Hidup sebagai Remaja yang Diremehkan

Masa remaja adalah masa yang menyulitkan bagi banyak remaja. Remaja cenderung diremehkan oleh banyak orang yang lebih tua. Mereka dianggap anak-anak dan disepelekan. Akibatnya, remaja mengalami berbagai macam krisis. Tulisan ini bermaksud untuk memberikan dorongan dan arah kepada para remaja yang merasa diremehkan oleh dunia.

Remaja yang Diremehkan

Manusia remaja sebenarnya adalah manusia dewasa dan bukan kanak-kanak lagi. Remaja sebenarnya sudah memiliki kemampuan yang setara dengan orang dewasa.[1] Secara biologis, seorang remaja sudah siap untuk menikah dan memiliki keturunan. Secara hati nurani, remaja sudah mampu membedakan yang baik dan jahat. Secara kemampuan berpikir, remaja sudah mampu untuk berpikir abstrak. Secara kemampuan memilih, remaja sudah mampu mengambil keputusan. Dengan kata lain, remaja sudah mampu untuk mengemban tanggung jawab orang dewasa. 

Alkitab menggambarkan remaja sebagai orang dewasa.[2] Misalnya, ketika Yusuf disuruh pergi mengunjungi saudara-saudaranya di tempat yang jauh, ia pergi seorang diri meski ia masih adalah seorang remaja. Ketika Daud mengalahkan Goliat, ia juga masih adalah seorang remaja. Ketika Yeremia dipanggil menjadi nabi, ia masih adalah seorang remaja. Ketika Ester diangkat menjadi ratu, ia kemungkinan juga masih remaja. Ribka juga bekerja keras menimba air minum dan memberi minum semua unta-unta hamba Abraham ketika ia masih remaja.

Menggambarkan remaja sebagai orang dewasa, seperti yang Alkitab lakukan, bukanlah hal yang asing di dalam sejarah manusia. Sebelum awal abad ke-20, manusia tidak mengenal konsep remaja.[3] Manusia dahulu hanya dibagi menjadi dua kelompok: kanak-kanak dan orang dewasa, atau orang muda dan orang tua. Kata “remaja” dalam bahasa Inggris adalah teenager. Kata teenager merujuk kepada manusia berumur 13 (thirteen) sampai 19 (nineteen). Oxford English Dictionary mencatat bahwa kata “teenager” baru muncul pertama kali pada tahun 1913.[4] Sebelum itu, dunia berbahasa Inggris tidak memiliki kata untuk manusia remaja. Menurut seorang sejarawan, Friedrich Heer, masyarakat Eropa pada awal abad ke-20 tidak mengenal konsep “remaja”. Seseorang yang sudah mengalami pubertas langsung dianggap sebagai orang dewasa.[5] Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bila kita mendapati wanita yang bertunangan (betrothed) pada umur 12 tahun dan menikah pada umur 16 tahun. Hal ini lumrah karena mereka dianggap sudah dewasa dan karena itu siap menikah.

Tragisnya, hari ini remaja diperlakukan sebagai kanak-kanak oleh orang-orang dewasa.[6] Sering kali muncul komentar-komentar berikut: “anak remaja”, “ah, mereka hanya anak-anak”, “mereka masih anak kecil”, atau “they are good for nothing”. Selain komentar, kemanusiaan para remaja juga sering kali disabotase.[7] Orang dewasa cenderung mengambil alih tanggung jawab para remaja. Ketika para remaja menumpahkan minuman di lantai, bukannya meminta mereka untuk membersihkan tumpahan tersebut, orang dewasa malah langsung membersihkannya. Ketika para remaja bertanggung jawab untuk mencuci piring setelah makan, orang dewasa biasanya malah mencucikannya untuk mereka. Ketika para remaja memilih pasangan hidup, ada sebagian orang dewasa yang tidak mengarahkan dan membimbing mereka dalam memilih, tetapi langsung menghakimi dan mencibir pilihan mereka. Akibatnya, remaja takut untuk menceritakan pemikiran dan rahasia pribadi mereka kepada orang dewasa karena mereka takut disabotase. Remaja lebih nyaman untuk bercerita dengan teman sebayanya yang cenderung tidak menghakimi dan memberikan penerimaan. 

