“Education is the most powerful weapon which you can use to change the world!” Kutipan ini dikatakan Nelson Mandela berkenaan dengan signifikansi dari pendidikan bagi umat manusia. Pada umumnya, orang akan setuju dengan kutipan di atas karena kita percaya bahwa melalui pendidikan kehidupan manusia dapat diubah menjadi lebih baik. Seorang yang berpendidikan tinggi memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Di lain pihak, jika seseorang tidak berpendidikan, masa depannya cenderung lebih suram. Oleh karena itu, banyak orang tua yang berbondong-bondong mengirim anaknya ke luar negeri agar mendapatkan pendidikan tinggi yang lebih baik, dan dengan demikian kehidupannya akan menjadi lebih terjamin. Hal yang serupa juga dapat diamati dalam kehidupan studi para mahasiswa Kristen. Banyak dari kita juga beranggapan bahwa tujuan dari studi adalah mendapatkan pekerjaan yang menjamin masa depan kita. Namun, tidak banyak yang menganalisis dan mengkritisi filsafat di balik sistem pendidikan zaman sekarang, apalagi membandingkan dengan yang Alkitab nyatakan tentang tujuan dari pendidikan itu sendiri. Akibatnya, banyak dari kita yang menjalankan studi tanpa sungguh-sungguh mengerti maksud dan tujuannya, sehingga gagal untuk memuliakan Allah melalui hal tersebut.
Tentu saja sebagai mahasiswa Kristen, kita percaya bahwa Alkitab adalah otoritas tertinggi di dalam kehidupan kita (sola scriptura). Namun tanpa disadari, Alkitab sering dianggap hanya sebagai buku panduan untuk hal-hal yang bersifat spiritual saja. Sedangkan aspek kehidupan lainnya, seperti ilmu pengetahuan, studi, relasi pertemanan, dan keluarga tidaklah relevan dengan Alkitab. Dengan cara pandang dualistic view of life kita sering memisahkan yang sacred (hal-hal spiritual) dari yang secular (hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan sehari-hari). Padahal, Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa setiap orang Kristen telah ditebus dengan darah Kristus dan menjadi milik kepunyaan Allah. Kita dipanggil untuk memberitakan pekerjaan Allah melalui Kristus di dalam kehidupan kita (1Ptr. 2:9). Bukan hanya itu, 2 Timotius 3:17 juga menyatakan bahwa Allah memperlengkapi milik kepunyaan-Nya untuk setiap perbuatan baik, dalam hal rohani maupun hal sehari-hari, sehingga kita dapat memuliakan Allah di dalam setiap aspek hidup kita (1Kor. 10:31). Namun, alih-alih hidup di dalam pembaruan akal budi, kita justru menjadi serupa seperti dunia dalam segala cara pikirnya. Louis Berkhof menggunakan istilah practical atheist bagi kita yang dengan mulut mengaku bahwa Kristus adalah Tuhan tetapi hidup seolah-olah Kristus bukan Tuhan. Banyak mahasiswa yang hidup di dalam ilusi ini dengan berpikir seolah-olah kita sedang memuliakan Tuhan di dalam studi, padahal hidup dengan cara pandang dunia. Berbagai macam aspek dari cara kita belajar sampai kepada alasan kita belajar sering tidak sinkron dengan apa yang kita imani. Bukannya hidup menjadi garam dan terang di dalam dunia pendidikan, mereka justru ikut masuk ke dalam filsafat yang salah, yang sudah menjadi dasar dari pendidikan pada zaman ini.
Pragmatisme
Pragmatisme merupakan salah satu filsafat penggerak di belakang sistem pendidikan pada zaman ini. Secara singkat, pragmatisme dapat dimengerti sebagai pemikiran yang menyatakan bahwa sebuah ide atau dalil dapat dikatakan benar jikalau dapat diaplikasikan dan memiliki konsekuensi praktis yang bermanfaat. Pragmatisme melihat hal yang terpenting dari segala sesuatu adalah kegunaannya secara praktis. Hal yang terpenting dari sebuah alat adalah kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Maka dari itu, pembicaraan mengenai kebenaran di dalam pemikiran pragmatisme menjadi tidak relevan karena yang terpenting adalah kegunaan dan nilai secara praktisnya. Whatever works for you, it is true.
