an open book with a bunch of holes in it

Hosea: On Love

Penulis novel terkenal bernama Leo Tolstoy mengatakan, “Adultery is not only the favourite, but almost the only theme of all the novels.”(Perzinahan bukan saja merupakan yang favorit, tetapi hampir satu-satunya tema dari semua novel.) Kalimat ini dicetuskan oleh Tolstoy yang hidup di abad ke-19 (1829-1910). Abad ke-19 adalah abadnya filsafat Romantisisme. Filsafat ini bangkit sebagai perlawanan terhadap filsafat Modernisme yang sangat kaku dan rasional dalam segala hal, termasuk dalam urusan cinta. Konsep-konsep mengenai cara dunia mencintai yang kita pahami pada masa kini tidak bisa terlepas dari produksi pemikiran Romantisisme. Bisa dikatakan, kita sangat dipengaruhi cara berpikir Romantisisme dalam pandangan-pandangan kita mengenai cinta. Misalnya istilah “happily married” baru ada pada abad ke-19. Padahal pada masa sebelum itu pemikiran ini hampir tidak ada. Nah, jadi bagaimana kalau ada pasangan yang tidak “happily married”? Maka tidak heran pada abad ke-19 perzinahan menjadi tragedi yang besar dan menjadi tema utama dari seluruh literatur. Novel-novel terbesar pada abad itu adalah novel mengenai perzinahan seperti Anna Karenina (1899), The Kreutzer Sonata (1981), dan Madame Bovary (1856).

Berbicara lebih dalam lagi seputar hasil pemikiran Romantisisme tentang cinta, orang-orang pengikut Romantisisme percaya bahwa jika mereka telah menemukan cinta sejati, mereka tidak akan pernah lagi mengalami kesepian, serta akan bahagia selamanya. Mereka mengatakan bahwa cinta itu harus dilandaskan pada insting atau feeling, cinta dan seks melekat satu dengan yang lain, bahkan seks dianggap sebagai bukti ultimat dari cinta. Tidak heran jikalau pada zaman ini seks bebas makin merajalela. Hal ini bertolak belakang dengan pemikiran pada zaman-zaman sebelumnya, yaitu seks dan cinta tidak selalu harus terkait satu dengan yang lain. Pada zaman rasional dan zaman-zaman sebelumnya lagi (sebut saja tradisional), orang menikah dan berhubungan seks tidak selalu didasarkan atas cinta, melainkan karena alasan-alasan rasional atau tradisional. Ada yang melakukannya karena alasan kerajaan (putri dari kerajaan “A” dinikahkan dengan pangeran dari kerajaan “B” demi perdamaian atau perdagangan), karena relasi orang tua, kesamaan agama atau suku, bahkan hanya karena tanah dua keluarga petani bersebelahan sehingga mereka menikahkan anaknya agar pertanian dapat berkembang. Tetapi sejak zaman Romantisisme, para filsuf dan penulis novel membentuk pola pikir agar masyarakat percaya bahwa setiap orang memiliki “soulmate” dan setiap orang bebas mengekspresikan perasaan cintanya di luar alasan-alasan dan tradisi-tradisi rasional sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

Kita yang hidup pada zaman ini juga adalah pewaris dari pemikiran Romantisisme. Kita tidak bisa melarikan diri dari pengaruhnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bersentuhan dengan berbagai karya seni atau sastra. Sebagaimana novel-novel menjadi media yang memengaruhi budaya di abad ke-19, film (sinetron, telenovela, drama Korea, film Hollywood), klip-klip singkat di YouTube, dan media-media audiovisual lainnya juga sedang membentuk konsep cinta kita. Karya sastra yang dunia sedang tawarkan tetap isinya tidak jauh-jauh dari isu cinta, komitmen, perzinahan, perselingkuhan, dan sebagainya. Hal yang paling celaka adalah kita makin terbiasa dengannya dan makin tidak merasakan kekotoran dari tindakan ini. Ini adalah hal yang sangat biasa karena kita menemukannya setiap hari di dalam berbagai siaran infotainment, berita online, gosip, dan lain-lain. Setidaknya, sekalipun kita bukan pelaku aktif dari tindakan perzinahan, namun ide tentang hal ini sudah makin tidak tabu. Sense akan kesetiaan dan cinta yang benar di zaman ini makin lama makin pudar.

