(Refleksi saat Retret Pemuda GRII Karawaci, Puncak, 26 Mei 2012)
Sejak kuliah saya sering sekali mendengar khotbah-khotbah Reformed, tetapi terlepas dari sifat komprehensif Theologi Reformed yang kita banggakan, sedikit sekali khotbah yang mempersiapkan saya untuk menghadapi kegagalan. Salah satu penyebab ketidaksiapan saya adalah mitos yang mendarah daging bahwa kegagalan tidak seharusnya terjadi.
Sentimen saya mengenai hal ini mirip dengan keyakinan bahwa penderitaan tidak seharusnya terjadi. Pada saat refleksi ini dibagikan, puluhan pemuda Reformed sedang merenungkan firman Tuhan dalam retret rohani. Nah, kita semua tahu bahwa pesawat terbang bisa jatuh seperti yang dialami Sukhoi di Gunung Salak yang sangat dekat dengan tempat retret, tetapi kita akan sangat terkejut dan sulit menerima jika pesawat itu jatuh di atas kepala para peserta retret dan langsung mengebumikan sebagian besar anggota GRII Karawaci berikut para hamba Tuhan dan aktivisnya. Saya mungkin salah, tapi saya kira tidak ada pembaca yang saat ini merasa sungguh-sungguh bersyukur karena tidak ada kepingan sayap pesawat yang mampir di kepalanya. Saya tahu saya seharusnya bersyukur untuk hal itu, tapi saya tidak merasa begitu.
Kira-kira kegagalan terasa seperti itu. Saya tahu orang bisa gagal, orang Kristen bisa gagal, orang Reformed bisa gagal, tetapi itu tidak seharusnya. Orang seharusnya tidak gagal. Saya seharusnya tidak gagal. Setelah hidup lebih lama, saya menemukan bahwa berlawanan dengan kepercayaan saya pada mitos itu, saya sering sekali gagal. Setelah berkali-kali gagal dan gagal lagi, saya terpaksa merevisi kepercayaan saya. Ternyata kegagalan mempunyai porsi yang besar dan signifikan dalam realitas hidup saya. Pernah seseorang bertanya, bagaimana saya menggambarkan hidup saya dengan satu kata saja, saya langsung katakan, “Kegagalan”. Orang-orang lain, entah bagaimana caranya, hidup mereka tidak kelihatan begitu. Kelihatannya orang-orang lain baik-baik saja. Kelihatannya orang lain tidak bolak-balik jatuh seperti saya. Tetapi Alkitab menceritakan orang-orang yang gagal, orang-orang yang adalah umat Allah, bahkan para pemimpin umat Allah yang gagal. Kalau kegagalan memang adalah bagian dari realitas, maka kita harus belajar menghadapinya.
Kegagalan: Ilusi atau Realitas?
Mari kita melihat apa yang Alkitab katakan mengenai kegagalan di awal sejarah manusia. Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan sangat amat baik, tetapi manusia jatuh ke dalam dosa. Tuhan mencari manusia dan vonis dijatuhkan kepada Adam, Hawa, dan ular. Kejadian 3:15 mengatakan bahwa permusuhan diadakan antara keturunan ular dan keturunan perempuan. Dalam Injil yang paling pertama ini, protoevangelion, dijanjikan satu keturunan laki-laki yang tertentu, tunggal, bukan entah siapa atau keturunan perempuan beramai-ramai, untuk menang, yang kemudian kita kenal sebagai Yesus Kristus. Di dalam Kristus orang berdosa dikembalikan, direstorasi.
