Buletin PILLAR
  • Transkrip
  • Alkitab & Theologi
  • Iman Kristen & Pekerjaan
  • Kehidupan Kristen
  • Renungan
  • Isu Terkini
  • Seni & Budaya
  • 3P
  • Seputar GRII
  • Resensi
Kehidupan Kristen
Jalan Salib: Misteri Kerajaan Allah

Jalan Salib: Misteri Kerajaan Allah

20 April 2025 | Ernike Ginting Babo, Kevin Nobel 17 min read

Bayangkan ada seseorang yang berasal dari suatu kampung yang terpencil. Dia datang dengan pakaian biasa, sebuah baju berwarna putih yang sudah agak kekuningan dan abu-abu serta celana berbahan gelap. Pada dirinya, tidak ada aksesoris yang terlalu mewah; tas yang dia pakai adalah tas selempang anak sekolah. Tampaknya, dia seperti seseorang yang sedang mencari pekerjaan. Dia sedang berjalan di suatu jalan dan melihat seorang ibu yang sedang memasukkan anaknya ke dalam sebuah ambulans. Sepertinya anak itu meninggal. Lalu, tiba-tiba dari kerumunan itu, terdengarlah sebuah suara, “Dia akan membangkitkan anakmu, hai Ibu!” Maka, berdoalah orang itu, dan bangkitlah anaknya.

“Itulah dia! Itulah dia! Dialah nabi yang akan datang,” kata orang-orang di kerumunan itu. Namun, ketika peristiwa kecelakaan itu terjadi, sepertinya ada seorang tokoh agama yang melihat kejadian itu. Kebetulan, tempat itu dekat suatu gereja dan masjid. Maka, dipanggillah seorang satpam, bersama beberapa orang penatua dan rohaniawan, mereka memanggil orang itu untuk masuk ke dalam gereja untuk ditanya dari mana asal usulnya. Mungkinkah dia seseorang yang sedang berencana masuk sekolah theologi? Mungkinkah dia adalah seorang misionaris yang memiliki iman luar biasa sehingga dapat membangkitkan seseorang dari kematian? Maka dibawanyalah orang itu ke sebuah ruang tertutup untuk ditanya-tanya.

The Grand Inquisitor

Inilah cerita dalam buku The Brother Karamazov yang ditulis oleh Fyodor Dostoevsky, seorang Kristen dari tradisi Ortodoks Timur. Bab The Grand Inquisitor menceritakan tentang bagaimana sebuah institusi atau lembaga gereja menerima Yesus masuk ke dalam sebuah ruang “tanya-jawab”, bukan untuk menerima-Nya sebagai Mesias, melainkan karena Dia melanggar seluruh sistem yang disusun oleh manusia, termasuk dalam sistem yang disebut sebagai “gereja”. Dalam bagian ini, Dostoevsky membuat sebuah pengandaian apa yang akan terjadi jika Yesus datang “kedua kali” sebagai manusia, bukan kepada masyarakat Yahudi pada masa itu, tetapi ke dalam masyarakat gereja saat ini.

Dalam satu bab itu, persoalan yang ditanyakan adalah “mengapa Yesus memilih jalan salib?” Seperti kejadian yang terjadi pada Kayafas, imam besar yang bertanya-tanya kepada Imam Besar Yesus, para interogator memberikan berbagai tuduhan kepada Sang Mesias, tetapi Yesus hanya berdiam. “Apakah kamu tahu bahwa apa yang Diri-Mu perbuat justru menghambat pekerjaan Allah yang sedang kami lakukan? Ya, mungkin saja mereka yang menyambut Engkau di tengah jalan tadi adalah mereka yang terlalu mudah percaya kepada mukjizat, tahukah bahwa dalam waktu singkat, mereka-mereka ini juga yang bisa menuduh-Mu sebagai nabi palsu dan membakar-Mu seperti yang sudah-sudah terjadi kepada para penyihir pada masa Abad Pertengahan?”

Yesus tetap berdiam.

