruangan kelas; Jes tidak habis pikir memikirkan bagaimana ketiga hal yang membuatnya kemarin dan hari ini terpukau dapat dikaitkan dengan satu hal yang ia pelajari di kelas katekisasi gereja, yaitu: ‘The total depravity’ atau ‘Kejatuhan’ atau ‘Kerusakan Total’. “Hmm… di kelas katekisasi kemarin sepertinya Pendeta Romia mengajarkan bahwa sejak the Fall semua manusia dan ciptaan sudah dalam kondisi total depravity karena murka Allah atas dosa Adam. Jadi bingung euy. Besok minggu mau tanya Pak Romia lagi ahh… kalo total depravity, gimana menjelaskan dunia ciptaan yang begitu indah? Koq ternyata ada orang-orang non-Kristen yang hidupnya agung dan bermoral tinggi bahkan lebih baik daripada saya dan banyak orang Kristen lainnya seperti si Mahatma Gandhi misalnya?”

Ternyata Jes tidak sendiri dalam kebingungannya; banyak orang Kristen juga bertanya-tanya hal yang sama. Teliti punya teliti, rupanya kebingungan Jes bukan disebabkan oleh Pendeta Romia salah menjelaskan, tetapi Jes sedang terkantuk-kantuk waktu kelas katekisasi kemarin dan tidak mendengarkan penjelasan yang menyeluruh. Pendeta Romia menjelaskan bahwa kerusakan total bukan berarti kerusakan mutlak. Memang betul kerusakan total berarti tidak ada satu bagian pun dalam manusia yang lolos dari pengaruh Fall (bandingkan dengan theologi Katolik di Abad Pertengahan yang berpendapat bahwa emosi dan kehendak manusia memang jatuh tetapi rasio manusia masih murni) tetapi itu bukan berarti manusia yang jatuh dalam dosa selalu melakukan dosa secara mutlak. Rusak total tapi tidak rusak mutlak. Artinya manusia yang jahat sekalipun tidak setiap saat melakukan kejahatan, dan orang jahat pun tidak menjadi sejahat-jahatnya yang mereka mampu. Ada kisah seorang penjahat berdarah dingin yang berhasil diringkus oleh polisi karena ada satu polisi yang memakai taktik dengan menyamar menjadi seorang nenek tua yang tertatih-tatih lalu pura-pura terjatuh. Singkat cerita, si penculik ini mencoba menolongnya dan kemudian dia ditaklukkan. Si penjahat itu walaupun berdarah dingin dan rusak total tapi tidak sampai rusak mutlak karena masih ada secercah hati nurani untuk menolong nenek tua.

Prof. Dr. Andrew T.B. McGowan, Ph.D. dalam kesempatan simposium theologi mengenang 500 tahun Yohanes Calvin yang diadakan di Jakarta pada bulan Maret 2009 lalu menjelaskan, kenapa manusia tidak menjadi sejahat yang mereka mampu ketika ia menjelaskan tentang dua aspek dari Common Grace:

1. Manusia tidak menjadi sejahat-jahatnya yang mereka mampu karena mereka dibatasi oleh Allah. Dosa dibatasi. God restrains sin. Ini aspek negatifnya.

2.  Manusia termasuk mereka yang tidak percaya Allah mampu berpartisipasi dalam kebudayaan secara positif, mampu berkontribusi baik secara cultural maupun science. Ini aspek positifnya.

Dari penjelasannya kita dapat mengerti kenapa para perampok, koruptor, pemerkosa, bahkan pembunuh berdarah dingin, tidak menjadi hitam sepekat-pekatnya dan tetap ada pengharapan bagi mereka untuk bangkit dan berubah ketika kuasa kasih karunia Tuhan turun atas mereka.