Tetapi janji penebusan ini tidak membatalkan konsekuensi dosa. Ayat 16-19 mencatat bahwa perempuan dan laki-laki diberi hukuman berbeda, sesuai dengan natur mereka. Hal-hal yang paling penting buat laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki dihukum dalam bidang pekerjaannya sedangkan perempuan dihukum dalam bidang relasi. Laki-laki bekerja dengan keras dan mengharapkan hasil, tapi hasil itu jauh dari apa yang diharapkan. Perempuan memiliki anak, tapi anak memberikan kesakitan pada ibu bukan hanya pada waktu kelahiran, tapi sepanjang waktu pendidikan. Perempuan memiliki suami, tapi bukannya ia taat pada suaminya dengan sukacita, ia ingin berkuasa atas suaminya.[1]
Apakah Tuhan menjanjikan penebus yang akan menyelesaikan masalah dosa dengan tuntas? Janji. Apakah kemudian segala hukuman dibatalkan? Sama sekali tidak. Dosa memiliki konsekuensi. Pilihan manusia mempunyai konsekuensi. Tuhan sangat menghormati kebebasan pilihan manusia, Ia tidak akan membatalkan konsekuensi dari pilihan manusia.
Ketika kamu menghadapi UAS (Ujian Akhir Semester), kamu sudah memilih sesuatu, entah belajar baik-baik atau tidak. Apakah waktumu kamu pakai untuk tidur, ngobrol, main game, atau bahkan pelayanan, waktumu untuk belajar sudah habis. Jika kamu tidak belajar baik-baik, biasanya waktu ujian kamu berdoa baik-baik, karena kepepet. Apa yang terjadi? Tuhan bisa tolong, tapi Tuhan tidak wajib tolong. Jika Tuhan tolong, maka apa yang biasanya terjadi setelah itu? Apakah kita akan menjadi rajin karena terharu oleh pertolongan Tuhan yang luar biasa, atau kita akan semakin diteguhkan untuk tidak belajar baik-baik? Kalau saya, saya akan semakin bertekun dalam dosa jika tidak dipukul. Maka waktu Tuhan tidak menolong dan saya gagal, saya sedang menerima konsekuensi pilihan saya. Tuhan sedang memperlakukan saya sebagai orang dewasa; memberikan konsekuensi pilihan saya meskipun hal itu tidak menyenangkan, meskipun itu berarti saya harus gagal.
Satu lagi bagian Alkitab yang menegaskan keberadaan yang jahat (kita asumsikan saja kegagalan kita itu sesuatu yang jahat) adalah perumpamaan lalang dan gandum (Mat. 13:24-30; 36-43). Tuhan Yesus mengatakan Kerajaan Sorga yang diinaugurasi dengan kedatangan-Nya adalah seperti ladang di mana lalang dan gandum tumbuh bersama-sama untuk suatu waktu tertentu. Lalangnya (yang jahat) jelas bukan dari pemilik ladang, melainkan dari musuh (si Jahat), tapi pemilik ladang membiarkan lalang tumbuh bersama gandum di ladang. Yang jahat dan yang baik dibiarkan bersama-sama sampai pada penghakiman. Penghakiman pasti tiba, tapi ternyata ketika Tuhan Yesus datang, Ia tidak segera memberantas kejahatan.
Kedua bagian firman ini menyatakan realitas bahwa, hei, ini dunia yang berdosa. Dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa, segala sesuatu tidak berjalan seperti seharusnya. Berlawanan dengan mitos yang entah bagaimana mengakar dalam diri kita dan muncul dalam kejadian sehari-hari.
Waktu seseorang berbuat salah maka reaksi pertama kita adalah ngomel. Sekali kita tegur orang itu tapi dia tidak berubah maka kita kesal. Berkali-kali kita tegur orang itu tetapi dia tetap tidak berubah maka kita murka. Asumsi di belakangnya adalah: seharusnya kalau kamu sudah tahu, kamu langsung berubah. Hal yang sama membuat kita berteriak-teriak di depan TV sewaktu menonton Thomas/Uber Cup yang lalu, “Jangan pukul terlalu keras, out deh! Cepat sedikit larinya! Main jangan disetir lawan! Smash sekarang!” (Anehnya, orang-orang yang paling pandai berkenaan dengan strategi main bulu tangkis tidak pernah direkrut negara mewakili Indonesia dalam pertandingan internasional.)
