Kura-kura dan Kelinci

Banyak dari kita yang mengenal dengan baik fabel “Kura-Kura dan Kelinci”. Di dalam cerita ini, kelinci terus menyombongkan diri bahwa dia adalah yang tercepat di antara semua binatang. Lelah dengan kesombongan kelinci, seekor kura-kura menantangnya untuk lomba lari. Tentu saja kelinci seharusnya bisa menang, tetapi karena ia begitu bangga dengan kehebatannya dan yakin akan menang, ia tidur sejenak di tengah perlombaan itu. Sementara kelinci itu tidur, kura-kura, yang dengan tekun terus berjalan, mendahuluinya hingga akhirnya mencapai garis akhir terlebih dahulu.

Banyak orang Kristen di Korintus yang mirip dengan kelinci ini. Mereka menganggap dirinya sebagai pemenang bahkan sebelum pertandingan kehidupan Kristen mereka selesai. Mereka melihat kemakmuran duniawi serta karunia-karunia rohani mereka sebagai hal-hal yang istimewa. Mereka percaya bahwa Tuhan telah membuat mereka lebih unggul dibandingkan dengan orang Kristen yang lain. Mereka menganggap bahwa Allah telah memberkati mereka dengan berlimpah, jauh melebihi orang-orang Kristen lain yang memiliki lebih sedikit harta duniawi dan karunia-karunia rohani yang kurang spektakuler. 

Hal ini menimbulkan berbagai masalah di Korintus. Sebagaimana akan kita lihat, masalah-masalah ini bersumber dari kesalahpahaman mereka tentang konsep eskatologi. Banyak dari mereka yang sangat yakin bahwa mereka sudah menerima lebih banyak berkat dari “zaman yang akan datang” ketimbang siapa pun. Kita akan melihat beberapa masalah yang dituliskan Paulus di dalam suratnya.

Kerusakan Relasi

Paulus menerima laporan bahwa orang-orang percaya di Korintus saling bertikai sehingga terjadi perpecahan karena menggolongkan diri mereka berdasarkan pengajar yang mereka kagumi seperti Paulus, Apolos, Petrus, dan Yesus (1Kor. 1:12). Jemaat Korintus juga kurang peduli kepada orang miskin dan memperlakukan mereka dengan tidak benar dalam Perjamuan Kudus (1Kor. 11:21-22). Pada akhirnya, sikap yang egois ini menggagalkan mereka untuk mengumpulkan dana bantuan yang telah mereka janjikan untuk orang-orang Kristen yang berkekurangan di Yerusalem (2Kor. 8:10-11). 

Penyimpangan dalam Perilaku Seksual 

Keyakinan bahwa Yesus telah datang mengakibatkan kelonggaran moral seksualitas dalam jemaat Korintus, kemungkinan termasuk homoseksualitas dan pelacuran. Paulus menyebut satu masalah yang jelas: laki-laki yang berhubungan seksual dengan ibu tirinya sendiri (1Kor. 5:1-2). Di sisi lain, sebagian jemaat Korintus menganut asketisme dan pertarakan seksual, bahkan dalam hubungan pernikahan. Paulus menegur pandangan ini juga, sebab hal ini melanggar perjanjian pernikahan dan menyebabkan baik suami maupun istri rawan terhadap pencobaan seksual yang serius. Paulus menasihati para pasangan yang sudah menikah untuk memelihara hubungan seksual yang sepantasnya dan berkesinambungan, demi memenuhi perjanjian pernikahan mereka dan melindungi diri mereka dari pencobaan seksual (1Kor. 7:2-5).

Penyelewengan dalam Ibadah

Jemaat-jemaat di Korintus memiliki karunia-karunia yang mencolok seperti bahasa lidah dan nubuat. Mereka juga begitu sering menggunakannya dalam ibadah yang mengakibatkan terjadinya ketidaktertiban (1Kor. 14:26-33). Ibadah menjadi kacau dan tidak beraturan karena banyak orang bicara secara bersamaan.