Prof. McGowan membahas suatu pembahasan yang dimulai oleh Yohanes Calvin dalam  bukunya Institutes of the Christian Religion dalam pembahasan Pemeliharaan Tuhan (God’s providence). Allah yang mencipta tidak berhenti berkarya walaupun ada fakta Kejatuhan. Jadi Allah kita bukan Allah yang mencipta dunia setelah itu gak mau tau tentang ciptaan-Nya, Ia melepasnya berjalan sesuai dengan hukum-hukum alam.[1] Atau dalam ilustrasi yang terkenal, Allah itu mencipta dunia seperti kita memutar jam yang ada putaran di belakangnya lalu membiarkan jam itu berjalan dengan sendirinya tanpa perlu intervensi kita lagi. Paham tersebut dikenal sebagai paham Deisme. 

Calvin melanjutkan, “But Faith ought to penetrate more deeply, namely, having found him Creator of all, fortwith to conclude he is also Everlasting Governor and Preserver – not only in that he drives the celestial frame … but also in that he sustains, nourishes, and cares for, everything he has made, even to the least sparrow”.[2] Kita menolak Deisme karena dengan iman kita melihat dengan jelas di dalam Alkitab bahwa Ia selain sebagai Pencipta, Ia juga adalah yang memerintah dan memelihara ciptaan-Nya mulai dari planet-planet yang besar bahkan sampai burung pipit yang kecil.

Allah kita adalah Allah yang terus terlibat di dalam setiap aktivitas dan rencana dunia ciptaan di mana kita melihat Allah terus berintervensi sejak awal penciptaan sampai proses bangsa Israel dan sampai saat ini ketika artikel ini dibaca, Ia tetap berkarya walaupun faktanya dunia ini sudah jatuh di dalam dosa. Namun Total Depravity yang membuat dunia ini mengerang dan menunggu akan kelepasannya di dalam Kristus pun tetap memancarkan keindahan-keindahan yang alami. Kita masih dapat melihat jejak tangan Tuhan di dalam semua keindahan yang setiap indera tubuh kita nikmati: pemandangan gunung Bromo yang memukau, alunan lagu ataupun kicauan burung yang merdu, semerbak harum kopi pagi hari maupun kelembutan kue tart yang kita makan.

Semua keindahan tersebut dapat dinikmati oleh baik orang Kristen maupun non-Kristen. Bukan berarti hanya orang Kristen yang dapat melihat dan menikmati semua keindahan tersebut, orang yang melawan Tuhan pun tetap merasakan hal yang sama. Kemudian kita beralih ke aspek positif common grace yaitu dari aspek alam ke dalam kehidupan manusia. Hal ini juga merupakan jawaban atas pertanyaan lanjutan Jes, kenapa banyak orang non-Kristen yang hidupnya sangat agung dan bermoral tinggi ataupun juga bersumbangsih besar dalam kebudayaan dan masyarakat. Misalnya Thomas Jefferson, salah satu Presiden Amerika teragung yang merancang ‘Declaration of Independence’; Albert Einstein, seorang jenius sains terbesar abad ke-20 adalah Deist; ataupun Mahatma Gandhi.

Ataupun misalnya dalam konteks yang lebih dekat, kenapa teman saya yang atheis koq rasanya lebih pandai dan gesit dalam bekerja dibanding si Markus yang walaupun pengurus pemuda di gereja tapi suka telmi (telat mikir). Atau Wisnu teman orang Bali saya yang wuihh kecakapannya mengukir sepertinya hampir tidak ada yang mengalahkan. Semua orang Kristen lainnya yang keahliannya mencapai setengah keahliannya si Wisnu pun hampir tidak ada.  Bikin orang Kristen jadi minder aja.

Pertanyaan yang harus kita tanyakan adalah apakah menjadi orang Kristen harus otomatis menjadi lebih pandai, lebih rajin, lebih kuat, lebih hebat, dan lebih sukses dibandingkan orang duniawi? Kalo pertanyaan tersebut dengan naif dijawab YA, maka kita akan melihat banyak orang menjadi Kristen bukan karena sadar diri adalah orang berdosa yang memerlukan Kristus, tetapi karena mereka mau menjadi lebih hebat dan lebih…, lebih…, lebih semuanya. Dan akhirnya Kekristenan menjadi lebih rusak juga.

