Dalam salah satu artikel yang ditulis oleh Vern S. Poythress mengenai sejarah keselamatan dalam Alkitab (Overview of The Bible: A Suvey of the History of Salvation), dikatakan bahwa puncak dari seluruh sejarah dunia adalah penyaliban dan kebangkitan Kristus. Mari kita memikirkan kembali pernyataan ini. Kita percaya bahwa Allah adalah Allah yang menciptakan dunia ini. Berlawanan dengan Deisme, kita percaya bahwa setelah Allah menciptakan seluruh dunia ini, Dia tidak begitu saja meninggalkan pekerjaan tangan-Nya. Dia tetap menopang dan memelihara seluruh dunia ini, bahkan setelah dunia ini jatuh dalam dosa akibat ulah manusia.
Salah satu bentuk pemeliharaan-Nya yang dapat kita lihat adalah rencana Allah untuk menyelamatkan manusia yang Dia nyatakan melalui wahyu-Nya kepada manusia. Wahyu itu tidak hanya disampaikan dalam bentuk perkataan melalui nabi-nabi-Nya tetapi juga melalui tindakan Allah sendiri, seperti peristiwa diselamatkan-Nya Israel dari tanah perbudakan Mesir yang dicatat dalam Perjanjian Lama. Tindakan penyelamatan ini merupakan suatu simbol, tipologi dari apa yang akan Allah genapkan dalam Perjanjian Baru, yaitu dibawanya seluruh umat pilihan Allah dari perbudakan dosa agar dapat bebas beribadah kepada-Nya dengan mempersembahkan seluruh hidupnya menjadi persembahan yang hidup bagi Allah. Dan cara apakah yang Allah pakai untuk menggenapkan rencana-Nya ini? Dalam Perjanjian Lama, Allah memakai Musa sebagai utusan-Nya untuk membawa Israel keluar dari Mesir untuk beribadah. Maka, kita dapat melihat Musa sebagai suatu contoh juruselamat, tipologi yang menunjuk kepada Kristus, Juruselamat yang sejati. Dari contoh yang sederhana ini kita dapat memahami bahwa Allah tidak hanya berbicara melalui Alkitab namun Dia juga bertindak dalam sejarah. Karena itu, kita percaya bahwa peristiwa-peristiwa yang dicatat dalam Alkitab bukanlah mitos atau ilustrasi belaka, tetapi merupakan suatu fakta sejarah yang sungguh-sungguh terjadi. Seluruh fakta sejarah ini dirangkai oleh tangan Allah sendiri untuk menunjuk pada satu peristiwa saja, yaitu fakta inkarnasi Kristus – yang kemudian disalibkan, mati, dan bangkit.
Lalu pertanyaan selanjutnya: Bukankah sejarah yang kita kenal tidak hanya sejarah yang dicatat dalam Alkitab? Semenjak kita duduk di bangku sekolah dasar, kita mengenal sejarah dunia yang dicatat oleh berbagai kebudayaan bangsa, termasuk bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Apakah kita, sebagai orang Kristen, harus mempercayai catatan-catatan sejarah yang dicatat oleh orang kafir? Pada faktanya, kita memang sudah mempercayainya, bahkan sering dengan tanpa berpikir dan bertanya lagi – tentunya sampai pertanyaan ini diajukan. Jadi, apakah kita harus menerima hal-hal yang dicatat oleh dunia sebagai fakta, di luar fakta yang dicatat oleh Alkitab? Apakah seluruh catatan sejarah tersebut juga menunjuk pada apa yang dikatakan oleh Poythress sebagai puncak dari sejarah manusia, yaitu Kristus? Apakah di luar sejarah Timur Tengah (setting di mana peristiwa-peristiwa Alkitab umumnya terjadi), sejarah peradaban Asia dan Barat yang mewakili peradaban Timur dan Barat juga menyatakan Kristus di dalamnya?
