,
Foto sekumpulan siswa Indonesia sedang melihat laptop di depannya.

Educating Education in Our Less-Educated Era = Inception?

Pada edisi PILLAR bulan ini kita diajak untuk mengerti bahwa segala segi kehidupan, sadar tidak sadar, mau tidak mau, harus dilihat di dalam sebuah perspektif. Perspektif apa pun yang digunakan, menjadi sebuah dasar (ground motives) bagi kita untuk melihat seluruh kosmos ini (di dalam kekristenan, kosmos ini kita kenal sebagai “wahyu Allah”). Perspektif ini (nanti akan disebutkan terus ke depan dengan istilah worldview) merupakan sesuatu pemberian (given), bukan hal yang kita dapatkan (get). Sejak manusia lahir, worldview sudah ada. Worldview dan manusia tidak terpisah, worldview setiap manusia bertumbuh dan berkembang, ia mengalami sebuah proses, ia bukan sesuatu yang invincible. Worldview membawa setiap manusia kepada life-view. Jadi cara pandang apa yang manusia bawa dari lahir, di dalam prosesnya akan memengaruhi cara pandang kita mengenai hidup. Namun di dalam Christian worldview, setiap manusia dilihat di dalam “mata Allah”. TUHAN Allah itu kekal, maka setiap manusia bukan “ADA SETELAH IA LAHIR”, namun manusia yang diciptakan itu juga sudah ditentukannya sejak semula, bahkan sebelum dunia dijadikan. Maka cara pandang Kristen memiliki keutuhan di dalam melihat 1) Creation, 2) Fall, 3) Redemption, dan 4) Completion/Consummation. Setiap kita harus mengakui bahwa Christian worldview harus paralel, memiliki koneksi, dan terkait erat dengan God’s view. Karena pembentukan worldview dimulai sejak kecil, dan bahkan di dalam ketidaksadaran kita, maka pendidikan akan hal ini menjadi sangatlah penting. Banyak di antara pengajar Kristen menggunakan Christian worldview hanya sebagai sebuah sistematisasi dan tools yang mati dan bersifat impersonal. Padahal sebelumnya kita sudah melihat bahwa Christian worldview ini merupakan God’s view. Ketika kita berbicara mengenai Allah, kita tidak bisa melepaskan Allah dengan “Sang Pribadi”. Mari sekarang kita membahas maju akan bab ini dan mengerti bagaimana seharusnya sebuah “pendidikan” yang benar dilihat di dalam cara pandang Kristen.

Christian’s View on Education (Historical Basis)
Zaman Yahudi (Before exodus) – Sebelum Musa membawa orang Israel keluar dari tanah Mesir, seorang ayah dalam setiap keluarga memiliki peranan penting dalam pendidikan. Pernahkah engkau mendengar istilah “shema Israel”? Ini artinya “Dengarlah, hai Israel!” seperti yang tercatat di kitab Ulangan 6:4-9, Keluaran 12:25-27, dan Imamat 23. Proses mendengar merupakan sebuah cara belajar pada zaman itu. Pada waktu itu, seluruh anak khususnya laki-laki, dididik di dalam pengajaran ayahnya. Shema menjadi sebuah tujuan utama dan juga proses di dalam pendidikan.

Zaman Yahudi (After exodus) –Standar pendidikan sekarang tidak lagi berfokus kepada shema melainkan ada di dalam proses reading. Hal ini dimulai dari bangsa Israel yang diberikan Musa kesepuluh hukum Allah yang sekarang kita sebut Pentateuch. Di sinilah kebudayaan membaca dimulai. Pendidikan orang-orang Yahudi di sini difokuskan dalam mengerti Allah dan menjalankan kehendak-Nya di dalam kesepuluh hukum Taurat-Nya. Torah (written) dan Misnah (oral interpretation of written Torah) yang menjadi “bahan ajar”, diajarkan oleh rabi kepada anak-anak mereka. Pendidikan ini terus dijalankan selama ratusan tahun, sampai masuk ke zaman Perjanjian Baru.