Pertanyaan pertama yang perlu kita renungkan adalah, apakah perzinahan baru menjadi tragedi umat manusia yang dimulai pada abad ke-19? Atau mungkinkah sebenarnya ini sudah menjadi kasus pelik umat manusia dari dahulu, namun baru ngetren dan blak-blakan dipertontonkan (bahkan dianggap keren oleh publik) sejak zaman Tolstoy? Jawabannya, tentunya, adalah yang kedua! Perzinahan itu bukan barang baru di abad ke-19. Perzinahan sudah setua umur umat manusia. Bahkan Alkitab begitu banyak menggunakan kata ini untuk menceritakan betapa degilnya hati manusia yang membelakangi Tuhan.

Salah satu kitab yang memiliki porsi besar dalam menyinggung kasus perzinahan adalah Kitab Hosea. Di dalam kitab ini, kata “zinah” muncul 11 kali dan kata “sundal” muncul 12 kali. Kitab lain yang cukup banyak mengandung kedua kata ini adalah Yehezkiel, yaitu “zinah” 8 kali dan “sundal” 32 kali. Tetapi kita perlu mengingat bahwa Kitab Yehezkiel cukup panjang (48 pasal) sedangkan Hosea hanya 14 pasal, sehingga secara proporsi, penggunaan kata “zinah” dan “sundal” dalam Kitab Hosea cukup tinggi. Selain itu, masalah perzinahan memang adalah salah satu tema sentral Kitab Hosea. Ketidaksetiaan istri Hosea adalah gambaran dari ketidaksetiaan Israel. Gomer mengejar laki-laki lain, sedangkan Israel mengejar dewa-dewa lain; Gomer melakukan zinah jasmaniah, sedangkan Israel zinah rohani, yaitu penyembahan berhala. Kitab ini mencatat sekitar 150 dosa yang dilakukan oleh Israel dan lebih dari separuhnya berkaitan dengan penyembahan berhala.

Melalui artikel ini, kita akan menelusuri Kitab Hosea dan merefleksikan beberapa bagian, yaitu: (1) Hosea pasal 6: Melihat ketidaksetiaan diri kita dan pertobatan yang tidak sungguh-sungguh. Kita semua sebenarnya adalah pezinah seperti Gomer dan Israel; (2) Hosea pasal 13: Di dalam perzinahan kita yang tidak kunjung berakhir, sebenarnya Tuhan sedang terus memanggil kita kepada pertobatan dari penyembahan berhala. Namun apabila kita terus-menerus tidak taat, Tuhan ingin kita sadar bahwa hal-hal menyedihkan (hukuman) akan terjadi; (3) Hosea pasal 11: Memahami arti kasih Tuhan yang sebenarnya, yaitu Ia mempertahankan kasih-Nya kepada umat perjanjian-Nya dengan kasih yang kekal sekalipun kita begitu bejat. Untuk memulai penelusuran ini, mari kita memulai dari konteks dasar Kitab Hosea.

