How Do We Reckon Between Life and Knowledge?

Pengetahuan – suatu istilah yang sangat sering kita dengar di dunia pendidikan maupun di dalam kehidupan sehari-hari. Setiap manusia berusaha mengejar pengetahuan semaksimal mungkin. Setiap manusia merasa mempunyai pengetahuan yang cukup untuk membuat dirinya berdiri tegak di tengah-tengah dunia ini. Namun ironisnya, justru pengetahuan itu yang suka kita hindari dalam kehidupan kita. Saya akan memberikan beberapa alasan yang paling sering muncul di kalangan orang Kristen tentang mengapa orang tidak mau belajar ataupun mengajar: “Saya masih belum qualified untuk sampe kepada level itu.”

Banyak sekali alasan yang muncul dari pemikiran kita yang sudah jatuh dalam dosa, sampai-sampai kita yang katanya ingin memiliki pengetahuan menghindar dari belajar (di sisi lain juga banyak orang yang terlalu mengejar pengetahuan seolah-olah pengetahuan tersebut dapat menyelamatkan mereka dari murka Tuhan). Namun penekanan di dalam pembahasan kali ini terletak pada rasionalisasi “kehendak Allah” berdasarkan nafsu kedagingan kita di dalam dunia pendidikan. Terlebih lagi tekanan dunia yang menyebabkan kita takut untuk menyatakan “kedaulatan Allah” di dalam ilmu yang kita pelajari/ajarkan. Akhirnya, yang kita lakukan adalah seperti kaum Deis yang menyatakan “keterhilangan Allah” di dalam dunia ilmu pengetahuan. Jadi, pada dasarnya kita bisa melihat bahwa apapun yang kita lakukan selalu saja dapat dinilai dari dua sisi, yaitu apakah kita menyatakan kebaikan Allah (kehendak Allah) atau kita menjadi objek murka Allah (melawan kehendak Allah).

Kembali ke pertanyaan klasik, bagaimana kita dapat mengetahui kehendak Allah bagi kita saat ini? Jawaban klasiknya adalah melalui firman Tuhan yang adalah wahyu khusus Allah. Mungkin akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang mencoba untuk mempertanyakan keharusan adanya wahyu: “Kenapa harus ada wahyu khusus? Bukankah kita adalah peta dan teladan Allah yang dapat berpikir untuk memutuskan sesuatu yang baik? Bukankah kita sudah Kristen? Seharusnya apa yang kita pikirkan sudah pasti Kristen donk!” Dengan tegas dan dengan gentar kita harus mengakui: “Karena kita adalah manusia berdosa yang selalu berespons terhadap wahyu umum secara salah.” Wahyu Allah dapat dikategorikan dalam 2 kategori yang luas dan utuh, yakni wahyu umum dan wahyu khusus. Kedua wahyu ini dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan; dapat disatukan sebagai satu keutuhan namun tidak dapat dicampuradukkan. Pengertian ini dapat secara jelas kita lihat di dalam dwinatur Kristus.

Kristus adalah Sang Firman yang menjadi daging – Wahyu Khusus yang hadir di dalam Wahyu Umum, seperti Allah yang menggunakan bahasa di dalam menghadirkan wahyu khusus-Nya. Wahyu umum merupakan platform untuk menghadirkan wahyu khusus. Wahyu khusus di dalam konteks keberdosaan manusia mutlak ada karena wahyu khusus bersifat menyelamatkan (redemptive). Ketika manusia berdosa merespons wahyu umum, pasti ada distorsi di dalamnya, maka wahyu khusus harus ada agar manusia dapat mengerti wahyu Allah di dalam keutuhannya.