Zaman Perjanjian Baru – Pengajaran Tuhan Yesus merupakan pengajaran yang “tidak terlalu setia” kepada dua cara pendidikan yang sudah kita ketahui di atas. Pengajaran Tuhan Yesus jelas tidak berorientasi/merujuk kepada Misnah, melainkan mencoba untuk memunculkan konteks “Kerajaan Allah” dalam menginterpretasi Taurat Tuhan. Murid-murid-Nya juga tidak memiliki latar belakang pendidikan yang terdidik. Meskipun Lukas adalah dokter, banyak dari murid Yesus merupakan nelayan dan pemungut cukai yang dianggap kaum rendahan. Metode pengajaran Yesus pun unik, Ia tidak memiliki tempat yang pasti. Ia tidak selalu mengajar di sinagoge maupun tempat perkumpulan. Ia mengajar di mana saja Ia mau. Ia mengajar di atas bukit (Matius 5), juga mengajar di depan sumur (perempuan Samaria). Penerobosan ini memberikan beberapa masukan yang cukup baik di dalam pendidikan setelah zaman itu. Tidaklah heran jika banyak sekolah-sekolah yang mengadakan pengajaran di luar gedung. Secara tidak langsung, mereka meniru gaya pengajaran Tuhan Yesus.

Dari poin pertama sampai ketiga, satu hal yang ingin ditekankan dan diajarkan kepada kita adalah bagaimana kebenaran dibawa kepada setiap orang.

Early Church (4th-5th Century) – Pendidikan Gereja Mula-mula sudah berkembang dan memfokuskan pada logika, filsafat, dan retorika. Hal ini dikerjakan karena kebutuhan zaman di dalam konteks penginjilan. Orang-orang Kristen pada zaman itu diperlengkapi untuk membawa orang-orang non-Kristen ke gereja yang pada masa itu masih berupa Katedral. Fokus pengembalian kepemilikan pengetahuan kepada Allah diprakarsai oleh Justin Martyr. “Whatever uttered by any man in any place belongs to Christian; for, next to God, we worship and love the logis which is from the unbegotten and ineffable God.” Pada masa ini juga Agustinus muncul dan mengkristalkan bahwa pendidikan ini fokus pada faith and reason. Kita tentu pernah mendengar kalimat Agustinus: “Faith seeking understanding.” Iman dan rasio bukan merupakan hal yang terpisah satu sama lain, namun kedua hal itu datang dari Allah. Gregory of Nyssa juga setuju di dalam hal ini. Di dalam pandangannya ia melihat bahwa pendidikan merupakan sebuah hal yang harus ada, karena itulah yang membuat manusia menyatakan dirinya secara penuh sebagai gambar dan rupa Allah. “Education was necessary to bring the image of God in humanity to full bloom” – Gregory of Nyssa.

Medieval Church (5th-16th Century) – Ketegangan antara “desire to God” dan “tradition”muncul di sini. Topik faith menjadi inti di dalam pergumulan zaman ini. Pada zaman ini, gereja menjadi sebuah kekuatan yang mendominasi. Saking mendominasinya, segala sesuatu hal yang diwahyukan Allah kepada orang-orang di luar gereja, dianggap salah ketika tidak sesuai dengan dekret Katedral. Ironi bukan? Pada saat itu seluruh society bergantung kepada gereja. Gereja memiliki fungsi dalam mengawasi segala pendidikan yang ada. Jangan sampai pendidikan tidak sesuai dengan ketetapan gereja. Semangat bukan lagi “desire for God, melainkan “church’s tradition”. Wille zur Macht – will to power. Ketika kekuatan itu ada, maka pelencengan sangat mudah terjadi, dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuatan itu. Dalam zaman ini, gereja menjadi “kriminal”-nya. Apa yang diperjuangkan oleh Agustinus dihancurkan di sini. Faith and understanding terpisah, dan jaraknya tidak terhingga.

