Henokh merupakan satu tokoh Alkitab yang sangat menarik. Di satu sisi, Henokh dicatat di dalam Alkitab hanya sebanyak tiga kali, yaitu di Kejadian 5, Ibrani 11, dan Yudas 14 (tentu ada silsilah-silsilah lain yang dicatat di Kitab Keluaran, Tawarikh, dan Lukas, tetapi ini semua adalah pengulangan dari silsilah yang sama di Kejadian 5). Di sisi lain, Henokh merupakan tokoh yang sangat terkenal karena di samping Nabi Elia, hanya dia yang dicatatkan tidak pernah mengalami kematian. Namun sayangnya, ketika orang Kristen mendengar nama Henokh, hal pertama yang terlintas di dalam pikiran hanyalah berkenaan dengan fakta bahwa ia tidak pernah mati. Padahal di dalam Alkitab, penekanan yang diberikan adalah fakta bahwa Henokh berjalan bersama dengan Allah selama 300 tahun. Hal inilah yang akan menjadi fokus dari pembahasan kita di dalam artikel ini.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang kehidupan Henokh, mari kita mencoba mengerti konteks yang ada di dalam Kejadian 5:5-32. Cerita tentang kehidupan Henokh ditempatkan di tengah-tengah silsilah keturunan Adam. Ada satu pola yang dapat kita lihat di dalam silsilah di Kitab Kejadian ini. Kita dapat melihat bahwa penulis menggunakan pola “A memperanakkan B, kemudian A hidup untuk X tahun, dan dia mati” untuk mendeskripsikan secara singkat kehidupan seseorang. Satu tujuan penting dari silsilah manusia yang diberikan di dalam Kitab Kejadian adalah untuk menyatakan bahwa kematian sudah masuk ke dalam kehidupan manusia sebagai akibat dari kejatuhan di dalam dosa.
Bukan hanya itu, penulis juga ingin menggambarkan kehidupan manusia di dalam dosa yang menjadi sangat repetitif dan tidak bermakna (dilahirkan-melahirkan-mati). Tetapi di tengah-tengah pola kehidupan-kematian yang repetitif ini, penulis menyisipkan satu perbedaan yang mencolok, yang seolah-olah menjadi anomali dari pola yang sudah ada. Kita mengerti bahwa penulis Alkitab sering menggunakan suatu pola untuk menyatakan suatu kebenaran di dalam gaya penulisan mereka sendiri. Namun, sering kali juga mereka keluar dari pola tersebut untuk memberikan perspektif yang berbeda tentang sebuah kebenaran.
Di dalam konteks Kejadian 5:5-32, penulis Kitab Kejadian keluar dari pola yang biasa dipakai untuk menyoroti aspek kehidupan Henokh yang unik, di mana dikatakan bahwa Henokh sudah tidak ada lagi sebab ia sudah diangkat oleh Tuhan. Konsep “tidak ada lagi” tidak dapat dimengerti sebagai dibunuh atau mengalami kematian, melainkan harus dimengerti di dalam pengertian rapture atau terangkatnya orang ke sorga (sebagaimana dijelaskan di dalam kalimat setelahnya). Konsep mengenai rapture ini dapat kita lihat juga di dalam kehidupan Nabi Elia dan juga yang akan terjadi kepada orang percaya pada saat kedatangan Kristus yang kedua kali (2Raj. 2:11; 1Tes. 4:16-17). Saya percaya bahwa cerita tentang orang-orang yang diangkat ke sorga memberikan sebuah peringatan dan juga pengharapan bagi umat manusia. Di satu sisi, ada peringatan kepada orang-orang yang hidup melawan Tuhan bahwa hidup bukan hanya di dunia ini (seperti yang dipercaya oleh manusia modern), tetapi ada kehidupan setelah dunia ini di mana kita harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatan kita. Di sisi yang lain, ini juga menjadi pengharapan bagi setiap orang yang percaya kepada Tuhan bahwa dunia ini hanyalah sementara, akan ada waktunya di mana kita akan dibawa untuk hidup bersama dengan Tuhan di dalam kehidupan yang kekal.