Di dalam dunia pendidikan, pragmatisme dimotori oleh John Dewey (1859-1952), seorang filsuf Amerika yang memiliki dampak besar bagi perkembangan sistem edukasi pada zaman ini. Beliau percaya bahwa lingkungan atau zaman di mana manusia hidup itu begitu dinamis dan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Manusia perlu belajar beradaptasi kepada perubahan zaman ini agar dapat bertahan hidup di dalam masyarakat, dan Dewey percaya bahwa proses pembelajaran itu terjadi melalui pendidikan. Baginya sistem pendidikan tidak seharusnya mengajarkan kebenaran-kebenaran yang bersifat kaku dan abstrak, melainkan seharusnya mengajarkan segala sesuatu yang membuat murid dapat beradaptasi kepada lingkungan yang senantiasa berubah. Ide ini menggeser tujuan dari pendidikan, yaitu membuat murid dapat berkembang di dalam keterampilan dan bakat mereka sesuai dengan tuntutan lingkungan di mana mereka hidup. Satu implikasi dari pemikiran pragmatisme tersebut adalah kurikulum atau isi dari pendidikan tersebut harus disesuaikan dengan tuntutan dari dunia kerja. Dunia pendidikan berusaha keras untuk menjadi serelevan mungkin dengan apa yang dituntut oleh dunia kerja. Akibatnya, hal-hal yang penting namun tidak terlalu dituntut oleh dunia kerja menjadi terlupakan dan tidak lagi dianggap penting.
Secara sekilas, pragmatisme terlihat seperti berusaha untuk menjaga dunia pendidikan agar tidak jatuh ke dalam teori-teori abstrak yang tidak ada relevansinya dengan hidup ini. Namun tanpa disadari, hal tersebut dilakukan dengan membuang kebenaran dan mereduksi pendidikan menjadi ilmu praktis yang harus sesuai dengan tuntutan dunia kerja semata. Apabila kita teliti lebih jauh, kita akan menemukan bahwa pragmatisme memiliki dasar presuposisi dan prinsip kerja yang sama dengan teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Darwin (1809-1882). Teori Evolusi menyatakan bahwa dunia ini bersifat dinamis sehingga selalu berubah-ubah dan setiap makhluk hidup harus dapat beradaptasi kepada perubahan tersebut jika ingin bertahan hidup. Prinsip ini dikenal dengan sebutan survival of the fittest, atau yang kuat (beradaptasi) yang bertahan hidup. Makhluk yang lebih mampu beradaptasi (kuat) akan dapat bertahan hidup, sedangkan yang tidak mampu perlahan-lahan akan punah. Pengertian ini mendorong manusia untuk menggunakan segala cara yang diperlukan asalkan keberlangsungan hidupnya dapat terjamin (whatever means necessary to ensure survival). Di satu sisi, suatu kebenaran akan ditolak dan menjadi tidak relevan jikalau tidak berguna secara praktis untuk keberlangsungan hidup di dunia ini. Di sisi lain, segala sesuatu yang bermanfaat dan berguna untuk kelangsungan hidup akan dilihat sebagai kebenaran yang harus dikejar dan diterapkan. Terlebih lagi, karena konteks lingkungan manusia yang selalu berubah-ubah, suatu teori atau metode yang berguna sekarang belum tentu berguna di kemudian hari. Alhasil, kebenaran itu menjadi tidak absolut dan akan selalu berubah tergantung dari kebutuhan zaman.
Ironisnya, banyak mahasiswa Kristen yang jatuh ke dalam lubang teori evolusi dengan topeng pragmatisme di dalam cara menjalankan studinya. Jika ditanyakan alasan mengapa kita studi, jawaban yang populer adalah untuk mendapatkan gelar sehingga mendapatkan pekerjaan yang baik dan karier yang terus menanjak, demi kemuliaan Tuhan, alias mendapatkan gaji yang tinggi. Kalau kita lanjutkan pertanyaan tersebut, ujungnya adalah supaya dapat hidup dengan bahagia dan nyaman di dalam masyarakat. Dari motivasi yang demikian, dapat kita lihat bahwa pendidikan sering dilihat sebagai sarana atau instrumen untuk memastikan setiap kita dapat survive di dalam masyarakat di kemudian hari. Jadi sebenarnya banyak dari kita yang dengan mulut menolak teori evolusi tetapi secara tidak sadar sedang menghidupi pemikiran tersebut di dalam studi kita. Kalau begitu bagaimanakah seharusnya kita melihat pendidikan itu? Apa yang Alkitab katakan tentang pendidikan?
