HEROES

Kalau ada dari pembaca yang hadir di meja makan saya kemarin malam, maka mereka akan mendengar ucapan sebagai berikut, “Aduuuuh, kurang ajar, habisnya season 2 bikin orang penasaran begitu! Jelek banget sih habisnya! @#$%^&*!” Ada yang punya perasaan yang sama dengan saya?

Bagi pembaca yang tidak pernah menonton HEROES (sampai minggu lalu saya termasuk ke dalam golongan ini) saya akan memberikan gambaran singkat tentang seri ini. Film ini memiliki banyak sekali tokoh dengan latar belakang dan karakter yang berbeda-beda, namun kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang memiliki super power seperti bisa terbang, telekinesis, penyembuhan diri, bisa melukis masa depan, menembus dan menghentikan waktu, kekuatan super, membaca pikiran, dan masih banyak lagi. Kebanyakan dari orang-orang ini adalah orang-orang biasa yang bingung dengan kemampuan mereka. Ada politikus, ibu rumah tangga, karyawan kantor, cheerleader SMA, anak kecil, mafia, perawat, tukang jam… Kemudian ada sebuah ‘company’ rahasia yang berurusan dengan orang-orang semacam ini. Lalu agak mirip seperti dalam cerita-cerita klasik, ada tokoh penjahat yang mau menghancurkan dunia.

Tokoh-tokoh dalam film ini terpencar di berbagai tempat dan memiliki cerita hidup mereka sendiri-sendiri, meski dalam beberapa event mereka terbentur satu dengan yang lain. Apa yang mereka alami sebetulnya selalu berkait satu dengan yang lain, dan dalam dua season pertama ini, berkait dengan kehancuran dunia ataupun usaha penyelamatannya. Namun para tokoh tidaklah mengetahui kaitan tersebut seperti kita para penonton. Mereka hanya dipusingkan oleh orang-orang terdekat mereka: suami, istri, anak, kakak, adik, ayah, dan ibu.

Oh ya, sekilas mengenai moral. Kalau Saudara membutuhkan film sebagai teladan, mencari standar moral yang tinggi, pembedaan hitam dan putih yang jelas, jangan tonton film ini. Penonton dibawa untuk sangat bisa mengerti mengapa tokoh-tokoh dalam film ini membunuh orang, menipu, menjual diri, mencuri, memukuli orang, menggunakan narkotika. Bahkan dijelaskan mengapa seorang serial killer bolak-balik membunuhi orang dengan sadis, memotong kepala mereka supaya bisa mencuri kemampuan mereka—karena ibunya begitu ingin anaknya ‘spesial’. Sang anak berkata, “Sebetulnya tidak apa-apa kan kalau aku biasa-biasa saja, bekerja sebagai tukang (…)?” Ia meminta konfirmasi dari ibunya bahwa ia boleh hidup apa adanya, dan ibunya berkata, “Bagaimana mungkin aku mengizinkan itu sementara aku tahu kamu bisa lebih dari itu?” Dengan kata lain, semua pembunuhan itu terjadi karena tekanan untuk menyenangkan hati ibunya. Selain itu, para tokoh secara kontinual berganti sisi, bukan dari jahat ke baik atau sebaliknya (karena jahat dan baik dalam film posmodern ini sangat relatif), tetapi tergantung kepentingan/self-interest mereka saat itu.

Sekian gambaran singkat tentang HEROES. Kita perlu mengamati film ini dari sudut pandang Alkitab, dan kita akan membahas satu aspek “who am I”.

Film ini menanamkan bahwa setiap orang yang memiliki super power adalah spesial. (Kalau tidak, untuk apa orang bikin film mengenai mereka, dan untuk apa orang menonton…) Ada juga orang-orang biasa yang ditampilkan sebagai tokoh yang berperan banyak dalam menentukan alur cerita karena entah mereka adalah orang-orang yang sangat pandai, berdedikasi, atau berkuasa besar, pendek kata, orang-orang dengan kemampuan super juga, meski dalam bentuk yang lain. Tetapi kebanyakan tokoh-tokoh ini tidak melihat kemampuan mereka sebagai suatu kelebihan. Berkali-kali keinginan untuk memiliki hidup yang normal muncul dari mulut berbagai tokoh. Sebagian bahkan menjadikan itu sebagai obsesi yang mengesahkan macam-macam tindakan kriminal.