Kita lupa bahwa kita pun sama saja. Apakah kita langsung berubah begitu diingatkan? Apakah begitu kita tahu yang baik maka langsung kita kerjakan? Tidak. Kita pikir, aduh, dunia ini akan menjadi tempat yang jauh lebih indaaah kalau orang lain berubah sedikit saja, satu sifat saja. Tapi itu adalah hal yang tidak realistis. Jangankan mengubah orang lain, mengubah diri kita sendiri saja kita tidak sanggup. Tapi kita lebih suka mengatur orang lain daripada mengatur diri sendiri.
Kita harus menghadapi kenyataan bahwa kita berada di dalam dunia yang berdosa. Dalam dunia yang berdosa, segala sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang seharusnya. Juga tidak diri kita yang katanya Kristen ini. Semakin cepat kita menerima realitas ini, semakin cepat kita bisa menghadapinya dengan benar.
Kegagalan: Apa Itu?
Kita sudah menemukan bahwa realitas kegagalan adalah realitas dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa. Sekarang, apa itu kegagalan? Biasanya kita merasa gagal ketika target yang saya tetapkan tidak tercapai. Saya mau mendapat nilai A, tapi hanya mendapat nilai B. Atau saya tidak diterima orang maka saya merasa gagal sebagai manusia. Atau waktu yang saya tetapkan untuk mencapai target tidak terpenuhi. Saya mau mempunyai pacar dalam seminggu, atau mau mendapat pekerjaan dalam waktu tiga bulan setelah lulus. Semua contoh-contoh ini bisa kita sebutkan dengan ringan, tapi sewaktu kita mengalaminya, kita bisa menangis, frustrasi, marah, stres sampai sakit, mungkin sampai mau bunuh diri.
Bagaimana kalau target itu bukan ditetapkan oleh saya sendiri, melainkan ditetapkan oleh orang lain, misalnya orang tua atau guru? Kalau saya percaya pada orang tua atau guru saya, maka ketika mereka mengatakan bahwa saya harus bisa memainkan piano seperti Mozart dalam waktu lima tahun, saya akan menjadikan itu sebagai target saya. Kalau target itu tidak tercapai maka saya akan merasa gagal. Tetapi kadang kita gagal untuk mengerti target yang disodorkan orang lain pada kita.
Saya pernah mempunyai murid les piano yang perfeksionis. Begitu dia salah memainkan satu not maka dia akan berhenti dan mengulang lagi dari depan. Kalau salah lagi maka berhenti lagi, begitu terus. Untuk bisa memainkan satu lagu sampai selesai, katakan 100 not, tidak boleh ada satu pun yang salah. Sampai satu lagu diulang lima kali, tetap tidak berhasil mencapai akhir lagu. Dia frustrasi. Saya juga. Dia merasa gagal. Saya setuju dia gagal. Tapi karena alasan yang berbeda.
Dia frustrasi karena dia mengira targetnya adalah tidak boleh ada satu not pun yang salah. Saya frustrasi karena target saya adalah dia harus memainkan seluruh lagu, meskipun ada sedikit kesalahan. Dia kesal sekali pada dirinya sendiri dan tidak mau main lagi. Saya juga kesal sekali. Saya meluncurkan pidato, “Kamu tahu tidak, dunia ini bukan dunia yang sempurna? Saya bukan guru yang sempurna. Kamu bukan murid yang sempurna. Kamu tidak akan main dengan sempurna juga. Salah waktu latihan itu wajar, asal kamu bisa menghadapi kesalahanmu itu dan terus berlatih!” Pidato filosofis dan berapi-api pada anak yang baru berumur 10 tahun. Tapi entah bagaimana, dia mengerti spirit yang saya maksudkan.
Targetnya bukanlah untuk tidak membuat kesalahan sama sekali. Targetnya adalah “hanya” maju dan terus menjadi lebih baik. Membuat kesalahan tidak apa-apa, selama dia bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar, dan terus berlatih. Karena dia salah menilai diri, meletakkan tuntutan yang terlalu tinggi pada waktu yang salah dan tidak bisa ia capai, akibatnya dia menyerah. Dia tidak mau berusaha lagi karena “Saya toh tidak bisa!” Menyerah tidak pernah membuat orang menjadi lebih baik. Menyerah adalah satu-satunya kesalahan yang tidak boleh pernah dibuat.
