Living in the Last Days: What will the Future be Like?

Artikel-artikel sebelumnya telah membahas tema Creation, Fall, Redemption, kali ini kita sampai pada puncaknya yaitu Consummation. Ketika memikirkan tema Consummation, otomatis pikiran kita akan tertuju pada apa yang akan terjadi nanti di masa depan. Ketika mendengar kata “masa depan”, secara paradoks seseorang dapat memiliki dua perasaan sekaligus. Di satu sisi, terdapat harapan dan ekspektasi yang tinggi akan masa depan: seseorang memiliki ambisi, cita-cita, impian, dan bayangan akan dunia maupun hidupnya sendiri. Namun di sisi yang lain, terdapat kegelisahan dan ketakutan akan seperti apa jadinya masa depan, akan dibawa ke mana dunia ini dan juga hidup kita.

Di satu sisi, dunia kita sekarang menjanjikan sebuah janji manis: kehidupan yang lebih maju dan lebih mudah dengan segala perkembangan teknologinya. Bila kita melihat dunia kita sekarang dibandingkan dengan satu abad yang lalu, telah terjadi perubahan besar-besaran dalam kehidupan manusia. Teknologi berkembang dengan sangat pesat, dalam segala bidang. Teknologi senantiasa berkembang ke arah yang lebih canggih, yang lebih maju lagi: tidak ada perkembangan teknologi yang mundur. Jika dulu kita mengenal sinyal GSM, 2G, hari ini kita mengenal sinyal 3G, selanjutnya akan ada 4G, 5G, dan seterusnya.

Jika kemarin kita perlu pergi berbelanja dengan datang ke supermarket atau toko, sekarang ini kita dapat berbelanja secara online tanpa perlu keluar rumah. Jika dulu sepasang kekasih harus mengirimkan surat ketika berhubungan jarak jauh (dan menunggu surat balasan berminggu-minggu), sekarang hanya perlu BBM, chatting, Skype, dan mungkin di masa depan sepasang kekasih akan berkomunikasi via hologram. Jika dulu seorang mahasiswa harus rela berada dalam perpustakaan berjam-jam untuk mencari bahan perkuliahan, hari ini seorang mahasiswa cukup mengetik beberapa kata di Google, semua urusan beres. Jika dulu seseorang kesulitan mencari informasi dan pengetahuan karena keterbatasan biaya dan akses, hari ini kita “jenuh” dengan informasi dan pengetahuan yang mudah diperoleh dalam genggaman kita. Belum lagi jika kita berbicara mengenai kemajuan teknologi dalam bidang-bidang lain seperti medis, ilmu pengetahuan, pendidikan, transportasi, dan masih banyak lagi bidang lainnya.

Pada intinya, kehidupan manusia semakin cepat dan mudah – dan bila perlu semakin tidak perlu “bergerak” atau berusaha. Bila hari ini saja hidup kita sudah “semudah” ini, apalagi di masa depan nanti. Pertanyaannya, benarkah kehidupan manusia hari ini mengalami kemajuan? Benarkah hidup manusia akan menjadi lebih mudah? Apakah dengan kehidupan yang semakin maju dan semakin mudah, masa depan manusia akan semakin baik?

Di sisi lain, kita melihat dunia kita saat ini semakin rusak dan semakin rusak. Baik dari segi alam maupun kemanusiaan, dunia hari ini banyak mengalami kemerosotan. Global warming bukan lagi menjadi hal yang baru bagi kita, efeknya dapat kita rasakan setiap hari. Persediaan minyak bumi semakin menipis, sumber energi semakin langka. Ekosistem bumi semakin terganggu. Ketahanan tubuh manusia pun semakin hari semakin menurun, terlepas dari semakin canggihnya dunia medis dan teknologi pangan maupun farmasi. Belum lagi masalah moralitas manusia. Semakin hari kita melihat betapa semakin merosotnya moralitas manusia: mulai dari artis papan atas Hollywood, pemerintah, pejabat, hingga orang-orang biasa di sekitar kita. Kita tak perlu membahas lagi betapa rusaknya manusia-manusia Hollywood itu, saya rasa kita dapat menebak bagaimana kelakuan mereka.