Fakta terangkatnya Henokh ke sorga menyatakan bahwa meskipun kematian itu tak terhindarkan oleh karena kejatuhan manusia ke dalam dosa, narasi kehidupan tidaklah berhenti pada titik kematian. Ada kehidupan yang real dan jauh lebih baik di balik kematian itu, dan kehidupan Henokh yang tidak mengalami kematian (baca: maut tidak berkuasa atas dirinya) tersebut menjadi bayang-bayang dari kehidupan setiap orang yang percaya kepada Tuhan. Bukan hanya itu, hidup di dalam dunia ini menjadi satu kehidupan yang penuh makna dan tujuan karena dijalankan di dalam ketaatan kepada Tuhan. Kejadian 5 seperti bayang-bayang dari berita Injil yang kita mengerti dengan lebih penuh di dalam Perjanjian Baru. Begitu juga dengan Kristus, the better and perfect Enoch, yang menjalani seluruh kehidupan-Nya dengan penuh makna dan tujuan yang jelas, yaitu untuk menggenapkan seluruh kehendak Allah dan membuka jalan perdamaian kepada Allah bagi setiap orang yang telah dipilih-Nya.
Fondasi Kehidupan yang Berjalan bersama Allah
Sering kali ketika kita membaca tentang kehidupan dan perjuangan iman dari anak-anak Tuhan, kita bisa salah mengerti dan melihat hal-hal ini sebagai usaha dan perjuangan mereka semata. Di dalam konteks kehidupan Henokh, kita bisa jatuh dan melihat kesalehan Henokh sebagai hasil dari perjuangan dan penyangkalan diri Henokh. Akhirnya, kehidupan Henokh bukan lagi menjadi sarana yang memuliakan Tuhan, tetapi justru meninggikan jasa manusia. Tentu saja ini bukanlah pengertian yang benar dan harus dikoreksi sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Alkitab. Melalui kehidupan Henokh, ada beberapa hal yang dapat membawa kita untuk mengerti tentang kehidupan iman dari orang-orang kudus sepanjang masa.
Reconciliation
Hal yang pertama yang menjadi basis dari kehidupan Henokh yang berkenan di hadapan Allah adalah fakta bahwa Henokh dengan Allah sudah direkonsiliasi atau didamaikan. Amos 3:3 menyatakan bahwa dua orang tidak dapat berjalan bersama jika mereka tidak berjalan di dalam persetujuan. Jika kita mengerti bagian ini di dalam konteks Alkitab secara keseluruhan, tidaklah mungkin bagi manusia untuk hidup berjalan bersama dengan Allah tanpa mengalami pendamaian dengan Allah.
Di dalam Perjanjian Baru, kita dapat melihat dengan jelas bahwa Kristus sebagai mediator telah mendamaikan segala sesuatu dengan Allah sehingga anak-anak Tuhan dapat menjalani kehidupan yang memperkenan hati Tuhan. Fakta tentang rekonsiliasi ini bukanlah satu fakta yang terisolasi dan tidak memiliki dampak apa pun. Ketika kita sudah diperdamaikan dengan Allah, kita seharusnya memiliki kehendak yang sama dengan Tuhan. Sudah seharusnya kita menundukkan setiap kehendak kita di bawah kehendak Allah.
Seperti Kristus yang seluruh hidup-Nya di muka bumi ini adalah untuk menjalankan kehendak Allah, setiap kita yang sudah diperdamaikan dengan Allah di dalam Kristus juga seharusnya menjalankan seluruh hidup kita sebagai penggenapan dari kehendak Allah.
Faith
Ibrani 11:5-6, khususnya ayat 6, dengan jelas menyatakan apa yang menjadi dasar utama dari kehidupan Henokh. Dikatakan bahwa tanpa iman tidak mungkin manusia, termasuk Henokh, dapat menerima perkenanan Tuhan, karena hanya melalui imanlah manusia dapat percaya bahwa Allah ada dan menerima upah keselamatan dari Tuhan. Theolog John Frame pernah menyatakan bahwa perbuatan yang baik (baca: diperkenan oleh Tuhan) bukan hanya sesuai dengan normative yang ada, yaitu Alkitab, tetapi juga harus ditujukan untuk kemuliaan Tuhan dan keluar dari iman kepada Tuhan. Ketiga aspek ini harus ada secara bersamaan dan menjadi dasar dari setiap perbuatan baik. Jikalau suatu perbuatan kehilangan salah satu aspek ini, perbuatan itu tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang memperkenan hati Tuhan. Ketika kita berbicara tentang iman dan kemuliaan Tuhan, kita menjadi sadar bahwa perbuatan yang diperkenan Allah tidak dapat dipalsukan dan hanya terjadi jika seseorang telah ditebus dan diperdamaikan dengan Allah melalui Kristus. Oleh karena itu, meskipun Henokh hidup sesuai dengan apa yang Tuhan mau secara normative, tanpa iman kepada Tuhan maka tidaklah mungkin dia dapat memuliakan Tuhan dan memperkenan hati Tuhan.
