Produktivitas adalah topik yang marak dibicarakan hari ini. Begitu banyak artikel dan buku ditulis untuk menolong kita hidup produktif.[1] Produktivitas biasanya dikaitkan dengan kuantitas yang dihasilkan dalam satu kurun waktu tertentu. Makin banyak yang dihasilkan, makin produktif seseorang.
Sebagian orang menyamakan hidup yang sibuk dengan bentuk hidup yang produktif. Akan tetapi, kesibukan sebenarnya juga dapat menjadi kedok untuk menutupi kemalasan kita. Ada orang yang malas mengerjakan tanggung jawab utamanya dan memilih untuk menjadi orang yang sibuk mengurusi hal-hal yang tidak penting. Orang seperti ini adalah orang yang perhatian hidupnya teralihkan ke berbagai macam hal. Di dalam 1Tim. 5:13, Paulus mendeskripsikan wanita pemalas yang busybody, yakni wanita yang suka sibuk ikut campur urusan orang lain. Orang yang demikian adalah orang yang sibuk, tetapi tidak menghasilkan apa-apa.
Di sisi lain, kita juga mendapati orang yang memang tidak produktif, yaitu orang yang malas melakukan segala sesuatu. Amsal banyak berbicara mengenai orang seperti ini. Pertama, orang yang malas adalah orang yang suka tidur. “Seperti pintu berputar pada engselnya, demikianlah si pemalas di tempat tidurnya” (Ams. 26:14). Kedua, orang yang malas adalah orang yang enggan menyelesaikan apa yang ia sudah mulai. “Si pemalas mencelupkan tangannya ke dalam pinggan, tetapi ia terlalu lelah untuk mengembalikannya ke mulutnya” (Ams. 26:15). Ketiga, orang yang malas adalah orang yang penuh dengan dalih (excuse). “Si pemalas menganggap dirinya lebih bijak dari pada tujuh orang yang menjawab dengan bijaksana” (Ams. 26:16). Terakhir, orang yang malas adalah orang yang kabur dari kesusahan. “Pada musim dingin si pemalas tidak membajak; jikalau ia mencari pada musim menuai, maka tidak ada apa-apa” (Ams. 20:4).
Jadi, kita mendapati bahwa di satu sisi, orang yang malas hidupnya pasti tidak produktif. Namun di sisi lain, orang yang sibuk dan bekerja keras pun belum tentu produktif. Jadi, produktivitas bukanlah terutama mengenai banyak sedikitnya usaha kita.
Produktivitas juga bukan mengenai cara (how) kita mengerjakan sesuatu. Produktivitas tidak dapat direduksi menjadi sekadar teknik belaka, misalnya Pomodoro® Technique. Teknik tidak dapat mendefinisikan hidup karena “teknik” bersifat mekanis. Teknik adalah bahasa untuk mesin, input-process-output, sedangkan manusia bukanlah mesin.
Dari pembahasan singkat narasi penciptaan manusia ini, penulis ingin menawarkan arti “hidup yang produktif” sebagai berikut: Hidup yang produktif adalah hidup yang menjalankan panggilan melayani sesama kita dengan talenta kita dan demi kemuliaan Allah.
Untuk mengerti produktivitas dengan benar, kita perlu kembali ke pengertian dasar. Di awal kita menyebutkan bahwa produktivitas adalah mengenai banyak sedikitnya hasil dari usaha kita. Pertanyaan yang seharusnya kita tanyakan adalah: “Siapakah yang menilai hasil tersebut?” Orang Kristen tahu bahwa Tuhanlah yang menilai perbuatan kita (Yoh. 15:1). Alkitab juga mengajarkan bahwa Ia juga yang mencari buah dari hidup manusia (Mat. 21:43). Oleh sebab itu, marilah kita kembali ke Alkitab untuk mengerti hidup yang produktif menurut kacamata Allah.
