“There are twenty bright, highly capable… women in the West Computing Group, and we’re proud to be doing our part for the country.”
Itu adalah sepenggal kalimat yang diucapkan oleh Katherine Johnson dalam film sejarah berjudul “Hidden Figures” (2016). Film ini mengisahkan tentang perjuangan Katherine Johnson bersama kedua rekannya dalam menyukseskan proyek untuk mengitari orbit bumi.[1] Tetapi perjuangan mereka terhambat oleh ras yang mereka miliki, yaitu keturunan berkulit hitam. Pada saat itu, lingkungan kerja di NASA masih membedakan warna kulit, seperti tugas menghitung[2] dikerjakan oleh wanita berkulit hitam. Posisi tempat duduk di bus juga dibedakan, hingga toilet pun dibedakan sesuai warna kulit. Walaupun sering mengalami ejekan dan hinaan rasial, mereka terus berusaha mencari jalan lain agar dapat berbagian di dalam proyek tersebut.
Singkat cerita, mereka bertiga berhasil menggapai impian masing-masing dengan menunjukkan prestasi dan kemampuan yang tidak kalah dengan orang kulit putih, khususnya Katherine Johnson yang paling berjasa di dalam menyukseskan proyek ini. Padahal ia adalah satu-satunya wanita yang berkulit hitam di tim inti dari proyek tersebut. Tetapi yang menarik adalah kesuksesan ini tidak membuat Katherine Johnson merasa jemawa. Ia tetap bekerja seperti biasa. Setiap dokumen yang ia buat tidak pernah hanya menuliskan nama dia saja, tetapi tetap menempatkan supervisornya sebagai yang pertama. Padahal dengan kontribusi dan kehebatannya, ia bisa memilih untuk mencoret nama supervisor itu karena dialah yang paling berkontribusi. Ia senantiasa rendah hati menjalankan tugas selanjutnya tanpa harus memosisikan diri lebih hebat daripada pria berkulit putih.
Bukankah hal ini bertolak belakang dengan zaman ini? Semua orang bersaing satu sama lain demi mengejar posisi nomor satu, memeras diri begitu dalam supaya dikenal dan diakui oleh banyak orang. Tidak hanya soal mengejar kekayaan ataupun jabatan tertentu, ada pula yang berjuang demi mendapatkan pengakuan dari orang lain. Di abad ke-21 ini, kita melihat gerakan feminisme yang begitu liar. Di mana-mana gerakan emansipasi wanita terus digaungkan. Baik berbagai posisi jabatan tertentu maupun proporsi jumlah karyawan harus diisi oleh wanita, seolah-olah ada stigma bahwa wanita lebih superior dibanding pria. Padahal mungkin sebagian pria tidak merasa perlu disaingi. Lebih buruk lagi, kita juga melihat gerakan LGBT yang makin gencar di mana-mana, seolah-olah memaksa masyarakat untuk menerima mereka. Kita hidup di zaman di mana semua merasa diri yang paling benar, tidak peduli dengan norma ataupun kebenaran di Alkitab yang seharusnya mereka taati. Lain halnya dengan film ini yang justru mendorong adanya perjuangan dengan cara yang elegan tanpa harus mendobrak relasi sosial dengan yang lainnya.
Lebih celakanya lagi, mental seperti demikian kita bawa juga ke dalam gereja. Melayani begitu rajin supaya dianggap sebagai orang Kristen yang baik. Ada pula yang berjuang begitu keras di dalam pelayanan supaya mendapat pengakuan dari rekan seiman. Tetapi ketika kerja keras kita tidak digubris, kita merasa sakit hati. Kita tidak rela perjuangan dan pengorbanan kita dibiarkan lewat begitu saja. Kita selalu ingin adanya orang lain yang harus mengakui kontribusi kita di dalam pelayanan. Jika hal ini tidak kita bereskan, sangat mungkin terjadi konflik dengan rekan sepelayanan. Semua hanya memikirkan perasaan masing-masing, tanpa melihat kepada Kerajaan Allah yang lebih besar. Coba bandingkan dengan pesan dari film tersebut. Walaupun pada awalnya perjuangan mereka tidak digubris karena faktor warna kulit, mereka tetap memperjuangkan hak mereka secara elegan, dengan kemampuan dan prestasi, bukan konflik.