Paulus juga menyebutkan isu daging yang dipersembahkan kepada berhala. Pada waktu itu, kebanyakan daging yang dijual di pasar sebelumnya telah dipersembahkan atau dibaktikan untuk suatu berhala. Paulus menekankan bahwa ibadah kafir tidak menodai daging itu, dan orang Kristen dapat memakan makanan itu sejauh mereka tidak memperlakukannya sebagai tindakan ibadah kafir. Namun, dengan makan daging yang telah dipersembahkan kepada berhala, jemaat Korintus yang memiliki pengertian theologi yang terbatas berisiko mencampuradukkan penyembahan kepada Kristus dengan penyembahan kepada dewa kafir. Maka orang-orang percaya yang dewasa rohani dinyatakan telah berbuat dosa apabila tindakan makan mereka menyebabkan kebingungan pada saudara-saudara yang imannya lebih lemah (1Kor. 8:10, 12).

Akar dari semua masalah ini adalah fakta bahwa mereka mementingkan diri sendiri dan kesombongan. Mereka tidak mau berhenti memuaskan diri sendiri, walaupun pemuasan diri itu menyebabkan orang lain jatuh ke dalam dosa yang mengerikan seperti penyembahan berhala. Penolakan untuk menghargai dan menghormati orang lain ini sangat tercela sampai membuat ibadah mereka sia-sia. 

Perspektif Theologi

Kita telah membahas bahwa eskatologi Paulus membagi sejarah ke dalam dua zaman: “zaman ini” (zaman dosa, hukuman, dan maut) dan “zaman yang akan datang” (berkat-berkat final untuk umat Allah di masa depan dan penghakiman terakhir terhadap para musuh-Nya). Kedatangan Kristus menjadi transisi dari dua zaman ini. Kristus telah meresmikan zaman yang akan datang, tetapi belum sepenuhnya menggenapi semua berkat yang dijanjikan. Maka, kita hidup dalam suatu zaman di mana keselamatan kekal yang akan datang itu “sudah” hadir dalam beberapa hal, tetapi “belum” hadir dalam hal lainnya. Selama masa tumpang-tindih kedua zaman ini, meskipun kita menikmati banyak berkat dari zaman yang akan datang, kita juga harus menyadari perjuangan dan kesulitan yang tetap ada dalam zaman dosa dan maut ini. 

Pola eskatologi ini telah menciptakan kesulitan bagi Gereja Mula-mula. Mereka menduga-duga sejauh manakah zaman yang akan datang itu telah hadir, dan akibatnya mereka jatuh ke dalam beberapa ekstrem. Dalam artikel sebelumnya, jemaat Tesalonika jatuh kepada “eskatologi yang terlalu bersemangat”. Mereka percaya bahwa dalam waktu dekat Yesus akan menyudahi zaman sekarang dan menggenapi zaman yang akan datang dalam segala kepenuhannya. Akibatnya, mereka menganggap sebagian besar kehidupan di zaman ini tidak penting. Sebaliknya, jemaat Galatia jatuh kepada “eskatologi yang kurang terwujud”. Mereka bertindak seolah-olah zaman yang akan datang belum tiba secara signifikan sehingga meminimalkan efek dari kedatangan Kristus yang pertama.

Jemaat Korintus jatuh kepada ekstrem yang dapat kita sebut “eskatologi yang terwujud secara berlebihan”. Mereka menganggap bahwa zaman dosa dan maut yang sekarang ini sebagian besar telah berhenti, sehingga mereka bebas untuk menikmati kelimpahan upah dari zaman yang akan datang. Jadi, sambil Paulus membahas isu-isu spesifik di dalam jemaat Korintus, ia juga mengajar mereka untuk mengevaluasi dan menjalani kehidupan mereka secara tepat selama masa tumpang-tindih “sudah” dan “belum” ini. 

