Pada edisi Buletin PILLAR bulan Februari 2021, penulis telah membahas bagaimana theologi yang benar seharusnya menghasilkan kehidupan yang benar pula. Paulus telah memberikan teladan atas prinsip tersebut melalui suratnya kepada Filemon. Paulus menyatakan bagaimana pengenalan akan Kristus dan karya keselamatan-Nya seharusnya mengubah seluruh tatanan hidup kita, termasuk relasi dengan sesama. Prinsip ini Paulus terapkan di dalam hampir seluruh surat-suratnya. Salah satu ciri khasnya adalah ketika Paulus menuliskan istilah “di dalam Kristus” (in Christ atau with Christ). Paulus mau menekankan bagaimana kehidupan Kristen yang sejati seharusnya dimulai dari partisipasi aktif di dalam Kristus. Ketika kita berbicara mengenai apa itu kehidupan orang Kristen, maka kehidupan Kristuslah yang menjadi patokan pertama kita.
Tetapi muncul pertanyaan berikutnya, kehidupan Kristus macam apa yang seharusnya kita hidupi? Apa sebenarnya maksud Paulus ketika ia menuliskan istilah “di dalam Kristus”? Istilah yang sering kita dengar, tetapi gagal dipahami sebagai keunikan hidup orang Kristen. Adapun Paulus membahas istilah ini di dalam berbagai perspektif, salah satunya melalui puncak penggenapan Kristus di kayu salib. Bagi Paulus, peristiwa itu tidak sekadar membebaskan umat Tuhan dari hukuman kekal, tetapi juga sekaligus menjadi teladan bagi umat-Nya, supaya setiap orang percaya dapat memancarkan kemuliaan salib Kristus di setiap sendi-sendi kehidupan. Seperti apakah jalan salib itu? Apa artinya berada di dalam [salib] Kristus? Artikel ini berfokus terlebih dahulu kepada keterkaitan salib Kristus dengan ciri utama orang Kristen yang berada di dalam-Nya. Di dalam konteks memperingati Jumat Agung, kiranya artikel ini dapat menjadi sarana bagi pembaca untuk merenungkan sekali lagi makna salib Kristus di dalam hidup kita.
Mesias yang Tersalib
“Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan” (1Kor. 2:2). Ayat tersebut cukup jelas menyatakan pentingnya salib Kristus bagi theologi Paulus. Jauh lebih berharga daripada apa pun yang dunia dapat tawarkan. Padahal pada zaman itu, salib adalah hukuman yang paling kejam dan memalukan. Paulus tak memungkiri hal itu. Ia jujur menyebutkan bahwa ada tantangan semacam demikian. Penerimaan berita salib telah menjadi batu sandungan baik bagi orang Yahudi sendiri maupun orang Yunani. Yang mereka harapkan bukanlah salib, melainkan tanda-tanda mujizat bagi orang Yahudi dan hikmat yang cemerlang bagi orang Yunani (1Kor. 1:22). Tetapi Paulus dengan berani menyatakan bahwa salib Kristus jauh melampaui baik tanda yang diharapkan orang Yahudi maupun hikmat orang Yunani. Oleh karena Paulus percaya Allah itu Allah, apa yang dianggap bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya daripada manusia (1Kor. 1:25a). Supaya tidak ada satu pun manusia yang dapat menyombongkan diri di hadapan Allah. Kemudian yang menarik ada pada ayat selanjutnya, yaitu melalui Allah kita justru dapat berada di dalam Kristus. Ketika di dalam Dia, hikmat dan segala karya keselamatan-Nya diberikan kepada kita (1Kor. 1:30). Bagi Paulus, keselamatan ini tidak dapat ditemukan di tempat lain, hanya mereka yang berada di dalam Kristus Yesus, Sang Mesias yang tersalib.
Salib – Kristus yang Ternyatakan
Paulus melihat Mesias yang tersalib itu sebagai hal yang sangat penting bagi kehidupan orang Kristen. Seorang theolog bernama Michael Gorman menangkap maksud Paulus dan merangkumkan empat implikasi theologis dari salib Kristus.[1] Pertama adalah salib sebagai pernyataan diri Tuhan Yesus. Sejak kematian-Nya, salib tidak lagi dilihat sebagai hukuman keji yang selama ini dilakukan oleh bangsa Romawi, melainkan identitas Kristus itu sendiri. Ketika orang percaya ingin mengenal Tuhan Yesus, bagi Paulus, hal pertama yang perlu mereka lakukan adalah memandang kepada salib Kristus. Melalui salib, seluruh identitas Kristus Yesus tergenapi dan ternyatakan pada momen itu. Salib menyatakan inti dari inkarnasi Tuhan Yesus ke dunia.