Selain itu, ada orang-orang dewasa yang suka membuat para remaja memiliki rasa bersalah (guilty feeling). Ketika orang dewasa memberikan “bantuan”, yang sesungguhnya tak dibutuhkan para remaja, dan mereka tidak menerima bantuan tersebut, ada orang dewasa yang kemudian berkata, “Kalian memang tidak tahu berterima kasih!” Hal ini membuat para remaja merasa bersalah karena merasa tidak berterima kasih. Padahal, pada dasarnya mereka tak pernah memerlukan “bantuan” tersebut.

Akibat diremehkan dan diperlakukan sebagai kanak-kanak, remaja mengalami dehumanisasi. Kemanusiaan mereka berkurang karena peran dan tanggung jawab mereka direnggut, pikiran mereka tidak dianggap, keputusan mereka tidak diperhitungkan, dan kematangan tubuh biologis mereka diabaikan. 

Apakah dampak dari dehumanisasi ini? Remaja mengalami kelumpuhan berpikir. Remaja sulit mengambil keputusan. Remaja dipenuhi keraguan terhadap diri sendiri. Remaja mempertanyakan identitas mereka sendiri. Alhasil, masa remaja adalah masa penuh gejolak (Hall: sturm und drang) dan tidak sedikit yang mengalami masalah kesehatan mental (mental health issues).

Peremehan remaja juga adalah salah satu faktor penting yang menyebabkan extended adolescence (masa remaja berkepanjangan).[8] Dahulu seseorang disebut remaja ketika mereka berumur 13-19 tahun. Namun, hari ini, para ahli mengusulkan konsep remaja yang diperpanjang: dari umur 10 tahun sampai 24 tahun.[9] Alasannya, manusia lebih cepat mengalami pubertas, tetapi memerlukan waktu yang lebih panjang untuk diperhitungkan sebagai orang dewasa secara masyarakat. Dengan kata lain, hari ini manusia mengalami perlambatan pertumbuhan menuju kedewasaan dibandingkan dengan zaman dahulu. Dalam sejarah, seseorang dianggap dewasa ketika mereka melewati masa transisi dari ketergantungan kepada kemandirian, baik secara rohani, psikologis, sosial, maupun ekonomi. Konkretnya, manusia dewasa adalah manusia yang sudah siap untuk menikah, beranak, dan menjadi orang tua (bdk. Kej. 2:24). Akan tetapi, hari ini kita mendapati banyak manusia yang bergantung kepada orang tuanya. Banyak manusia berumur 25 tahun, atau bahkan 35 tahun, masih tinggal di rumah bersama orang tua. Mereka tidak berani mengikat janji pernikahan dengan seseorang. Mereka enggan bertanggung jawab memiliki, mengasuh, dan mendidik anak. Mereka hanya ingin hidup bersenang-senang, masa bodoh dengan tanggung jawab. Singkatnya, mereka sudah dewasa, tetapi bersikap seperti kanak-kanak.

Remaja diperlakukan sebagai kanak-kanak (infantilized). Akibatnya, mereka terus bersikap seperti kanak-kanak. Lalu, bagaimanakah seharusnya seorang remaja hidup?

Hidup Sebagai Remaja yang Diremehkan

Peremehan remaja membuat masa remaja menjadi masa yang sulit. Namun, ada dua respons terhadap masa yang sulit ini: menyalahkan keadaan atau mengubah sikap. Remaja dapat menyalahkan orang-orang sekitar, masyarakat, media, kapitalisme, dan lain-lain. Namun, hal ini tidak akan mengubah apa-apa. Masyarakat telanjur seperti ini. Budaya peremehan remaja sudah terjadi hampir satu abad lamanya.[10] Apa yang salah sudah terlanjur dianggap benar. Jalan terbaik bagi kalian, para remaja, adalah untuk mengubah sikap kalian terhadap situasi yang ada.

