Walaupun terus ditempa kesulitan dan penganiayaan yang berat, kegigihan Rasul Paulus untuk terus memberitakan Injil terutama kepada bangsa bukan Yahudi sungguh mengagumkan. Mendekati akhir hidupnya, dengan yakin Rasul Paulus dapat mengklaim bahwa ia ”telah mengakhiri pertandingan yang baik, telah mencapai garis akhir, dan telah memelihara iman” (2 Tim 4:7). Apa rahasia di balik unjuk kesetiaan yang nyata dalam hidup dan pelayanan Paulus?
Kunci jawabannya dapat ditelusuri dalam tulisan-tulisannya. Mari kita melihat tiga bagian dari hidup Paulus yang memberi iluminasi akan hal ini.
Masa Lalu: Kasih Karunia Allah
”Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.” (1 Korintus 15:10)
Melihat masa lalu kehidupan Rasul Paulus sebelum peristiwa pertobatan di jalan menuju Damsyik, ia adalah seorang penganiaya gereja Tuhan. Ia bahkan menamakan dirinya sebagai ”yang paling berdosa” (1 Tim 1:15) dan “yang paling hina dari semua rasul” (1 Kor 15:9). Akan tetapi, “seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya”, kemudian Kristus menampakkan diri kepadanya. Masa lalu yang gelap penuh dosa dibandingkan dengan kasih karunia yang tak bersyarat yang diterimanya dalam Kristus – kenyataan ini menanamkan deklarasi iman yang kuat kepada Paulus untuk membuat kasih karunia Allah tidak menjadi sia-sia, melainkan berbuah banyak dalam hidupnya.
Hampir dalam setiap suratnya, Paulus berulang kali menyebutkan bahwa kasih karunia Allah yang olehnya ia dibenarkan, adalah pendorong utama untuk melayani, bahkan ia “bekerja lebih keras dari pada mereka semua“ (1 Kor 15:10). Dalam benak Paulus, ia menyadari bahwa kasih karunia itu bukan hanya suatu pemberian sesaat, tetapi sekarang juga ada bersama dengannya. Kebersamaan (atau penyertaan) kasih karunia Allah ini memacu Paulus untuk melayani tanpa lelah, seolah-olah memang tak ada pilihan lain yang lebih baik. Dalam bukunya “Life Together”, Dietrich Bonhoeffer menyuarakan sentiment yang serupa, “once a man has experienced the mercy of God in his life, he will henceforth aspire only to serve.”[1]
Pemahaman tentang kasih karunia Allah ini mewarnai theologi Rasul Paulus dengan sangat kental. Bahkan mungkin theologinya boleh dikatakan sebagai ‘theologi kasih karunia’. Ia mengaitkan kasih karunia dalam keselamatan (Ef 2:8-9), mengidentifikasikannya dengan Injil Kabar Kesukaan (2 Kor 4:15), dalam tanggung jawab pelayanan (Roma 15:15-16), dan bahkan dalam kelemahan yang harus ia tanggung (2 Kor 12:9). Selain itu, ia juga melihat panggilannya untuk memberitakan Injil kepada bangsa bukan Yahudi adalah semata-mata kasih karunia Allah (Ef 3:8).
Dengan demikian Paulus memberitakan kepada seluruh dunia bahwa lembar kehidupannya serupa jalinan kasih karunia demi kasih karunia sebagaimana suatu rajutan. Kasih karunia Allah dalam Kristus yang memulainya, kasih karunia yang sama memampukannya untuk terus bertahan dan bertahan sampai akhir. Menarik sekali, walaupun demikian, Paulus tidak berhenti di tataran kasih karunia saja, tetapi dia juga mendorong jemaat untuk ”hidup berpadanan dengan panggilan itu” (Ef 4:1). Ia tidak hanya melihat ke masa lalu dengan rasa syukur, tetapi juga menghidupi panggilan pada masa kini.
Masa Sekarang: Panggilan Allah
“Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaatpun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia;” (Galatia 1:15-16)
Hidup seturut panggilan Allah adalah satu tema kunci lainnya yang berulang-ulang Paulus tekankan dalam suratnya (Ef 4:1; Fil 1:27; 2 Tes 1:11). Dalam Perjanjian Baru, panggilan (calling) diasosiasikan dengan konsep pemilihan (election), identitas (naming), tujuan hidup (destiny), kekudusan (holiness), dan juga vokasi (vocation)[2]. Dalam hal ini, panggilan Allah yang membuat Paulus tetap bertahan adalah panggilan khusus untuk memberitakan Injil kepada bangsa bukan Yahudi. Paulus jelas sekali akan panggilannya itu. Ia berkata bahwa ia ”menerimanya oleh pernyataan Yesus Kristus” (Gal 1:12). Tuhan memanggilnya menjadi rasul kepada bangsa bukan Yahudi (Gentiles, Gal 1:16). Setia atas panggilan ini, dalam tiga kali perjalanan misinya ia pergi menjelajahi kota-kota di Asia Kecil, di mana bangsa bukan Yahudi kebanyakan tinggal (Tesalonika, Filipi, Korintus, dan sebagainya), memberikan Injil dan melayani mereka dengan intens. Panggilan ini bukan tanpa hasil. Dalam beberapa tahun kemudian di seluruh daerah Antiokhia sampai Ilirikum, perwujudan dari panggilan Allah ini jelas terlihat dengan menjamurnya jemaat-jemaat rumah yang sebagian besar adalah bangsa bukan Yahudi. Banyak dari mereka, seperti halnya jemaat Tesalonika, “berbalik dari berhala-berhala kepada Allah untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar” (1 Tes 1:9).