Di Indonesia sendiri, kita tak habis-habisnya dikejutkan dengan terkuaknya kasus-kasus korupsi: bayangkan, bahkan Ketua Mahkamah Konstitusi – lembaga hukum tertinggi di Indonesia – pun tertangkap tangan oleh KPK. Speechless. Lalu kita melihat juga kerusakan moral dari orang-orang yang notabene adalah pahlawan tanpa tanda jasa, alias guru. Sewaktu KKR Regional ke Sulawesi Utara, saya betul-betul dikejutkan dengan cerita kelakuan kepala sekolah SMA. Salah seorang rekan saya mendapati bapak kepala sekolah sedang duduk memangku guru muda wanita, sambil merokok. Ya, mereka duduk berpangku-pangkuan – bapak kepala sekolah dan seorang guru wanita muda. Kemudian kita bertanya, “Jika kepala sekolahnya saja seperti itu, bagaimana dengan muridnya?” Dan benar saja, kerusakan moral dan segala kebobrokan sangat banyak terjadi di kalangan anak-anak sekolah. Saya mendengar cerita seorang guru yang menyatakan bahwa salah satu siswanya yang masih SMP melakukan “sexting” dengan pacarnya dari SMP lain. Bagi yang belum mengetahui, sexting adalah ketika seseorang mengirimkan pesan-pesan seksual (teks atau gambar) secara eksplisit dengan ponsel. Thanks to perkembangan teknologi, bahkan anak-anak SMP sekarang dapat melakukan hal-hal demikian. Orang tua banyak yang “berteriak” karena merasa otoritas mereka “kalah” oleh dominasi gadget-gadget yang mereka sendiri berikan kepada anaknya.

Masih terlalu banyak contoh kerusakan dan kebobrokan manusia maupun masalah-masalah sosial yang dapat disebutkan satu per satu. Bahkan dengan menuliskan hal-hal ini saja, saya merasa stres melihat dunia ini dengan segala masalah multidimensinya. Kesimpulannya, telah terjadi sebuah ketegangan: di satu pihak dunia semakin maju, teknologi semakin berkembang, ilmu pengetahuan semakin advanced, dan banyak problema manusia yang dapat diatasi dengan kemajuan tersebut. Di lain pihak, alam dan masyarakat semakin rusak, standar-standar moral semakin luntur, kerohanian semakin merosot, dan banyak terjadi masalah baru yang berbeda dari zaman sebelumnya. Pertanyaan berikutnya adalah, mau dibawa ke manakah dunia ini? Dengan dua kondisi yang saling bersitegang ini, apa yang akan terjadi di masa depan nanti? Bagaimana dunia ini sendiri melihat masa depan? Dan tentunya, apa kata Alkitab mengenai hari depan manusia?

Pandangan Masa Depan Dunia dari Dunia: Sebuah Distopia
Teknologi dan ilmu pengetahuan mungkin dapat menghibur hati manusia dengan memberikan janji-janji manisnya akan masa depan yang lebih baik. Akan tetapi, nyatanya dunia sendiri sering kali memiliki prediksi yang pesimis akan masa depan manusia. Buktinya, kita mengetahui ada begitu banyak film-film futuristik yang dapat dikategorikan sebagai film “distopia”. Apa itu distopia? Istilah distopia mengacu pada bahasa Yunani kuno yang terdiri dari kata “dus” yang artinya bad atau buruk dan “topos” yang berarti place atau secara harfiah, tanah. Maka secara literal, distopia berarti “tanah yang buruk”. Dikaitkan dengan pandangan terhadap masa depan, distopia berarti sebuah visi akan masa depan di mana yang ada adalah masyarakat yang korup, disfungsional, dan hidup dalam kondisi yang mengerikan. Distopia juga dapat diartikan sebagai masyarakat yang bercirikan penderitaan, kemelaratan, opresi, penindasan, wabah penyakit, dan kelebihan penduduk. Distopia adalah lawan kata dari “utopia” yang berarti sebuah tempat atau kondisi masyarakat yang sempurna dan sangat harmonis – yang tidak mungkin ada di dunia ini. Maka film-film distopia yang dimaksudkan di sini adalah film-film yang menggambarkan kondisi manusia yang menyedihkan di masa depan. Bahkan sebuah website mencatat,[1] jumlah film distopia jauh lebih banyak dibanding dengan film utopia. Bahkan manusia memiliki pandangan yang jauh lebih pesimis akan masa depan itu sendiri. Biasanya film-film distopia menggambarkan peperangan manusia dengan mesin dan bagaimana kemajuan teknologi justru menghancurkan kemanusiaan. Kita tentu mengenal film The Matrix (1999) yang dengan sangat baik menggambarkan peperangan manusia dengan mesin dan bagaimana manusia selama ini hidup dalam kesadaran palsu. Akan tetapi, hanya tiga film distopia yang akan disinggung pada kesempatan ini yaitu Wall-E (2008), The Hunger Games (2012), dan Star Trek Into Darkness (2013).