Kemudian para orang tua yang mendorong anaknya untuk menjadi lebih baik ditampilkan secara negatif. Seorang anak menjadi pembunuh berantai, seorang lagi sampai ia pemudi tetap bertingkah laku dan berkata-kata seperti anak kecil.  Seorang anak yang rela menawarkan kemampuannya untuk keperluan orang tua asuhnya koma selama dua minggu. Di lain pihak, orang tua yang lain, yang begitu rela mengorbankan diri maupun orang lain (haha) demi anak mereka, ngotot bahwa normal-lah pilihan yang terbaik.

Mungkin cukup aman untuk disimpulkan bahwa film ini tidak memiliki satu pernyataan yang tunggal mengenai identitas manusia. Para penonton boleh memilih mana yang mereka suka, seperti juga dari begitu banyak variasi tokoh, boleh dipilih, dengan tokoh mana mereka bisa mengidentifikasikan diri, sehingga film ini bisa menjangkau penonton dari berbagai macam lapisan. Namun kalau saya ringkas, dua ide besar mengenai ‘spesial’-nya film ini jadinya dua pernyataan yang menghancurkan semangat:

A. Hanya orang yang memiliki kemampuan besar adalah orang spesial; dan kemampuan besar itu lebih terasa sebagai beban/kutukan.

B. Kalau seseorang tidak spesial, lebih baik ia jangan mencoba untuk jadi spesial. Jangan mencoba untuk jadi lebih baik. Itu adalah hak istimewa orang-orang spesial yang bisa mengembangkan kemampuan mereka lebih dan lebih lagi.

Ini adalah formula lose-lose. Orang yang spesial ingin hidup normal tapi tidak bisa. Orang yang normal tidak boleh berusaha menjadi spesial. Akhir-akhirnya semua tokoh di film ini adalah orang-orang stress, yang satu-satunya kemungkinan penghiburannya adalah bukan dari kemampuan mereka, melainkan tergantung bagaimana orang di dekat mereka menerima mereka. Jadi identitas diri mereka bukan sesuatu yang melekat dalam diri mereka, tetapi berubah-ubah sesuai bagaimana orang lain menilai mereka.

Bagaimana dengan kita orang Kristen? Apakah kita tahu apa artinya spesial? Apakah kita spesial? Ataukah kita hanya ingin menjadi spesial tapi merasa tidak ada apapun juga yang istimewa mengenai diri kita? Atau lebih parah lagi, kita tahu kita spesial, dan kita merasa itu suatu beban, suatu kutukan?

Kita spesial bukan karena kita ingin spesial lalu menghibur diri atau menipu diri. Kita spesial karena Pencipta kita bukan pabrik yang menghasilkan mass-production yang selalu sama dan membosankan. Ia adalah Seniman Agung, Perancang yang mahir, Visionari yang berpandangan luas, Guru yang ilahi, Pembimbing dengan kasih dan pengertian yang sempurna. Ia memiliki rencana yang utuh dan mencipta kita untuk memainkan peranan unik dalam sejarah.

Mungkin kebanyakan pembaca akan berkata, “Ya, saya pernah mendengar itu, tetapi saya tidak melihat apapun yang spesial pada diri saya.” Dengan kalimat itu Anda bisa memaksudkan dua hal yang berbeda:

a. Saya tidak memiliki kemampuan yang luar biasa dibanding orang lain.

b. Mungkin saja saya spesial, tapi tidak ada orang sekitar saya yang mengetahui atau mengkonfirmasi hal itu. 