Mari kita melihat kisah penciptaan manusia di Kejadian 1:26-30 dan 2:18-23. Pertama, Allah adalah Pencipta manusia (1:26). Artinya, Allah adalah pemilik hidup manusia. Dari sini ada sedikitnya dua implikasi. Pertama, Allah sajalah yang dapat mendefinisikan hidup manusia. Kedua, tujuan hidup manusia adalah untuk Allah. Kemudian, manusia diciptakan sebagai makhluk sosial (1:27; 2:18-23). Setiap manusia tidak pernah diciptakan hanya untuk dirinya sendiri saja. Kita dapat mendapati petunjuk ini dari penciptaan wanita. Wanita diciptakan sebagai penolong pria yang sepadan dalam menghidupi panggilan Allah (2:18). Jadi, setidak-tidaknya, panggilan Allah perlu dilakukan secara komunal. Ketiga, Allah memanggil manusia untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diberikan Allah (1:28). Artinya, hasil yang Allah tuntut adalah hasil dari usaha kita menjalankan tugas yang diberikan-Nya kepada kita. Terakhir, Allah memberikan pemberian dan bekal untuk manusia dapat hidup (1:29-30).
Dari pembahasan singkat narasi penciptaan manusia ini, penulis ingin menawarkan arti “hidup yang produktif” sebagai berikut: Hidup yang produktif adalah hidup yang menjalankan panggilan melayani sesama kita dengan talenta kita dan demi kemuliaan Allah. Kita akan menjabarkan konsep “hidup yang produktif” dalam tiga poin: 1) menjalankan panggilan melayani sesama, 2) dengan talenta kita, 3) demi kemuliaan Allah.
Pertama, hidup yang produktif adalah hidup yang menjalankan panggilan melayani sesama kita. Panggilan bukanlah cita-cita kita, bukan mengejar mimpi dan keinginan diri (passion) kita, dan juga bukan sesuatu yang berada di masa depan. Panggilan kita adalah melayani sesama kita, di sini dan sekarang (here and now). Jangan seorang pun mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain (1Kor. 10:24). Barang siapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya (1Yoh. 3:17)? Produktivitas berbicara mengenai hasil. Hasil apakah yang mungkin keluar dari usaha kita melayani sesama kita?
Hasil yang pertama dan terutama adalah keuntungan bagi orang lain. Ketika kita menjalankan panggilan melayani sesama kita, fokus kita adalah pada keuntungan bagi orang lain dan bukan pada diri. Apakah pekerjaan kita atau perusahaan tempat kita bekerja memberikan manfaat atau keuntungan bagi pelanggan, klien, dan masyarakat luas? Jika perusahaan tempat kita bekerja terkenal sebagai polutan lingkungan yang hebat, lintah darat, pengeksploitasi tenaga kerja, kurir online, dan lingkungan, bagaimanakah mungkin kita dapat berkata saya bekerja untuk melayani orang lain? Sebagai contoh, seorang kurir online Kristen yang setia berjerih lelah 12 jam sehari dan 6 hari seminggu demi mengirimkan puluhan paket pelanggan dan hanya mendapatkan upah kotor Rp2.000,00 per paket, lebih melayani sesama, daripada seorang Kristen bergaji Rp200.000.000,00 per bulan, yang bekerja sebagai direktur perusahaan e-commerce, yang melayani jutaan pelanggan, tetapi menggunakan media untuk membuat masyarakat bersikap konsumtif dan menolak memperhatikan kesejahteraan serta kemanusiaan tenaga kerja dan kurirnya. Jika saya menjadi petinggi perusahan tersebut, bukankah lebih tepat jika dikatakan bahwa saya bekerja membantu perusahaan saya mengeksploitasi dan merusak banyak orang? Lalu, jika karier kita menyedot seluruh waktu kita sehingga kita menelantarkan pasangan dan anak, serta membuat kita meninggalkan persekutuan dengan orang-orang kudus, untuk siapakah sebenarnya kita bekerja? Untuk kemuliaan diri atau untuk orang lain?