Wall-E (2008) bercerita tentang bagaimana sekitar 700 tahun nanti, manusia sudah meninggalkan bumi dalam keadaan penuh sampah dan tidak ada kehidupan, sebagai konsekuensi dari degradasi lingkungan dan konsumerisme yang membabi buta. Sisa-sisa dari manusia telah dievakuasi dan hidup dalam sebuah kapal ruang angkasa bernama Axiom. Kehidupan manusia yang berada dalam Axiom pun digambarkan dengan begitu menarik sekaligus ironis. Terdapat satu adegan yang menunjukkan bagaimana dua orang anak yang saling bersebelahan berkomunikasi melalui layar hologram yang ada di depan muka mereka. Digambarkan pula bagaimana semua orang yang ada di sana tidak lagi berjalan menyentuh tanah namun menggunakan semacam kendaraan terbang dengan duduk di atasnya. Akibatnya, semua orang hingga anak-anak menjadi kegemukan. Di tiap kendaraan telah tersedia layar pribadi untuk berkomunikasi dengan orang lain. Lucunya, ada satu anak jatuh dari kursi terbang namun tidak dapat berdiri karena tidak pernah berdiri dan berjalan seumur hidupnya.

Ironisnya, dapat dikatakan bahwa prediksi masa depan dari film Wall-E sudah mulai terjadi di zaman kita. Para peneliti mulai khawatir dengan kebiasaan gaya hidup anak-anak sekarang ini yang “sedentary” yaitu tidak berpindah-pindah atau duduk terus-menerus. Kita melihat bagaimana anak-anak zaman ini – khususnya anak perkotaan – lebih betah duduk seharian di depan layar komputer atau iPad-nya; taman bermain sudah tidak lagi menarik bagi sebagian anak-anak. Orang dewasa pun tentu tidak lepas dari fenomena gaya hidup sedentary ini. Selain gaya hidup sedentary, gadgets yang ada di tangan kita telah meningkatkan pola interaksi yang semakin individualis dan terprivatisasi. Seperti kata pepatah: “Handphone itu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.” Hari ini, anak (dan mungkin juga kita) lebih suka berinteraksi dengan gadgets dibandingkan dengan orang tuanya, temannya, bahkan dunia fisik ini. Akibatnya hari ini kehidupan manusia semakin jauh dari realitas dunia fisik yang nyata, karena selalu dimediasi oleh alat, yaitu gadgets yang ada di tangan kita. Contoh paling sederhana, kita mengenal ada game masak-memasak di iPad atau tablet. Kita harus memasukkan bahan-bahan yang tepat dengan takaran yang tepat agar tidak kalah dan game over. Akan tetapi itu semua tidak nyata. Kita tidak benar-benar sedang memasak: itu semua hanya simulasi. Kita tidak merasakan benar-benar mengupas bawang putih, mungkin jari kita tergores oleh pisau, memotong sayuran, menakar minyak, dan mungkin melihat sendiri bagaimana masakan kita gosong. Dalam game, ketika masakan kita gosong, yang perlu kita lakukan adalah klik tombol Replay. Masalahnya, dalam kehidupan nyata, tidak ada tombol Replay. Sekali gosong ya tetap gosong. Memang hidup ini penuh dengan risiko yang real. Hidup manusia akhirnya menjadi kurang dapat menghargai kegiatan-kegiatan yang real, bertubuh, penuh risiko, dan melibatkan seluruh jiwa raga kita, termasuk interaksi tatap muka dengan orang lain. Berdasarkan apa yang sudah mulai terjadi hari ini, bisakah Anda membayangkan apa jadinya masa depan nanti? Mungkin ramalan dari film Wall-E dapat sungguh-sungguh terjadi.