“Ya, mungkin Engkau masih mau berdiam, tetapi izinkanlah kami menjelaskan mengapa Engkau justru akan dibenci oleh mereka yang memuja-Mu. Tahukah di mana kesalahan-Mu? Engkau memilih untuk menolak tiga pertanyaan yang diberikan kepada-Mu. Seluruh bijaksana dunia dapat dirangkum pada tiga pertanyaan saat Engkau dicobai, dan sejarah manusia akan ditentukan dari bagaimana Engkau menjawabnya. Hanya saja, Engkau salah menjawab.”

“Mengapa Engkau datang ke dunia dengan tangan kosong? Ubahlah batu itu menjadi roti, buktikan bahwa Tuhan sungguh memberkati gereja, umat-Nya, dan seluruh bangsa di dunia ini. Pastinya, semua orang akan menjadikan Engkau raja, dan dunia tidak lagi akan menguasai-Mu. Akan tetapi, justru karena Engkau menolak untuk mengubah batu menjadi roti, muncul raja-raja dan penguasa lain yang dapat memberikan roti kepada rakyatnya, dan umat-Mu tertindas pada kuasa mereka. Semua orang meminta untuk menjadi budak selama mereka bisa mendapatkan roti.”

“Lagipula, tidak sayangkah Engkau kepada Bait Allah-Mu sendiri? Tempat di mana Engkau pernah menapakkan kaki-Mu di tempat tertinggi pada rumah Bapa-Mu, justru di situlah setiap batu akan dihancurkan. Dunia nantinya akan membangun Menara Babel, menjadikan itu sebagai pusat penyatuan dunia. Seluruh kuasa dunia akan berpusat di situ, tetapi sayang sekali Engkau tidak dapat melakukan apa-apa.”

“Mengapa Engkau tidak menerima tawaran terakhir itu? Seandainya Engkau menerimanya, maka Julius Caesar dengan segala kuasa Roma, Genghis Khan dan daya kekuatan perang, akan tunduk kepada-Mu. Dan dari situ, kita bisa menyebarluaskan berita Injil kepada seluruh bangsa di dunia tanpa harus melalui persekusi. Dengan sekejap saja, maka kita akan bebas dari ancaman dunia, dan umat-Mu pastinya akan selamat di bentengnya sendiri. Dalam kerajaan seperti ini, kita bisa memberi tahu apa yang baik dan jahat. Kita bisa menyatakan apa yang dosa, dosa apa yang dapat ditebus, dan dosa apa yang diizinkan diperbuat oleh mereka—atas izin kita. Segala masalah umat akan dibawakan kepada kita, tidak ada rahasia yang tersembunyi, dan kita akan menyediakan semua jawaban bagi mereka.”

“Engkau terlalu idealis, ya mungkin juga sedang bermimpi. Engkau mengatakan bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, melainkan karena firman Allah. Engkau sendiri yang menyatakan Diri sebagai Roti Hidup dan Air Hidup. Kesalahan terbesar-Mu adalah Engkau telah memberikan kebenaran, Engkau membebaskan mereka! Tahukah Engkau bahwa manusia justru lebih baik jika mereka tidak mengenal baik dan jahat? Ya, mungkin Engkau telah datang untuk menyelamatkan umat terpilih, tetapi seberapa banyak dari mereka yang kuat—jika itu adalah benar, yang sebetulnya juga sudah lelah menanti kedatangan-Mu yang kedua kali untuk menegakkan keadilan?”

Ketika Aloysha Karamazov, seorang adik yang akan menjadi biarawan, mendengar kakaknya Ivan Karamazov mendeskripsikan hubungan antara gereja dan Tuhan Yesus dengan warna yang seperti demikian, itu menimbulkan rasa shock yang demikian berat. “Gambaranmu tentang gereja adalah sebuah fantasi!”, ujar sang adik. Sarkasme yang tertuang dalam tulisan ini mengekspresikan sisi kemarahan Dostoevsky terhadap Tuhan (Ivan) sekaligus ketulusannya untuk menanti jawaban dari-Nya (Aloysha). Bagi penggemar karya klasik, khususnya karya klasik Kristen, kita akan menemukan buku-buku dari Fyodor Dostoevsky seperti sebuah novel “Kitab Ayub” versi eksistensial dan spiritual. Dapat dikatakan, penulis legendaris ini dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis yang jauh lebih gelap daripada para atheis, sekaligus memberikan harapan dan penghiburan bagi mereka yang beriman.