Hasil yang kedua dari melayani sesama kita adalah kerugian bagi diri. Di dalam Alkitab, hidup melayani bukan dilakukan dengan pertama-tama menaiki tangga pencapaian dan kemuliaan menurut dunia, dan baru kemudian melayani sesama ketika sudah menjadi “besar”. Hidup melayani bukan dilakukan dengan cara menghabiskan 30 tahun waktu hidup kita untuk mengejar pencapaian karier sebagai direktur bergaji besar di perusahaan ternama, dan kemudian menghabiskan 30 tahun berikutnya untuk “melayani” di gereja. Ini adalah cara kafir menurut Yesus (Mat. 20:25). Cara Kristen adalah menjadi hamba setiap saat, meneladani Yesus Kristus yang juga menjadi hamba (Mat. 20:26-28). Secara konsisten Alkitab menggambarkan menjadi hamba sebagai jalan penderitaan. Seperti Yesus yang memberikan tubuh-Nya untuk dipecah-pecahkan demi orang lain, demikian juga kita memberikan diri kita untuk dipecah-pecahkan demi orang lain, ketika kita melayani orang lain. Jangan salah sangka, meski Yesus Kristus menjadi hamba seumur hidup-Nya, Ia pun sempat menjadi terkenal dan banyak orang mengikut Dia (Luk. 12:1). Menjadi hamba mungkin juga membawa kemuliaan menurut dunia. Namun, hal ini hanyalah bonus dari Tuhan.
Ia datang ke bumi untuk hidup selama 33,5 tahun saja. Hidup-Nya begitu singkat, tetapi hidup-Nya begitu produktif. Sebab hidup-Nya adalah hidup yang seturut dengan kehendak Bapa-Nya.
Mengapakah seorang Kristen mau merugikan diri demi menguntungkan orang lain? Pertama-tama, karena kita sudah menerima kasih dan belas kasih Allah di dalam Yesus Kristus terlebih dahulu. Kasih yang sudah kita terima seharusnya menjadi modal bagi kita untuk memberikan kasih kepada orang lain (1Yoh. 4:7-8). Kedua, Roh Kudus telah memperbarui hidup kita sehingga kita tidak lagi hidup untuk diri, tetapi untuk orang lain (Flp. 2:1-8). Ketiga, ketika kita rugi karena melayani orang lain, justru kita akan mendapatkan sukacita (1Ptr. 4:13), dan pemeliharaan dari Allah sendiri (Flp. 4:19).
Berikutnya, panggilan bersifat “sekarang” dan bukan “nanti”. Misalnya, seorang laki-laki yang sekarang sedangmenikah tidak boleh memutuskan untuk menceraikan istrinya dengan alasan, “Saya tidak punya panggilan menikah.” Atau, wanita yang sekarang sedang menikah dan memiliki anak tidak boleh memutuskan untuk menceraikan suaminya dengan alasan, “Saya tidak punya panggilan menjadi orang tua.” Karena panggilan bersifat sekarang, artinya jika sekarang saya sedang menikah, panggilan saya adalah menjadi suami yang mengasihi istri dengan pengorbanan (Ef. 5:25) atau istri yang tunduk kepada suami (Ef. 5:22). Jika sekarang saya sudah menikah dan memiliki anak, panggilan saya adalah melayani anak dengan menjadi orang tua yang mendidik anak di dalam Tuhan (Ef. 6:4). Kemudian, panggilan bukan hanya bersifat “sekarang”, tetapi juga bersifat “di sini”. Artinya, di mana pun kita ditempatkan, di sanalah panggilan kita. Singkatnya, panggilan adalah peran pelayanan kita. Di dalam keluarga, kita berperan melayani sebagai suami, istri, anak, kakak, dan/atau adik. Di lingkungan rumah kita, kita berperan melayani sebagai tetangga. Di gereja, kita berperan melayani sebagai sesama anggota tubuh Kristus, jemaat, diaken, penatua, dan sebagainya. Di sekolah, kita berperan melayani sebagai murid. Di tempat kerja, kita berperan melayani sebagai pekerja, bawahan, atau atasan. Di dalam negara, kita berperan melayani sebagai warga negara. Di dalam dunia ini, kita berperan melayani sebagai sesama manusia dan sebagai saksi Kristus. Di mana pun kita ditempatkan, kita memiliki peran pelayanan tersendiri. Setiap orang memiliki berbagai peran (roles) dalam hidup dan setiap peran memiliki tanggung jawab (responsibilities) pelayanan terkait. Panggilan kita di dalam hidup ini adalah untuk bertanggung jawab atas setiap peran yang Allah berikan kepada kita (1Kor. 7:17). Bagaimana kita mengetahui tanggung jawab dari suatu peran? Kita dapat membaca Alkitab. Misalnya, tanggung jawab sebagai tuan dan hamba (Kol. 4:1), sebagai orang Kristen (1Tes. 4:3-7), sebagai gereja (Rm. 12:1-15:13), dan sebagainya.