Kemudian film berikutnya adalah The Hunger Games (2012). Film ini menceritakan tentang masa depan Amerika yang distopian, di mana terdapat satu negara totalitarian bernama Panem yang terbagi dalam dua bagian: The Capitol dan 12 Distrik lainnya. The Capitol yang terletak di pusat negara: sangatlah makmur, megah, dengan teknologi yang begitu canggih dan masyarakat yang modis. Sangat kontras dengan 12 Distrik lainnya yang miskin, kumuh, dan tidak maju. Pada awal sejarahnya, terjadi pemberontakan oleh Distrik ke-13 terhadap The Capitol dan berujung pada pemusnahan Distrik 13. Sejak saat itu, The Capitol menciptakan acara tahunan yang disiarkan melalui televisi di seluruh negeri yang dikenal sebagai “The Hunger Games”, yang dibuat sebagai bentuk hukuman sekaligus ingatan akan kekuatan dan belas kasihan The Capitol. The Hunger Games adalah sebuah kontes di mana setiap distrik harus memberikan wakilnya, satu anak laki-laki dan satu anak perempuan berusia antara 12-18 tahun untuk mengikuti kontes ini. Setiap wakil distrik ini akan ditaruh dalam medan pertarungan dan dipaksa untuk melawan satu sama lain sampai mati, dengan meninggalkan satu orang yang bertahan dan menjadi pemenang. Kontes The Hunger Games ini disiarkan melalui televisi, ditonton oleh semua orang dan menjadi hiburan yang sangat menghibur bagi masyarakat The Capitol – layaknya Gladiator di masa Romawi kuno. Yang menarik adalah bagaimana orang-orang yang ada di The Capitol berdandan dengan sangat “heboh” dan mereka sangat antusias ketika menonton kontes ini. Ditunjukkan juga bagaimana kontestan yang adalah wakil setiap distrik ini harus berdandan dan melakukan aksi se-spektakuler mungkin untuk merebut hati penonton. Satu hal yang menarik adalah, penonton dari warga The Capitol tidak lagi peduli dengan realitas sesungguhnya dari negeri Panem, bahwa terjadi kesenjangan antara mereka dengan warga distrik lainnya yang sangat miskin. Satu-satunya hal yang mereka peduli adalah bagaimana mereka dapat terhibur – dan itu pun terhibur di atas penderitaan, bahkan kematian orang lain.

Sebetulnya hal ini juga sudah terjadi di zaman kita, zaman di mana masyarakat kita adalah masyarakat penonton. Satu hal yang menjadi kepedulian utama adalah, “Bagaimana saya terhibur, bagaimana saya bisa senang, dan saya tidak peduli apa pun yang terjadi, pokoknya saya senang. Saya tidak peduli dengan kemiskinan di Afrika, itu bukan urusan saya, pokoknya saya mau senang. Dan saya juga tidak peduli jika hal yang menghibur saya itu salah atau benar, yang penting saya terhibur.” Kita melihat bagaimana zaman ini semakin permisif dan tidak ada lagi standar-standar ataupun batasan moral yang mengikat. Yang penting adalah produk (secara khusus produk-produk media) laku, profit didapatkan, dan semua orang senang. Hari ini anak-anak remaja tidak dapat mengkritisi apa yang ia tonton, karena aktivitas menonton hanyalah an sich untuk bersenang-senang. Tentu kita juga melihat tayangan-tayangan televisi yang semakin hari semakin dangkal dan tidak berisi. Semakin banyak artis-artis “dadakan” yang diorbitkan hanya karena melakukan sesuatu yang fenomenal atau mengundang kontroversi. Mulai dari Briptu Norman, Shinta-Jojo, hingga Arya Wiguna dan sekarang ini Vicky Prasetyo dengan bahasa sok-inteleknya yang dianggap “menghibur”. Masyarakat kita hari ini adalah masyarakat yang dangkal, kalau boleh tidak memakai otak maka semakin baik. Salah satu ciri utama masyarakat postmodern adalah lebih mementingkan “bungkus” daripada “isi” atau substansi. Seperti warga dari The Capitol, masyarakat hari ini mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa jauh lebih mementingkan bungkusan yang di luar daripada apa yang ada di dalam. Standar moral dan standar “benar-salah” sudah hampir tidak ada, digantikan dengan standar “menarik atau tidak”, “keren atau tidak”, dan juga “spektakuler atau tidak”.