Mandat Budaya dan Pendidikan
Di dalam Kitab Kejadian, kita dapat melihat bahwa setelah Allah menciptakan manusia, Ia memberkati mereka dan memberikan mandat untuk bermultiplikasi dan menaklukkan bumi. Di dalam bagian yang pertama, manusia yang adalah gambar dan rupa Allah dipanggil untuk bermultiplikasi dan memenuhi bumi ini. Kita dapat mengerti konsep “multiplikasi” bukan hanya berbicara tentang multiplikasi secara fisik, tetapi juga multiplikasi secara rohani, yaitu menghasilkan gambar dan rupa Allah lainnya yang menjalankan fungsi mereka di tengah dunia ini dengan menghadirkan Kerajaan Allah di bumi. Lalu aspek kedua dari mandat tersebut adalah untuk menaklukkan bumi dan mengusahakannya. Di dalam Kejadian 2:15 dijelaskan bahwa Tuhan memanggil manusia untuk mengusahakan (to produce) dan memelihara (to preserve) bumi ini. Maka secara sederhana, manusia dipanggil untuk bermultiplikasi dan bersama-sama bekerja untuk menghasilkan segala macam hasil dan melestarikan bumi ini untuk kemuliaan Tuhan.
Di dalam kerangka mandat ini, maka pendidikan memiliki peran penting yang harus dijalankan sesetia mungkin. Sistem edukasi dunia hanya mengajarkan pengetahuan yang berguna secara praktis dan dapat membantu kita untuk menjawab tuntutan kerja; sementara sistem edukasi Kristen harus memberikan proses pembelajaran yang utuh dan setia berdasarkan firman Tuhan. Ada tiga proses pembelajaran yang sentral di dalam menjalankan mandat tersebut, yaitu pengenalan akan Allah (knowledge of God), pengenalan akan diri (knowledge of self), dan pengenalan akan ciptaan-Nya (knowledge of His creation).
Knowledge of God
Pengenalan akan Allah merupakan salah satu hak istimewa yang diberikan kepada setiap orang yang sudah ditebus dan diangkat menjadi anak Tuhan. Di dalam Yohanes 17:3, Kristus mengatakan bahwa hidup yang kekal itu sudah dimulai dari sekarang, yaitu dengan setiap orang percaya bertumbuh di dalam pengenalan akan Allah. Mengapa penting untuk terus bertumbuh di dalam pengenalan akan Allah? Satu alasan adalah karena hanya melalui pengenalan akan Allah yang benar kita baru dapat mengerti segala sesuatunya dengan benar. Sebelum dosa masuk, manusia dapat mengenal Allah melalui ciptaan-Nya karena semua masih baik dan bersih dari pengaruh dosa. Namun, setelah dosa masuk, maka karya Allah di dalam ciptaan-Nya menjadi buram dan manusia tidak mungkin lagi mengenal Allah dan mengerti alam dengan benar. Di dalam Systematic Theology,Louis Berkhof menjelaskan demikian, “As a result of the entrance of sin into the world, the handwriting of God in nature is greatly obscured, and is in some of the most important matters rather dim and illegible. Moreover, man is stricken with spiritual blindness, and is thus deprived of the ability to read aright what God had originally plainly written in the works of creation.” Hanya melalui pengenalan akan Allah yang sejati di dalam Alkitab, manusia baru dapat kembali mengerti alam ciptaan dengan benar.