Saya akan mencoba memberikan proposal bagaimana kamu dapat hidup sebagai remaja meski diremehkan. Tujuan proposal ini adalah supaya kamu, para remaja, dapat menjadi teladan meski dipandang sebelah mata oleh orang dewasa (1Tim. 4:12). Untuk mencapai tujuan tersebut, kamu perlu belajar menjadi dewasa secara rohani, psikologis, sosial, dan ekonomi.

Hal pertama yang paling penting bagi kamu, para remaja, adalah supaya kamu dilahirkan baru secara rohani. Kamu memang sudah dewasa dan karena itu mampu untuk menentukan arah hidup kamu sendiri. Akan tetapi, ke manakah hidup kamu akan menuju?

Tanpa kelahiran baru, engkau akan berjalan menuju kebinasaan. Sudahkah engkau dilahirkan baru? Tanpa kelahiran baru, engkau tidak akan melihat Kerajaan Allah (Yoh. 3:3). Kalau engkau tidak melihat Kerajaan Allah, engkau tidak akan masuk ke dalamnya. Dengan kata lain, engkau berada di dalam kerajaan setan dan kuasa kegelapan (Ef. 2:2; Kol. 1:13). Artinya, engkau sedang berjalan di dalam kegelapan dan akan tersandung (Ams. 4:19). Engkau yang fasik akan roboh dalam bencana (Ams. 24:16). Ketika hidupmu berakhir, engkau akan masuk ke dalam kematian kekal. Kamu akan mengalami ini semua karena Allah murka terhadap engkau. Allah akan memastikan supaya setiap musuh-musuh-Nya hancur, termasuk engkau (Ul. 32:35).

Kamu perlu dilahirkan baru supaya kamu berjalan menuju kehidupan kekal. Kabar buruknya, kamu yang telah berdosa telah kehilangan kehidupan kekal. Kamu perlu didamaikan dengan Allah yang murka terhadap kamu. Kabar baiknya, Allah memberikan Anak-Nya, Yesus Kristus, sebagai korban pendamaian. Hanya karena Yesus Kristus saja, pelanggaran kamu dapat diampuni dan hidup kamu diperbarui (Rm. 3:24-25). Jika kamu percaya kepada Yesus Kristus sebagai satu-satunya yang dapat mendamaikan kamu dengan Allah, kejahatan kamu akan diampuni (Rm. 4:6-8). Hidup kamu pun juga akan diperbarui oleh Roh Kudus. Kamu akan mendapatkan hati yang baru, hati yang menerima kasih dari Allah di dalam Yesus Kristus, hati yang mengasihi Allah dan sesama, hati yang berakar pada firman-Nya dan mau taat kepada perintah-Nya, dan hati yang memiliki pengharapan akan kehidupan kekal bersama Allah di dunia yang akan datang.

Untuk mendapatkan hidup yang baru, kamu harus percaya dan bersandar kepada Yesus Kristus. Sebab, Roh Kudus hanya diberikan bagi mereka yang percaya kepada Yesus Kristus. Dan hidup yang baru bukan kamu dapatkan dengan usaha kamu sendiri, melainkan berasal dari Roh Kudus saja (Yoh. 3:6).

Kedua, jika kamu sudah dilahirkan baru, kamu perlu mempelajari Alkitab dan menghidupinya supaya kamu makin mengenal Allah di dalam Kristus dan berjalan menuju kehidupan.

Orang yang sudah lahir baru pasti akan rindu mengenal Allah (1Yoh. 5:20). Hidup kekal ini adalah pengenalan akan Allah dan Yesus Kristus (Yoh. 17:3). Kita hanya dapat mengenal Allah melalui firman-Nya dengan pertolongan Roh Kudus. Ketika kita membaca Alkitab, kita sedang membaca firman-Nya. Ketika kita mendengarkan Alkitab dikhotbahkan di gereja dengan setia, kita sedang mendengarkan firman-Nya.