Terakhir, yaitu film Star Trek Into Darkness (2013). Film ini sebenarnya tidak dapat dikategorikan sebagai film distopia, akan tetapi ada satu poin dari film ini yang perlu kita pikirkan mengenai masa depan manusia. Star Trek Into Darkness menggambarkan bagaimana keseimbangan dari Federation dan seluruh tatanan planet lainnya terganggu oleh kehadiran satu manusia antagonis baru yaitu Khan alias John Harrisson. Perbedaan John Harrisson dengan tokoh antagonis dari film Star Trek lain adalah, ia merupakan ‘orang dalam’ dari Federation itu sendiri yang membelot. Satu pesan yang coba disampaikan dalam film ini adalah, masalah dalam alam semesta ini akan selalu ada, bahkan ketika teknologi dan ilmu pengetahuan sudah sangat maju sekalipun. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan ternyata tidak serta-merta membuat manusia menjadi lebih baik, justru malah membuat manusia yang jahat dapat memanifestasikan kejahatannya dengan lebih canggih. Sebuah artikel dalam website Think Christian[2] memformulasikannya dengan baik:

“There’s something deeply wrong with the universe, something that neither human intellect nor improved technology will ever be able to fix it…. Despite the pictures’ hope for human improvement, dark forces always arose in opposition… No matter how far they go or how boldly, the Star Trek films have been unable to find their utopia. That’s because it doesn’t exist in another world, but in the next” – Josh Larsen (2013)

Pandangan Masa Depan Dunia dari Alkitab: Sebuah Peringatan
Alkitab memang menjanjikan akan datang suatu masa di mana serigala akan tinggal bersama domba, anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama, serta tidak ada yang akan berbuat jahat di seluruh gunung Tuhan yang kudus (Yes. 11:6-10). Alkitab juga memaparkan bagaimana akan datang satu hari di mana langit dan bumi yang baru akan turun, dan Allah bertakhta di atas kota yang kudus, Yerusalem yang baru (Why. 21:1-22:5). Akan tetapi sebelum hari itu datang, Alkitab sendiri menyatakan bahwa hari-hari terakhir dari manusia adalah jahat adanya. Seolah-olah pandangan Alkitab dan film-film distopia tadi dapat dikatakan hampir serupa, yaitu cenderung buruk dan pesimis.

Khotbah Yesus tentang akhir zaman dalam Matius 24:5-28 dengan gamblang menyatakan bahwa akan ada banyak Mesias dan nabi-nabi palsu, bangsa akan bangkit melawan bangsa, kerajaan melawan kerajaan, bencana kelaparan, gempa bumi, dan siksaan bagi orang percaya. Lalu akan ada banyak pula yang murtad, saling membenci, bertambahnya kedurhakaan, dan kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin. Matius 24:24 mengatakan:

“Sebab Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mereka akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga.”

Perkataan Yesus dalam Matius 24 telah terjadi sejak kalimat-kalimat ini pertama kali diucapkan, hingga sekarang, dan sampai masa yang akan datang. Sesungguhnya sudah terlalu banyak pendeta yang sebenarnya adalah nabi palsu yang telah menyesatkan ribuan bahkan jutaan orang Kristen. Berapa banyak pendeta yang mengajarkan ajaran yang salah dan bertentangan dengan Alkitab demi mendapatkan profit? Kita mengenal pendeta-pendeta besar dari Amerika seperti Benny Hinn dengan kesembuhan ilahinya yang palsu, Robert Schuller dengan possibility thinking-nya, dan Joel Osteen yang lebih mirip motivator ketimbang pendeta dengan prinsip universalisme-nya. Mereka juga memiliki kekayaan yang luar biasa mengejutkan.[3] Mereka memiliki “kesesatan”nya masing-masing. Benny Hinn memiliki ajaran bahwa Allah Tritunggal sesungguhnya memiliki 9 bagian: masing-masing pribadi Allah memiliki tubuh, jiwa, dan roh. Benny Hinn juga menganggap setiap diri manusia adalah “allah-allah kecil”. Beginilah Benny Hinn mengajarkannya[4]:

“Christians are ‘Little Messiah’s’ and ‘little gods’ on the earth. Thus…say ‘I am a God-man….This spirit-man within me is a God-man…’ say ‘I’m born of heaven-a God-man. I’m a God man. I am a sample of Jesus. I’m a super being.’ Say it! Say it! Who’s a super being?” – TBN, 1990

Kemudian kita mengetahui skandal yang menimpa Benny Hinn, ia dan istrinya Suzzane Hinn bercerai pada Februari 2011 silam. Beberapa bulan kemudian, Benny Hinn kedapatan sedang bergandengan tangan dengan Paula White, rekan sepelayanannya, ketika meninggalkan sebuah hotel di Roma. Dan memang hubungan ini telah terjadi semenjak tahun 2010 sebelum Benny Hinn bercerai. Beralih kepada Robert Schuller, Injil Robert Schuller adalah pergantian akan konsep diri yang negatif dengan konsep diri yang positif. Bagi Schuller, dosa hanya adalah kurangnya rasa percaya diri. Namun ternyata kekuatan berpikir positif itu tidak dapat menyelamatkan Robert Schuller dari bangkrutnya Crystal Cathedral, sehingga hari ini katedral yang mayoritas terbuat dari kaca itu telah dimiliki oleh Gereja Katolik. Kemudian ada pula Joel Osteen yang menganut Universalisme, yaitu bahwa semua orang tak terkecuali akan diselamatkan. Ketika ditanya mengenai pandangannya terhadap kaum homoseks, Osteen menyatakan:

“I believe that God breathed life into every person and that every person is made in the image of God and you have accept them as they are, on their journey. I’m not here to preach hate or push people down[5].”

Joel Osteen sangat mengagumi Pope Francis yang sekarang ini menjadi Paus, di mana beliau pun mendukung dan menerima kaum homoseks. Tak hanya itu, Osteen juga dengan berani mengklaim bahwa Paulus dan Petrus memiliki kesalahan dalam ajarannya karena mengutuki dosa. Baginya, tidak semestinya kita mengatakan hal-hal buruk yang sifatnya mengecam orang lain karena Tuhan mencintai semua orang.[6] Akan tetapi, pendeta-pendeta seperti merekalah yang senantiasa “laku” dan dicari oleh orang. KKR Benny Hinn terus ramai oleh pengunjung, dengan segala skandal yang menimpanya. Mengapa? Paulus telah menubuatkan hal ini sejak lama:

“Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng” (2Tim. 4:3-4).

Penyesatan oleh nabi-nabi palsu ini sudah terjadi di zaman kita dan hampir dapat dipastikan akan terus terjadi di masa yang akan datang. Dan tantangan di masa depan tidak selesai sampai di sini, Paulus dalam 2 Timotius 3:1-4 telah memberi peringatan kepada Timotius dan kita semua:

“Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak memedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu daripada menuruti Allah.”

Dari ayat ini dapat kita simpulkan bahwa memang benar, kemajuan dari kehidupan manusia ternyata tidak dibarengi dengan kemajuan dari segi kerohanian dan spiritualitas. Manusia berdosa semakin hari akan semakin rusak. Penyesatan, kerusakan moral, bobroknya kerohanian semakin hari akan semakin banyak. Kekristenan jika tidak kembali kepada iman dan theologi yang benar, juga akan semakin hancur di masa yang akan datang.

