Pernahkah kita memikirkan apa artinya menjadi seorang Kristen? Hidup di tengah masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan, apa perbedaan kekristenan dengan agama lain? Kebajikan, kebenaran, dan kebaikan adalah tujuan yang sama bagi setiap agama. Seolah-olah antara kekristenan dan agama-agama lain dapat menghadirkan kebaikan yang “sama”. Sebagian orang bahkan mampu melakukan perbuatan yang kelihatannya jauh lebih baik dari orang Kristen. Padahal kita percaya semua manusia telah jatuh ke dalam dosa, dan hanya melalui Kristus manusia dapat diselamatkan. Kebajikan, kebenaran, dan kebaikan yang sejati hanya ada pada Allah yang dinyatakan Alkitab. Sangat disayangkan kalau kebanyakan orang Kristen tidak menyadari hal ini. Kita pun terjebak di dalam situasi pluralisme ini dan merasa tidak perlu menonjolkan keunikan yang hanya ada pada Kristus. Pada akhirnya, kita gagal menunjukkan bahwa hanya Kristus satu-satunya jalan menuju keselamatan sejati.
Situasi yang sama juga terjadi pada Gereja Mula-mula. Bagaimana tidak, sejak turunnya Roh Kudus pada Hari Pentakosta (Kis. 2), pergerakan sejarah umat Tuhan berbalik 180 derajat. Firman Tuhan tidak hanya dikabarkan kepada bangsa Yahudi saja, tetapi juga kepada bangsa-bangsa lain. Roh Kudus melalui khotbah Petrus menggerakkan ribuan orang untuk bertobat, yang berasal dari berbagai suku dan bangsa (Kis. 2). Kemudian misi ini dilanjutkan oleh Paulus untuk memenangkan lebih banyak orang non-Yahudi, hingga pada akhirnya muncullah istilah Kristen, yaitu Kristus kecil, yang berarti orang yang mengikuti jalan Tuhan (Kis. 11:26). Tentu istilah ini tidak datang dengan sendirinya, tetapi karena kekristenan mula-mula telah menghadirkan keunikan yang berbeda dari budaya pada saat itu, entah itu kebudayaan Yunani ataupun hidup keagamaan orang Yahudi. Bagi penulis, keunikan ini dapat kita telusuri melalui surat-surat yang ditulis oleh Rasul Paulus. Salah satunya telah ditulis oleh penulis pada Buletin PILLAR edisi April 2021, yaitu mengenai bagaimana salib Kristus seharusnya menjadi ciri khas hidup orang Kristen.
Berikutnya, artikel ini akan melengkapi makna salib Kristus melalui kebangkitan-Nya, sehingga menjadi satu keutuhan hidup orang Kristen yang menyatakan kerendahan hati sekaligus pengharapan yang baru, melalui kematian dan kebangkitan Kristus.
Mati dan Bangkit: Setara dan Beda
Di artikel sebelumnya, penulis membahas bagaimana Paulus sangat mengutamakan kematian Kristus sebagai teladan hidup orang Kristen (Flp. 2:1-8). Paulus bahkan mengesampingkan hikmat dunia karena melihat betapa penting dan krusialnya salib Kristus (1Kor. 2:2). Tetapi di surat lainnya, Paulus juga menuliskan bagaimana kebangkitan Kristus juga sama pentingnya bagi fondasi iman kekristenan. Ia berkata bahwa sia-sialah kepercayaan kita jika Kristus tidak bangkit (1Kor. 15:14). Sehingga ada tendensi bahwa kematian Kristus menjadi sia-sia jika Ia tidak bangkit. Jadi manakah yang paling utama, kematian-Nya atau kebangkitan-Nya?
Sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua hal ini jika kita membaca bagian lain dari surat Paulus. Justru Paulus memadukan kedua hal ini secara utuh dan komplit. Antara kematian dan kebangkitan-Nya tidak dapat dipisahkan. Dua-duanya mutlak harus ada di dalam rencana keselamatan Allah bagi umat-Nya. Di Roma 6:8, Paulus menyatakan bahwa mereka yang telah mati dengan Kristus akan juga hidup di dalam Dia. Begitu pula dengan surat-surat lainnya yang juga menunjukkan prinsip yang sama, bagaimana hidup Paulus dan juga orang Kristen seharusnya mencerminkan kematian dan kebangkitan Kristus, seperti “mati oleh hukum Taurat, dan hidup bagi Allah” (Gal. 2:19), “diserahkan kepada maut, supaya hidup” (2Kor. 4:11), dan “menderita bersama Dia, dipermuliakan bersama Dia” (Roma 8:17). Sehingga kedua ayat yang disebutkan sebelumnya (Flp. 2:1-8 dan 1Kor. 15:14) tidak perlu dipertentangkan, melainkan Paulus justru mau menyatakan bahwa kedua peristiwa ini saling melengkapi sebagai satu keutuhan. Kematian tanpa kebangkitan adalah sia-sia, begitu juga sebaliknya, tidak mungkin ada kebangkitan tanpa kematian.