Hanya melalui firman-Nya, Allah mengajar kita siapa Dia dan apa yang Ia telah lakukan bagi kita yang berdosa. Hanya melalui firman-Nya juga, Allah mengajar kita apa yang kita harus lakukan supaya kita boleh kembali hidup bersekutu dengan Dia di dalam Anak-Nya, Yesus Kristus. Hanya melalui firman-Nya, Allah mengajar kita bagaimana harus hidup selama di dunia ini, baik secara pribadi maupun secara gerejawi. Di dalam dunia yang gelap ini, firman-Nya menjadi pelita bagi hidup kita (Mzm. 119:105). Hanya melalui firman-Nya, Allah mengajar kita bagaimana hidup sebagai seorang manusia, bagaimana membedakan hal-hal yang baik dan yang jahat (Rm. 12:2), bagaimana hidup sebagai pria dan sebagai wanita, bagaimana mencari pasangan hidup, bagaimana hidup sebagai anak, sebagai kakak atau adik, sebagai pelajar, sebagai teman, sebagai jemaat gereja, dan sebagai orang Kristen. Hanya dengan mempelajari Alkitab, kita tahu bagaimana hidup bersekutu dengan Allah di tengah pencobaan, tantangan, dan penderitaan yang merongrong kita di hidup ini. “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu” (Mzm. 119:9).

Ketiga, kamu perlu memiliki keyakinan (conviction) yang berasal dari firman Allah di dalam hati dan pikiranmu (Rm. 14:22-23). Ini adalah hal yang sangat penting bagi seorang remaja. Sebab, sehari-hari remaja mendapatkan tekanan yang besar dari keluarga, teman, masyarakat, dan media. Jika kamu tidak memiliki pendirian yang kuat, kamu akan dengan mudah digoyahkan ke sana ke mari. Dengan keyakinan yang berakar pada firman, kamu dapat berpikir dan mengambil keputusan dengan hati nurani yang bersih. Misalnya, kamu berpacaran dengan seorang yang saleh. Akan tetapi, karena perbedaan ras dan suku, orang tuamu tidak menyetujui hubungan tersebut. Jika kamu tidak memiliki fondasi yang kuat pada Injil, maka kehendak orang tuamu akan mengalahkan kehendakmu dan hubungan tersebut akan bubar. Padahal, menurut Injil, di dalam Kristus tidak ada lagi perbedaan ras (Kol. 3:11). Lagi pula, jika kamu mempelajari firman Tuhan, kamu akan menyadari bahwa perjanjian pernikahan (marriage covenant) hanya didasarkan pada kesepakatan calon suami dan calon istri saja, tanpa campur tangan orang tua (Kej. 24:57-58; Bil. 36:6). Hanya dengan panduan firman Allah dan dengan pertolongan Roh Kudus, kamu dapat menjalani hidup beriman dengan hati nurani yang bersih. Sebab, kamu sendiri tahu bahwa Allah berkenan terhadap keputusanmu. Sebaliknya, jika kamu tidak memiliki keyakinan, kamu akan selalu bimbang di dalam hidup dan berdosa karenanya (Rm. 14:23; Ef. 4:14).

Keempat, kamu perlu membiasakan diri mengambil dan melaksanakan tanggung jawabmu (Luk. 16:10). Jangan lari dari tanggung jawab yang diberikan kepada kamu (Ams. 22:13). Artinya, ketika kamu harus mengerjakan pekerjaan rumah (PR), kerjakanlah sendiri dan tidak membiarkan guru les mengerjakannya untuk kamu karena PR adalah tanggung jawabmu. Ketika kamu selesai makan, cucilah piringmu sendiri dan jangan biarkan orang lain mencucikannya untuk kamu. Ketika kamu tidak mengerti sebuah pelajaran, kamu perlu berjuang untuk mengerti, bukan belajar sekadar untuk ulangan atau kabur dari tanggung jawab dengan bermain games.

