Ikutilah kata hati kita, selama hati kita membawa kita kepada penundukkan dan ketaatan kepada ketetapan dan kehendak Tuhan.
Salah satu hal yang sering kita dengar dari kebudayaan dan masyarakat kita di zaman ini adalah frasa, “Ikutilah kata hatimu.” Kamulah yang paling mengenal dirimu, apa yang kamu bisa lakukan dan apa yang kamu ingin lakukan, dan jika kamu ingin bahagia, ikutilah ke mana hatimu menuntunmu.
Karena hati selalu benar, bukan?
Masalahnya, menempatkan hati kita sebagai pemegang kebenaran tertinggi dan mutlak tanpa disadari bisa jadi merupakan salah satu bentuk kita menempatkan diri sebagai pemegang kebenaran tertinggi yang paling mutlak juga. Ketika kita membuat keputusan berdasarkan apa yang hati kita inginkan—padahal hati kita juga adalah diri kita—berarti sebetulnya sama saja dengan memberikan diri kita kekuasaan mutlak memegang tampu penilaian dan evaluasi, untuk menentukan apa yang benar dan apa yang salah.
Benar dan salah menurut siapa? Menurut “saya”.
Tetapi sebetulnya membuat keputusan berdasarkan hati nurani bukanlah konsep yang sepenuhnya salah. Allah dalam kedaulatan-Nya menempatkan hukum-Nya di dalam hati manusia yang diciptakan segambar dan serupa diri-Nya. Hati manusia, sejak awal diciptakan, tahu apa yang benar dan salah, baik dan jahat: benar dan baik untuk taat pada Tuhan, dan salah dan jahat untuk menyimpang melawan kehendak-Nya. Itulah sebabnya Adam dan Hawa bersembunyi ketika mereka mendengar Allah datang dan berjalan di Taman Eden, sesudah mereka melakukan dosa. Mereka takut karena sadar sudah melakukan hal yang salah dengan melanggar perintah Tuhan. Hati nurani mereka yang diperlengkapi Tuhan dengan prinsip-prinsip dasar benar dan salah yang penting, menjadi hakim dalam pelanggaran yang mereka lakukan.
Dalam keadaan normal dan seturut dengan bagaimana Tuhan menciptakan manusia, hati nurani manusia seharusnya bisa secara tepat menjadi penolong manusia dalam mengevaluasi apakah hidup yang dijalani sudah sesuai dengan ketetapan Tuhan atau belum.
Tetapi sesudah manusia jatuh ke dalam dosa, hati nurani ikut terkena dampak korupsi dan penyimpangan dari semua yang baik yang Tuhan sudah ciptakan. Hati nurani manusia tidak lagi hanya terarah pada apa yang baik dan benar menurut standar Tuhan. Terpengaruh budaya dan lingkungan yang melawan Tuhan, pelanggaran pribadi yang dilakukan, serta dosa awal Adam dan Hawa, hati nurani tidak lagi mampu untuk membedakan yang baik dari yang jahat dengan semestinya.
Ini berarti hati nurani tidak lagi memiliki akurasi untuk membawa manusia menjalani hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Ini juga berarti keputusan yang dibuat hati nurani bukanlah selalu yang terbaik, karena hati nurani yang terkorupsi bisa mengarahkan manusia untuk hidup menyimpang dari ketetapan Tuhan. Padahal hidup yang tidak sesuai dengan desain dan ketetapan Tuhan tidak mungkin menjadi hidup yang berbuah, mendatangkan sukacita, dan menghasilkan kebaikan.
Ikutilah kata hatimu—betul! HANYA SELAMA hati kita membawa kita mendekat kepada Tuhan dan membuat keputusan yang sesuai dengan prinsip firman Tuhan.
Untuk memiliki hidup yang berkelimpahan dan penuh dengan sukacita, kuncinya hanya satu, yaitu menghidupi hidup sesuai dengan prinsip firman Tuhan dan ketetapan Allah. Maka kunci membuat keputusan dalam hidup yang baik adalah ketika keputusan yang kita buat sudah dicek keselarasannya dengan prinsip firman Tuhan. Keselarasan ini dapat diperoleh dari adanya saran/masukan dari orang-orang di sekitar kita yang takut akan Tuhan. Jika kita memiliki relasi yang baik dengan Allah, maka Roh Kudus bisa menggerakkan hati nurani kita untuk membuat keputusan yang tepat.
Ketika kita memiliki relasi yang baik dengan Tuhan, terus menjaga dan melakukan kebiasaan yang mengarahkan hati kita untuk terus taat kepada Tuhan dan peka terhadap kehendak-Nya, maka hati nurani bisa menjadi salah satu instrumen yang dipercaya untuk mengevaluasi diri, tindakan, dan keputusan kita. Mengapa? Karena kita sudah membiasakan diri mendengarkan suara Roh Kudus yang bekerja dalam hati kita untuk mengarahkan hidup kita sesuai dengan kehendak Tuhan. Ini berarti ketika kita mendengarkan hati kita, kita bukan sekadar mendengarkan dan melakukan apa yang kita inginkan, tetapi mendengarkan dan melakukan kehendak kita yang sudah menundukkan diri di bawah kehendak Tuhan. Ini berarti Tuhanlah yang menjadi pemegang kunci dan Allah atas segala hal yang terjadi dalam hidup kita.
Ikutilah kata hatimu… Benarkah yang sering dunia kumandangkan ini?
Ada banyak suara yang kita dengar setiap hari di sekitar kita. Suara yang menyuruh kita melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Dari mana kita tahu apa yang harus kita lakukan dan mana yang harus kita patuhi? Selalu periksa dari mana suara itu kita dengar: apakah desakan itu berasal dari hati kita yang ingin menyenangkan Tuhan atau hanya memuaskan keinginan diri sendiri? Latihlah sensitivitas rohani kita lewat doa dan membaca serta merenungkan firman Tuhan. Arahkan hati setiap saat kepada Tuhan. Berdoalah dan minta pimpinan Tuhan agar hati nurani kita dimurnikan lewat pekerjaan Roh Kudus untuk makin cinta dan taat Tuhan, agar hati kita dipakai Tuhan untuk membawa kita terus kepada-Nya, dan untuk hidup menyenangkan dan memuliakan Tuhan. Ikutilah kata hati kita, selama hati kita membawa kita kepada penundukkan dan ketaatan kepada ketetapan dan kehendak Tuhan.
Catatan: Refleksi ini adalah refleksi atas khotbah Pdt. Dr. Stephen Tong pada Minggu, 14 Agustus 2022 di GRII Pusat.
Yohana Wijaya
Wakil Kepala KB/TK Sekolah Kristen Calvin