Reformasi dan Pencerahan – Semangat reformasi dimulai oleh Martin Luther yang memperjuangkan mandat pendidikan yang bersifat universal, tidak dikuasai hanya oleh gereja. Konsep ini akhirnya akan dikembangkan di dalam kekristenan reformasi di Belanda yang diprakarsai oleh Abraham Kuyper di dalam teori “sphere of sovereignty”. Konsep ini menekankan bahwa setiap institusi memiliki fungsi masing-masing dan jangan dicampur aduk. Konsep universalitas pendidikan dimulai oleh Luther dengan sebuah hal revolusioner, yakni menerjemahkan Alkitab ke bahasa Jerman. Ia juga menulis himne-himne yang berbahasa lokal untuk gereja-gereja. Ulrich Zwingli juga membangun sekolah, ia meneruskan pekerjaan Luther untuk meneruskan Katekismus dan mempertumbuhkan iman orang-orang yang di luar gereja, di dalam konsep kekristenan. Kaum-kaum Anabaptis juga memprakarsai konsep homeschooling di mana orang tua membeli kurikulum dan diajarkan kepada anak-anak mereka di rumah. Sampai sekarang kebudayaan ini cukup populer di kalangan orang-orang Kristen dengan kurikulum yang Kristen juga. Namun di dalam pengaplikasiannya, proses homeschooling tidak lagi diajarkan oleh orang tua, melainkan mendatangkan guru les ke rumah. Orang tua yang seharusnya sibuk mengurus anaknya dan mendidik anaknya di rumah, tidak lagi menjalankan fungsi itu. Homeschooling menjadi sarana orang tua yang takut anaknya di-bully di sekolah untuk lari dari kewajiban mereka mendidik anak. Ketika pendidikan Reformasi muncul, ada juga pendidikan gaya counter-reformation yang muncul. Hal ini diprakarsai oleh kaum Jesuits (society of Jesus). Ignatius Loyola (bukan YOLOla) memfokuskan pendidikan dengan dialog, debat, orasi, dan games.
New Educational Movement (18th Century) – Orang yang cukup memengaruhi New Educational Movement adalah Sir Francis Bacon dan Condilac. Mereka mengembangkan metode belajar secara induktif dan teratur. Filsafat pendidikan cukup berkembang pada zaman ini, karena Francis Bacon adalah salah satu tokoh pendidikan yang menekankan kepada hubungan sebab-akibat. Di zaman ini pendidikan sangat berkembang pesat karena pengaruh kedua orang ini.

20th Century Christian Education – Zaman ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu permulaan abad 20 dan akhir dari abad 20. Pada abad ke-20 ini, pendidikan sekolah tidak lagi memiliki hubungan dengan gereja, maka pada permulaan abad 20, pendidikan Alkitab ada di dalam konteks mengisi liburan sekolah. Kita tentu tahu event-event besar seperti NRETC mengambil waktu kosong (umumnya waktu liburan) sekolah, agar bisa menarik sebanyak mungkin anak-anak untuk mengenal kebenaran. Perkembangan ini diteruskan sampai kepada akhir abad 20, sehingga pada akhir abad ke-20 muncul banyak sekali variasi-variasi yang muncul untuk mengisi keperluan orang-orang Kristen:
Mengembangkan short-term mission yang di mana murid-murid dididik di dalam kebenaran.
Mengembangkan long-term mission yang berupa homeschooling untuk maintaining hidup keseharian mereka di rumah dan keluarga.
Mendirikan kursus-kursus theologi yang memperlengkapi orang awam untuk belajar prinsip Alkitab yang akan mereka bawa untuk mendidik anak-anak mereka.
Tempat penitipan anak (khususnya di Barat) yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yang ditinggal kerja oleh orang tua mereka.
Mendirikan departemen Sekolah Minggu di bawah gereja, agar firman boleh kontekstual kepada anak-anak.
KTB yang ada di setiap kampus, untuk tetap menjaga mahasiswa tidak jauh dari Tuhan.

Entering the 21st Century – Tantangan kian muncul dan tidak terbendung seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia yang sangat tinggi. Pertumbuhan penduduk yang juga tidak diimbangi oleh pertumbuhan sekolah menjadi beban yang harusnya kita lihat bersama-sama. Beberapa pertanyaan akan saya munculkan untuk merangsang pemikiran kita dan meneruskan pembahasan kita ke depannya.
Variasi di akhir abad 20 mau diapakan?
Apa yang harus kita lakukan di dalam perkembangan teknologi?
Musik? Kebudayaan pop?
Individualisme yang berkembang seiring kemajuan teknologi?

Setelah melihat sejarah pendidikan, sekarang waktunya kita yang ada di abad 21 ini untuk membahas dan menggumuli pendidikan di zaman ini.

Creation (It must be… It is supposed to be…)
Allah menciptakan manusia memiliki kapasitas yang tidak terbatas di dalam belajar. Alkitab menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang kekal. Kekal bukan berarti stuck on top. Namun kekal itu artinya memiliki sifat tidak terbatas di dalam melakukan segala sesuatu, salah satunya di dalam belajar. Manusia belajar melalui banyak hal, apa saja?
Indra – manusia memiliki indra yang dapat berespons terhadap hal yang di luar dirinya. Manusia dapat melihat, meraba, membaui, mendengar, dan mengecap melalui serangkaian “alat canggih” yang sudah Allah ciptakan di dalam proporsi yang begitu indah dan teratur, dan diproses di dalam saraf reseptor yang diteruskan sampai ke otak di dalam bentuk arus listrik kecil (yang kita sebut nanti sebagai ingatan). Alat yang Allah berikan bagi kita memampukan manusia bisa belajar secara efektif dan efisien.