Sekali lagi, kita percaya bahwa Allah adalah Allah yang bekerja dalam sejarah – seluruh sejarah dunia, karena Dia yang menciptakan ruang dan waktu di mana seluruh umat manusia hidup. Maka, di dalam sejarah yang dicatat oleh bangsa-bangsa yang melawan Tuhan pun, bila itu adalah fakta maka di dalamnya kita tetap akan menemukan penyataan mengenai Kristus. Alkitab sendiri telah mencatat bahwa di dalam Kristus akan disatukan segala sesuatu yang ada di surga maupun yang ada di atas bumi untuk kemuliaan Allah – “That in the dispensation of the fullness of times he might gather together in one all things in Christ, both which are in heaven, and which are on earth; even in him: …. That we should be to the praise of his glory, who first trusted in Christ.”(Ef. 1:10, 12, AKJV)
Sebelumnya, kita telah mengambil contoh sederhana yang Alkitab berikan untuk menunjukkan bagaimana Allah menyatakan rencana keselamatan-Nya lewat Kristus dengan tipologi exodus bangsa Israel dari Mesir yang dipimpin oleh Allah melalui Musa. Mari kita mencoba untuk melihat apakah dalam sejarah bangsa-bangsa kafir, kita juga dapat melihat tipologi-tipologi yang Allah berikan untuk menyatakan rencana penebusan lewat Kristus untuk orang yang tidak mengenal Tuhan sebagai suatu wahyu umum.
Kita mengenal ada tiga jabatan yang Kristus miliki sebagai manusia yang sejati, yaitu sebagai Raja, Imam, dan Nabi. Ketiga aspek ini pulalah yang Allah embankan kepada manusia sebagai wakil Allah di atas bumi, yang gagal dijalankan manusia setelah jatuh ke dalam dosa. Namun demikian, ketiga fungsi ini tetap tidak dicabut Allah sehingga kita dapat melihat bahwa bangsa-bangsa kafir pun memiliki jabatan raja, imam, bahkan nabi dalam kebudayaan mereka, meskipun peran-peran itu tidak mewakili yang sesungguhnya karena keberdosaan manusia. Di dalam artikel ini, akan diuraikan bagaimana penyataan mengenai Kristus nampak dalam aspek kebudayaan manusia terutama sistem kerajaan dinasti Zhou.
Masa dinasti Zhou (sekitar 1027-222 SM) adalah masa mulai terjadinya pembentukan budaya khas bangsa Tiongkok yang sampai sekarang dapat kita lihat. Banyak dari filosofi dan kebudayaan Tiongkok yang hari ini kita kenal, memiliki bibitnya dalam dinasti Zhou, seperti filsafat dari Confucius, Mencius, dan Laozi. Dinasti Zhou juga merupakan kerajaan monarki yang paling lama berdiri tidak hanya dalam sejarah Tiongkok, tetapi juga dalam sejarah dunia (± 900 tahun). Dalam masa 900 tahun berdirinya dinasti Zhou, tentu terjadi banyak pergantian tampuk kekuasaan. Dengan sistem pemerintahan yang sangat feodal, di mana tuan tanah memiliki daerah kekuasaannya sendiri lengkap dengan kekuatan militer, terjadilah banyak pertikaian untuk memperebutkan kekuasaan tertinggi dalam Tiongkok, yang kemudian diberi nama Zhong Guo – Negara Tengah. (Tiongkok pada masa itu belum menjadi satu negara di bawah satu pemerintahan mutlak. Kekaisaran Tiongkok yang pertama kali berhasil mempersatukan Tiongkok adalah dinasti Qin dan selama berabad-abad berikutnya kekaisaran pusat harus terus-menerus mempertahankan wilayahnya dari serangan bangsa-bangsa barbar di sekitarnya). Zhong Guo atau Negara Tengah mendapatkan namanya karena pada masa itu yang disebut sebagai Tiongkok adalah negara yang berdiri di tengah-tengah sebagai sentral pemerintahan seluruh negara Tiongkok, dan negara-negara kecil di sekelilingnya disebut Wei Guo (“negara sekeliling”), yaitu vassal-vassal. Zhong Guo dipimpin langsung oleh Kaisar atau Tian Zi (“Anak Langit”), sedangkan vassal-vassal di sekitarnya hanya dipimpin oleh raja-raja kecil. Mungkin sistem pemerintahannya dapat dijelaskan dengan membandingkannya dengan sistem pemerintahan federasi Amerika. Ada negara bagian yang mempunyai hukum dan pemerintahan sendiri, namun tetap dikontrol dari pusat oleh pemerintah sentral.