Hal ini sebenarnya bukan barang baru di dalam kekristenan. Yesus Kristus sudah memberikan teladan yang jauh lebih sempurna dibanding film tersebut. Selama 3,5 tahun pelayanan-Nya di dunia, tidak pernah sekali pun Ia menunjukkan persaingan dengan orang lain. Walaupun Ia adalah Anak Allah, tidak pernah Ia menunjukkan kuasa atau mujizat supaya terlihat lebih hebat dibanding yang lain. Pelayanan-Nya selalu terkait dengan penggenapan nubuat di Perjanjian Lama, bukan untuk pamer kuasa.
Sebaliknya, Ia justru memberikan apresiasi kepada orang yang sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan. Misalnya, Yesus meminta setiap orang juga memperhatikan Yohanes Pembaptis yang adalah nabi yang telah dinubuatkan (Mat. 11:7-14). Ia juga memuji iman dari orang bukan Yahudi (Mat. 8:10). Lalu, Ia menerima setiap orang berdosa seperti pemungut cukai dan perempuan yang berzinah asal mereka mau bertobat di hadapan-Nya. Sama sekali tidak ada usaha dari Yesus Kristus untuk menyatakan diri lebih “rohani” dibanding yang lain.
Teladan seperti ini sudah dimulai sejak kelahiran-Nya di tengah-tengah dunia. Ketika Ia lahir sebagai Mesias yang dijanjikan itu, adakah para imam atau orang Farisi yang datang menyambut Dia? Sebagai Raja di atas segala raja, tidak ada sambutan meriah yang Ia dengar. Justru suara pertama yang didengar oleh bayi Yesus, selain suara orang tua-Nya, adalah suara kambing domba yang sedang berada di kandang. Para imam dan orang Farisi baru sadar ketika orang majus datang untuk mencari Sang Mesias (Mat. 2:1-6). Itu pun tetap tidak menggugah mereka untuk langsung menyaksikan sendiri kelahiran-Nya di Betlehem. Ia bahkan diincar oleh Raja Herodes untuk dibunuh karena takut tampuk kekuasaannya direbut oleh Yesus (Mat. 2:16).
Ia justru datang bagaikan seorang hidden figure yang tidak diperhatikan oleh banyak orang. Tetapi Ia datang sebagai harapan bagi orang-orang yang sudah Tuhan siapkan. Ada para gembala dari masyarakat kelas bawah yang menyambut kelahiran-Nya. Ada juga seorang yang saleh seperti Simeon. Di usianya yang sudah lanjut, ia beroleh kasih karunia dari Tuhan untuk melihat Sang Juruselamat (Luk. 2:25-32). Begitu pula kepada seorang nabi perempuan, Hana, yang juga menantikan kedatangan Mesias dan akhirnya tergenapi (Luk. 2:36-38). Inilah Sang Mesias yang telah lahir itu, tetapi hanya segelintir orang yang menyambut Dia.
Di tengah segala hiruk-pikuk dunia saat itu, orang Farisi yang sibuk mencari tanda, raja-raja dunia yang sibuk mempertahankan jabatan dan kuasanya, lahirlah seorang bayi yang adalah satu-satunya Juruselamat bagi dunia, seorang Mesias di balik layar yang akan menggenapkan keselamatan bagi umat-Nya. Kondisi dunia yang tidak menerima Dia tidak membuat Yesus seolah-olah harus menonjolkan diri. Ia terus berteriak agar semua orang bertobat dan melihat Kerajaan Allah sudah datang, melihat diri-Nya sebagai Mesias yang sudah dinubuatkan oleh para nabi, bukan sebagai manusia super yang lebih berkuasa dibanding yang lain.