Ada cukup banyak orang yang mencoba ikut paduan suara lalu menyerah setelah sekali ikut latihan. Waktu ditanya, mereka mengatakan bahwa mereka tidak bisa. Saya heran. Ya sudah pasti tidak bisa, lagunya susah, pakai not balok, baru latihan sekali, mana mungkin bisa. Sebagai guru, saya mempunyai target yang berbeda dari mereka. Kok beda? Mereka mau menguasai lagu. Saya mau tidak mereka menguasai lagu itu? Pasti mau. Tapi saya tahu prosesnya sampai ke situ perlu waktu yang lama dan latihan yang teratur, bukan sekali ikut tiba-tiba bisa. Untuk bisa sampai ke situ, perlu apa? Pertama-tama, bukan perlu kegeniusan, bukan suara yang super merdu, bukan pengetahuan sejarah musik satu milenium, melainkan perlu keberanian menghadapi kegagalan. Perlu keberanian setelah jatuh, sakit, hapus air mata, untuk bangun lagi. Kita hanya perlu bangun satu kali lebih banyak daripada jumlah kita jatuh.
Apakah Allah mempunyai target untuk hidup kita? Punya. Haruskah target itu sama dengan apa yang saya kira target saya? Tidak. Waktu kita menangis mati-matian karena kita gagal, mungkin Tuhan mengatakan, “Kamu salah target.”
Waktu kita menghadapi kegagalan, pertanyaan yang harus kita ajukan adalah “Gagal menurut target siapa?” Terlalu sering kita mempunyai target yang sama dengan target dunia. Mau mendapat nilai yang baik agar nanti bisa dapat perkerjaan yang baik, berdasarkan prinsip ekonomi, hasil sebesar-besarnya dengan usaha yang sekecil-kecilnya, gaji segede-gedenya dengan kerjaan yang seringan-ringannya. Waktu kita gagal adalah waktu yang menyediakan kesempatan yang sangat baik untuk memikirkan, saya sedang mengejar target siapa?
Kita menyebut Yesus sebagai Tuhan kita. Sadarkah kita, Tuhan kita jika dinilai berdasarkan target dunia, Dia adalah orang yang gagal luar biasa? Pecundang besar. Tidak punya uang, tidak punya gelar, keluarga saja tidak punya. Tidak tulis buku, tidak diakui oleh bangsa-Nya sendiri, dijual oleh murid-Nya sendiri, disangkal oleh salah satu murid terdekat-Nya, korban ketidakadilan penjajah Romawi, sampai akhirnya mati dengan hukuman yang paling kejam yang ada. Seharusnya hal ini membuat kita sadar bahwa hal-hal yang kita anggap keberhasilan kristiani, mungkin sebetulnya adalah keberhasilan dunia yang hanya ditambah embel-embel Kristen. Misalnya nilai baik. Kita berdoa untuk hal itu di gereja; sebelum belajar kita berdoa; sebelum ujian kita berdoa, dalam nama Tuhan Yesus, bukan nama yang lain; sewaktu dapat nilai baik kita mengatakan puji Tuhan, bukan puji kepintaran saya sendiri. Tapi kita jarang bertanya, ini target Tuhan untuk saya atau target saya sendiri? Lebih konyol lagi, waktu gagal kita berseru, “Mengapa, Tuhan, bukankah saya sedang melakukan kehendak-Mu? Bukankah kalau saya menang olimpiade atau dapat Nobel Prize, nama-Mu akan dimuliakan?”