Matius 5:45 mengatakan, “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” Dari bagian Alkitab ini jelas bahwa Tuhan memberikan karunia umum-Nya secara universal sehingga orang yang tidak percaya Tuhan pun dilimpahkan bakat, talenta, maupun kemampuan untuk berkarya secara positif, menghasilkan guna dan manfaat bagi masyarakat. Di Perjanjian Lama juga dicatat tentang Salomo yang meminta Huram, raja negeri Tirus: “Kirimlah kepadaku seorang yang ahli mengerjakan emas, perak, tembaga, kain… dan juga pandai membuat ukiran. Kirimlah juga kepadaku kayu aras, sanobar, dan cendana dari gunung Libanon, sebab aku tahu, bahwa hamba-hambamu pandai menebang pohon dari Libanon. … sebab rumah yang hendak kudirikan itu harus besar dan menakjubkan.” Salomo yang hendak membangun bait suci meminta keahlian dari orang kafir. Itu hanya bisa dimungkinkan karena Tuhan memberikan keahlian yang sangat tinggi kepada penduduk Tirus dalam menebang pohon di Libanon maupun mengerjakan emas dan lain-lain bahkan melebihi kemampuan orang-orang Israel (2 Tawarikh 2:7-9).

Cornelius Van Til menulis, “Orang Kristen dan non-Kristen diciptakan sebagai peta dan teladan Allah, bersama-sama menghadapi wahyu umum Allah di dalam ciptaan. Mereka tidak dapat menyangkal suatu perasaan bahwa Tuhan hadir berbicara kepada hati nurani mereka. Semua akal manusia berfungsi sesuai hukum logika sehingga manusia secara natural akan berpikir secara logis. Semua manusia membuat pertimbangan dan mampu menciptakan penemuan sains. Semua hal ini benar dan penting untuk dipertahankan”.[3] Maksud Van Til adalah bukan hanya orang Kristen tetapi semua manusia secara universal mengalami hal yang sama. Kemudian paragraf selanjutnya ia menambahkan, “Van Til to point out, however, that these common resources and methods available to Christian and non-Christian alike must not obscure for us the radical presuppositional opposition between the two worldviews, the two systems or frameworks in which “the facts” are placed”.[4]

Worldview orang Kristen selalu berlawanan dengan worldview mereka yang melawan Kristus karena antitesis yang ditetapkan Allah di Kejadian 3:15, ‘Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya’. The seed of the woman VS the seed of the serpent. Ini suatu antitesis yang dimulai di taman Eden dan berlangsung sepanjang sejarah sampai suatu saat akan diakhiri ketika the seed of the woman yaitu Kristus meremukkan kepala si Setan secara final. Antitesis tersebut bukan tentang Grace VS Nature/Culture, karena nature & culture pun akan ditebus oleh Kristus untuk kembali kepada rencana Allah.

Pengertian antitesis tersebut dan common grace membuat kita mengerti peranan dan tanggung jawab kita dalam mengembangkan kebudayaan dan sains secara sehat. Karena banyak pandangan relasi antara Kekristenan dan kebudayaan yang disalah mengerti. Yang paling mencolok adalah dua ekstrem:

1.       Menarik diri menjadi asketis.

2.       Meleburkan diri ke dalam budaya dunia tanpa identitas yang jelas.

Golongan yang menarik diri menjadi asketis biasanya didasari oleh pandangan bahwa kebudayaan itu pada dasarnya adalah berdosa (politik itu kotor, orang dagang pasti korupsi, dan lain-lain) sehingga harus dihindari. Lalu mereka menarik diri ataupun mengucilkan diri tanpa mau terlibat di dalam segala kegiatan budaya seperti politik, ekonomi, militer, seni, dan lain-lain. Kesalahan kaum asketis adalah mereka menganggap antitesis antara Kristen dan non-Kristen sama dengan antara Kristen dan budaya. Terdapat banyak sekali contoh golongan asketis di sepanjang sejarah, seperti sekte Essenes di abad-abad awal, Monasticism di Abad Pertengahan, kaum Anabaptis di abad ke-16, maupun kaum Amish di Amerika modern. Asketis model modern yang banyak orang Kristen kontemporer dunia ini sering tidak sadari adalah pandangan anti-kebudayaan. Misalnya kerap kita mendengar suatu kesaksian oleh orang Kristen yang bertobat ‘dulu saya sering nonton film di bioskop, setelah bertobat saya tidak lagi nonton film apapun kecuali film Kristen’.

Model kerohanian yang dewasa bukan tentang ‘boleh apa tidak’ tetapi harus sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam 1 Korintus 10:23, “Segala sesuatu boleh tetapi tidak segala sesuatu membangun”. Jadi apapun boleh tetapi sebelum kita melakukan, kita perlu bertanya ulang, “Apakah sesuatu ini membangun saya maupun membangun orang lain?” Dan di 1 Korintus 10:31-32 juga dipertegas ulang: lakukanlah segala sesuatu untuk kemuliaan Tuhan dan jangan menimbulkan syak/batu sandungan bagi orang lain. Kita bebas untuk involve di kebudayaan asalkan kita tahu bahwa semua yang kita terlibat di dalamnya itu memuliakan Tuhan karena merupakan kehendak Allah yang dikerjakan berlandaskan prinsip-prinsip firman Tuhan, kemudian juga untuk membangun diri dan orang lain serta tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain.

Bahaya esktrem lainnya adalah meleburkan diri tanpa identitas yang jelas akan membuat Kekristenan menjadi sangat rentan untuk ditarik dan kehilangan keunikannya. Tujuannya adalah mau mengakomodasi kebudayaan tetapi akhirnya menjadi mengompromikan Kekudusan Allah (baca: menjual Yesus). Golongan ini sama sekali tidak melihat ada antitesis sehingga semua budaya dapat diserap asalkan ‘dibaptis’ dengan istilah rohani. Misalnya gereja yang mengadopsi musik rock ataupun rap untuk dipakai di dalam kebaktian asalkan kata-katanya diganti menjadi perbendaharaan Kristen.

Belakangan ini di Singapura sedang ada perdebatan hangat mengenai suatu kejadian yaitu seorang istri pendeta gereja besar di Singapura yang menjadi penyanyi sekular dan berhasil menembus pasaran Amerika. Baru-baru ini dia meluncurkan video musik yang menampilkan dirinya berpakaian seksi dengan menari-nari secara erotis.  Lalu di internet terjadilah perdebatan yang hangat. Kenapa koq istri pendeta kaya begitu, bagaimana sang suami bisa memimpin jemaat yang ribuan orang sedangkan memimpin istrinya saja tidak bisa. Ataupun apa bedanya dia sebagai seorang Kristen dengan penyanyi Hollywood lainnya yang mengumbar nafsu birahi sebagai pelaris lagunya? Argumen dari mereka yang membela adalah dia membawa nama harum bagi Singapura karena dia adalah satu-satunya penyanyi Singapura pertama yang menembus Hollywood. Apa yang dia lakukan adalah membuat Kekristenan relevan dengan culture saat ini, selain itu dia juga aktif di dalam bidang amal dan kemanusiaan loh.

Lalu bagaimana pertimbangan kita ketika melihat event seperti ini? Pertanyaannya, yang penting adalah motivasi kita melakukan sesuatu, ‘Apakah mencari approval dari dunia atau approval dari Tuhan?’ Kalau approval dunia, berarti Stefanus seharusnya dicatat sebagai seorang yang gagal total karena setelah dia khotbah dia dirajam batu oleh pendengar yang membencinya. Tetapi Alkitab mencatat, Stefanus diberikan penampakan sorgawi oleh Allah sebagai suatu ‘penghormatan’ kepada sang martir gereja mula-mula ini. Di lain pihak, Pilatus mendapatkan seruan dan tepuk tangan riuh massa ketika dia meng-‘entertain’ permintaan orang banyak untuk menyerahkan Yesus.