Dari kedua fakta akan pekerjaan Allah ini, kita dapat melihat bahwa Tuhanlah yang bekerja di dalam hati Henokh dan memampukan dia untuk bisa hidup taat berjalan bersama dengan Allah. Tetapi bagaimana dengan kehidupan kita sebagai orang Kristen? Banyak dari kita mengaku bahwa kita sudah percaya kepada Tuhan, kita sudah memiliki iman di dalam Kristus, dan kita sudah diperdamaikan dengan Allah melalui Kristus sebagai mediator kita, tetapi kehidupan kita bertolak belakang dengan kehidupan Henokh. Alih-alih hidup berjalan bersama Allah seperti Henokh, kita justru sering berjalan menjauh dari Allah. Bahkan banyak orang Kristen yang rutin datang ke gereja, aktif melayani, dan bahkan seolah-olah hidup “dekat” dengan Tuhan, sebenarnya tidak pernah sungguh-sungguh berjalan di dalam kehendak Allah. Di dalam Kitab Maleakhi pasal 1, dikatakan bahwa para imam, orang-orang yang siang dan malam selalu berada di Bait Suci, menjalankan tugas mereka dengan penuh keluhan dan paksaan, sampai-sampai mereka mengatakan, “Alangkah susahnya ini!” atau di dalam bahasa Inggris terjemahan ESV dikatakan, “What a weariness is this!” Ini merupakan sebuah ironi yang begitu menyedihkan. Orang yang paling “dekat” dengan hadirat Allah justru sesungguhnya adalah orang yang paling jauh dari Allah itu sendiri. Fakta dan dosa bangsa Israel pada zaman itu masih sangat relevan sampai saat ini, di mana banyak orang Kristen yang mengaku dekat dan mencintai Tuhan tetapi sebenarnya tidak sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Marilah kita bertobat dan sungguh-sungguh kembali kepada Tuhan. Bukan hanya menerima hidup yang baru dari Tuhan, tetapi biarlah kita sungguh-sungguh menjalankan satu hidup yang berkenan kepada Tuhan, yang ditransformasi oleh kasih Tuhan.
Lalu setelah mengalami proses rekonsiliasi dan beriman kepada Tuhan, apa yang seharusnya terjadi kepada diri kita? Apakah kita harus menjauhkan diri dari dunia ini, mengasingkan diri dari masyarakat, dan hidup bermeditasi supaya kita bisa disebut berjalan bersama dengan Allah? Tentu kita tahu bahwa Alkitab tidak pernah mengajarkan hal demikian dan melalui kehidupan Henokh, biarlah Tuhan memberikan pengertian yang benar apa yang dimaksud dengan hidup berjalan bersama Allah.