Apa kaitan panggilan yang seseorang yakini dengan ketekunannya? Panggilan bukan hanya menentukan apa yang harus kita lakukan, tetapi terlebih dahulu mendefinisikan untuk siapa dan untuk apa kita melakukannya. Sebuah panggilan yang diyakini akan memacu kita untuk terus bertahan sampai panggilan tersebut terwujudkan melalui hidup kita. Banyak pelayan Tuhan bisa berhenti melayani ketika mereka tidak lagi tahu untuk siapa dan untuk apa mereka dipanggil. Sehingga banyak juga yang tidak bertahan sampai akhir karena ”panggilan” atau daya tarik lain mengalihkan perhatian mereka.
Sebaliknya bagi Rasul Paulus, menyadari kejelasan panggilannya, ia menunjukkan kesepenuhhatiannya bagi pekerjaan Injil. Ia bahkan tidak tergoncangkan, walaupun ketika orang-orang yang ia layani meragukan kerasulannya (Gal 2:5-7). Allah pun meneguhkan panggilan Paulus dengan hasil pelayanan dan kuasa Allah yang menyertai.
Sebelum pergi menuju Roma, Paulus dapat dengan tegas mengatakan kepada para penatua jemaat Efesus dalam percakapan perpisahannya di Miletus: “…aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah.” (Kis 20:24)
Masa Depan: Kemuliaan Yang Akan Datang
“Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami.” (2 Korintus 4:16-17)
Dari sudut pandang manusia, ada banyak alasan buat Paulus untuk patah semangat. Lihat bagaimana Paulus menceritakan secara rinci kesulitan dan penganiayaan yang ia alami dalam pelayanannya (2 Kor 4:8-18; 11:24-27). Akan tetapi, kenyataannya ia tidak pernah putus asa (2 Kor 6:1-10). Menarik sekali, salah satu alasannya ada dalam bagaimana Paulus memandang masa depannya, memandang hari di mana ia mencapai garis akhir dan menyelesaikan tugas pelayanannya. Pandangan yang senantiasa tertuju kepada penyelesaian tugas pelayanan saat kematiannya (garis akhir) ini membuat Paulus tidak pernah patah semangat, tetapi justru berjuang tanpa lelah dalam segala penderitaan.
Dalam ayat tadi di atas, ia membuat suatu daftar perbandingan antara penderitaan sekarang dengan kemuliaan yang akan datang, yaitu manusia lahiriah/manusia batiniah, semakin merosot/diperbarui dari sehari ke sehari, penderitaan/kemuliaan, kelihatan/tidak kelihatan, dan sementara/kekal. Kontras ini menunjukkan perbedaan kualitatif antara apa yang ia alami sekarang dengan apa yang ia akan dapatkan kelak.
Paul Barnett dalam tafsirannya tentang kitab 2 Korintus, mengatakan ini tidak berarti Paulus berkonsep bahwa penderitaannya akan memberikannya imbalan kemuliaan[3]. Penderitaan dan kesesakan tidak memiliki nilai di dalam dirinya sendiri. Akan tetapi, dengan berkaca pada kesemuanya itu, Paulus bisa menaruh pandangannya bukan pada hal yang terlihat, sementara, dan yang akan berlalu, tapi pada hal yang tidak terlihat, kekal, dan yang akan diperbarui. Melalui kesesakan Paulus dapat menyadari dengan lebih jelas bahwa tersedia baginya kemuliaan yang “jauh lebih besar dari pada penderitaan” yang ia alami (ay 4:17).
Mungkin ini bagian tersulit bagi kita untuk berempati dengan Paulus, karena pada umumnya kita sekarang ingin hidup bebas dari penderitaan dan kesusahan yang Paulus sebutkan. Kita tinggal di suatu negara di mana tidak ada penganiayaan ataupun penyesahan dikenakan kepada orang Kristen. Kita cukup makan dan pakaian. Kita memiliki pekerjaan dan keluarga yang baik. Kita hidup tidak di tengah perang dan pertentangan besar. Seperti John White tuliskan dalam bukunya “Boundary for Life”, hidup kita lebih terbungkus oleh kesukaan dunia ini, sehingga kita dengan mudah menjadi kurang menaruh perhatian (concerned) akan surga[4]. Meminjam istilah psikoanalisa cathexis (yang berarti investasi emosi), kita ber-cathect besar-besaran terhadap apa yang ada di dunia. Kita menaruh investasi emosi yang dalam kepada pasangan hidup kita, anak kita, rumah atau condominium kita, karier, pengetahuan, saudara dan sahabat kita di dunia. Kita menjadi tidak sungguh-sungguh ingin dan merindukan kembali ke rumah kita yang abadi di surga karena investasi emosi kita di dunia ini sudah sangat cukup dan nikmat. Tetapi hal ini tidak terjadi dalam kehidupan Paulus. Dengan kondisi fisik tubuhnya yang merosot (mungkin sebagai akibat dari penderitaan fisik), ia menaruh harapannya pada ”kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya” (eternal weight of glory) yang Allah telah persiapkan baginya. Apa artinya ini?