Lalu, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana Paulus memadukan dua momen penting ini di dalam pemikiran theologinya? Michael J. Gorman membahas topik ini melalui tulisan Paulus di 2 Korintus 3-5 dengan fokus utama pada 2 Korintus 4:7-12.1 Bagian ini tidak sekadar menjelaskan kaitan erat antara kematian dan kebangkitan Kristus, tetapi juga menjadi roh atau semangat pelayanan Paulus. Walaupun di dalam kelemahan dan kesulitan, tetapi mendapatkan kekuatan dari Allah: “ditindas, namun tidak terjepit; habis akal, namun tidak putus asa; dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian; dihempaskan, namun tidak binasa”. Seperti juga Kristus yang harus melalui pergumulan melewati jalan salib, tetapi beroleh kemenangan atas maut melalui kebangkitan-Nya. Pola seperti inilah yang menggerakkan pelayanan Paulus yang begitu gigih dan pantang mundur. Bukan karena ia hebat seperti yang orang-orang Korintus pikirkan, melainkan karena kuasa kebangkitan Kristus yang terus memberi dorongan bagi Paulus. Inilah yang Paulus rindukan bagi orang-orang Korintus supaya mereka dapat menghidupi kuasa kematian dan kebangkitan Kristus. Michael J. Gorman2 menemukan ada satu kata kunci yang Paulus pakai untuk menghubungkan kematian dan kebangkitan Kristus, yaitu kata “supaya”. Paulus menuliskan kata ini tiga kali dari ayat 7-12. Berdasarkan KBBI, kata “supaya” digunakan untuk menandakan suatu tujuan atau harapan. Di ayat 7, Paulus menganalogikan dirinya seperti bejana tanah liat yang begitu rapuh, tetapi menyimpan harta yang berharga, yaitu Injil Kristus, “supaya” nyata bahwa “kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami [Paulus]”. Jika jemaat Korintus terberkati oleh pelayanan Paulus, itu semata-mata bukan karena Paulus yang hebat dalam berkata-kata. Kuasa Allah yang berlimpah dinyatakan melalui diri Paulus yang begitu rendah hati di hadapan Allah. Bukan kehebatan Paulus yang diberitakan, melainkan Injil Kristus yang menerangi hati setiap orang; itulah yang diberitakan.3 Begitu juga dengan ayat lainnya yang memakai pola yang sama seperti ayat 7 ini (lihat pada bagian tabel).
Ayat | Kelemahan/Kematian | Kekuatan/Hidup |
4:7 | Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, | bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. |
4:10 | Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya | kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami. |
4:11 | Sebab kami, yang masih hidup ini, terus-menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya | juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami yang fana ini. |
4:12 | Maka demikianlah maut giat di dalam diri kami dan | hidup giat di dalam kamu. |
Coba perhatikan keempat ayat ini dengan saksama. Kita dapat menemukan pola yang terus diulang. Pengulangan yang makin menekankan satu prinsip yang jelas, yaitu kuasa kematian dan kebangkitan Kristus. Seperti halnya Kristus harus mati di kayu salib, supaya nyata kuasa kebangkitan-Nya dan kemenangan-Nya atas maut, begitu juga dengan kehidupan orang percaya yang seharusnya menghidupi pola seperti yang Kristus jalankan. Kita harus menghadirkan hidup yang mengorbankan diri seperti Kristus yang tersalib, dan konsisten mengerjakannya melalui kuasa kebangkitan-Nya. Inilah yang Paulus hadirkan di dalam prinsip pelayanannya. Seolah-olah terlihat berada di dalam kelemahan, kekurangan, dan kesulitan hidup, tetapi melalui hal itulah kuasa dan kekuatan Allah tampak makin nyata. Bagi sebagian orang, ini mungkin terlihat mustahil. Bagaimana bisa dari yang lemah menghasilkan kekuatan? Tetapi inilah kuasa kematian dan kebangkitan Kristus yang Paulus hidupi di dalam pelayanannya. Ia pun mau pola ini juga ternyatakan baik di dalam kehidupan orang-orang Korintus maupun kita semua yang saat ini membaca artikel ini.