Paulus menuliskan prinsip ini dengan indah pada Surat Filipi 2:6-11.[2] Salib menjadi tanda kerendahan hati Tuhan Yesus. Ia rela sejenak melepaskan kemuliaan sorgawi supaya dapat hadir di tengah kehidupan manusia berdosa. Ia bahkan rela menjadi seorang hamba di antara manusia dan taat sampai mati di kayu salib. Salib menjadi puncak dari segala pekerjaan Kristus di dunia. Ia mengenalkan diri-Nya bukan sebagai Allah nan jauh di sana, yang tidak dapat membangun relasi dengan manusia. Juga bukan sebagai Allah yang bercampur dengan dunia, seolah-olah tidak ada jarak di antara keduanya. Tetapi Ia mau dikenal oleh manusia sebagai pribadi yang rela mengosongkan diri-Nya dengan tujuan menggenapkan rencana keselamatan dari Bapa. Tidak menganggap diri sebagai yang utama, melainkan kehendak Bapalah yang harus terlaksana.
Salib – Identitas Gereja dan Kemanusiaan Sejati
Jika Kristus Yesus sudah menyatakan diri-Nya melalui jalan salib, setiap orang Kristen yang mengaku diri di dalam Kristus seharusnya menghidupi jalan salib itu. Salib tidak hanya sebagai sarana penyingkapan pribadi Kristus, identitas gereja dan kemanusiaan yang sejati pun juga tersingkapkan di atas kayu salib. Surat Filipi 2:1-11 adalah sebuah rangkaian besar di mana pribadi dan karya Kristus justru menjadi fondasi cara hidup orang percaya di tengah komunitas gereja. Kemudian, kehidupan setiap orang percaya menjadi teladan bagi seluruh dunia mengenai apa artinya menjadi seorang manusia yang diciptakan oleh Tuhan.
Paulus menasihatkan jemaat Filipi supaya saling memperhatikan satu sama lain, tidak menganggap diri sebagai yang paling utama, melainkan memperhatikan kepentingan orang lain juga (Flp. 2:3-4). Bagi orang bukan Kristen, nasihat seperti ini mungkin terlihat biasa saja. Mereka mungkin jauh lebih baik daripada orang Kristen di dalam mempraktikkannya. Tetapi, Paulus tidak berhenti sampai di situ. Yang menarik dan paling penting justru terdapat pada ayat selanjutnya. Nasihat Paulus bukanlah tanpa dasar, dan juga bukan sekadar common sense belaka, melainkan hal itu dibangun atas dasar inkarnasi Tuhan Yesus ke dunia. Setiap orang Kristen perlu merendahkan diri satu sama lain oleh karena Kristus telah melakukannya terlebih dahulu. Ia bahkan merendahkan diri-Nya sampai mati di kayu salib. Jauh melampaui apa yang manusia dapat bayangkan. Jika Tuhan Yesus telah berbuat sedemikian, masak kita sebagai orang Kristen yang mengaku berada di dalam Kristus masih hidup dengan mental yang egoistis dan oportunistis? Orang Kristen sejati adalah mereka yang menaruh pikiran dan perasaan yang ada di dalam Kristus (Flp. 2:5).
Setelah Kristus menyatakan diri-Nya melalui kematian di atas kayu salib, Ia juga sekaligus menjadi teladan bagi komunitas gereja. Maka implikasi berikutnya adalah salib menjadi tanda kemanusiaan sejati yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia. Kristus yang tersalib menyatakan kasih yang rela berkorban bagi orang lain. Manusia yang diciptakan oleh Allah seharusnya mampu bertindak seperti yang Kristus lakukan, tetapi mereka gagal akibat kejatuhan ke dalam dosa. Maka hanya mereka yang berada di dalam Kristus yang sanggup menghidupi kemanusiaan yang sejati ini. Ini adalah anugerah yang begitu besar bagi umat Tuhan. Hanya Gereja-Nya yang diberikan anugerah untuk hidup di dalam Anak-Nya, sehingga Gereja dapat menjadi mercusuar bagi dunia yang kehilangan arah bagaimana menghidupi kemanusiaan yang seharusnya.