Yang menarik dalam kebudayaan Tiongkok pada masa tersebut adalah filosofi yang dimiliki masyarakatnya mengenai pemimpin atau orang yang berkuasa. Pertama-tama, harus dipahami bahwa bagi masyarakat Tiongkok dalam beberapa waktu sebelum dan selama masa dinasti Zhou ini, yang disebut sebagai Tuhan yang “memerintah” dunia ini adalah yang di atas langit, disebut Shang Di. Di atas bumi hanya ada satu raja di atas semua raja kecil, yang atas Tian Ming (mandat dari sorga) diberi hak untuk mewakili Shang Di untuk memerintah bumi.
Tian Ming ini dapat diberikan kepada siapa saja, dan orang yang akhirnya menerima atau mendapatkan mandat tersebut disebut Tian Zi. Ketika mandat diberikan, ada hal-hal mengikat yang harus dijalankan untuk mempertahankannya, yaitu Li dan De. Li adalah tata cara kerajaan yang harus dipatuhi oleh raja, sedangkan De adalah standar moral yang harus dipunyai oleh raja. Ini berarti raja dinasti Zhou diikat oleh standar moral yang tinggi. Jikalau seorang raja meninggalkan moralnya atau dikatakan raja tidak mempunyai De, maka Thien Ming pun dengan sendirinya akan dicabut darinya oleh Shang Di karena Shang Di tidak berkenan pada pemerintahannya. Jika Tian Ming sudah dicabut maka raja tersebut sudah selayaknya untuk digulingkan karena dia tidak berhak untuk memerintah lagi. Awal berdirinya dinasti Zhou pun sebenarnya terjadi atas dasar pemikiran ini. Digulingkannya dinasti sebelumnya (dinasti Shang) adalah karena mereka percaya bahwa Tian Ming sudah berpindah dari raja dinasti Shang pada waktu itu. Rakyat melihat bahwa raja mereka tidak bermoral sehingga mereka menganggap Shang Di tidak lagi memilih raja tersebut untuk memerintah dan mereka berhak untuk menggulingkannya. Cara-cara seperti ini pun terus berlangsung selama masa pemerintahan dinasti Zhou.
Dapat dikatakan bahwa doktrin Tian Ming menjadi Undang-Undang Dasar kerajaan Tiongkok. Doktrin ini mencegah raja untuk berlaku dengan seenaknya dan memerintah secara kejam. Li dilakukan oleh raja untuk memperkuat De. Untuk menegaskan identitasnya, secara rutin raja Zhou mepersembahkan korban kepada leluhur disertai dengan nyanyian dan tarian. Upacara seperti ini dimaksudkan untuk menurunkan martabat leluhur kepada sang raja sehingga dia tetap ditaati rakyatnya. Selain korban kepada leluhur, Tian Zi juga mempersembahkan korban kepada langit dan bumi. Hal ini dilakukan untuk memuja dewa kesuburan supaya Dia menjamin keharmonisan dalam pergantian musim dan menjaga kesuburan tanah.
Dengan demikian, kita melihat bahwa raja Zhou adalah raja yang sangat religius dan sadar bahwa dirinya memiliki tugas untuk menjalankan kehendak langit. Karena itu, dalam pemerintahan Zhou ini kita dapat melihat adanya unsur teokratis dalam fungsi raja Zhou dan ada beberapa poin “kemiripan” dengan fungsi-fungsi yang Allah mandatkan kepada manusia:
1. Raja
Raja Zhou adalah raja yang memerintah atas rakyatnya. Walaupun dalam prakteknya kekuasaan nyata yang dimiliki raja sangat lemah karena setiap tuan tanah diberi jabatan sampai akhirnya menjadi lebih berkuasa dan menindas kekuasaan pemerintahan pusat, namun dalam benak rakyat Tiongkok sudah tertanam doktrin bahwa raja mereka adalah penerima mandat surga.
2. Imam
Selain raja Zhou, tidak seorang pun diperbolehkan untuk mengatakan “Shang Di” dari mulutnya. Ini merupakan hak khusus yang hanya dimiliki oleh raja Zhou yang dipandang sebagai wakil Shang Di untuk memerintah, orang yang menerima mandat surgawi (Tian Ming). Dia pula yang menyelenggarakan dan melakukan semua ritual persembahan korban untuk menjamin kemakmuran rakyatnya (Li).