Yesus dengan setia menggenapkan rencana keselamatan yang sudah dinubuatkan di Perjanjian Lama, bahkan sejak kelahiran-Nya. Tanpa sorak-sorai, tanpa puji-pujian dari dunia, Ia lahir sebagai seorang bayi mungil di tengah dunia berdosa. Seorang bayi yang nantinya membalikkan pergerakan sejarah dunia tanpa ada seorang pun yang menyadari. Pelayanan yang dikerjakan bukan untuk memamerkan kuasa, bukan pula demi pengakuan orang lain, melainkan demi menggenapkan seluruh kehendak Allah (Mat. 5:17-18). Yesus Kristus setia dan taat kepada Bapa dari sejak inkarnasi-Nya ke dunia sampai mati di kayu salib.
Kiranya melalui momen Natal ini kita mengingat kembali semangat pelayanan yang dihadirkan oleh-Nya. Pelayanan bukan menjadi ajang gengsi dengan rekan seiman yang lain, apalagi kita saling sikut-sikutan untuk menunjukkan siapa yang lebih baik. Setiap pelayanan adalah kesempatan yang Tuhan berikan untuk menggenapkan kehendak-Nya di bumi, seperti halnya Kristus sebagai Kepala Gereja yang telah memberikan teladan bagi umat-Nya. Ia melayani sebagai hidden figure yang menjalankan kehendak Allah tanpa perlu puji-pujian dari orang lain.
Faktanya, semangat pelayanan semacam demikian tidak mudah untuk dijalankan, apalagi kalau kita bicara soal konsistensi pelayanan. Sering kali kita hanya semangat di awal, tetapi setelah ada kesulitan dan minim apresiasi, kita cenderung untuk menyerah. Perlahan namun pasti, kita mulai mundur dari aktivitas pelayanan. Tetapi pandanglah kepada Kristus, mulai dari inkarnasi ke dunia sampai mati di kayu salib. Pernahkah Ia mengeluh karena merasa dicuekin, atau mendapat penolakan dari kaum sebangsa-Nya? (Mat. 13:57).
Alkitab sama sekali tidak pernah menuliskan keluh kesah Yesus karena diri-Nya sendiri. Ia justru menyatakan ketegasan bahwa Ia sungguh mengerti apa yang sedang dikerjakan-Nya. Di saat kelahiran-Nya, tidak ada satu pun imam, orang Farisi, ataupun ahli Taurat yang datang menyambut Dia, padahal mereka yang mengaku paling “mengerti” Kitab Suci. Tetapi justru berita kelahiran-Nya membawa harapan kepada mereka yang menanti kedatangan-Nya. Hal ini terus berlanjut di dalam pelayanan-Nya selama 3,5 tahun. Puncaknya ialah ketika Ia rela menerima cawan murka Allah agar umat Tuhan beroleh pengampunan dosa.
Jadi, apa lagi yang kita keluhkan? Jika Kristus saja melayani dengan semangat demikian, masakan kita terus melayani supaya dilihat sebagai orang “rohani” supaya semua orang tahu betapa besarnya kontribusi kita di dalam gereja? Mental seperti ini tentu tidak akan membawa kita kepada pertumbuhan rohani yang sehat. Kita justru makin jauh dari apa yang Kristus kerjakan. Walaupun harus diakui bahwa tidak mudah untuk mengatasi hal ini, tetapi kita harus memandang kepada Kristus. Ia sudah mati dan bangkit untuk membawa kita kepada hidup yang baru dan cara hidup yang baru, sehingga kita dimampukan untuk melayani seperti Kristus juga melayani. Kiranya momen Natal ini menjadi titik balik untuk menggairahkan kembali semangat pelayanan kita secara benar. Walaupun kita hanya sebagai hidden figures di tengah dunia dan gereja, Tuhan melihat apa yang kita lakukan bagi Kerajaan-Nya. Amin.
Trisfianto Prasetio
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Proyek ini disebut sebagai Space Task Force pada tahun 1958. Ini adalah proyek luar angkasa pertama bagi Amerika Serikat yang mengirimkan astronaut mengitari orbit bumi.
[2] Saat itu perhitungan matematis masih dilakukan secara manual, belum menerapkan sistem komputerisasi.