Konsep Kehidupan yang Berjalan bersama Allah
Hidup yang Relevan
Di dalam kehidupan Henokh, kita dapat melihat bahwa ia tidak hidup dekat kepada Tuhan dengan jalan menjauhi diri dari dunia tempat ia berada, tetapi justru masuk ke dalam dunia dan menjadi terang dan garam dunia. Hal yang sama juga diberitakan oleh para Reformator, terutama John Calvin yang menekankan tentang kesatuan dan keutuhan kehidupan orang Kristen, di mana tidak ada pemisahan antara sacred and secular realms. Di dalam Kitab Yudas, dinyatakan bahwa Henokh memberitakan tentang the upcoming judgement kepada orang-orang sezamannya dan meminta mereka untuk bertobat dan meninggalkan dosa mereka. Setelah melakukan pembelajaran lebih lanjut, kita tahu bahwa Yudas mengutip ini dari The Book of Enoch, yang sebenarnya merupakan jenis buku pseudepigrapha di mana judul buku tersebut secara salah diatribusikan sebagai penulis dari buku tersebut. Jadi bukan Henokh yang menulis The Book of Enoch. Lalu, fakta bahwa Yudas mengutip buku ini juga bukan berarti bahwa buku ini harus masuk ke dalam kanonisasi Alkitab atau juga adalah inspirasi dari Allah Roh Kudus. Tetapi yang jelas adalah apa yang dikatakan oleh Yudas di dalam Alkitab adalah 100% betul dan akurat sehingga harus kita percaya dan pegang sepenuhnya. Jadi di dalam kehidupan Henokh, dapat dibayangkan bahwa Henokh tidak hidup menjauh dan mengisolasi diri sendiri dari masyarakat pada zamannya, tetapi justru menjalankan satu kehidupan di dalam Tuhan dan tetap berinteraksi dengan zamannya. Kita tahu bahwa ini bukanlah suatu hal yang mudah. Kejadian 6 menyatakan bahwa Henokh hidup di dalam zaman yang sangat rusak sampai-sampai Tuhan sendiri mengatakan bahwa hati manusia hanya merancangkan kejahatan senantiasa. Namun, Henokh justru menjalankan satu kehidupan yang berintegritas dan tetap relevan dengan dunia ini. Sangatlah mudah bagi kita untuk hidup menjaga integritas diri ketika kita tidak pernah berinteraksi dengan dunia luar, yaitu ketika kita hanya hidup di dalam komunitas orang-orang Kristen. Tetapi hidup benar itu menjadi suatu hal yang sangat sulit dilakukan jika kita mau menjalankan hidup yang tetap relevan di tengah dunia yang berdosa ini. Mari kita belajar dari Henokh yang berdiri dengan teguh dan menjalani kehidupan yang menyenangkan hati Tuhan serta menerima penyertaan anugerah Allah senantiasa.
Hidup yang Konsisten
Kejadian 5:22 menyatakan bahwa Henokh berjalan bersama dengan Allah selama 300 tahun setelah ia memperanakkan Metusalah. Alkitab tidak mencatat dengan jelas tentang bagaimana kehidupan Henokh sebelum ia memperanakkan Metusalah, tetapi yang jelas ia hidup benar di hadapan Tuhan selama 300 tahun. Penggunaan kata “berjalan” di dalam konteks ini memberikan sebuah perspektif tentang kehidupan Henokh di hadapan Tuhan. Memang benar bahwa “berjalan dengan Tuhan” dapat kita mengerti sebagai “hidup menaati Tuhan”, tetapi kata “berjalan” itu sendiri memberikan suatu nuansa proses pergumulan dan konsistensi mengikuti Tuhan. Henokh tidak dikatakan sebagai orang yang “cepat panas, cepat dingin” melainkan sebagai pribadi yang terus konsisten “panas” mengikuti Tuhan. Hal ini sangat berbeda dengan kehidupan banyak orang Kristen pada zaman ini, mungkin termasuk kita. Kehidupan spiritual kita seperti orang yang berlari jarak pendek (sprinting), cepat di awal tetapi hanya dapat bertahan sementara saja. Biasanya setelah retreat atau KKR yang baik, jiwa kita seolah-olah dibangunkan dan sangat berapi-api. Namun selang beberapa waktu, kita mulai kendor dan semua komitmen yang kita buat itu hilang begitu saja. Lama-lama, ini seperti menjadi suatu kebiasaan spiritual yang buruk di mana kita membutuhkan lagi hal-hal yang luar biasa (seperti retreat atau KKR) agar kerohanian kita bisa bertumbuh, sedangkan Alkitab dengan jelas menunjukkan bahwa orang yang bertumbuh adalah yang berdoa dan merenungkan firman Tuhan siang dan malam.
John MacArthur pernah mengatakan bahwa di saat kedatangan Kristus yang kedua kali, akan ada satu generasi orang-orang yang tidak akan merasakan kematian. MacArthur menyebutnya sebagai a whole generation of Enochs. Tetapi sebelum waktu itu tiba, pertanyaannya adalah apakah ada satu generasi orang-orang yang juga mau berjalan bersama dengan Tuhan seumur hidup mereka? Biarlah di tengah-tengah zaman yang bengkok ini, kita belajar untuk hidup benar, seturut dengan firman Tuhan, dan terus berjalan di dalam rencana dan kehendak Tuhan sehingga kehendak Allah boleh digenapkan seluruhnya di dalam kehidupan setiap orang percaya.
Kenneth Hartanto
Pemuda GRII Melbourne