Meskipun Paulus membahas masalah-masalah orang Korintus dengan banyak cara, kita akan berfokus kepada tiga unsur dalam eskatologinya yang secara teratur muncul dalam surat-surat ini: iman, khususnya dalam kaitannya dengan keutamaan Kristus; pengharapan di masa depan ketimbang di dalam dunia yang sekarang; dan kasih sebagai sebuah unsur hakiki dalam kehidupan Kristen. 

Iman

Sebagian jemaat Korintus, khususnya yang berotoritas di dalam gereja, bertindak seolah-olah Kristus telah menghadirkan Kerajaan Allah hampir dalam seluruh kepenuhannya dan telah menetapkan diri mereka sebagai para penguasa atas Kerajaan-Nya di bumi yang baru didirikan-Nya. Mereka percaya hal ini sebab mereka menganggap diri lebih bijak dan lebih rohani daripada orang lain. Mereka memandang rendah orang lain yang dalam pandangan mereka tidak menerima berkat dan karunia sebesar mereka.

Dalam 1 Korintus 4:7-10, Paulus mengejek pemikiran angkuh ini. Mereka berpikir diri mereka pantas menerima status dan kehormatan, tetapi kenyataannya Kristuslah yang memberikan kepada mereka semua hal ini. Mereka dengan bodoh berpikir bahwa pemerintahannya itu telah dimulai meski Kristus belum datang kembali sebagai Raja. Kebodohan dan kesombongan ini telah mendatangkan malapetaka dalam gereja, terutama dengan tidak menghargai dan menghancurkan orang-orang percaya yang tidak memiliki posisi yang berpengaruh. Paulus mengoreksi dengan kembali menekankan bahwa zaman yang akan datang belum terwujud dalam seluruh kepenuhannya. Tidak ada seorang pun yang telah “mulai memerintah”.

Jemaat Korintus juga mengabaikan fakta bahwa orang-orang percaya menerima berkat-berkat dari zaman yang akan datang, termasuk karunia-karunia rohani dan kehormatan, hanya melalui kesatuan dengan Kristus. Kesatuan ini mengakibatkan orang percaya berbagian dalam kebenaran Kristus. Sehingga ketika Allah memandang mereka, kebenaran Kristuslah yang dilihat-Nya, dan anugerah ini jugalah yang memampukan manusia untuk hidup di dalam kehormatan sebagai anak-anak Allah dan juga menikmati karunia.

Namun, jemaat Korintus memandang karunia dan kehormatan sebagai hasil usaha orang percaya secara perorangan. Mereka berpikir bahwa jika seorang Kristen memiliki pengaruh dan status, itu karena orang tersebut memang layak menerimanya. Dan jika seorang percaya tidak memiliki keunggulan duniawi itu, penyebabnya adalah karena ia adalah seorang Kristen yang lebih rendah. 

Paulus bersikeras mengingatkan agar orang percaya tidak menilai diri mereka atau orang lain menurut standar kedagingan atau keduniawian. Sebaliknya, ia ingin mereka memandang semua orang percaya sebagai umat yang telah dipersatukan dengan Kristus, dan mereka harus saling memberikan penghormatan dan kasih seperti yang akan mereka berikan kepada Tuhan sendiri. Paulus menyatakan bahwa berdasarkan persatuan dengan Kristus, maka seorang percaya yang berdosa terhadap orang percaya lainnya berdosa juga terhadap Kristus (1Kor. 8:11-12).

Paulus memunculkan argumen sejenis ketika mengajar mereka yang berkedudukan tinggi agar tidak mempermalukan orang miskin dalam Perjamuan Kudus (1Kor. 11:24-27). Ia mengingatkan bahwa Yesus telah memberikan diri-Nya untuk mereka semua, bukan hanya untuk yang kaya dan berkuasa. Ia mengingatkan mereka bahwa hanya melalui Kristus yang dimiliki oleh semua orang percaya tanpa perbedaan, mereka menerima berkat-berkat dari zaman yang akan datang. Perjamuan Kudus yang dilakukan semena-mena terhadap orang miskin berarti berdosa terhadap Yesus sendiri. 