Patut diperhatikan bahwa panggilan dalam hidup kita bersifat dinamis. Artinya, panggilan dapat berubah seiring waktu. Peran kita dapat berkurang atau bertambah seiring waktu. Ketika orang tua kita meninggal, kita berhenti berperan sebagai anak. Ketika kita menikah, kita menambah peran sebagai suami atau istri.
Selain itu, kita perlu memprioritaskan (bukan meniadakan) satu panggilan di atas panggilan lain. Sebab manusia adalah makhluk waktu. Waktu membatasi kita dalam menjalankan semua panggilan kita. Setiap orang hanya memiliki 24 jam dalam satu hari dan 168 jam dalam satu minggu. Jadi kita perlu memprioritaskan panggilan kita. Bagaimanakah caranya? Tidak ada formula yang baku! Sebagai orang Kristen, kita perlu hidup dengan iman dan pimpinan Roh Kudus dan firman-Nya (Gal. 5:25). Kita perlu hidup fokus menjalankan tanggung jawab dari masing-masing peran kita. Jangan sampai kita menjalankan yang satu dan mengabaikan yang lain. Oleh sebab itu, penting untuk kita menyusun jadwal kita menurut peran dan tanggung jawab utama kita. Kita dapat melihat dua contoh di dalam Alkitab. Pertama, dalam Kisah Para Rasul 6:1-4, kedua belas rasul menyadari pentingnya memenuhi kebutuhan diakonia janda-janda, tetapi mereka memilih untuk berfokus kepada pelayanan firman dan doa. Sebab kedua hal ini adalah tanggung jawab utama mereka sebagai rasul, sedangkan hal diakonia adalah tanggung jawab utama para diaken, dan karena itu dapat diserahkan kepada mereka. Tentu bukan berarti para rasul sama sekali mengabaikan pelayanan belas kasih. Namun di sini kita berbicara mengenai fokus dan tanggung jawab utama dari jabatan rasul. Kedua, dalam Ayub 2:11-13, tiga teman Ayub diberi kepekaan untuk datang dari tempatnya masing-masing untuk menghibur Ayub. Mereka melihat penderitaan Ayub yang begitu berat sebagai momen yang tak dapat dilewatkan. Oleh sebab itu, mereka meninggalkan keluarga, rumah, dan pekerjaan mereka untuk menemui Ayub dan berdiam diri menemaninya dalam kesakitan. Kisah ini menunjukkan bahwa apa yang “penting” dapat berubah seiring waktu. Oleh karena itu, kita perlu meminta kepekaan dan kebijaksanaan dari Roh Kudus dalam menjalankan berbagai peran kita.
Kedua, kita perlu menjalankan panggilan melayani sesama kita dengan talenta yang diberikan Tuhan kepada kita. Talenta yang dimaksud di sini adalah talenta yang dimaksud di Matius 25:14-30. Talenta dalam perikop tersebut tidak merujuk kepada bakat alami saja, tetapi kepada apa pun yang Allah berikan kepada kita: bakat alami, karunia Roh, jabatan, sarana, waktu, kemampuan, kekuatan, dan kesempatan.[2] Tuhanlah yang empunya talenta. Jika kita terpanggil untuk menjalankan peran tertentu yang asing bagi kita, kita dapat memohon talenta dari Bapa kita di sorga (Luk. 11:9; bdk. Kel. 4:11).