Sistem edukasi sering melupakan panggilan ini. Mereka berpikir bahwa yang terpenting adalah memperlengkapi manusia secara cognitive dan kemampuan (soft skills and hard skills) untuk memenuhi tuntutan dunia kerja. Mereka gagal untuk melihat panggilan yang mulia di mana setiap manusia harus menyatakan kemuliaan Tuhan di dalam bidang studi yang ada. Dengan kata lain, kita dipanggil untuk taat kepada kehendak Allah, menghadirkan kehendak Allah dalam hidup ini, dan memberitakannya kepada orang lain tentang pengenalan kita akan Allah melalui bidang studi kita. Hal ini tidak mungkin dapat dijalankan jikalau kita tidak bertumbuh di dalam pengenalan yang sejati akan Allah yang sejati. Melalui mandat budaya, kita mengenal Pemberi mandat. Tanpa pengenalan akan Pemberi mandat, kita hanya berbudaya dalam keberdosaan kita.
Knowledge of Self
Di dalam pemikiran Yunani Kuno, pengenalan akan diri sendiri (know thyself) merupakan salah satu kebijaksanaan yang paling tinggi. Jikalau manusia mengenal segala sesuatunya tetapi tidak mampu mengenal diri, maka itu adalah suatu kebodohan yang besar. Manusia sebagai subjek selalu menempatkan diri sebagai yang paling tinggi. Kita berusaha untuk menganalisis dan mengerti semua objek melalui berbagai macam metode yang kita kembangkan dan sebut sebagai sains. Namun, manusia justru sering gagal untuk mengenal dan menilai diri sendiri sehingga menjadi narsistik (elevated sense of self) atau rendah diri (low sense of self). Alkitab dengan jelas telah memberikan pengenalan akan diri manusia yang tepat, yaitu manusia sebagai gambar dan rupa Allah yang memiliki martabat (dignity) dan juga kerendahan (humility). Karena manusia diciptakan sebagai puncak dari ciptaan dan menjadi wakil Allah di tengah dunia ini (Mzm. 8), manusia begitu berharga dan bermartabat. Namun di sisi lain, manusia bukanlah Allah yang merupakan Pemilik dari dunia ini; manusia hanyalah pekerja di dalam Kerajaan Allah, maka manusia harus memiliki kerendahan hati. Oleh karena itu, setiap manusia harus membiarkan Alkitab membaca diri kita (Alkitab sebagai subjek dan kita sebagai objek) sehingga kita beroleh pengenalan akan diri yang sejati.
Pendidikan seharusnya menjadi suatu tempat di mana murid mengalami berbagai macam proses pembentukan menjadi semakin serupa dengan Kristus. Setiap ujian dan tugas-tugas, interaksi antarmurid, dan proses belajar-mengajar seharusnya membawa setiap murid untuk bertumbuh di dalam karakter, menjadi lebih dewasa (kenal diri) dan takut akan Tuhan (tahu diri). Karena itu, kita harus belajar untuk mengenal kelemahan kita, bergumul, dan bersandar kepada Tuhan. Proses pengenalan akan diri juga membawa kita mengetahui talenta dan karunia yang Allah berikan untuk menjalankan panggilan hidup kita. Alhasil, pendidikan akan menghasilkan orang-orang yang bukan hanya cerdas dan berilmu, tetapi juga berkarakter baik dan takut akan Tuhan. Pendidikan harus menghasilkan manusia yang semakin setia menggambarkan Allah, Penciptanya, semakin tanggap menyatakan kehendak Allah, Tuhannya, dan semakin eager mencintai karya Allah, Pemiliknya.
Knowledge of Creation
Di dalam Kitab Kejadian 1:14 dituliskan bahwa Allah menaruh benda-benda penerang sebagai tanda yang menjadi pembeda antara hari, musim, dan tahun. Allah memberikan benda-benda penerang agar manusia bisa mempelajari dan mendapat pengetahuan untuk membedakan hal-hal yang berkenaan dengan waktu. Hal ini juga ditegaskan oleh Kristus di dalam Matius 16:1-4, di mana Kristus mengatakan kepada orang Farisi dan Saduki bahwa mereka mampu mempelajari tanda-tanda di langit dan membuat deduksi tentang apa yang akan terjadi seturut dengan observasi mereka. Di dalam Mazmur 19, dikatakan bahwa melalui ciptaan Tuhan, pemazmur dapat melihat kebesaran Tuhan yang dinyatakan di dalam wahyu umum-Nya. Dari beberapa perikop ini, kita dapat melihat bagaimana Allah memberikan ciptaan-Nya sebagai konteks untuk kita belajar semakin mengenal Allah dan memuliakan Dia. Setiap ciptaan Allah seharusnya menjadi sarana untuk kita dapat melihat kebesaran Allah dan bukannya dipakai untuk melawan Allah. Hal ini hanya dapat dicapai jika setiap mahasiswa Kristen belajar bukan dengan tujuan agar berhasil di dalam dunia kerja demi kehidupan yang nyaman di kemudian hari, tetapi sungguh-sungguh menggumuli dan mendalami bidang studi mereka sehingga dapat melihat Kristus di dalamnya, menyatakan Kristus kepada dunia melaluinya, dan membuat semua mulut harus meninggikan Kristus karenanya. Melalui proses inilah, setiap mahasiswa Kristen dapat mengerti bahwa Kristus sedang ditinggikan di dalam setiap aspek kehidupan manusia.