Orang-orang percaya berbagian dalam berkat-berkat dari zaman yang akan datang hanya melalui kesatuan dengan Kristus. Apabila kita menyadari hal ini, kita dapat memberikan kemuliaan yang selayaknya kepada Kristus dan menghindari banyak dosa yang berakar dalam keangkuhan. 

Pengharapan

Cara kedua yang Paulus gunakan untuk mengoreksi pengertian eskatologi jemaat Korintus adalah dengan mengingatkan mereka tentang kesementaraan dari berkat-berkat mereka. Meskipun jemaat Korintus sedang menikmati banyak berkat dari zaman yang akan datang, zaman dosa dan maut di masa sekarang ini tetap belum berlalu (1Kor. 7:31; 2:6; 15:50).

Paulus menambahkan hal ini dengan argumen panjang dalam 1 Korintus 15. Paulus menyanggah mereka yang menyangkal kebangkitan tubuh semua orang percaya di masa yang akan datang. Sebagian jemaat Korintus percaya bahwa mereka telah menikmati sebagian besar atau bahkan semua manfaat dari zaman yang akan datang. Mereka begitu yakin sampai mereka merasa tidak perlu menantikan apa-apa lagi. Tetapi dalam 1 Korintus 15, Paulus menyatakan dengan sangat jelas bahwa berbagai peristiwa dan perubahan yang luar biasa masih harus terjadi sebelum zaman yang akan datang tiba dalam seluruh kepenuhannya.

Dalam 1 Korintus 15:22-24, Paulus menyimpulkan bahwa orang-orang percaya harus dibangkitkan dari kematian sama seperti Kristus telah dibangkitkan, tetapi kebangkitan mereka tidak akan terjadi sampai Kristus datang kembali. Barulah setelah itu, mereka akan hidup dalam kekekalan bersama Dia dalam tubuh kemuliaan mereka. Namun, karena Kristus belum datang kembali dan kebangkitan belum terjadi, jemaat Korintus masih belum hidup dalam eskatologi final (1Kor. 15:19). Dengan berbicara tentang natur yang sementara dari dunia zaman sekarang, Paulus memberikan kepada jemaat Korintus suatu perspektif eskatologi yang realistis tentang kehidupan dan gereja mereka, sehingga mereka dapat bertobat dari keangkuhan dan dosa mereka.

Kasih

Perspektif eskatologis Paulus yang terakhir kita bahas adalah pentingnya kasih. Umumnya kita berpikir bahwa kasih adalah rangkuman dari seluruh hukum Allah, atau sebagai perintah terbesar, tetapi bukan sebagai unsur eskatologi. Namun bagi Paulus, kasih juga adalah kebajikan eskatologis dan menjadi unsur kunci dalam theologi eskatologinya.

Kita dapat melihat hal ini dalam argumen Paulus tentang nilai kasih yang tidak berkesudahan, yang terdapat dalam “pasal kasih”-nya yang terkenal: 1 Korintus 13, khususnya ayat 8-10. Paulus menuliskan bahwa banyak aspek dari kehidupan di zaman ini yang tidak akan ada lagi ketika zaman yang akan datang tiba dalam seluruh kepenuhannya. Nubuat atau karunia pengetahuan tidak akan ada gunanya ketika hal-hal yang dibicarakan oleh kedua karunia berada persis di hadapan kita. Iman dan pengharapan juga tidak akan ada lagi dalam kepenuhan zaman yang akan datang. Dari semua karunia rohani dan kebajikan Kristen yang Paulus sebutkan dalam pasal ini, hanya kasih yang akan terus dinyatakan dan dihargai dalam kepenuhan zaman yang akan datang. Kita menyatakan kasih baik di masa kini maupun di masa yang akan datang. Kita menerima kasih di masa kini dan kita akan menerima kasih di masa yang akan datang. Kasih itu sendiri adalah keikutsertaan dalam berkat-berkat dari zaman yang akan datang. Sesungguhnya, kasih adalah ungkapan yang paling utama dari seluruh berkat tersebut. 