Barangkali, kita juga bisa merasakan bahwa dialog antara Ivan dan Aloysha Karamazov adalah sebuah “fantasi” yang ditulis oleh Rusia yang cukup gila. Akan tetapi, kalau kita harus jujur dengan diri sendiri, tulisan seperti yang dimuat oleh Dostoevsky justru membukakan apa yang sebetulnya lama disimpan dan dirahasiakan oleh pengikut Yesus. Ya, mungkin saja, kita secara kognitif tahu bahwa Tuhan Yesus adalah Raja yang datang mengendarai sebuah keledai, dihakimi oleh para imam, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, dihukum oleh Pontius Pilatus, mati di kayu salib, dan bangkit dari kubur. Akan tetapi, apakah kita sudah sungguh-sungguh dapat membayangkan makna “jalan salib” yang harus ditempuh oleh seorang manusia bernama “Yesus dari Nazaret”? Itu berarti bahwa dalam banyak hal, pemaknaan kita tentang “kekristenan” seringkali di-filter dengan imajinasi dan fantasi manusia akan kejayaan, dan kita perlu kembali ke makna kekristenan asali yang barangkali memuat kejutan yang tidak terduga, bahkan misteri yang tidak diinginkan.

Dua Macam Kerajaan

Ketika kita menelusuri kembali apa yang dikejar oleh dunia dan Tuhan, kita akan melihat “perbenturan” yang cukup terasa keras. Dunia mengejar kekuasaan dan Allah melepaskan kekuasaan. Dialog antara Ivan dan Aloysha mencerminkan ketegangan antara kedua hal ini, dan orang Kristen barangkali juga tidak lolos dari keinginan untuk menjadi serupa dengan dunia. Apa yang penting di mata dunia, dibenci Allah (Luk. 16:15). Ketika dunia mengejar “roti dan kerajaan dunia yang dipimpin oleh tokoh raksasa”, Tuhan menawarkan “firman dan kerajaan yang didirikan oleh manusia berdosa yang bertobat”. Ketika dunia menawarkan jalan melalui “harta, takhta, dan ideologi”, Tuhan justru memanggil kita untuk memikul salib setiap hari dan menjadi pengikut-Nya (Mat. 16:24).

Seperti apakah jalan salib itu? Apabila kita membaca Kitab Suci, kita akan melihat cerita-cerita dari para tokoh Alkitab. Dengan cukup panjang dan lebar, Tuhan menuliskan kisah mererka dalam keseharian. Bagaimana hubungan antara Yusuf dan saudara-saudaranya, Ester dan pamannya Mordekhai, Daniel dan teman sebayanya, dan juga cerita-cerita yang dipandang “sepele” oleh dunia. Unsur “kronos”, yaitu kebiasaan sehari-hari yang tidak dipandang penting oleh manusia, seperti berdoa kepada Tuhan dan bersekutu, malah justru dipakai oleh-Nya dalam membangun kerajaan Allah. Bukankah selama ini kita justru sangat berfokus kepada “kairos-kairos”, yaitu momen-momen terpenting yang nantinya akan mengubah “aeon”, yaitu suatu semangat zaman? Dan bukankah untuk mencapai tujuan besar itu, kita harus menjadi besar sama seperti dunia juga melakukan hal yang sama? Kalau kita membuka buku-buku sejarah sekuler, kita tidak akan menemukan nama-nama dari tokoh tersebut. Mereka hanyalah “debu” dari kacamata dunia.  

Coba bayangkan sejenak, ada seorang tukang kayu yang lahir di alamat unidentified yang lokasinya belum dapat dilacak dalam Google Maps. Setelah upacara Sidi, anak SMP ini tersesat di suatu katedral. Saat dia dewasa, dia keliling Jabodetabek, tidak ada kerjaan selain membagikan traktat dan memimpin Kelompok Tumbuh Bersama (KTB). Di akhir hidupnya, manusia yang mengaku-ngaku adalah guru honorer mengajak ribut petinggi-petinggi agama, para doktor ahli hukum, dan dituduh sedang berupaya melakukan makar, dan dihujat oleh para netizen dan social justice warrior. Yang lebih parah, dia mengaku dirinya adalah nabi dan Tuhan. Kalau kita memakai standar hari ini, maka dengan probabilitas yang cukup tinggi, kaum intelektual, hakim dan jaksa, pengamat budaya dan sosial, dan kaum profesional akan memberi cap “orang gila” kepada manusia tersebut.