Pertama, Paulus mengetahui bahwa “kemah tempat kediaman di bumi yaitu tubuh ini suatu saat nanti pasti (akan) dibongkar”, namun ia menyakini bahwa ”suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia” telah disediakan baginya” (2 Kor 5:1).
Kedua, Paulus menaruh harapannya kepada Allah yang menyediakan kemuliaan kekal baginya. Ia percaya bahwa Allah yang menjanjikannya adalah setia. Dalam bahasa Yunani akar kata kesetiaan atau ketekunan (hypomone), adalah mone. Kata ini sering dipakai sebagai rujukan pada sifat ketidakberubahan Allah di tengah keberubahan manusia.
Ketekunan Paulus berpusatkan pada kesetiaan Allah: dalam kasih karunia-Nya, melalui panggilan-Nya, dan untuk kemuliaan-Nya. Oleh karena itu, ia dapat dengan yakin berkata, “bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadanya hingga pada hari Tuhan” (2 Tim 1:12). Sejalan dengan kenyataan ini, tradisi gereja menceritakan bahwa Paulus mati sebagai seorang martir setelah dipenjara beberapa lama di Roma. Sungguh suatu hidup yang penuh kesetiaan kepada Kristus sampai akhir hayatnya.
Bermula dari kasih karunia Allah pada masa lalu, dilanjutkan dengan panggilan Allah yang ia hidupi pada masa kini, dan berharap dalam kemuliaan kekal yang Allah persiapkan pada masa yang akan datang. Inilah kunci ketekunan Rasul Paulus untuk tetap bertahan sampai akhir.
Penerapan dalam Kehidupan dan Pelayanan
Adalah lebih mudah untuk memulai sesuatu dengan impresif daripada mengakhirinya dengan baik. Dalam bukunya “Finishing Well” [5] David Wong memaparkan suatu penelitian yang dilakukan oleh Robert Clinton, seorang profesor kepemimpinan di Fuller Theological Seminary. Profesor Clinton menemukan bahwa tidak sampai 30% dari para tokoh pemimpin Kristen di dunia ini yang memulai dan mengakhiri hidupnya dengan baik. Selebihnya mungkin mengawali hidup dan pelayanan dengan impresif, tetapi tidak mengakhirinya dengan baik. Tentu saja, kita rindu menjadi bagian dari mereka yang mengakhiri dengan baik. Mempelajari dari kehidupan dan pelayanan Paulus yang bertekun sampai akhir, kita bisa menarik beberapa pelajaran.
Dalam kondisi apapun jangan pernah gagal untuk mengingat akan kasih karunia Allah yang diberikan di dalam kematian dan kebangkitan Kristus. Selalu bawa jalan salib itu dalam hati dan pikiran kita. Apapun yang terjadi, jangan pernah pandang sepele kasih karunia ini. Bagaimanapun benar dan kudusnya hidup kita sekarang, ingat kita dulunya adalah pendosa yang ditetapkan untuk kematian kekal. Hanya karena kasih karunia Allah kita sekarang ada dan hidup.
Tempatkan pencarian akan panggilan Allah dalam hidup kita sebagai hal yang utama. Berusahalah untuk membuat panggilan ini semakin jelas setiap hari, semakin setia menjalaninya, dan semakin berdampak bagi orang di sekitar kita. Jadikan hal lain sebagai alat penggenapan panggilan Allah dalam hidup kita.
Tujukan pandangan kita pada kemuliaan yang akan datang. Ketika kenyamanan hidup menyusup masuk, terus ingatkan agar diri kita tidak menaruh investasi emosi ke dalamnya. Tetap waspada dan sadar bahwa kita masih di dalam peperangan sambil menungggu kemenangan sempurna ketika Kristus datang kembali dalam kemuliaan-Nya yang besar.
Kasih karunia, panggilan, pengharapan akan kemuliaan. Biar ketiga hal ini terus menjadi substansi bahan bakar kehidupan dan kesetiaan dalam perjuangan kita memuliakan Tuhan sampai Ia memanggil kita pulang.
Lisman Komaladi
Pemuda GRII Singapura
[1] Dietrich Bonhoeffer, Life Together, The Classic Exploration of Faith in Community (San Fransisco, HarperCollins Publishers, 2005), p.94
[2] Baker’s Evangelical Dictionary of Biblical Theology on Calling
[3] Paul Barnett, The Message of 2 Corinthians (Leicester, Inter Varsity Press, 1988), p.94
[4] John White, Bound for Life – The Joy of Christian Commitment (Leicester, Inter Varsity Press, 1990), p.48
[5] David W.F. Wong, Finishing Well – Closing Life’s Significant Chapters (Singapore, BAC Printers, 2006), p.13