Pengantar Singkat Kitab Hosea
Nama “Hosea” memiliki akar kata yang sama dalam bahasa Ibrani dengan kata “Yesus”, “Yosua”, dan “Yesaya” yang artinya terkait dengan “keselamatan”. Ia adalah seorang nabi yang hidup pada abad ke-8 SM. Kitab Hosea merupakan urutan kitab pertama dari 12 Kitab Nabi Kecil. Di antara 12 kitab tersebut, Kitab Hosea dan Kitab Zakharia adalah kitab terpanjang dengan 14 pasal. Di antara kedua belas nabi kecil ini, hanya Hosea dan Amos yang dipanggil untuk melayani Kerajaan Utara (Israel terpecah menjadi dua kerajaan setelah Raja Salomo: 10 suku di utara (Israel) dan 2 suku di selatan (Yehuda)). Nama lain yang sering digunakan di kitab ini untuk memanggil Israel adalah “Efraim”. Hosea dan Amos hidup dan mulai melayani di zaman yang sama yaitu pada masa Raja Yerobeam (Israel). Pada masa raja ini, kondisi tatanan sosial dan ekonomi dari Kerajaan Utara terlihat sedang sangat baik dan makmur, namun sebenarnya sedang menuju kemerosotan karena moralitas mereka. Di tengah-tengah kemakmuran kondisi Kerajaan Utara ini, kedua nabi ini bernubuat mengenai keruntuhan Kerajaan Utara. Raja Yerobeam adalah raja terkuat Israel terakhir yang memerintah selama 40 tahun, setelah itu keadaan kerajaan makin kacau. Amos melayani lebih dahulu di awal sampai pertengahan pemerintahan Yerobeam, kemudian Hosea melayani dari pertengahan sampai akhir hidup Raja Yerobeam, kemudian ia lanjut melayani sampai Kerajaan Utara hancur (722 SM). Setelah Raja Yerobeam meninggal, Israel memiliki enam raja (Zakharia, Salum, Menahem, Pekahya, Pekah, dan Hosea) dalam jangka waktu hanya 20 tahun, empat di antaranya membunuh pendahulunya. Semua kisah ini ada di 2 Raja-raja 14-17. Di saat yang bersamaan, raja yang memerintah di Kerajaan Selatan adalah Raja Yotam, Ahas, dan Hizkia. Dari gambaran ini, Hosea diperkirakan melayani sekitar 70 tahun sampai Kerajaan Utara jatuh di bawah Raja Salmaneser V (Kerajaan Asyur). Hosea juga hidup sezaman dengan Yesaya dan Mikha yang melayani sebagai nabi di Kerajaan Selatan.

Bagian pertama Kitab Hosea (pasal 1-3) membicarakan tentang kehidupan pernikahan Hosea yang adalah gambaran dari ketidaksetiaan, penolakan, dan pemulihan Israel. Dimulai dari pasal 1: Tuhan menyuruh Hosea menikah dengan Gomer, seorang wanita yang Allah tahu akan bersikap tidak setia. Selanjutnya, lahirlah tiga orang anak, masing-masing diberi nama yang mengungkapkan pesan Allah kepada Israel. Melalui Hosea, Allah memberikan kepada umat-Nya kesempatan terakhir untuk bertobat. Namun, walau mereka menolak, kasih Allah terhadap Israel tidak akan berubah. Bagian ini berakhir di pasal 3, yang menceritakan Gomer ditebus kembali oleh Hosea karena ia telah menjadi budak laki-laki lain. Setelah Gomer ditebus, maka ada masa percobaan bagi Gomer. Hal ini adalah lambang adanya masa di mana Israel tidak akan memiliki raja dan pemimpin acara ibadah. Sesudah masa itu, Israel akan dengan gemetar kembali mencari Tuhan.