Kalau kita bandingkan dua kalimat ini dengan yang Alkitab ajarkan mengenai talenta, maka kalimat (a) dikatakan oleh orang yang membandingkan dirinya dengan orang lain, “Orang lain punya tiga talenta, atau bahkan lima talenta, tapi saya cuma satu. Saya tidak spesial.” Mungkin ia tidak menguburkan talentanya seperti hamba dalam kisah talenta, tetapi yang ia kerjakan adalah terus memandangi dua talenta atau lima talenta hamba yang lain. Mungkin ia mengikuti hamba yang lain itu ketika mereka menjalankan talenta yang diberikan, terus melihat talenta-talenta yang banyak itu, “yang bukan punyaku”. Mungkin ia memandangi dengan penuh kekaguman, memenuhi telinga hamba-hamba yang lain dengan pujian seakan-akan banyaknya talenta itu adalah kehebatan mereka. Mungkin juga ia memandangi dengan penuh iri hati, mengatakan kalimat-kalimat yang membuat telinga hamba lain panas. Yang manapun juga, jelas ia tidak mungkin menjalankan talentanya dengan sepenuh hati karena sibuk dengan talenta orang lain. Buat orang ini, talenta adalah milik pribadi, penentu identitas, berpusat pada ‘aku’ dan bukan anugerah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Saya kira seandainya orang ini diberikan lima talenta pun ia tidak akan merasa puas, karena fokusnya bukanlah menjalankan talenta untuk bisa dipersembahkan kembali kepada Tuhan, melainkan mengumpulkan sebanyak-banyaknya talenta untuk dirinya. Saya bisa membayangkan hamba ini memeluk erat-erat semua talentanya dan menolak untuk mengembalikannya kepada tuannya.   

Kalimat (b) dikatakan hamba yang agak schizophrenic. Kalau orang lain tidak mengkonfirmasi keberadaan talentanya, ia tidak yakin talenta itu benar-benar ada. Kalau orang lain tidak mengakui talentanya, ia ragu. Orang semacam ini mungkin membawa talentanya ke hadapan orang lain kemudian bertanya, “Permisi tanya, kamu tahu tidak ini benar talenta saya?” Kalau orang lain mengkonfirmasi, ia lega, tapi hanya sebentar saja. Baru satu orang yang mengkonfirmasi ‘kan, belum seluruh dunia. Kalau orang mengatakan bahwa dia tidak memiliki talenta apa-apa, dia mengamini dengan sepenuh hati. Orang semacam ini mudah terombang-ambing tergantung pengaruh lingkungannya. Sewaktu mendengarkan khotbah bahwa setiap kita dipanggil untuk pelayanan yang mulia, ia penuh semangat dan berapi-api. Begitu selesai kebaktian, diejek teman, “Ah, kamu memang bisa apa?” apinya langsung padam.

Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa setiap dari kita pasti diberikan talenta dan talenta itu harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Orang dengan kalimat (b) perlu merenungkan bagian pertama; setiap dari kita sudah diberikan talenta. Orang dengan kalimat (a) perlu merenungkan bagian kedua; talenta harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. (Yang lainnya mungkin perlu merenungkan kedua bagian ini.)

Mungkin ada dari pembaca yang sekarang mengatakan, “Kalau semua orang dapat talenta, dan talenta itu toh pemberian Tuhan, bukan jasa manusia, jadi apa spesialnya kita?” Memang, kita tidak akan pernah jadi spesial dalam pengertian yang sesungguhnya sampai kita rela menyerahkan masalah spesial/tidak spesial ke dalam tangan Tuhan. Kalau yang Anda cari adalah bisa terbang—bisa melarikan diri dari ketakutan, kesedihan, kekuatiran; atau bisa menyembuhkan diri—dari luka batin misalnya; atau bisa mengetahui masa depan—paling tidak berhubungan dengan keputusan-keputusan penting dalam hidupku seorang, tidak usah seluruh dunia; Anda tidak akan mencapai spesialitas, keunikan yang Tuhan rencanakan bagi Anda. Masalahnya Tuhan dan dunia mempunyai definisi yang berbeda mengenai spesial.

Anda spesial waktu Anda memenuhi panggilan dan rencana Tuhan yang bukan saja unik tapi mulia. Anda spesial waktu Anda berjalan di dalam terang di tengah dunia yang gelap ini. Anda spesial karena Anda melayani Allah yang hidup. Anda spesial karena Anda adalah satu pribadi yang Allah ciptakan hanya sekali saja, dan Anda mencintai Tuhan dengan cinta, ekspresi, kesetiaan, pengabdian yang khas dari Anda dan tidak bisa ditiru oleh orang lain. Mari kita mohon ketaatan untuk rela dibentuk dan dipakai sebagai ciptaan Tuhan yang spesial, dan di akhir hidup, kita boleh berkata, “Yatta!” – bukan “I did it!” tapi “God did it!”

Tirza Juvina Rachmadi

Pemudi GRII Karawaci