Respons jiwa – respons akan indra ini menjadi sebuah makna ketika indra tersebut memiliki kesetubuhan (embodiment) dengan jiwa kita. Kita tidak menjalankan fungsi kita sebagai manusia ketika kita hanya meresponi rangsangan indra saja. Sumber pembelajaran ini terkait erat dengan satu natur manusia, yakni eksistansi jiwa manusia.

Imajinasi – pengandaian merupakan sebuah ciri khas manusia. Karena hanya manusia yang diciptakan di dalam gambar dan rupa Allah, maka imajinasi merupakan sebuah hal yang tertanam di dalam manusia. Imajinasi mencerminkan sifat “creatio ex nihilo”. Kita dapat mengandai-andai sesuatu yang tidak ada, bahkan sesuatu yang mengada-ngada di dalam otak kita. Inilah salah satu sumber pembelajaran bagi manusia.

Intellection – analisa dan penarikan kesimpulan. Aristotle, seorang filsuf Yunani adalah salah satu orang yang menemukan metode syllogism di dalam penjelasannya mengenai logika. Manusia belajar bukan hanya melalui fakta-fakta yang ada, namun juga dari variasi-variasi fakta yang terkait. Semua ciptaan Allah tidak pernah terlepas satu sama lain, melainkan segala hikmat Allah itu memiliki keterkaitan satu sama lain. Maka penarikan kesimpulan merupakan sarana bagi manusia untuk belajar.

Antitesis – antitesis merupakan sebuah terobosan dari analisa rasio. Kalau tidak benar, ya salah. Kalau salah, pasti tidak benar. Metode antitesis ini paling banyak digunakan dalam logika matematika (logika matematika adalah salah satu pelajaran paling menarik yang pernah saya ajarkan).

Praktik – banyak orang (khususnya murid-murid sekolah) yang mengatakan “percuma loe belajar fisika mat kimia kalau ga bisa dipraktikin”.Kalimat semacam ini adalah kalimat yang paling saya tidak suka, dan terkadang kalimat ini menjadi sebuah saklar bagi ledakan emosi saya. Namun mau tidak mau, senang tidak senang, harus saya akui, bahwa sebuah teori menjadi bermakna ketika bisa kita kaitkan kepada praktiknya. Praktik merupakan “aplikasi” dari teori yang kita pelajari. Saya ingat sewaktu kecil, saya belajar menghitung dengan menggores-gores tanah liat pada lantai, dan membentuk binatang dengan lilin plastisin. Metode belajar ini sangatlah efektif.

Teladan hidup orang lain – manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, manusia juga dimampukan belajar dari manusia lain. Jadi melalui teladan hidup, manusia bukan hanya belajar secara intelek, manusia juga belajar untuk berafeksi.

Ketujuh hal itulah yang menjadi sumber belajar bagi manusia. Maka seharusnya (it is supposed to be) pendidikan harus dikaitkan dengan Allah, Sang Pendidik sejati. Allah Tritunggal sajalah yang menjadi penjamin dan standar bagi sebuah pendidikan. Siapakah yang memiliki hak untuk mendidik manusia? Dialah yang terpanggil dan merekalah yang mau dipersiapkan untuk mengejar akan kesempurnaan kualifikasi pengajar. Beberapa hal yang secara brief akan saya paparkan mengenai kualifikasi seorang pengajar Kristen (Christian educator):
Aspek personal – aspek personal ini berkenaan dengan integritas, skill, pertumbuhan kekristenan, cinta akan jiwa, healthy self image, kemampuan mengajar, intelektual, antusias, menjadi teladan Kristen yang baik, dan pengejaran akan tujuan yang benar.

Aspek profesi – kesiapan mengajar, church-centered, komitmen pada penginjilan, disiplin waktu, kompetensi, kerja sama, dan kepemimpinan yang baik.
Keseluruhan hal ini mutlak harus dimiliki jikalau kita mau dipersiapkan menjadi Christian educator. Seorang pengajar Kristen yang tidak memiliki kualifikasi di atas, tidak seharusnya (not supposed to) mengajar.