3. Nabi
Raja juga dipandang sebagai perpanjangan suara dari surga/langit sehingga semua yang dikatakannya, dipandang sebagai suara yang mutlak harus ditaati oleh seluruh rakyat karena merupakan suara dari Shang Di sendiri.
Fungsi raja, imam, dan nabi – seperti yang telah kita lihat di atas, ternyata juga muncul di dalam kebudayaan bangsa Tiongkok. Di sini kita juga dapat melihat bahwa setiap manusia memiliki suatu sense of divinity, bahwa Allah itu ada dan ada suatu dorongan untuk menyembah-Nya.
Namun kita juga harus melihat bahwa efek kejatuhan manusia adalah sangat nyata dalam kebudayaan yang tidak mendapat topangan anugerah khusus dari Allah. Yang akhirnya menentukan kepada siapa Tian Ming itu diberikan sebenarnya bukanlah Shang Di, melainkan manusia itu sendiri. Apabila ada seseorang yang merasa bahwa dia memiliki kekuatan yang cukup besar, kebijaksanaan yang melebihi orang lain serta dukungan dari rakyat maka dia akan merasa bahwa dia lebih layak duduk di kursi kaisar dan tidak segan-segan untuk mengklaim bahwa dirinya memiliki Tian Ming. Inilah yang menyebabkan sangat banyaknya pemberontakan dan perebutan kekuasaan di masa-masa akhir dinasti Zhou, dalam sejarah disebut sebagai Warring States period. Tuan-tuan tanah yang berada di wilayah Wei Guo merasakan bahwa Kaisar di pemerintahan pusat terlalu lemah dan diri mereka masing-masing lebih kuat dan lebih layak untuk memerintah sehingga akhirnya mereka berperang satu sama lain, mencoba untuk menaklukkan wilayah-wilayah yang lebih lemah demi mengumpulkan kekuatan agar dapat menggulingkan pemerintahan pusat kekaisaran Tiongkok. Pada tahun 256 SM, akhirnya seluruh negara Tiongkok berhasil disatukan di bawah Kaisar Qin Shihuangdi (dinasti Qin). Namun sekali lagi, sebenarnya apakah filosofi Tian Ming ini sungguh mengakui kedaulatan Tuhan (Shang Di) sebagai kedaulatan mutlak yang menentukan segala sesuatu?
Secara teori, mereka mengakui. Tetapi secara praktis, banyak dari mereka yang memanfaatkan doktrin Tian Ming untuk membenarkan ambisi mereka sendiri. Sebenarnya, yang menentukan siapa yang berkuasa dan siapa yang harus digulingkan, sesungguhnya adalah manusia sendiri. Manusia menekan kebenaran Allah, membentuk religi mereka sendiri, dan menolak menyembah Allah yang sejati.
Ini pun juga terjadi pada bangsa Israel, yaitu bangsa yang Allah khususkan sebagai umat pilihan-Nya, bangsa yang kepadanya Dia telah berbicara melalui perantaraan nabi-nabi-Nya. Bangsa Israel menolak untuk mendengar firman Allah yang hidup dan lebih tertarik pada praktek-praktek religi kafir untuk memuaskan keinginan mereka yang berdosa. Dalam kitab-kitab Perjanjian Lama kita bisa mendapatkan gambaran tentang kebudayaan yang terjadi di dalam dan di sekitar bangsa Israel. Bangsa-bangsa kafir di sekitarnya menyembah berhala, melakukan praktek tenung dan sihir. Raja-raja, imam-imam, dan nabi-nabi mereka mempersembahkan korban-korban dengan keji. Namun bangsa Israel ternyata menginginkan hal yang sama. Mereka tidak puas hidup bersandar pada penyataan Allah (Penginterpretasian Kitab Para Nabi, hal. 14) dan Alkitab mencatat bahwa dalam banyak hal mereka hampir tidak berbeda dengan kebudayaan kafir yang paling jauh dari Allah, seperti dinasti Zhou. Mereka lebih suka memberikan kepemimpinan mereka kepada manusia dan hidup mati mereka di tangan mereka sendiri, atau bahkan di tangan berhala-berhala yang mati dan alam yang impersonal daripada mengikuti perintah dan pimpinan Allah yang hidup. Contoh yang paling mudah kita lihat adalah ketika bangsa Israel meminta raja, agar menjadi sama dengan bangsa-bangsa lain. Kita melihat praktek real-politik dan vox populi terjadi, di mana penyataan Allah direduksi menjadi sekedar religi. Real-politik bersifat manipulatif, mengorbankan apapun demi mempertahankan kehidupan diri sendiri seperti yang terjadi dalam dinasti Zhou dan bangsa Israel sendiri. Vox populi atau “suara rakyat” pun adalah suatu bentuk real-politik. Demi terwujudnya idealisme manusia secara kolektif maka apapun yang tidak mendukung idealisme tersebut, termasuk Allah dan kebenarannya harus disingkirkan.