Demikian juga dengan manusia bernama “Yesus dari Nazaret”.

The Idiot

Bukankah suatu kebodohan ketika Allah memanggil orang-orang seperti nelayan kasar, pemungut pajak yang dibenci, atau bahkan perempuan yang tidak layak dianggap bersaksi untuk membangun kerajaan-Nya? Mengapa Allah justru memakai orang seperti itu dalam melaksanakan rencana-Nya? Bukankah tampak konyol di mata dunia ketika Allah justru mempercayai karya penebusan-Nya kepada mereka yang tidak memiliki pengaruh politik, pendidikan, status sosial, atau nama besar? Bukankah dunia dengan segala rasionalitas dan standar kejayaannya akan menyebut keputusan Allah ini sebagai sebuah absurditas dan kebodohan? Pertanyaannya, siapakah yang sebenarnya bodoh—dunia dengan hikmatnya yang fana atau Allah dengan hikmat-Nya yang tersembunyi?

Apakah kebodohan itu terletak pada kasih Allah, atau justru pada ketidakmampuan dunia untuk mengenali keindahan dari kasih yang rela disalibkan, yaitu kasih yang diwujudkan dalam diri Yesus yang dihina, dibunuh, dan bahkan ditelanjangi di kayu salib—karena Allah memilih yang lemah dan dianggap hina untuk menunjukkan betapa kosongnya kemuliaan dan kekuatan yang diagungkan manusia? Apa yang dunia anggap sebagai kebodohan ternyata juga dihidupkan kembali dalam tokoh Myshkin dalam karya Dostoevsky, The Idiot, yang menghadirkan seorang manusia yang begitu murni dan penuh kasih, namun justru kasih dan kemurniannya tidak dimengerti oleh dunia yang makin berdosa ini.

Dalam The Idiot, Dostoevsky menggambarkan karakter Myshkin sebagai tokoh yang benar-benar baik, murni, penuh kasih, dan hampir tidak masuk akal dalam masyarakat Rusia. Ia dianggap bodoh (idiot) karena kasihnya yang tanpa batas, pengorbanannya, dan ia selalu berkata jujur bahkan ketika kebenaran tersebut menyakitkan. Lingkungan Myshkin adalah dunia yang korup, penuh manipulasi, dan egoisme. Dalam dunia yang seperti itu, justru kesucian dan kasih Myshkin dianggap sebagai hal yang asing. Dalam kebodohannya yang “suci” itu, Myshkin menyerupai Kristus, bukan sebagai kristus yang berkuasa, mulia, dan agung atau yang memiliki kerajaan dengan kemegahan, tetapi justru menyerupai Kristus yang ditolak di tengah masyarakat. Dalam hal ini, Myshkin menggambarkan bahwa Kerajaan Allah bukanlah sebuah proyek kemenangan duniawi tetapi kerajaan yang berakar dalam kerendahan, kegagalan, dan kehinaan salib. 

Melalui Myshkin, Dostoevsky jelas menunjukkan bahwa Kerajaan Allah hadir dengan cara asing dan tak terduga—bukan melalui kekuasaan dan kemuliaan seperti keinginan manusia, melainkan melalui penderitaan, kelemahan, dan kasih yang tampaknya tidak relevan bagi dunia berdosa yang mencintai kekuatan dan kemenangan. Di tengah masyarakat Rusia yang digambarkan pada novel tersebut, dapat dilihat bahwa kerajaan dunia bekerja melalui ambisi pribadi, persaingan status, tipu daya, dan keinginan untuk menguasai orang lain. Tokoh-tokoh seperti Rogozhin, Nastasya Filippovna, maupun Ivolgin hidup dalam hawa nafsu, keserakahan, dan kelicikan. Dalam dunia seperti itu, keberadaan Myshkin yang suci dan penuh kasih yang merupakan gambaran dari Allah dianggap sebagai suatu kebodohan.