Epistemologi: Dari Agustinus – Calvin – Van Til

Dimulai oleh Agustinus yang menjelaskan epistemologinya (Theistic Epistemology) berdasarkan “Iluminasi Roh Kudus”, kemudian dilanjutkan oleh John Calvin yang menjelaskan epistemologinya (Christian Theistic Epistemology) berdasarkan theologi kovenannya, maka pada abad yang lalu Cornelius Van Til meneruskan tongkat estafet epistemologi Agustinus dan Calvin secara mendalam berdasarkan prinsip revelational (Revelational Epistemology). Van Til di dalam epistemologinya memaparkan paradoks di dalam wahyu Tuhan, yaitu revelation of the wrath of God dan revelation of the grace of God. Manusia diciptakan dalam gambar dan rupa Allah diberikan sifat kebebasan. Manusia bebas yang mengenal kebenaran bukan menjadikan manusia yang creatively constructive melainkan receptively reconstructive. Manusia adalah manusia ketika ia menerima wahyu Allah dan merekonstruksikannya di dalam setiap aspek hidupnya: mencintai apa yang Tuhan cintai, berpikir seperti apa yang Allah pikir, menghendaki apa yang Tuhan kehendaki.

Di dalam acara 50 tahun pelayanan Pdt. Dr. Stephen Tong, beliau mengatakan, “Saya tidak berani tidak mencintai Tuhan.” Pengetahuan yang dipersembahkan kepada Tuhan dengan cara yang sesuai dengan keinginan Tuhan di dalam Firman-Nya adalah pengetahuan yang menyenangkan hati Tuhan. Manusia di dalam kebebasannya mengikatkan diri sepenuhnya kepada otonomi kedaulatan Allah. Tetapi ketika manusia jatuh di dalam dosa, kecenderungannya adalah menjadi creatively constructive, di mana manusia berdosa berusaha dengan kemampuan kreativitasnya mengkonstruksi apa yang menjadi pemikirannya, apa yang dikasihinya, dan apa yang dikehendakinya, yang justru membuat ia kehilangan otonominya sebagai manusia. Kebebasannya (otonominya) sebagai seorang manusia yang bebas mengasihi Allah lebih dari segala sesuatu dalam segala aspek kehidupannya hilang. Manusia menjadi terikat kepada pemikirannya yang tanpa dasar, cinta kasihnya yang salah objek, dan kehendaknya yang liar.

Wahyu dalam kehidupan kaum intelektual

Ketika manusia menjadi receptively reconstructive, ia sedang mengakui bahwa Allah berdaulat atas dirinya dan hidupnya. Tapi ketika manusia menjadi creatively constructive, ia justru menolak kedaulatan Allah dan secara kreatif ia mencari jalan untuk menjauhkan diri dari Allah. Seperti di dalam kisah Adam dan Hawa setelah mereka memakan buah dari pohon tentang pengetahuan baik dan jahat, mereka mencari-cari alasan untuk menghindar dari murka Allah.

Manusia berdosa berusaha memakai kreativitasnya – bukti dirinya adalah peta dan teladan Allah – untuk menghindar dari memusatkan segala kreativitasnya kepada Allah (receptively reconstructive). Itulah creatively constructive yang merupakan pembunuhan terhadap kreativitas manusia yang berarti pribadi manusia di hadapan Allah. Inilah yang disebutkan oleh Van Til sebagai revelation of the wrath of God, manusia yang tidak memiliki Allah secara sadar maupun secara tidak sadar menyatakan murka Allah di dalam hidupnya. Di sinilah kita melihat ciri khas dari epistemologi Van Til yang selalu dimulai dari Allah yang mewahyukan, baik mewahyukan amarah-Nya maupun mewahyukan kasih-Nya.

Van Til memberikan skema wilayah keluasan bagaimana manusia mengenal sesuatu, bagaimana manusia belajar tentang sesuatu dari sesuatu. Van Til menyebutnya sebagai Fields of Revelation:

Di dalam manusia belajar, 9 kategori ini merupakan hal yang tidak mungkin diabaikan, tidak lebih dan tidak kurang. Manusia belajar tentang Allah, manusia, dan alam dari kacamata firman Tuhan. Manusia belajar tentang Allah, manusia, dan alam dari kacamata manusia itu sendiri. Dan yang terakhir, manusia belajar tentang Allah, manusia, dan alam dari alam. Ke-9 hal ini saling berhubungan. Hubungan-hubungan yang ditandai dengan garis itu harus berkaitan dengan garis yang lainnya. Ketika Allah dinyatakan lewat alam, tidak mungkin lepas daripada penyataan Allah melalui diri manusia dan Allah sendiri, dan seterusnya. Dan juga masing-masing hubungan berdiri di dalam keutuhannya. Contoh: kita tidak bisa belajar Nature dari Nature dengan mengabaikan Self, dan sebagainya.