Kesimpulan
Baik dunia maupun Alkitab sendiri memiliki pandangan yang cenderung negatif terhadap masa depan manusia. Dunia memprediksikan masa depan manusia yang disertai dengan kehancuran dan berbagai kemunduran karena ulah manusia itu sendiri. Alkitab juga secara gamblang menyatakan bahwa manusia akan semakin degil, penyesatan akan semakin banyak terjadi, dan kehidupan manusia akan semakin sukar. Akan tetapi tentu terdapat perbedaan antara pandangan dunia dan Alkitab. Ketika dunia ini melihat ke masa depan, mereka tidak memiliki jalan keluar yang pasti dan hanya dipenuhi dengan visi yang pesimistik. Sedangkan Alkitab memberikan harapan bagi orang-orang percaya, bahwa dengan pertolongan Tuhan sajalah kita dapat melewati semua kesulitan dan peperangan yang akan terjadi di hari depan nanti.

Peperangan kita mulai hari ini hingga nanti di masa depan akan semakin sengit. Kita sedang dan akan terus berperang dengan gadgets, worldview, dan gaya hidup yang menentang Tuhan. Bukan hanya itu, kita juga akan terus berperang dengan arus ajaran yang menentang Alkitab, nabi-nabi palsu, para “serigala” yang menyamar menjadi “domba”, dan juga kedegilan hati umat Tuhan sendiri. Masa depan akan semakin sulit dan semakin sulit, zaman yang baru akan menghasilkan peperangan yang baru pula. Oleh karena itulah, penginjilan menjadi sesuatu yang urgent untuk dilakukan. Mengingat dunia yang akan semakin rusak di hari-hari terakhir ini, justru kita harus semakin giat menerangi dan menggarami dunia. KPIN, KKR Regional, penginjilan pribadi, KTB, penjangkauan mahasiswa, dan segala macam kegiatan yang menjangkau orang lain tak bisa tidak, harus terus-menerus digalakkan. Selain itu, pelayanan kepada anak-anak, remaja, dan kaum muda juga menjadi sangat urgent. Karena mereka adalah generasi yang meneruskan pekerjaan Tuhan, masa depan gereja dan bangsa kita ada di tangan mereka.

Kiranya kita sebagai pemuda-pemudi dalam gerakan ini boleh membaca zaman dan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi hari-hari depan yang semakin sulit. Biarlah kita dapat bekerja selama siang, karena ketika malam itu tiba sudah tidak ada waktu lagi bagi kita untuk bekerja. Dan jangan sampai ketika kita harus menghadap takhta Tuhan di “hari-H” itu, kita dengan tangan hampa berkata “belum selesai kerjaku”. Marilah kita mengenakan perlengkapan senjata Allah mulai hari ini untuk menyongsong masa yang akan datang, agar kita boleh menghidupi hidup yang senantiasa siap dipakai Tuhan dalam hari-hari akhir ini. Biarlah teks lagu berjudul “Konflik Zaman” dari Mrs. C. H. Morris ini dapat menggugah hati kita:

“O tengoklah dunia semu, yang sedang bergolak; Bangsa bangkit lawan bangsa siap di medan laga. Adakah engkau setia layak hamba Allah, tetap teguh tak bergerak atas panggilan-Nya.
O, bangunlah umat Allah b’ritakan Injil-Nya; S’rahkan diri sebagai korban yang dikenan Tuhan. Waktu kerja sangat singkat berjuanglah giat, tolong jiwa yang tersesat pimpin mereka pulang.
Sudahkah kau melihat hatimu tergerak? Waktu Tuhan memanggil, kau siap sedia. Seperti nubuat di Alkitab, dunia kita kan bergolak, badai perang kan melanda zaman kita sekarang.”

Izzaura Abidin
Pemudi GRII Pondok Indah

Endnotes:
[1] http://primarysources.newsvine.com/_news/2009/01/31/2375617-the-top-five-utopian-movies-of-all-time.
[2] Star Trek’s elusive utopia http://thinkchristian.reframemedia.com/star-treks-elusive-utopia.
[3] Greedy Televangelists! Where’s all that money going? http://www.jesus-is-savior.com/Wolves/greedy.htm.
[4] http://www.iamforsure.com/False%20Teachers/Hinn/Hinn2.html.
[5] http://www.huffingtonpost.com/2013/10/02/joel-osteen-pope_n_4031530.html?utm_hp_ref=tw.
[6] http://www.freerepublic.com/focus/religion/3059879/posts.