Lalu bagaimanakah kita dapat menjalankan panggilan kita tanpa harus jatuh ke dalam dua ekstrem tersebut? Memang tidak mudah untuk menjaga keseimbangan antara menjalankan panggilan kita untuk berkarya di dalam dunia namun mempertahankan sense of antitesis terhadap dunia secara tepat. Tinggal diam di dunia tanpa menjadi duniawi memang suatu hal yang luar biasa sulit namun bukannya tidak mungkin untuk dijalankan.  Mungkin dijalani? Mungkin donk, masa kalah sama ikan! Ikan setiap saat berenang di lautan yang asin tetapi tidak serta merta menjadi ikan asin.  Karunia dan kekuatan Allah akan memampukan seseorang yang mengasihi-Nya untuk menggenapi mission impossible ini.

Paulus memberikan suatu clue kepada kita, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:1-2). Jangan menjadi serupa dengan dunia ini sebaliknya mempunyai suatu perubahan mind barulah kemudian kita mempunyai suatu ‘spirit of discernment” yang dapat menimbang dan membedakan segala sesuatu. Tapi langkah pertama yang mutlak dijelaskan oleh Paulus adalah kerelaan kita mempersembahkan diri kita seutuhnya kepada Allah. Hanya orang Kristen yang dapat mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah karena mereka sudah mendapatkan kasih karunia Tuhan Yesus yang terlebih dahulu mempersembahkan diri-Nya sebagai persembahan yang sempurna bagi Allah. Orang Kristen mendapatkan karunia hidup kekal yaitu Saving Grace bukan untuk mereka nikmati sendiri. Orang Kristen sejati sadar bahwa dia diselamatkan dari murka Allah dan neraka yang menantinya adalah semata-mata karena belas kasihan Allah dan tidak mungkin dia tidak mengabarkan kabar baik yang dia alami ini kepada orang-orang di sekitarnya. Saving grace yang orang Kristen sudah terima menuntutnya untuk membawa mandat Injil sesuai perintah Sang Tuan hidupnya, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:20).

Namun tidak stop di situ, saya mengutip Henry R. Van Til yang juga mengutip Bavinck: “Man is not only converted from his nature as sinful by grace, but must again in the state of grace return unto nature as the creation of God”.[5] Manusia yang sudah diubahkan dari natur berdosanya oleh anugerah Tuhan sekali lagi oleh anugerah kembali kepada alam ciptaan untuk mengembangkannya. Saving Grace menuntut kita untuk menunaikan mandat Injil. Common grace menuntut kita untuk menjalankan mandat budaya di segala bidang kehidupan. Setiap common grace yang Tuhan berikan adalah modal untuk kita kembalikan kepada Tuhan. Ada tanggung jawab! Atau dalam bahasa Spiderman, “Great power comes with great responsibility”.  Karena Tuan yang sudah mempercayakan sejumlah talenta kepada seorang hamba itu akan kembali dan menuntut modalnya kembali beserta laba dari sang hamba.

Kamu menerima berapa talenta? 1 atau 2 atau 5? Setiap orang menerima takaran yang berbeda namun yang diberi banyak dituntut banyak. Sudahkah kita sadar betapa banyak anugerah dan kebaikan yang Tuhan limpahkan dan curahkan dalam hidup kita? Siap menjalankan mission impossible? Tuhan menanti jawabmu!

Heruarto Salim
Redaksi Pelaksana PILLAR

Endnotes:
[1] John Calvin, Institutes of the Christian Religion, ed. John T. McNeill, terj. Ford Lewis Battles. (Philadelphia: WJK). III.9.1.
[2] Ibid.
[3] Cornelius Van Til, Common Grace and Witness-Bearing.
[4] Ibid.
[5] Henry R. Van Til, The Calvinistic Concept of Culture