Salib – Penyataan Diri Allah
Terakhir, salib Kristus sebagai manifestasi dari karakter Allah itu sendiri. Hal ini dimungkinkan karena inkarnasi Tuhan Yesus. Inkarnasi memungkinkan sifat dan karakter Ilahi tersingkapkan di dalam kehidupan Tuhan Yesus di dunia. Prinsip ini pun dapat kita telusuri dari surat yang sama, yaitu Filipi 2:1-11, terutama di ayat 6. Michael Gorman mengusulkan penggantian kata “walaupun” (“although”) pada Filipi 2:6 dengan kata “karena” (“because”).[3] Coba Anda sebagai pembaca membandingkan kesan yang ditimbulkan ketika membaca bagian ini dengan dua kata yang berbeda tersebut. Sebagian orang akan menyadari ada kesan yang sangat berbeda. Kata “walaupun” cenderung memberi kesan perbandingan yang saling berkebalikan antara “rupa Allah” dan “kehidupan mengosongkan diri”. Antara Allah yang di sorga dan hamba di bumi. Keduanya dipersatukan di dalam inkarnasi Tuhan Yesus. Seolah-olah Ia tidak menghiraukan status-Nya sebagai Allah Anak, demi hadir sebagai hamba manusia. Tetapi jika membaca ayat itu dengan kata “walaupun” diganti dengan “karena”, muncul kesan yang makin kuat dan mendalam. Justru karena Kristus adalah Allah, maka Dia sanggup merendahkan diri-Nya. Hanya Allah yang sanggup mengerjakan keselamatan ini, dan tidak ada yang lain.
Usul ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan kata “walaupun” secara penuh seolah-olah kata itu salah, melainkan untuk makin menguatkan makna yang sebelumnya. Apa yang telah Kristus kerjakan di salib bukan sekadar menghiraukan sejenak kemuliaan Allah Anak, tetapi justru karena Ia adalah Allah. Maka bagian Surat Filipi 2:1-11 ini tidak hanya berbicara tentang pribadi dan karya keselamatan Kristus, tetapi juga diri dan karakter Allah itu sendiri, karakter Ilahi yang mengosongkan diri, rendah hati, dan mengorbankan diri bagi yang lain. Bukankah ini yang kita kenal selama ini di dalam pribadi Allah Tritunggal? Masing-masing pribadi saling mengasihi, memuliakan, dan memberi diri bagi pribadi yang lain. Maka dari itu, tema keselamatan bukan hanya mengenai milik Kristus, tetapi juga terkait dengan pernyataan diri Allah. Setiap apa yang dikerjakan Kristus adalah bagian dari tindakan Ilahi juga. Prinsip ini dapat kita temukan di dalam surat-surat Paulus yang lain, seperti kematian Kristus sebagai tindakan kasih Allah (Rm. 5:6-8; 8:32) dan seluruh karya Kristus sebagai tindakan rekonsiliasi Ilahi (2Kor. 5:19). Sehingga, memandang salib Kristus berarti memandang pula Allah yang sedemikian mengasihi kita.
Di dalam [Salib] Kristus
Setelah membahas empat poin tentang salib Kristus, pertanyaan berikutnya adalah, “Apa maknanya bagi hidup kita saat ini?” Apakah Kristus yang tersalib hanya berbicara soal dosa manusia yang ditebus? Tentu saja tidak. Surat Filipi 2:1-11 jelas mengindikasikan adanya kesinambungan yang jelas antara Kristus, Allah, Gereja, dan manusia. Berbicara tentang kemanusiaan sejati, maka kita perlu melihat kepada Kristus. Berbicara Allah yang mengasihi, maka puncak kasih-Nya terletak pada salib pula. Kisah penebusan di kayu salib bukan hanya cerita Yesus Kristus saja, melainkan cerita Allah yang melawat umat-Nya.