Walaupun dalam beberapa kesempatan Paulus hanya menekankan salah satu peristiwa ini, tetapi kematian dan kebangkitan Kristus sama pentingnya. Bagi Paulus, kematian dan kebangkitan bukan sekadar dua peristiwa terpisah yang seolah-olah berdiri sendiri, melainkan saling terkait satu sama lain. Melalui Surat 2 Korintus 4:7-12 ini, Paulus memadukan keduanya sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, bahkan kesatuan itu menjadi ciri khas kehidupan orang percaya. Ibaratnya seperti kematian Kristus adalah pola kehidupan orang percaya yang rela mengesampingkan diri demi Kerajaan Tuhan dan umat-Nya. Kita bahkan seharusnya rela menjalani hidup yang menyangkal diri dan memikul salib, seperti yang Kristus lakukan. Di saat yang sama, kebangkitan Kristus adalah kekuatan bagi setiap orang percaya untuk menjalani hidup yang demikian.4 Kebangkitan-Nya menjadi harapan bagi umat-Nya bahwa janji pemulihan itu pasti tergenapi. Mati dan bangkit di dalam Kristus, itulah roh dari kehidupan orang percaya. Walaupun ada kesulitan di dalam mengikut Tuhan, di saat yang sama pula ada topangan tangan-Nya yang memampukan kita.
Mati dan Bangkit: Identitas dan Perjuangan
Dari pembacaan 2 Korintus 4:7-12 ini, penulis menarik kesimpulan bahwa mengenal kematian dan kebangkitan Kristus bukan sekadar pengakuan iman semata. Pengenalan ini seharusnya membawa kita kepada suatu refleksi hidup. Apakah kita sebagai orang Kristen sudah menjalankan hidup yang sedemikian, meneladani Kristus di dalam kematian dan kebangkitan-Nya? Paulus sangat mengerti prinsip ini dan ia nyatakan itu di dalam pelayanannya. Kita dapat menemukan hal ini di dalam setiap suratnya, bagaimana Paulus berjuang dengan begitu susah payah demi pemberitaan Injil kepada sebanyak mungkin orang. Di setiap kota ia terus diincar oleh orang sebangsanya untuk dihakimi (Kis. 21:27). Paulus juga dengan sabar mendidik jemaatnya yang bermacam-macam dan kerap kali menguras emosi dan pikiran (Gal. 4:19). Ia rela dipenjara, disiksa, mengalami kapal karam, hingga memperjuangkan Injil sampai ke hadapan penguasa Kerajaan Romawi.5 Semua ini Paulus lalui bukan dengan kekuatan yang dia miliki, melainkan kuasa kebangkitan Kristus yang terus memberikan dorongan dan harapan bagi Paulus (2Kor. 4:11).
Inilah yang dirindukan oleh Paulus, supaya jemaat Korintus juga boleh menghidupi semangat yang semacam demikian. Sebuah semangat yang mengorbankan diri demi pemberitaan Injil, sekaligus menyadari bahwa Tuhanlah yang memampukan kita untuk menjalaninya. Pesan yang sama juga dinyatakan kepada kita yang hidup di abad ke-21 ini. Apa yang sudah kita korbankan demi Kerajaan Tuhan? Atau justru sebaliknya, kita mengesampingkan Tuhan dan Gereja-Nya demi memprioritaskan kebutuhan pribadi?
Apalagi di tengah pandemi COVID-19 ini, yang membuat kita hanya memikirkan keselamatan diri sendiri dan keluarga. Bagi kita, urusan gereja dan pelayanan itu bisa belakangan. Yang penting saya aman dahulu, nanti baru urusan gereja. Seperti itukah kita mengikut Kristus? Tidak adakah kerelaan untuk menyangkal diri dan memikul salib? Jika kita tidak sanggup menjalani hidup demikian, jangan harap kita diberikan kuasa kebangkitan yang memampukan kita.