Dalam kasus Israel, dengan suara terbanyak mereka meminta seorang raja. Allah akhirnya memberikan Saul, seorang yang bertubuh tinggi besar, satu kepala lebih tinggi daripada orang-orang lain, menjadi raja pertama mereka. Ini adalah sesuai dengan harapan bangsa Israel yang menyangka bahwa kekuatan dan kekuasaan ada pada apa yang kelihatan, yaitu bentuk fisik yang baik. Tetapi Allah kemudian mempermalukan manusia dengan menyingkirkan Saul dan memilih Daud sebagai raja. Seorang gembala muda yang “masih kemerah-merahan”, yang tidak seorang manusia pun, termasuk ayah Daud dan nabi Samuel menduga bahwa Allah akan memilihnya.
Daud dipilih Allah untuk menjadi suatu analogi, bayang-bayang penggenapan janji Allah yang digenapkan dalam Kristus. Daud tidak hanya bertindak sebagai raja tetapi kita juga menerima mazmur-mazmur yang ditulisnya sebagai firman yang berasal dari Tuhan. Fungsi raja dan nabi berada dalam diri Daud sebagai suatu tipologi yang lebih sempurna – menggunakan istilah Poythress – Dia adalah sebuah exemplar di antara contoh-contoh (raja-raja dunia) lain yang tidak sempurna dan cacat, yang menunjuk kepada Sang Raja, Imam, dan Nabi yang sejati, yaitu Kristus.
Pemerintahan Kristus adalah pemerintahan yang lain daripada pemerintahan dunia. Walaupun dalam pemerintahan dinasti Zhou kita melihat adanya kebenaran-kebenaran yang berasal dari wahyu umum. Pemerintahan Kristus adalah pemerintahan yang mutlak, satu-satunya pemerintahan yang sempurna dan benar-benar sah di hadapan Tuhan, karena Kristus adalah Allah sendiri yang memang layak untuk memerintah.
Dia adalah Raja, yang kepada-Nya telah diserahkan segala kuasa baik di bumi maupun di surga. Alam tunduk penuh kepada perintah-Nya: ombak taat ketika Dia menghardik “Diam!” (Mat. 8:23-27; Mrk. 4:35-41; Luk. 8:22-25), air berubah menjadi anggur yang terbaik jika Dia menginginkan demikian, pohon ara tidak akan berbuah jika Dia mengutuknya (Mat. 21:18-22; Mrk. 11:12-14, 20-26); setan-setan tidak berkuasa melawan perintah-Nya dan harus tunduk kepada-Nya (Mat. 17:14-21; Mrk. 9:14-28; Luk 9:37-43a); kematian ditaklukkan-Nya dengan membangkitkan orang mati di bawah perintah-Nya, seperti Lazarus, bahkan Dia sendiri bangkit dari dalam kubur setelah tiga hari.
Kristus juga adalah Imam. Dia menjadi perantara yang memperdamaikan kita dengan Allah dengan naik ke atas kayu salib. Ini berarti Dia bukan saja bertindak sebagai imam yang mewakili seluruh umat untuk berhadapan dengan Allah, Dia juga bertindak sebagai korban persembahan yang sempurna, Anak Domba Allah yang suci dan tak bercacat, satu-satunya yang berkenan di hadapan Allah dan mampu menyenangkan hati Allah. Dia adalah satu-satunya imam yang mampu membawa kita kepada perdamaian yang kekal dengan Allah dan memberikan efek penebusan serta penghapusan dosa yang sejati.