Paulus menerapkan kebajikan kasih eskatologis ini bagi masalah-masalah di Korintus. Sebagai contoh, ia mendorong orang-orang percaya yang memiliki pengetahuan yang lebih banyak untuk menghindari makan dalam kuil-kuil berhala, demi orang-orang Kristen yang lemah imannya terhindar dari penyembahan berhala (1Kor. 8:1). Dengan kata lain, argumennya tentang tidak makan makanan berhala sesungguhnya adalah argumen tentang bagaimana mengasihi orang lain. 

Contoh lain (dan yang paling eksplisit) adalah instruksi Paulus mengenai karunia-karunia rohani. Roh Kudus telah secara luar biasa memberkati jemaat Korintus dengan karunia-karunia. Namun, kesombongan karena memiliki karunia yang lebih spektakuler, seperti bahasa lidah dan nubuat, telah menyebabkan sebagian jemaat Korintus merendahkan jemaat lain yang memiliki karunia yang seolah kurang dramatis. Paulus memperbaiki situasi ini dengan menunjukkan bahwa semua karunia, spektakuler atau tidak, adalah tidak berguna, bahkan mengganggu, apabila tidak digunakan dengan kasih (1Kor. 13:1-2).

Nubuat, bahasa lidah, pengetahuan adikodrati, dan iman untuk melakukan mujizat, semuanya ini memang mengesankan apabila dinilai dari sudut pandang duniawi. Tetapi dalam kenyataannya, semuanya ini diberikan untuk manfaat rohani orang-orang percaya, bukan karena nilai duniawinya atau kesenangan ketika mengalaminya. Kecuali digunakan dengan kasih, karunia-karunia rohani tidak mendatangkan berkat-berkat rohani. Hanya ketika digunakan dengan kasih, karunia-karunia ini dapat mengurangi penderitaan dari zaman sekarang ini dengan mengizinkan gereja berpartisipasi dalam berkat-berkat dari zaman yang akan datang.

Konklusi

Paulus menerapkan inti sari eskatologisnya bagi masalah-masalah jemaat Korintus dan meminta mereka untuk mengevaluasi kembali eskatologi mereka yang “terwujud secara berlebihan”. Mereka perlu bertobat dari dosa mereka, belajar rendah hati, saling menghormati, dan berharap serta berjuang untuk eskatologi masa depan dari Kerajaan Allah. 

Hal ini juga mengajar kita di masa kini. Banyak orang Kristen masih menilai diri mereka terlalu tinggi ketimbang yang sepatutnya, masih menyombongkan diri karena karunia-karunia mereka, dan masih mengorientasikan hidup mereka di sekitar kebutuhan dan keinginan mereka sendiri. Gereja-gereja masa kini terus-menerus bergumul dengan perpecahan, pengelompokan, dan dosa seksual. Kristus tidak hidup dan mati bagi kita agar kita dapat memuaskan diri dengan zaman sekarang yang telah jatuh ini. Melalui eskatologi Paulus, kita dinasihati, seperti halnya jemaat Korintus, untuk saling mengasihi dan untuk memusatkan perhatian kepada Kristus sementara kita menantikan penggenapan kedatangan-Nya kembali.

Marthin Rynaldo

Pemuda FIRES

Pustaka:

  1. Kidd, R. The Heart of Paul’s Theology: Paul and the Corinthians. Third Millennium Ministries, (https://thirdmill.org/seminary/lesson.asp/vid/8/version/). Diakses pada tanggal 12 Maret 2021.
  2. Pratt, Richard R., Jr., ed. 2003. NIV Spirit of the Reformation Study Bible. Grand Rapids (US): Zondervan.