Bagian kedua Kitab Hosea (pasal 4-14) menjelaskan tentang penguraian Hosea akan ketidaksetiaan, penolakan, dan pemulihan Israel. Pasal 4 sampai seterusnya, kisah keluarga Hosea tidak disebut lagi, tetapi konsep keluarga Hosea mewarnai seluruh sisa bagian ini. Pasal 4, 6, 7, dan 8 menguraikan dosa-dosa Israel, terutama dalam hal penyembahan berhala. Pasal 5 dan 13 membahas hukuman yang akan diterima Israel. Sekalipun Israel mencari perlindungan (Hos. 4:13), tetapi bahkan Raja Asyur (Tiglat Pileser III; 2Raj. 16:5) pun tidak dapat menyelamatkan mereka dari hukuman Allah. Pasal 9 dan 10 menceritakan nasib yang akan dialami Israel di dalam pembuangan dan penindasan. Pasal 12 membahas mengenai Israel yang seharusnya belajar dari sejarah sehingga tidak mengulangi dosa mereka. Di tengah-tengah seluruh teguran dan hukuman yang dinubuatkan akan menimpa mereka, pasal 11 menjadi sebuah refleksi yang dalam yang memungkinkan kita untuk melihat jauh ke dalam hati Allah yang kasih-Nya tidak terbatas. Kitab Hosea ditutup dengan pasal 14 sebagai suatu seruan untuk bertobat.

Kabut dan Embun Pagi
Apakah yang akan Kulakukan kepadamu, hai Efraim? 
     Apakah yang akan Kulakukan kepadamu, hai Yehuda?
Kasih setiamu seperti kabut pagi,
     dan seperti embun yang hilang pagi-pagi benar. (Hos. 6:4)

Ancaman-ancaman yang Hosea serukan di pasal 5 ditanggapi oleh orang Israel di Hosea 6:1-3. Kalimat-kalimat yang begitu rohani keluar dari mulut mereka di ayat-ayat ini, seperti: “Marilah kita berbalik kepada TUHAN” (6:1) atau “Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal TUHAN” (6:3). Tetapi bagaimana respons Tuhan terhadap ucapan mereka? Tuhan mengatakan bahwa pertobatan mereka adalah pertobatan yang pura-pura. “Kasih” mereka menguap secepat embun terkena panas matahari. Kemudian Tuhan melanjutkan perkataan-Nya bahwa Ia lebih menyukai kasih setia daripada korban sembelihan; lebih menyukai pengenalan akan Allah daripada korban-korban bakaran.

Akar permasalahan mengapa kita semua pezinah rohani adalah karena kasih kita kepada Tuhan setipis kabut dan cepat berlalu seperti embun pagi. Tidak ada satu pun di antara kita yang mengasihi Allah dengan sungguh-sungguh. Tidak ada yang mencari Tuhan, seorang pun tidak. Yang sebenarnya kita cari adalah berkat-berkat-Nya. Kita menginginkan kepintaran, uang, makanan yang enak, kesembuhan, hidup yang lancar, dan puncaknya adalah nama kita tercatat di sorga. Ah, tetapi sepertinya semua keinginan yang tadi disebutkan terlalu “duniawi”, maka kita mengubah pendekatannya dari apa yang kita inginkan menjadi: kita ingin menjadi orang yang aktivitas kerohaniannya tinggi, aktif melayani, ikut berbagai pelayanan, rajin ke gereja atau persekutuan, dan seterusnya. Lalu apakah dengan mengganti semua kategori itu menandakan bahwa kita adalah orang yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan? Bukankah Tuhan sendiri mengatakan bahwa Dia tidak suka dengan ibadah orang Israel (konteks zaman dahulu: menyembelih korban adalah cara mereka beribadah). Tuhan sudah muak dengan segala persembahan dan hari-hari raya mereka.

Kebahayaan terbesar di dalam gereja adalah ketika jemaat merasa bahwa dirinya sudah sungguh-sungguh mengasihi Tuhan. Tetapi sayangnya ini semua hanya “rasanya”, seperti makan mie instan rasa bakso tetapi sebenarnya tidak ada baksonya sama sekali. Perasaan mengasihi Tuhan ini cukup ampuh untuk menenangkan hati sesaat, tetapi sesungguhnya kita sedang menumpuk kebohongan demi kebohongan. Mari kita jujur pada hati kita masing-masing: Kenapa ada orang yang bisa setiap malam rajin ke gereja untuk dekorasi Natal tetapi sangat banyak alasan ketika diajak ikut kelas pendalaman Alkitab? Bisa menyempatkan diri ikut latihan paduan suara tetapi tidak untuk ikut KTB? Bahkan bisa berkhotbah penginjilan di KKR Regional tetapi sehari-hari jarang berdoa dan membaca Alkitab?