Bagian klimaks dan sekaligus inti dari buku The Idiot sebenarnya adalah adegan ketika Rogozhin membunuh Nastasya karena terlalu terobsesi dan penuh gairah dengan wanita tersebut. Myshkin, yang mencintai Nastasya, mengetahui bahwa Rogozhin telah membunuh Nastasya merespons bukan dengan amarah atau dengan penghakiman, tetapi dengan kasih, hadir dan duduk sepanjang malam bersama Rogozhin yang mengalami kekacauan psikologis dan spiritual karena telah melakukan pembunuhan.

Pada adegan tersebut, Dostoevsky seolah-olah sengaja membuat sosok Myshkin tampak benar-benar gila karena mengasihi orang yang sebenarnya tak layak untuk dikasihani. Tindakan Myshkin yang hadir dan merawat Rogozhin sepanjang malam setelah pembunuhan Nastasya bukanlah hasil dari logika dunia atau kasih biasa, melainkan suatu kasih yang ditawarkan oleh Alkitab, yaitu kasih agape. Agape adalah kasih yang tak bersyarat, tanpa pamrih, dan tanpa memandang seberdosa apa orang itu. Itulah momen di mana Myshkin menyerupai Kristus dan Rogozhin manusia berdosa. 

Jalan Salib

“Arsitek dunia selalu memakai bahan-bahan yang paling indah untuk membangun bangunan yang megah di dunia ini. Hanya Tuhan Allah yang memakai manusia-manusia yang hancur hatinya untuk membangun kerajaan-Nya.” – Pdt. Stephen Tong

Kristus seperti yang dicatat dalam Alkitab tidak datang untuk orang benar tetapi untuk orang yang berdosa, orang sakit, orang buangan. Dalam Perjanjian Baru, kita bisa melihat bahwa Yesus sendiri bergaul dengan orang-orang yang mungkin dunia anggap orang yang jahat. Bukankah Yesus sendiri makan di rumah seorang pemungut cukai yang sangat dibenci oleh masyarakat pada saat itu? Bukankah Yesus pernah mengampuni dosa seorang perempuan yang melakukan zinah? Bukankah Yesus juga memberikan keselamatan kepada penjahat di samping-Nya ketika Dia disalibkan? Bukankah Yesus tetap mengasihi Petrus yang menyangkal-Nya berkali-kali? Mengapa Yesus tidak bergaul dengan orang Farisi yang menganggap dirinya layak di hadapan Tuhan atau kepada pemuda yang datang kepada-Nya yang merasa sudah melakukan semua kebaikan? 

Dari semua tindakan itu, kita melihat bahwa kasih Yesus tidak ditujukan kepada mereka yang merasa layak, tetapi justru kepada mereka yang sadar bahwa mereka membutuhkan anugerah. Kasih yang Ia tawarkan bukanlah kasih yang bersyarat atau berdasarkan kelayakan, tetapi kasih yang merendah dan mencari yang hilang. Itulah kasih yang ditawarkan di dalam Alkitab, yaitu kasih agape. Dan sebagai anak-anak Tuhan, apakah kita juga berani mengasihi orang-orang yang lemah, yang mengalami depresi, para janda, atau bahkan narapidana, yang berkelainan secara mental dan emosional, dan lainnya yang dianggap “pantas dibuang”? Beranikah kita memberikan kasih agape itu kepada orang-orang seperti itu supaya mereka bertobat dan kembali kepada Tuhan? Yang perlu kita gumulkan sebenarnya adalah apakah kita mau menjadi “idiot-idiot” bagi Tuhan atau justru menjadi serupa dengan dunia ini dan menganggap salib sebagai suatu kebodohan?

Bagi dunia, mungkin tindakan Myshkin dan Yesus itu aneh, tidak masuk akal. Tapi justru itulah poinnya bahwa kasih yang sejati memang harus menggugah nurani manusia, sebagaimana yang dikatakan Paulus, “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1Kor. 1:18). Myshkin adalah skandal—seperti salib Yesus. Ia mengasihi orang yang tak layak dikasihi dan hal tersebut merusak logika dan “mengganggu” konsep kasih yang diajarkan dunia. Tetapi satu hal yang perlu kita ketahui, bahwa dunia yang menghina dan menganggap salib sebagai kebodohan adalah mereka yang telah gagal mengenal kemuliaan yang tersembunyi dalam penderitaan Kristus.