Fall (Fact)
Ketika kita melihat seluruh hal yang seharusnya kita miliki sebagai pengajar Kristen, pertanyaan pasti akan muncul di dalam benak kita “Who is worthy?” Siapa sih yang layak? Tidak ada seorang pun yang memiliki kapabilitas yang “seharusnya” seperti yang dipaparkan di dalam bagian Creation. Sejak manusia jatuh dalam dosa, tidak ada manusia yang berhak untuk mendidik jiwa orang lain, kecuali Tuhan sendiri, karena Dialah yang tidak pernah bersalah di dalam mendidik jiwa. Keberdosaan manusia tidak memungkinkan kita untuk menjadi seorang yang mengajar. Roma 1:18 dengan jelas mengatakan, “Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia, yang menindas kebenaran dengan kelaliman.” Manusia tidak mungkin mengajarkan kebenaran, karena manusia sendiri pun menekan kebenaran.

Kalau begitu, tidak adakah peranan guru Kristen? Bukankah tidak ada yang layak menjadi pengajar? Apakah kalau begitu kita tunggu saja Tuhan yang mengajar? Kalau kita menunggu Tuhan yang mengajar kita langsung, saya percaya bahwa kita tidak mungkin bisa belajar, karena ketika firman itu sampai, kita sudah menekannya (lihat Roma 1:18 lagi). Keberdosaan manusia begitu mencengkeram manusia, sehingga tidaklah mungkin kita dapat belajar dengan benar. Apa yang “seharusnya” itu, sudah tidak mungkin lagi dicapai oleh manusia. Inilah fakta yang harus kita terima.

Redemption (Fact)
Di dalam Kristus, kita tidak hanya melihat kematian, worldview kita tidak boleh mentok di fall dan ketidakmungkinan pengajar. Kolose 2:3 menuliskan, “sebab di dalam Dialah tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan.” Oleh karena itu, di dalam Kristus, kita mampu untuk mendobrak sebuah fakta fall yang menganggap manusia itu tidak mungkin untuk mendidik jiwa. Lagi pula, panggilan seorang pendidik bukan untuk menguasai jiwa manusia, melainkan menjadi assistor jiwa untuk membawa manusia melihat kemuliaan Allah di dalam berbagai aspek. Terlalu banyak aspek hidup yang dapat memperlihatkan kemuliaan Allah.

Kita dapat melihat alam yang sudah jatuh ini masih ditopang oleh Allah di dalam keteraturan. Alam semesta yang Tuhan ciptakan, ditopang sedemikian rupa, sehingga sampai saat ini planet-planet yang ada di dalam galaksi ini tidak pernah bertabrakan. Contoh lain juga dapat dilihat di dalam keteraturan akan perubahan iklim dunia, yang dari sanalah menjamin seluruh kehidupan yang ada di bumi tercinta kita.

Banyak sekali kebijaksanaan Tuhan yang ditanamkan di dunia ini, sehingga kita dapat belajar. Kristus yang menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, haruslah menjadi dasar bagi setiap pengajar Kristen dalam mengajar. Tujuan utama dalam mengajar adalah membawa manusia kepada Sang Hikmat yang ultimat. Christ as the ultimate wisdom is the ultimate purpose of Christian Education. Saya pernah mendengar sebuah kalimat yang bagi saya sangat mewakili keutamaan Kristus di dalam segala ciptaan, yaitu “Every matter matters to God.” Inilah suatu semangat untuk mengembalikan segala sesuatu kepada Allah. Semangat Reformasi sangat terasa di dalam kalimat “Soli Deo Gloria”.

Berbicara mengenai redemption, ada 2 hal yang menjadi tugas orang Kristen.
Redeeming the soul
Penebusan jiwa, itulah yang digenapi di dalam Kristus. Kematian Kristus menjadi sebuah jaminan bahwa jiwa kita sudah terbebas dari belenggu dosa. Maka secara analog, hal ini pula yang harus kita kerjakan di dalam proses sanctification. Roh Kudus memampukan manusia untuk dapat mengerjakan penebusan jiwa.

Redeeming the mind
Ketika jiwa sudah ditebus, maka hal yang menyusul untuk dikerjakan oleh seorang pendidik Kristen adalah membawa segala pemikiran untuk ditaklukkan kepada Kristus. Ini merupakan salah satu hal tersulit yang dilakukan oleh manusia. Keberadaan fakta dosa ini menjadi alasan bagi kesulitan ini. Kita tidak mungkin bisa mengembalikan segala pemikiran, rasio, afeksi, maupun logika kita kepada Kristus secara exhaustive. Jadi apakah redeeming the mind hanya berhenti sampai kepada istilah saja? Tentu tidak! Waktu berbicara mengenai redemption, di dalam keberdosaan, kita sering kali melihat redemption itu sebagai “hasil” rather than “proses”.