Apakah kita sungguh-sungguh mengasihi Tuhan? Apakah menyenangkan Tuhan adalah tujuan akhir dari semua kegiatan yang kita lakukan? Dalam perumpamaan anak yang hilang, sang kakak mengatakan bahwa bertahun-tahun ia telah melayani sang bapa dan belum pernah melanggar perintah bapa. Namun dia marah ketika sang bapa menerima adiknya kembali. Artinya selama ini dia tidak benar-benar mengenal bapanya. Sang kakak tidak sungguh-sunguh mengasihi bapanya. Dia tidak tahu apa yang membuat bapanya bahagia. Kebahagiaan bapanya tidak pernah menjadi tujuan akhir dari seluruh tindakan yang dia lakukan! Mari kita menyadari bahwa kita semua adalah pezinah-pezinah rohani yang melacurkan diri kepada kesenangan-kesenangan pribadi dengan memanfaatkan Tuhan. Mari kita sadar bahwa kasih kita kepada Tuhan begitu tipis seperti kabut dan begitu sesaat seperti embun.

Angin Timur Penghakiman Allah
Israel adalah pohon anggur yang riap tumbuhnya, yang menghasilkan buah. Makin banyak buahnya, makin banyak dibuatnya mezbah-mezbah. Makin baik tanahnya, makin baik dibuatnya tugu-tugu berhala. (Hos. 10:1)

Sekalipun ia tumbuh subur di antara rumput-rumput, maka angin timur, angin TUHAN, akan datang, bertiup dari padang gurun, mengeringkan sumber-sumbernya dan merusakkan mata-mata airnya; dirampasnya harta benda, segala barang yang indah-indah. (Hos. 13:15)

Hal yang paling mengerikan adalah ketidaksadaran bahwa segala berkat yang Tuhan berikan malah menjadi berhala dalam hidup kita. Hal yang lebih celaka adalah berhala-berhala ini membuat kita berpikir bahwa sebenarnya kita sedang baik-baik saja, bahkan sedang bertambah baik. “Dewa” yang kita kejar, seperti uang atau ilmu, justru terlihat makin memberkati kita. Kenapa kita bisa berpikir bahwa kita ini baik-baik saja? Hanya semata karena apa yang terlihat di luar, yaitu pohon anggur yang bertumbuh dengan begitu baik dan menghasilkan buah.

Kemakmuran belum tentu merupakan suatu berkat. Makin banyak uang, makin banyak yang dipakai untuk diri sendiri untuk membuka cabang yaitu mezbah-mezbah baru bagi berhala hati kita, untuk membuat tugu-tugu peringatan kesenangan diri kita sendiri. Makin pintar, makin mampu kita menyelamatkan diri dari berbagai tuduhan, makin mampu kita membenarkan diri, makin mampu kita merangkai sebab-akibat berdasarkan asumsi-asumsi kita. Bahkan kepintaran kita membuat kita merendahkan orang lain. Jika kita makin kaya atau makin pintar, seharusnya semuanya itu dipakai untuk kebutuhan Kerajaan Allah. Tetapi sayangnya, kelimpahan yang kita terima malah kita pusatkan untuk diri sendiri. Inilah kebahayaan yang sangat besar.