Dostoevsky sepertinya menawarkan kepada kita seorang tokoh, Myshkin, yang sengaja menentang “hikmat dunia” yang merupakan lambang dari bagaimana kasih Ilahi hadir di tengah-tengah manusia yang rapuh, bukan dalam bentuk mukjizat atau kemenangan politik, melainkan dalam sikap yang tetap mengasihi bahkan ketika kasih itu ditolak dan diinjak-injak, sama seperti Yesus yang dengan kasih-Nya datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia sehingga rela mati di kayu salib. Tetapi justru kasih-Nya tersebut ditolak oleh manusia, bahkan dianggap sebagai suatu kebodohan, karena salib bagi dunia merupakan simbol dari kekalahan, penderitaan, dan aib. Walaupun salib adalah kebodohan bagi dunia, justru bagi orang percaya salib adalah bentuk bagaimana Allah mengasihi umat-Nya. Mata uang “kasih dan pengorbanan” adalah sebuah mata uang yang “non-eksisten”, bahkan suatu tabu yang berbahaya dalam Kota Dunia.

Dan mengenai Kerajaan Allah yang berbeda dengan konsep dunia, memang begitulah cara Tuhan membangun kerajaan-Nya, yaitu dengan salib yang dianggap suatu kebodohan dan dengan orang-orang yang tidak dipandang oleh dunia ini. Mungkin kita bertanya mengapa Tuhan memakai orang seperti itu untuk ikut berbagian dalam kerajaan-Nya. Jawabannya adalah seperti yang Alkitab katakan sendiri, yaitu untuk mempermalukan dan menjatuhkan kerajaan dunia dengan segala kemegahannya.

“Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah.” (1Kor. 1:27-29)

Menuju Golgota

Setelah memberontak berkali-kali dan para pemimpin revolusi disalib oleh Romawi, untuk pertama dan terakhir kalinya, bangsa Yahudi pada saat itu give away pemimpin mesianiknya untuk dihukum mati oleh Pilatus. Pilatus, manusia Romawi yang paling kejam pada saat itu, yang sudah siap sedia untuk menyalibkan orang, merasa bingung dan bertanya-tanya, “Mengapa bangsa-Mu sendiri yang mau menyalibkan Engkau, padahal itu harusnya tugas saya, dan saya tidak melihat diri-Mu bersalah.” Kelompok Farisi yang ribut dengan Saduki, yaitu kubu pengajar dan kubu pengurus Bait Allah, akhirnya dapat menemukan satu musuh bersama untuk dilawan. Setidaknya, mereka bisa sama-sama setuju bahwa Mesias akan memutarbalikkan Kekaisaran Romawi yang menindas orang Yahudi. Menurut bayangan mereka, mustahil seorang Mesias harus mati sebagai domba yang dikorbankan seperti yang dikisahkan dalam Kitab Yesaya 53. 

“Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian. Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya, seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, dia tidak membuka mulutnya.” (Yes. 53:6-7)

Pada akhirnya, Yesus harus disalibkan untuk menjaga kestabilan kekuasaan: lebih baik satu manusia mati daripada seluruh bangsa dan sistem yang dibangun oleh manusia harus dihancurkan. Seandainya Yesus dapat memberikan roti kepada ribuan orang, Dia sudah memenangkan hati orang-orang Yahudi dan menjadi raja. Andai kata saja, Yesus lompat dari Bait Allah, maka orang-orang Yahudi akan menobatkan Dia sebagai imam. Bila saja, Yesus menerima tawaran terakhir untuk menyembah iblis, maka seluruh kerajaan dnuia akan diserahkan kepada-Nya, dan yang ingin menyalibkan Yesus akan berlutut di hadapan Raja segala raja, Dia bisa menjadi “Tuhan” atas dunia. Bukankah itu yang sebetulnya menjadi tujuan kekristenan?

Tidak.