Ketaatan pada target dunia bahkan sampai pada keberhasilan menurut standar dunia adalah kegagalan di hadapan Tuhan. Kegagalan menuruti standar Tuhan adalah kegagalan yang susah sekali kita sadari. Maka Tuhan sering sekali membiarkan kita gagal, gagal menurut standar dunia supaya kita sadar akan keadaan kita. Seperti anak yang terhilang baru sadar akan kesalahannya ketika ia kehabisan uang, mengalami kelaparan, dan nyangkut di kandang babi. Apa kesalahannya? Kalau ia bisa mengulang dari awal, apa yang harus ia lakukan? Anak itu tidak mengatakan bahwa seharusnya saya menabung untuk masa depan saya, investasi sebelum kelaparan tiba. Anak itu tidak mengatakan bahwa seharusnya saya mencari pekerjaan sebelum tidak ada pekerjaan. Anak itu mengatakan bahwa saya berdosa karena saya meninggalkan bapaku. Ini bukan hal yang mudah untuk dikerjakan. Sewaktu orang merasa ada yang salah dalam hidupnya, biasanya hal yang pertama dikerjakan adalah mencari kambing hitam. Orang lain yang disalahkan, lingkungan yang disalahkan.
Setelah Kegagalan: Apa?
Mari kita membaca dari Ratapan 5:1. Ketika bangsa Israel gagal untuk menaati perintah Tuhan dan dihukum serta ditaklukkan oleh Babel, mereka meratap dalam doa kepada Tuhan. Ratapan kepada Tuhan adalah suatu hal yang baik. Jangan berpikir bahwa kita hanya boleh bersyukur kepada Tuhan, kita hanya boleh berdoa mengenai yang positif. Alkitab khususnya Mazmur penuh dengan ungkapan hati orang-orang yang menderita dan berseru kepada Tuhan mengenai penderitaan mereka. Mereka bukan sekadar melakukan perenungan mengenai penderitaan, mereka mengulurkan tangan dan mengangkat suara kepada Tuhan. Mereka melakukan bagian mereka sebagai orang yang memiliki hubungan dengan Tuhan, meski dalam penderitaan. Doa bukan sekadar kita ngomong-ngomong sendiri. Doa sangat berkuasa karena Sang Pribadi yang kepada-Nya kita berdoa adalah Sang Penguasa. Dan dalam doa ini kita bisa melihat pergumulan umat Tuhan. Ayat 7 merupakan penilaian umat Allah: Ini bukan salah kami, ini salah mereka. Tetapi orang yang diberi anugerah untuk berbicara kepada Tuhan tidak mungkin terus diam di tempat. Ayat 16 menunjukkan pergerakan maju. Umat Tuhan sekarang sadar akan kesalahannya, tapi tetap tidak berarti semua masalah selesai. Ayat 22, akhir dari ratapan ini merupakan pertanyaan. Pergumulan itu tetap ada. Tetapi yang paling penting adalah para peratap itu tidak diam. Mereka berdoa kepada Tuhan, lalu Tuhan membuat mereka sadar akan diri mereka di hadapan Tuhan. Sebelumnya mereka menunjuk kepada orang lain, salah dia! Sekarang mereka menyadari dosa diri.
Dari segala kegagalan yang kita alami, tidak ada yang se-menyedihkan kegagalan kita menaati Tuhan. Kalau Tuhan memberikan kita kesadaran akan dosa kita, kita harus bersyukur meskipun pada saat itu rasanya menyakitkan. Jangan lupa bahwa Tuhanlah yang memberikan hal-hal yang menyakitkan. Hal-hal yang menyakitkan kita juga datang dari tangan Bapa yang penuh kasih. Penderitaan dalam hidup kita bukan berarti setan berhasil merebut kendali dari tangan Tuhan. Dulu saya kira setan dan Tuhan itu seperti kuasa yang berlawanan, yang satu arah positif, yang satu arah negatif. Jika setan memberikan gaya minus 100 N, maka Tuhan berkewajiban memberikan gaya plus 100 N supaya tidak ada hasil negatif. Tetapi ternyata Tuhan kita lebih canggih daripada itu. Tuhan kita adalah Tuhan yang bekerja melalui hal-hal yang negatif bahkan melalui setan untuk mencapai tujuan Tuhan yang mulia: pengudusan kita dan kemuliaan-Nya. Pengertian akan Tuhan yang seperti apa ini akan sangat menentukan bagaimana kita bangkit kembali setelah gagal dan jatuh.