Dari teori yang dipaparkan di atas, Van Til meneruskan dengan memberikan metode yang memungkinkan manusia untuk memperoleh justifikasi atas pengetahuan yang didapatnya, yaitu menjawab pertanyaan “Apakah pengetahuan yang dimiliki manusia bertentangan atau seturut dengan firman Tuhan?” Van Til mengaplikasikan epistemologinya dengan konsep keluasan dan keutuhan wahyu Allah yang mencakup seluruh Fields of Revelation di dalam metodenya yang disebut implikasi. Knowledge/pengetahuan berbicara tentang bagaimana Allah menyatakan dirinya kepada manusia sehingga yang belajar adalah manusia. Manusia harus belajar dari Allah secara langsung (wahyu khusus) maupun secara melalui alam dan juga dirinya manusia (wahyu umum). Keutuhan keseluruhan keluasan wahyu inilah yang menjamin pengetahuan manusia terjustifikasi.

Maksudnya, dalam pencarian pengetahuan manusia harus merelasikan pengetahuan partikular yang didapatnya seluas mungkin secara horisontal (world–world). Dengan penuh kesadaran bahwa Allah yang empunya kehendak memberikan prinsip-prinsip kepada manusia tentang seluruh dunia ciptaan yang dinyatakan-Nya di dalam firman-Nya (wahyu khusus), kemudian manusia harus merelasikan detail apa yang sudah ditanamkan oleh Allah di dalam dunia ciptaan dengan dirinya (SELF dan image of GOD) sehingga manusia bisa melihat perbedaan antara God, Self, dan Nature (world). Lalu, manusia harus menarik apa yang didapatnya di dalam pencarian akan pengetahuan kembali kepada Allah sebagai respons atas pengetahuan yang didapat tersebut dengan pembatasan dari prinsip-prinsip firman Tuhan.

Bagaimana seharusnya kehidupan orang Kristen dalam merespons wahyu Allah?

Kita sebagai anak Allah harus mengerti spirit Reformed di dalam keutuhan hidup, tidak boleh seperti orang Deis yang membuang Allah dalam mengerti dunia ciptaan dan membuang keindahan ciptaan dalam mengerti Allah. Van Til mengajak kita melalui metode implikasi yang mengaitkan keluasan wahyu di dalam keluasannya untuk mendapatkan true knowledge. Dengan demikian manusia harus mengakui bahwa pengetahuan itu hanya berasal dari Allah dan pengetahuan yang benar akan membawa kita untuk semakin hidup mengenal dan memuliakan Tuhan. Knowledge is illuminational (Augustine), covenantal (Calvin) and revelational (Van Til). Artinya knowing is spiritual, to know in life is a life before God.

Kiranya kita sebagai anak-anak Allah mencerminkan bagaimana di dalam kedaulatan Tuhan kita menyatakan Allah di dalam setiap aspek kehidupan kita. Pengetahuan bukan datang dari pencarian manusia tentang alam, namun dengan gentar kita harus mengatakan bahwa pengetahuan yang didapatkan semata-mata hanyalah pemberian dari Allah. Pengetahuan bukan dari manusia belajar, namun pengetahuan dari pewahyuan Allah sesuai dengan kerelaan kedaulatan-Nya. Kita yang sudah ditebus sudah seharusnya menyatakan penebusan di dalam setiap aspek yang ada di dalam lingkungan hidup kita.

Bagaimana kita bisa menyatakan penebusan di dalam ilmu yang kita pelajari? Kuncinya adalah takut akan Tuhan seperti yang dikatakan oleh penulis kitab Amsal. Selain itu, kita juga membutuhkan sebuah komunitas di mana kita dapat belajar bertumbuh bersama-sama, baik di dalam iman maupun pengetahuan. Dengan demikian, kiranya keluasan dan keutuhan wahyulah yang kita nyatakan melalui seluruh hidup kita di dunia ini. Sola Gratia!

 

Hans Yulizar Sebastian

REDS – Worldview