Isi surat Paulus ini jelas menyatakan bahwa hanya melalui jalan memikul saliblah, kuasa kebangkitan Kristus menjadi nyata. Ini adalah satu paket yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tetapi sering kali kita cuma mau enaknya [kebangkitan] saja, tanpa harus melewati kesusahannya [salib] dahulu. Di sisi yang lain, ada juga yang hanya berfokus pada kesulitannya saja, tanpa menyadari ada pengharapan yang Tuhan berikan bagi kita. Paulus mengingatkan kita untuk menghidupi dua peristiwa penting ini sebagai satu kesatuan. Di saat kita berada dalam pergumulan dan kesulitan, ingatlah bahwa itulah jalan salib yang perlu kita hadapi, sekaligus mengingat bahwa masih ada harapan melalui kebangkitan-Nya. Kemudian, ini menjadikan kita tetap rendah hati, karena Tuhanlah yang memberi kuasa kebangkitan itu yang memampukan kita menang atas kesulitan.
Kesimpulan: Di dalam [Kematian dan Kebangkitan] Kristus
Maka dari itu, jika kita sungguh-sungguh berada di dalam Kristus, kematian dan kebangkitan-Nya adalah tanda yang seharusnya terlihat di dalam keseharian hidup kita. Tidak ada jalan mulus menjadi seorang Kristen. Ada berbagai macam tantangan dan kesulitan yang harus kita hadapi. Bagi anak-anak muda, mereka mungkin harus menghadapi tantangan gaya hidup sekuler yang jauh dari Tuhan. Di dunia pekerjaan, ada begitu banyak yang mengompromikan iman demi mendapatkan uang lebih banyak. Baik di sekolah maupun kampus, harus menghadapi dilema di dalam membagi waktu antara studi, pelayanan, dan kegiatan kampus. Di lingkungan gereja sekalipun ada saja kesulitan yang terjadi. Perselisihan antarsaudara seiman hingga pelayanan yang terhambat akibat pandemi. Tetapi ingatlah kepada pengorbanan Kristus! Ingatlah kepada teladan Paulus melalui surat-suratnya! Jika Kristus telah mengesampingkan kemuliaan Ilahi demi mati di atas kayu salib, bukankah kita sebagai orang Kristen juga sepatutnya melakukan hal demikian? Kita harus mengesampingkan segala godaan dan kenikmatan dunia ini demi hidup dapat dipakai Tuhan memberitakan Injil-Nya. Tidak mudah memang menjalani hidup sedemikian. Tetapi ingatlah kepada kuasa kebangkitan Kristus. Di setiap tantangan dan kesulitan apa pun, kuasa kebangkitan Kristus menjadi pengharapan bahwa apa yang kita alami saat ini tidak akan menjadi sia-sia. Tuhan yang akan memberi kekuatan sekaligus menyempurnakan sesuai dengan rencana kekal-Nya.
Terakhir, jika sebagai orang Kristen kita sanggup menghidupi dua peristiwa ini, kekristenan masih mempunyai harapan. Inilah satu-satunya gaya hidup yang hanya ada pada kekristenan. Tidak menjadikan diri sebagai yang utama, melainkan Kerajaan Allah yang diprioritaskan. Di saat yang sama, penaklukan diri ini tidak menjadikan kita lemah, melainkan kuasa kebangkitan Kristus hadir memberikan harapan dan kekuatan. Inilah ciri khas orang Kristen yang tidak ada pada agama lain. Kekuatan untuk terus menjadi berkat bagi yang lain, bukan karena kita yang hebat, melainkan adanya kuasa Allah yang hadir. Kristus telah memulainya bagi kita di dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Kemudian Paulus menjadi teladan bagi kita bagaimana seharusnya hidup di dalam Kristus. Hal ini terbukti dari kuasa Allah yang mendorong Paulus untuk terus berjuang di dalam pelayanan dan pemberitaan Injil. Maukah kita juga ikut berbagian di dalamnya, menghadirkan kuasa kematian dan kebangkitan-Nya? Marilah kita, melalui kematian dan kebangkitan-Nya, berani dan rela menjadi saksi bagi Kristus yang adalah satu-satunya Juruselamat dan pengharapan dunia ini!
Trisfianto Prasetio
Pemuda FIRES
Endnotes:
1. Gorman, Michael. 2019. Participating in Christ. Baker Academic. Hlm. 67-73.
2. Ibid. Hlm. 70.
3. 2 Korintus 4:7 perlu dibaca beserta konteks ayat sebelumnya (2Kor. 4:1-6) mengenai tugas pemberitaan Injil yang dilakukan oleh Paulus.
4. Michael Gorman menganalogikan pandangan Paulus tentang kematian dan kebangkitan Kristus sebagai pola (pattern) dan kekuatan (power) yang ada bersama-sama di dalam hidup orang percaya.
5. 2 Korintus 11:23-30; Kisah Para Rasul 24-27.