Patut diperhatikan bahwa panggilan dalam hidup kita bersifat dinamis. Artinya, panggilan dapat berubah seiring waktu. Peran kita dapat berkurang atau bertambah seiring waktu.
Setiap kebutuhan di gereja adalah talenta yang dipercayakan kepada kita. Jika kita mendapati seorang saudara seiman yang bergumul dengan keinginan bunuh diri, mari kita melayani dia. Memang orang seperti ini butuh konseling dengan konselor Kristen yang profesional. Namun, pertemuan dengan konselor paling lama hanya dua jam seminggu. Di luar waktu tersebut, siapa yang seharusnya menemani orang tersebut? Saudara seiman di gereja. Kita, orang awam, memang tidak memiliki keahlian konseling secara profesional. Namun kita juga diberikan tanggung jawab untuk menasihati satu sama lain (Ibr. 3:13). Tentu, kita tidak boleh menasihati sembarangan dan perlu belajar menasihati supaya kita tidak menjadi penghibur sialan seperti teman-teman Ayub.
Terakhir, kita menjalankan panggilan kita bukan hanya untuk keuntungan sesama kita, tetapi kita perlu melakukannya untuk kemuliaan Allah sendiri (1Kor. 10:31). Allah dimuliakan ketika kita melakukan apa yang menjadi perintah-perintah-Nya (Mi. 6:8). Tuhan Yesus sendiri mengajarkan kita untuk berbuat belas kasih kepada satu sama lain karena Dia memperhitungkan perbuatan belas kasih kepada murid-Nya sebagai perbuatan belas kasih kepada diri-Nya sendiri (Mat. 25:31-46).
Marilah kita hidup tidak mengikuti gagasan produktivitas menurut dunia, tetapi menurut Allah. Janganlah kita hidup dipenuhi dengan berbagai kesibukan yang sia-sia, hidup sibuk untuk diri, hidup berfokus pada diri, hidup mengaktualisasikan potensi diri. Sebaliknya, marilah kita menjadi pelayan sesama yang memberikan berkat bagi sesama kita dan menyenangkan Allah melalui karya tangan kita.
Sebagai penutup, mari kita mengingat hidup Tuhan kita Yesus Kristus. Ia datang ke bumi untuk hidup selama 33,5 tahun saja. Hidup-Nya begitu singkat, tetapi hidup-Nya begitu produktif. Sebab hidup-Nya adalah hidup yang seturut dengan kehendak Bapa-Nya (Yoh. 10:37-38). Ia melayani orang lain dengan memberikan diri-Nya sendiri sebagai tebusan bagi orang-orang berdosa (Mat. 20:28) dan dengan demikian memuliakan Bapa-Nya di sorga (Yoh. 13:31-32). Ia datang untuk memberikan kita pengampunan dosa dan hidup yang baru, yakni hidup yang tidak lagi melayani diri sendiri, tetapi melayani orang lain. Oleh sebab itu, marilah kita datang kepada Yesus Kristus untuk menerima hidup yang baru tersebut, hidup yang sungguh-sungguh produktif. Amin.
Hans Tunggajaya Mahasiswa STT Reformed Injili Internasional
[1] AdminBeruang, “15+ Rekomendasi Buku Terbaik tentang Produktivitas,” Kisah Beruang, April 20, 2021, accessed on July 8, 2022, https://kisahberuang.com/rekomendasi-buku-terbaik-tentang-produktivitas/.
[2] John Calvin, Commentary on a Harmony of the Evangelists Matthew, Mark, and Luke, trans. John Pringle, vol. 2 (Bellingham, WA: Logos Bible Software, 2010), 442.