Prinsip ini tidak hanya dituliskan bagi jemaat Filipi saja, Paulus pun menuliskan hal ini kepada jemaat di kota-kota yang lain. Misalnya, 1 Korintus 9:12, 15, dan 19, di mana ayat ini berbicara tentang Paulus yang rela mengesampingkan haknya sebagai rasul demi pemberitaan Injil. Ia bahkan rela menjadi hamba bagi semua orang agar mereka boleh mendengarkan berita Injil (1Kor. 9:19-23), walaupun Paulus sendiri tidak berkewajiban untuk berbuat sampai sejauh itu. Kemudian, Surat Roma 15:1-3 dan 7 juga menekankan kerelaan untuk menguatkan yang lemah dan ikut bersukacita dengan orang lain, dan terutama penerimaan satu sama lain, seperti Kristus juga telah menerima kita demi kemuliaan Allah. Bagi Paulus, mengaku diri percaya kepada Kristus tidak boleh berhenti pada kata-kata indah saja, melainkan harus ternyatakan juga di dalam relasi kita dengan saudara seiman.
Melalui momen Jumat Agung ini, mari kita merenungkan kembali apa makna salib Kristus bagi hidup kita saat ini. Penderitaan bukanlah hal baru bagi hidup orang Kristen. Yesus Kristus pun telah mengalami penderitaan yang paling berat yang tidak ada satu orang pun yang sanggup membayangkannya. Lebih jauh lagi, Allah Bapa bahkan memalingkan wajah-Nya sejenak ketika Yesus Kristus harus menanggung hukuman dosa kita.[4] Ia melakukan itu semua bukan demi penderitaan itu sendiri. Ia ingin dikenal sebagai Tuhan dan Juruselamat yang tidak menyayangkan diri-Nya demi taat kepada kehendak Bapa. Ia sekaligus menjadi teladan bagi Gereja-Nya, mengenai bagaimana mereka seharusnya berkomunitas di dalam Kristus, sehingga hidup manusia yang sudah jatuh di dalam dosa bisa dipulihkan di dalam relasi yang penuh cinta kasih. Salib menjadi tanda Allah yang mengasihi umat-Nya hingga menyerahkan Anak-Nya mati di atas kayu salib.
Jika Kristus telah berbuat sedemikian agung, bagaimana dengan kita sebagai orang Kristen, apa yang sudah kita perbuat selama setahun pandemi ini? Sebagai orang Kristen, apakah kita senantiasa menghidupi jalan salib ini? Membuang segala keegoisan di dalam diri kita, tidak menghiraukan sejenak hak-hak yang patut kita peroleh, demi menghadirkan cinta kasih bagi sesama kita. Atau malah sebaliknya, kita justru masih sibuk memikirkan keselamatan diri sendiri agar terhindar dari COVID-19, tanpa peduli dengan orang-orang di sekitar kita? Berlomba-lomba secepat mungkin mendapat vaksin terlebih dahulu, tanpa memedulikan orang lain yang perlu diprioritaskan. Kita boleh saja mengaku Kristus adalah satu-satunya Juruselamat dunia, mampu menjabarkan theologi yang begitu baik, tetapi gagal menyatakan hal itu di dalam relasi kita dengan orang lain.
Mari kita sekali lagi bertobat di hadapan Tuhan, mengakui segala dosa dan kesalahan kita yang mungkin pernah bersikap egoistis, oportunistis, dan menutup mata terhadap orang lain. Jika kita mau sungguh-sungguh hidup bagi Kristus, pandanglah kepada salib-Nya. Ia yang begitu mengasihi kita, tidak menghiraukan sejenak kemuliaan sorgawi, demi memulihkan dan mengangkat kita dari lumpur dosa, supaya kita, sebagai ciptaan Allah, tidak lagi hidup di dalam dosa, melainkan memiliki hidup yang baru di dalam Kristus, sehingga kita dapat berkata, “Tetapi kami tidak mempergunakan hak itu. Sebaliknya, kami menanggung segala sesuatu, supaya jangan kami mengadakan rintangan bagi pemberitaan Injil Kristus” (1Kor. 9:12b).
Trisfianto Prasetio
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Gorman, Michael. Participating in Christ. Baker Academic: 2019. Hlm. 34-39.
[2] Bacaan lebih lanjut perihal ayat ini: Buletin PILLAR Edisi Februari 2021 dengan judul “Theologi kepada Pemulihan Relasi”.
[3] Kata hyparchon di dalam bahasa Yunani dapat diterjemahkan sebagai dua hal, yaitu [1] “although” (NASB) atau “though” (ESV, NLT, NAB) dan [2] “being” (NIV).
[4] Mat. 27:46.