Sesuai dengan Roma 8:30, “Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya”, seorang pendidik Kristen harus bisa menjalankan kedua tugas ini di dalam terang Allah dan firman-Nya. Tugas yang harus diselesaikan, apalagi kita yang ingin menjadi pendidik Kristen. Hal ini merupakan sebuah privilege yang Allah berikan kepada orang-orang yang dipilih-Nya. Bersyukurkah kita atas hal ini?
Sejak saya mempersiapkan artikel mengenai keterkaitan antara pendidikan dan Christian worldview, hal yang muncul di benak saya adalah “bagaimana memperjuangkan task and commitment yang bersifat pressing and drilling”. Seolah-olah tidak ada sukacita di dalam menjadi pendidik Kristen, melainkan hanyalah sebuah keharusan dan kewajiban. Padahal banyak sekali sukacita di dalam kita menjadi pendidik Kristen. Setidaknya ada sembilan sukacita yang dapat kita rasakan sebagai pendidik Kristen, yaitu kesempatan di dalam melakukan penginjilan, bertumbuh di dalam Tuhan, menjadi pengumpan untuk kerohanian manusia, mempertumbuhkan gereja Tuhan yang tidak kelihatan, melaksanakan kehendak Tuhan, memengaruhi orang lain untuk melaksanakan kehendak Tuhan, menjalankan fungsi raja-imam-nabi secara utuh, fruition of plans and dreams, dan yang terakhir kita juga dapat mengembangkan relasi dengan orang lain di dalam Tuhan. Sukacita-sukacita ini menjadi sebuah hal yang menyenangkan dan tidak menegangkan. Semangat Reformasi jangan kita lihat hanya sebatas “kewajiban” melainkan sebuah “hak istimewa” yang Tuhan berikan kepada kita.

Fakta kejatuhan manusia memiliki solusi dan sudah terjawab di dalam fakta penebusan Kristus. Oleh karena itu, kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu (bahkan fakta kejatuhan manusia) untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Rm. 8:28).

Completion/Consummation
Consummation merupakan suatu tujuan utama yang kita kejar. Kehidupan sorga macam apa yang dikejar, itulah yang harus ternyatakan dan terefleksi di dalam segala hal yang dilakukan oleh pendidik Kristen. Menjadi sebuah omong kosong ketika seorang pendidik tidak menyatakan sorga di dunia ini kepada murid-murid yang diajarkan. Ketegangan antara fall dan redemption menjadi bermakna ketika bisa ditarik kepada ujungnya, yakni penggenapan akan rencana Allah. Tujuan utama segala hal yang dikerjakan oleh seorang pendidik adalah Allah sendiri. Anak-anak harus diajarkan bagaimana setia untuk menghidupi kehidupan Kristennya di dalam komunitas sekolah Kristen yang memadai, sehingga diri mereka mendapatkan buah dari pekerjaan Allah. Konsep yang sering ditekankan dan harus ditekankan adalah keterkaitan dan keutuhan “Kingdom of God – Church – Self”.
Kiranya setiap hal yang sudah dibahas bermakna, menggairahkan, dan menggerakkan setiap pembaca untuk menggumuli hidup kita masing-masing. Jangan langsung mengambil keputusan untuk menjadi atau tidak menjadi pendidik Kristen. Saya berharap melalui pembahasan panjang lebar ini, setiap pembaca bisa kembali memaknai hidup masing-masing agar tidak disia-siakan nanti. Apakah Christian worldview sudah menjadi “embodiment” di dalam dirimu masing-masing? Kiranya Tuhan menolong kita!

Hans Yulizar Sebastian
Pemuda GRII Pusat dan FIRES
Guru Sekolah Kristen Calvin

Referensi:

  1. Arsitek Jiwa (Pdt. Dr. Stephen Tong)
  2. Foundation of Christian Education (Louis Berkhof & Cornelius Van Til)
  3. The Effective Minister of Education (Jerry. M. Stubblefield)
  4. God our Teacher (Robbert W. Pazmiño)
  5. Two Tasks of The Christian Scholar (Lane Craig & Paul Gould)
  6. Historical Foundations of Christian Education (Kevin E. Lawson)