Namun, sayangnya setiap sistem edukasi mencoba memasukkan worldview dunia untuk mengerti ciptaan Tuhan karena menganggap bahwa cara pandang mereka adalah sesuai dengan fakta yang sesungguhnya. Sedangkan, belief system kekristenan dianggap hanyalah untuk ranah privat saja dan tidak ada hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Padahal untuk dapat mengenal Allah melalui karya penciptaan-Nya kita harus mengenal Allah melalui firman-Nya. Ada dua kesalahan dasar mengenai cara pandang yang demikian. Yang pertama adalah konsep yang berkenaan dengan klaim bahwa cara pandang mereka seturut dengan “fakta” atau sesuai dengan yang sebenarnya (according to reality). Sedangkan untuk mengerti fakta yang sesungguhnya, tidak mungkin dapat kita lakukan tanpa mengertinya melalui apa yang Allah telah nyatakan karena Dialah Pencipta segala sesuatu dan Dia melihat segala sesuatu secara komprehensif dan total. Kesalahan yang kedua adalah ketidaksadaran bahwa setiap worldview yang ada di dalam sistem pendidikan, misalnya berkenaan dengan sains, juga adalah satu system of belief yang pada batasan tertentu tidak ada bedanya dengan kekristenan. Sehingga tidaklah adil untuk menganggap belief system kekristenan sebagai kepercayaan privat sedangkan belief system dunia sebagai satu pengetahuan objektif yang merepresentasikan realitas.
Kesimpulan
Sebagai mahasiswa Kristen, kita perlu merenungkan kembali tujuan studi kita. Pernahkah kita memikirkan apakah pengejaran kita akan harta, karier, atau kebebasan hidup yang kita harapkan di hari depan, sesuai dengan panggilan dan komitmen kita sebagai pemuda Kristen? Dunia ini mengarahkan kita untuk mengikuti arus zaman yang pada akhirnya akan mematikan iman kita sebagai pemuda Kristen. Ketika kita merelakan diri kita mengikuti kata dunia, di saat itu juga kita sedang menukarkan hak kesulungan kita dengan semangkuk kacang merah. Sistem pendidikan yang banyak menjawab kebutuhan “pasar” menjadikan kita tidak lagi menjalankan mandat budaya karena sudah mengeluarkan Pemberi mandat dari kehidupan kita. Pendidikan seharusnya menjadi ranah di mana kaum intelektual dididik untuk memikirkan perkembangan budaya di dalam pimpinan Pemilik sejarah umat manusia. Karena itu, dunia praktik (industri tempat bekerja) seharusnya mengikuti perkembangan yang ada di dunia pendidikan, bukan sebaliknya.
Oleh karena itu, sebagai pemuda Kristen, kita harus keluar dari jebakan ini dan berjuang untuk mengerti kebenaran secara luas dan utuh. Segala kebenaran yang Tuhan sudah wahyukan, harus kita gali dan olah sebagai dasar untuk perkembangan budaya umat manusia di dalam kehendak-Nya. Ini adalah salah satu tugas para pemuda Kristen di dalam kaitan dengan manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Marilah kita hidup menjalankan panggilan Allah dengan setia, penuh kerelaan dan keberanian, serta jujur ingin memuliakan-Nya! Marilah kita hidup sebagai pemuda Kristen yang sejati!
Kenneth Hartanto
Pemuda GRII Melbourne