Kamu tidak sedang didorong untuk bersikap individualistis, yang mencoba mencukupi kebutuhan sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Orang seperti itu adalah orang yang sombong. Sebab, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial (Kej. 2:18; Pkh. 4:9). Manusia perlu membantu orang lain dan manusia memerlukan bantuan orang lain (Pkh. 4:10). Akan tetapi, memerlukan bantuan berbeda dari meminta orang lain mengerjakan tanggung jawabmu. Ketika seseorang memerlukan bantuan, orang tersebut tidak mampu untuk mengerjakan tanggung jawab mereka. Orang ini mau untuk mengerjakannya, tetapi tidak mampu. Sebaliknya, orang yang lari dari tanggung jawab adalah orang yang tidak mau mengerjakan tanggung jawab mereka. Mereka bahkan tidak mencoba melakukannya. Mereka hanya menantikan orang lain melakukannya untuk mereka. Jadi, misalnya, jika kamu tidak dapat mengerti suatu pelajaran meski sudah berusaha sendiri, kamu perlu bertanya kepada orang lain yang mengertinya. Beda halnya dengan mereka yang memang tidak memiliki niat untuk mengerti. Mereka akan bertanya kepada orang lain sekadar untuk lulus ujian.

Kelima, kamu perlu membantu orang lain yang membutuhkan. Satu Korintus 10:24 berkata, “Janganlah seorang pun mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain.” Selain kamu berusaha mengerjakan tanggung jawabmu sendiri, kamu juga perlu melatih kepedulian terhadap orang lain. Paulus mengatakan bahwa kasih tidak mencari keuntungan sendiri (1Kor. 13:5). Di Galatia, Paulus juga mengatakan bahwa kasih ini adalah buah Roh (Gal. 5:22-23). Kamu perlu berlatih mengasihi orang lain. Ketika ibumu perlu bantuan untuk belanja di pasar, tolonglah ibumu. Ketika temanmu memerlukan bantuan untuk mengerjakan PR, bantulah mereka. Ketika ada jemaat yang sakit, doakan dan kunjungilah mereka jika memungkinkan.

Keenam, kamu perlu belajar kemampuan hidup dasar seperti mencuci piring, menyetrika baju, memasak, mengemudikan motor, naik transportasi umum, menjahit baju, memakai dasi, pergi ke pasar, dan sebagainya. Ini adalah hal-hal yang diharapkan dari seorang dewasa hari ini. Oleh sebab itu, supaya kamu tidak diremehkan karena tidak mampu melakukan hal-hal ini, maka kamu perlu mulai mempelajarinya. Kamu tidak perlu menjadi mahir. Kamu hanya perlu melakukannya dengan cukup baik saja.

Ketujuh, kamu perlu bergaul dengan orang yang lebih tua, terutama mereka yang adalah orang percaya (bdk. 1Ptr. 5:5). Mereka sudah menapaki jalan yang kamu belum lalui. Kamu dapat belajar dari apa yang mereka telah alami supaya kamu tidak melakukan kesalahan yang sama (Ams. 12:15). Kamu juga dapat belajar dari kebijaksanaan yang mereka dapatkan dalam hidup. Kamu juga perlu mendengarkan cerita-cerita mereka supaya kamu tahu tantangan apa yang juga mungkin kamu hadapi di kemudian hari. 

Kedelapan, jadilah seorang yang bekerja dan berpenghasilan. Mengapa ini penting? Karena banyak keputusan hidup kita memerlukan uang. Kemandirian secara ekonomi akan membuka ruang bagi kamu untuk memiliki kemandirian secara sosial, yakni memiliki keluarga sendiri. Sebaliknya, ketidakmampuan finansial akan menyebabkan kamu terus bergantung kepada orang tua.[11] Akibatnya, kamu tidak dapat mewujudkan kedewasaanmu, yakni berpikir sendiri dan mengambil keputusan secara mandiri. Uang memang bukan segala-galanya dan hidup kita tidak boleh tergantung padanya. Akan tetapi Paulus sendiri pun mengiyakan bahwa hidup perlu uang, setidaknya untuk makan (2Tes. 3:10) dan menolong orang susah (Ef. 4:28). Secara praktis, kamu dapat mencari pekerjaan paruh waktu di luar rumah atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Misalnya, kamu dapat menawarkan ayahmu untuk mencuci motornya dan mendapat bayaran karenanya. Dengan demikian, kamu tidak lagi mendapat uang jajan secara cuma-cuma, tetapi kamu bekerja untuk mendapatkannya.