Sepertinya, kalau kita tidak salah membaca Kitab Suci, Tuhan kita tidak tertarik dengan kerajaan seperti itu. Jalan salib yang ditempuh oleh Tuhan Yesus meruntuhkan asumsi, fantasi, dan “pembenaran” yang selama ini kita harapkan. Misteri kebenaran yang Allah nyatakan barangkali membuat kita bingung, kecewa, dan bahkan bertanya-tanya akan Tuhan yang kita sembah. Jika Yesus tiba-tiba hadir di gereja, apakah kita bisa menyambut-Nya dengan benar? Atau jangan-jangan, karena mata kita sudah tertutup dengan keinginan duniawi, maka kita sulit untuk menerima Yesus sebagai raja yang mengenakan mahkota duri.

Kalau kita mengukur perjalanan karir Tuhan Yesus, bisa dibilang Dia adalah manusia The Idiot yang paling gagal. Dia tidak pernah membangun sebuah gereja, tidak ada kuasa militer, tidak ada dukungan rakyat yang selama ini menerima roti dan ikan, dan Dia mati di kayu salib. Murid-murid-Nya pun meninggalkan Dia sebagai “mesias gagal”. Dalam catatan sejarah, tidak ada pemimpin agama yang sebetulnya hidup setragis manusia Yesus. Di kayu salib, Yesus hanyalah seorang nobody yang telah gagal untuk menunjukkan kehebatan yang spektakuler menurut ukuran dunia. Akan tetapi, justru di situlah Tuhan menunjukkan kemuliaan-Nya.

Christianity began with a humble beginning, dan kekristenan akan berlanjut dan bertumbuh dengan cara demikian juga. Yesus lahir di palungan dan mati di kayu salib. Kubur kosong nantinya akan menjadi deklarasi universal bahwa maut dan kuasa dunia sudah dikalahkan. Jangan sampai gereja ikut menjadi serupa dengan dunia, dan kita tidak bisa berkata, “’Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!” Ketika kita menempuh jalan salib seperti yang dilakukan oleh Tuhan kita, yaitu jalan melepaskan diri kita dan memberi diri untuk dilukai, maka salib yang ditanggung itu akan menjadi kekuatan terbesar untuk membawa jiwa-jiwa kembali kepada Kerajaan Allah.

Sebab seandainya kekristenan dimulai dengan kekuasaan, maka manusia berdosa dan lemah akan dikeluarkan dari Kerajaan Allah, dan gereja menjadi sebuah “museum” bagi orang-orang benar. Namun, kekristenan bukanlah sebuah kerajaan dunia. Kekristenan adalah keluarga dan kerajaan Allah, yang sudah, sedang, dan akan datang. Janji keselamatan dalam kekekalan bermula di palungan, kayu salib, dan kubur kosong—bukan dalam sebuah istana atau bait ibadah yang raksasa. Janji itu tersimpan dalam Kristus Yesus yang menjadi manusia, mengambil rupa seorang hamba, taat dan mati di kayu salib. Jika Yesus, Tuhan kita, mengambil rupa seperti demikian, maka kita sebagai murid dan pengikut-Nya juga seharusnya melangkah menurut jalan salib dan mengasihi sesama—sebagaimana Kristus telah mengasihi kita.

“Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Flp. 2:5-8)

Kevin Nobel

Pemuda GRII Pusat

Ernike Ginting Babo

Mahasiswa Calvin Institute of Technology (CIT)

Pemudi GRII Pusat

Tag: jalan salib, Kristus

Langganan nawala Buletin PILLAR

Berlangganan untuk mendapatkan e-mail ketika edisi PILLAR terbaru telah meluncur serta renungan harian bagi Anda.

Periksa kotak masuk (inbox) atau folder spam Anda untuk mengonfirmasi langganan Anda. Terima kasih.

logo grii
Buletin Pemuda Gereja Reformed Injili Indonesia

Membawa pemuda untuk menghidupkan signifikansi gerakan Reformed Injili di dalam segala bidang; berperan sebagai wadah edukasi & informasi yang menjawab kebutuhan pemuda.

Temukan Kami di

  facebook   instagram

  • Home
  • GRII
  • Tentang PILLAR
  • Hubungi kami
  • PDF
  • Donasi

© 2010 - 2025 GRII