Pada bagian sebelumnya kita telah melihat bahwa kasih Israel kepada Tuhan hanya bagaikan kabut dan embun. Pada bagian ini Tuhan memperingatkan Israel bahwa semua berhala-berhala mereka itu hanyalah seperti kabut dan embun (Hos. 13:3). Kalimat ini diulang kembali dan digunakan kepada berhala-berhala mereka. Sekalipun terlihat makmur dan memberkati, namun berhala mereka itu begitu fana, akan menguap lenyap hanya bagaikan asap. Kemudian Tuhan menantang Israel, “Siapakah yang dapat menolong engkau?” (Hos. 13:9). Tidak ada satu pun berhala Israel yang dapat melepaskan Israel dari hukuman yang akan Tuhan jatuhkan. Tuhan memperingatkan bahwa angin timur, yaitu angin Tuhan, akan datang. Angin timur ini akan membuat mereka sangat menderita kekeringan, tanpa sumber air, akan merampas semua “harta” (Hos. 13:15), dan puncaknya adalah kehancuran dari seluruh Kerajaan Israel (Hos. 14:1).

Berzinah kepada berhala-berhala hanya akan memberikan kita kepuasan yang sesaat. Tetapi pada akhirnya mereka tidak akan bisa menyelamatkan kita. Tidak ada kepuasan yang sejati di dalam penyembahan berhala, bahkan ujung dari semuanya adalah kehancuran dan hukuman. Tuhan tidak bermain-main dengan perkataan-Nya. Kita telah menyaksikan sendiri bahwa akhirnya Kerajaan Utara benar-benar dibuang dan hilang lenyap. Kerajaan Asyur meruntuhkan habis semua orang Kerajaan Israel. Setelah mereka menjajah Israel, mereka menggunakan strategi kawin campur untuk membuat bangsa Israel berasimilasi dengan budaya lain sehingga tidak ada lagi keturunan asli Israel. Hal ini yang menyebabkan setelah zaman pembuangan, orang-orang Yahudi sangat menghina orang Samaria karena mereka sudah bukan orang Israel asli lagi.

Unconditional Love
Pada bagian pertama kita telah melihat kesetiaan Israel yang sementara. Di bagian kedua kita telah melihat bahwa kepuasan dan berkat yang berhala berikan kepada Israel juga hanyalah sementara. Pada bagian terakhir ini, kita akan merenungkan Hosea 11 yang menceritakan kasih setia Tuhan yang kekal.

How can I give you up, O Ephraim?
     How can I surrender you, O Israel?
How can I make you like Admah?
     How can I treat you like Zeboiim?
My heart is turned over within Me,
     All My compassions are kindled. (Hos. 11:8)

Pada pasal ini, kita dapat melihat suatu narasi bahwa Israel terus-menerus menolak kasih Allah di sepanjang sejarah. Allah telah melepaskan mereka dari perbudakan Mesir dan membawa mereka ke Kanaan, namun mereka malah berbakti kepada dewa-dewa Kanaan (1-2). Allah telah mengajar Israel berjalan dan mengangkat mereka dengan tangan-Nya, namun mereka tidak mau mengakui pertolongan Tuhan (3-4). Bangsa itu tidak patut mendapatkan belas kasihan (5-7), namun demikian Tuhan masih menahan diri dari membinasakan mereka (8-9).

Satu bagian yang paling menyentuh adalah Hosea 11:8. Mungkin bisa dikatakan bahwa ini adalah kalimat yang paling romantis dalam kitab ini. “Bagaimana mungkin Aku menyerah kepadamu, hai Efraim? Mana mungkin Aku melepaskan engkau, O Israel?” Kemudian Tuhan melanjutkan mengatakan, “Mungkinkah Aku membuatmu seperti Adma? Aku tidak akan memperlakukanmu seperti Zeboim!” Adma dan Zeboim adalah dua kota yang dekat dengan Sodom dan Gomora, yaitu batas Kanaan (Kej. 10:19). Raja kedua kota ini disebutkan dalam kisah Abraham menyelamatkan Lot (Kej. 14:1). Kedua kota ini dihancurkan bersamaan dengan hancurnya Sodom dan Gomora (Kej. 19:28-29; Ul. 29:23).
Jadi intinya, Adma dan Zeboim adalah kota kecil di sekitar Sodom dan Gomora yang juga mempraktikkan kejahatan yang sama jahatnya sehingga dihancurkan oleh api murka Tuhan. Kembali ke Hosea 11:8, Tuhan menyatakan bahwa Dia tidak sampai hati untuk menghancurkan Israel seperti menghacurkan Sodom dan Gomora. Sebaliknya, hati-Nya berbalik: Ia yang sebenarnya pantas melakukan apa yang sama kepada Israel sebagaimana Ia telah lakukan kepada Sodom dan Gomora, telah memilih untuk tidak melakukannya, malahan kasih sayang-Nya tambah menyala.