Sewaktu saya gagal, saya biasanya langsung menyerah dan tidak pengen melakukan apa-apa, karena saya toh seorang yang gagal. Untuk apa saya usaha? Pada saat itu, yang menghibur dan menguatkan saya adalah suatu pemikiran, sebagaimana diri saya pun, Tuhan mengasihi saya. Dia tahu seberapa jeleknya saya, Dia lebih tahu itu daripada saya, tetapi Dia mengasihi saya. Dia tidak akan menjadi tidak mengasihi saya karena saya gagal. Itu satu-satunya pemikiran yang mendorong saya untuk batal menyerah. Saya berusaha untuk memberikan yang terbaik, bukan karena saya percaya kalau saya bekerja keras pasti berhasil. Saya sudah cukup sering gagal untuk tahu, usaha terbaik saya pun mungkin sekali gagal. Saya berusaha untuk memberikan yang terbaik karena Tuhan yang mengasihi saya mau hal itu. Kalaupun saya gagal, dalam arti tidak ada hasil yang kelihatan, maka saya sudah mengerjakan yang Tuhan mau yaitu tekun memberikan yang terbaik, dan itu yang Tuhan minta.
Itulah yang namanya bertobat. Bertobat bukan cuma menangis. Orang bisa menangis karena takut dihukum. Bertobat bukan cuma menyadari atau bahkan mengaku salah. Itu bagian yang penting dari pertobatan, langkah pertama, sudah pasti. Tetapi setelah itu, harus ada pekerjaan yang dilakukan, usaha yang dibuat, untuk berbalik, untuk tidak lagi melakukan yang salah. Salah satu dosa saya yang terbesar adalah malas. Saya sangat suka tidur. Kalau sudah tahu begitu, maka saya jangan belajar sambil tiduran atau bahkan duduk di sofa. Karena hasilnya pasti tidur. Tidak ada gunanya saya berdoa sambil nangis-nangis, aduh, ketiduran lagi. Saya harus mengubah apa yang saya kerjakan. Mungkin minum kopi, atau kalau perlu kopinya jangan diminum tapi disiram ke muka.
Kita menyebut diri sebagai orang Reformed yang mengikuti kerangka theologi John Calvin. Bagi Calvin, pertobatan adalah sesuatu yang kita kerjakan setiap hari. Kita tidak suka hal itu. Sekali-kali bolehlah, siapa sih yang kebal dari dosa. Tapi jangan sering-sering, apa lagi setiap hari. Kita suka berada di atas dan berkata, “Saya sudah lakukan semua dengan sangat amat baik.” Kita tidak suka ditunjukkan bahwa hal ini belum baik; hal ini tidak baik. Tetapi kita bodoh kalau kita tidak berani menghadapi kenyataan bahwa kita sedang disempurnakan. Untuk maju, kita harus berani menerima dan mengakui hal-hal yang Tuhan sedang perbaiki dalam diri kita. Dalam Gerakan Reformed yang besar ini, mungkin kita tergoda untuk kelihatan lebih baik dari diri kita yang sebenarnya. Kalau kita tidak mempertahankan keberanian untuk menerima ketidaksempurnaan kita, tidak mempertahankan kesiapan untuk bangun setelah jatuh, kita hanya akan merusak pekerjaan Tuhan pada akhirnya. Karena apa artinya jumlah orang yang dilayani jika kita bukan orang yang terus dibersihkan di hadapan Tuhan?
Kegagalan di mata dunia bukan hal yang kekal. Tapi kegagalan taat pada Tuhan, kegagalan mengoreksi diri, kegagalan bertobat, itu semua hal-hal yang sangat serius. Segera bangun dan tinggalkan dosa apa pun juga yang memberatimu dan menghalangi kamu untuk terus berlari mengikuti panggilan Tuhan.
Tirza Rachmadi
Mahasiswi STT Reformed Injili Internasional
Endnotes:
[1] Ev. Inawaty Teddy menjelaskan arti kata “berahi” di Kejadian 3:16; berahi di sini adalah kata yang sama yang digunakan untuk dosa yang mengintip dan menggoda Kain (Kej. 4:4), yang berarti ingin menguasai.