Kesembilan, persiapkanlah diri untuk berkeluarga. Berkeluarga memerlukan kesiapan rohani, pikiran, kehendak, karakter, kemampuan hidup dasar, dan ekonomi. Sebab, ketika berkeluarga, kamu akan mempersiapkan generasi berikut. Kamu perlu berpikir baik-baik dalam mencari pasangan hidup. Kamu mungkin akan salah berpacaran, tetapi tidak apa-apa. Sebab, hal tersebut ada di dalam pemeliharaan Allah (Rm. 8:28), dan kamu dapat belajar dari kesalahan tersebut. Lalu, janganlah menunda pernikahan karena alasan egois. Terakhir, persiapkanlah dirimu untuk mendidik generasi berikut.

Kesepuluh, pergunakanlah waktu lajang dengan baik untuk memperlengkapi diri. Sebelum bekerja penuh waktu dan menikah, kamu memiliki banyak waktu untuk belajar dan bereksplorasi. Pergunakanlah dengan baik untuk memperluas wawasan, pengetahuan, pergaulan, dan pengalaman. Pergilah melihat alam, menjelajahi gunung, hutan, pantai, dan laut. Jangan membuang-buang waktu berkutat di dalam dunia maya dan media sosial yang tidak nyata.

Akhir kata, remaja adalah masa transisi meninggalkan ayah dan ibu (Kej. 2:24; Mzm. 45:10). Oleh sebab itu, sudah sepantasnya kalian hidup selaras dengan fakta tersebut. Artinya, kamu harus mengurangi ketergantunganmu kepada orang tua dan mulai belajar hidup mandiri secara rohani, psikologis, sosial, dan ekonomi. Ketika kamu hidup di dalam jalan Tuhan seperti ini, hidupmu mungkin justru akan menjadi makin sulit. Sebab, jika kamu, para remaja, sungguh-sungguh hidup seperti orang dewasa dan bukan seperti kanak-kanak, akan ada berbagai pihak yang merasa dirugikan atau tidak senang.[12] Mereka mungkin akan makin meremehkan kamu. Namun, kamu tidak perlu takut jika kamu berjalan di jalan Kristus karena anugerah Yesus Kristus, kasih dari Allah, dan kekuatan serta pertolongan Roh Kudus menyertai kamu semua yang beriman. Amin.

Hans Tunggajaya

Mahasiswa STT Reformed Injili Internasional

Endnotes:

[1] Paul G. Kelly, “A Theology of Youth,” Journal of Baptist Theology & Ministry 13, no. 1 (2016): 5.

[2] Ibid., 6-12.

[3] Alex Harris and Brett Harris, Melakukan Hal-Hal Sulit (Surabaya, Indonesia: Momentum, 2013), 24. 

[4] “Teenager, n.,” OED Online (Oxford University Press, June 2022), accessed June 21, 2022, https://www.oed.com/view/Entry/198559.

[5] Harris and Harris, Melakukan Hal-Hal Sulit, 24.

[6] Ibid., 26.

[7] “What Is Narcissistic Infantilization?” Psych Central, last modified March 29, 2022, accessed June 21, 2022, https://psychcentral.com/disorders/why-narcissistic-parents-infantilize-their-adult-children.

[8] Carolyn Brown, “Childhood v. Adulthood: Why Robert Epstein Says We Infantilize Our Youth,” YouthWorker, July 19, 2012, accessed June 25, 2022, https://www.youthworker.com/childhood-v-adulthood-why-robert-epstein-says-we-infantilize-our-youth/.

[9] Susan M. Sawyer et al., “The Age of Adolescence,” The Lancet Child & Adolescent Health 2, no. 3 (March 2018): 223–228.

[10] Harris and Harris, Melakukan Hal-Hal Sulit, 27-28.

[11] Thomas Hine, The Rise and Fall of the American Teenager, 1st ed., An Avon book (New York: Bard, 1999), 7.

[12] “Infantilization: Understand the Causes, Signs and Dangers,” E-Counseling.Com, last modified June 16, 2022, accessed June 22, 2022, https://www.e-counseling.com/articles/causes-and-symptoms-of-infantilization/.