Betapa besar cinta Tuhan kepada Israel. Ia mengasihi Israel dengan kasih yang kekal, bukan karena apa yang ada pada Israel itu sendiri, tetapi karena Dia adalah Allah yang setia, yang memegang perjanjian dan kasih setia-Nya kepada umat-Nya. Sodom dan Gomora bukan umat Allah, maka Allah tidak segan-segan melemparkan api murka-Nya sampai habis rata kota-kota itu. Tetapi apakah Tuhan yang mengasihi Israel ini bukan Tuhan yang adil karena Dia tidak melemparkan api murka-Nya juga kepada Israel? Tidak! Allah adalah Allah yang kasih dan adil. Lalu di manakah keadilan Allah terhadap Israel, umat-Nya? Jawabannya adalah di Golgota. Di atas kayu salib di mana Yesus dipakukan! Tuhan menyimpan api murka-Nya yang seharusnya Dia lemparkan ke Israel dan melampiaskannya dengan tuntas kepada Anak-Nya sendiri untuk menjalankan kasih-Nya dan keadilan-Nya. Kristus mengorbankan diri-Nya di atas kayu salib untuk menebus Gereja-Nya dari hukuman dosa. Di sinilah kita bisa mengerti arti kasih yang sejati. Inilah kasih yang Alkitab ajarkan. Dari sini, kita bisa kembali kepada permasalahan filasat Romantisisme.

Kesimpulan: True Romance – Salib Kristus
Kitab Hosea telah mengajarkan kita bahwa dunia ini sedang mengajarkan kasih yang egois, yaitu kasih yang berpusat kepada untung rugi diri sendiri. Dunia ini sedang menerapkan kasih yang dipengaruhi syarat dan ketentuan: Semua tergantung situasi. Kasih yang dunia sedang pertontonkan adalah kasih yang cepat berlalu, seperti embun pagi yang ada satu malam tetapi paginya sudah menguap. Ujung dari kisah cinta yang dunia hidupi adalah cinta yang mengecewakan. Sekalipun filsafat Romantisisme baru terbentuk secara jelas di abad ke-19, namun esensi keberdosaan yang terkandung di dalamnya sudah dijelaskan di dalam Alkitab.

Sebaliknya, jika kita ingin mengerti arti kasih yang sejati, kita harus melihat kepada karya Tuhan yang setia kepada perjanjian-Nya dan pengorbanan-Nya terhadap oknum yang Ia cintai. Oleh karena itu, definisi yang tepat untuk menjelaskan apa itu romantis adalah melalui salib Kristus. Di dalam salib Kristus, kita dapat menemukan kesetiaan Tuhan akan janji-Nya, ketaatan Anak demi sukacita Bapa, penyangkalan diri Kristus tanpa menghitung untung rugi, dan pengorbanan Mempelai Pria yang rela menyerahkan nyawa-Nya dan menebus mempelai wanita yang dikasihi-Nya. Oleh sebab itu marilah kita juga belajar mengasihi dengan kasih ini. Ya Bapa, mampukanlah kami! Demi Kristus Yesus kami memohon. Amin.

Abraham Madison Manurung
Pemuda FIRES