Kristus juga adalah sang Nabi, pembawa kebenaran Allah. Bagaimana tidak? Dia adalah Allah itu sendiri yang turun ke dalam dunia dan menjadi manusia. Dia adalah sang Kebenaran itu sendiri. Setiap perkataan yang keluar dari mulut-Nya menjadi sumber kehidupan bagi kita. Dia adalah Terang dunia yang memperlihatkan keberdosaan manusia. Seluruh nabi Tuhan dalam Perjanjian Lama yang dibenci dan dibunuh oleh manusia karena menyuarakan murka Allah atas dosa manusia hanyalah bayang-bayang dari Kristus yang datang untuk menyatakan kasih dan keadilan Allah. Namun manusia tetap membenci bahkan membunuh Dia karena Dia menyatakan kebenaran yang sesungguhnya mengenai Keilahian-Nya.
Dan sesudah semua ini, Dia duduk di sebelah kanan Allah untuk kelak datang dan menjadi hakim sekaligus pembela bagi kita semua. Kita sebagai umat Tuhan, orang-orang yang percaya kepada pemerintahan dan ketuhanan Kristus sungguh adalah warga negara yang berbahagia. Dunia mencari keselamatan dan kesejahteraan dengan usaha manusia, tetapi tanpa berbalik kepada Kristus – Raja, Imam, dan Nabi yang sejati, seluruh usaha mereka akan sia-sia. Dinasti akan runtuh seperti yang dicatat dalam sejarah dunia, pemerintahan manusia pun akan berakhir, namun Firman yang menjadi daging itu ada dari kekal sampai kekal.
Lewat sejarah dinasti Zhou kita dapat melihat bahwa sesungguhnya Allah pun telah berbicara kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah melalui wahyu umum. Mereka pun sebenarnya dapat mengerti dan memahami wahyu tersebut. Akan tetapi jika mereka terus mencari keselamatan di tempat-tempat yang salah (yaitu dalam diri mereka sendiri dan alam ini) dan tidak mau berbalik kepada Kristus melalui wahyu-Nya maka mereka sedang berhadapan dengan kebinasaan dan kehancuran. Wahyu umum tidak cukup untuk menyatakan rencana keselamatan Allah namun wahyu umum dapat menjadi bukti yang membungkam mulut orang-orang tidak percaya akan eksistensi Allah (Rm. 1:20).
Apa yang telah dijabarkan di atas, kita baru melihat setitik kebenaran yang muncul di tengah-tengah sejarah peradaban Tiongkok yang begitu panjang, dan dunia ini menghasilkan banyak sekali peradaban dan kebudayaan. John Frame, seorang apologet Reformed mengatakan bahwa kita akan tidak pernah kekurangan sumber untuk berapologetika menyatakan keberadaan Allah di tengah-tengah dunia ini. Dunia ini adalah ciptaan Allah maka di setiap milimeter ciptaan pasti mengandung jejak-jejak sidik jari Allah, yaitu kebenaran-kebenaran umum yang tidak dapat disangkali oleh manusia yang paling melawan Allah sekalipun. Kita harus belajar dengan teliti melihat dan menemukan kebenaran-kebenaran yang Allah sudah anugerahkan ini kepada kita, baik dalam harmonisasi kehidupan alam semesta yang kita hadapi sehari-hari maupun dalam bidang ilmu yang kita dalami. Di dalam artikel ini kita sudah melihat adanya jejak kebenaran Tuhan di dalam sistem pemerintahan dan kepercayaan yang men-drive berjalannya dinasti Zhou. Artikel ini dituliskan untuk menyatakan kebenaran Injil kepada dunia, membawa dunia untuk melihat keberdosaan manusia dan karya penebusan Kristus sehingga manusia tidak dapat tidak harus kembali kepada Allah sampai kemuliaan Allah dinyatakan. Soli deo Gloria!
Chias Wuysang, Chrissie Martinez, Erwan
REDS – Culture
Referensi:
- Ivan Taniputera, History of China.
- Vern S. Poythress, God-Centered Biblical Interpretation.
- Fung Yu-Lan, Sejarah Filsafat Cina.