Kira-kira setahun yang lalu saya bertemu dengan seorang teman lama, ternyata dia baru saja menemukan hobi baru, diving !! Waahh… seru sekali mendengar ceritanya mulai dari bagaimana dia mulai mencoba hobi barunya itu di kolam renang dan bagaimana excited-nya waktu dia benar-benar terjun ke dalam laut. Pagi-pagi menuju laut di Kepulauan Seribu sampai hari hampir sore. Wahhhh… pemandangan akan dunia bawah laut benar-benar luar biasa menakjubkan, itu baru di Jakarta, kalau tempat lain pasti lebih bagus dan katanya bisa membawa manusia “menikmati ciptaan Tuhan”. Ceritanya bergulir cukup seru dan akhirnya dia berkata, “Yah.. yang penting kita menikmati hidup lah… buat apa kerja capek-capek kalo tidak pernah dinikmati…” Kemudian dalam percakapan yang cukup lama setelah kami bicara ke sana ke mari, saya menyinggung sedikit tentang kehidupan rohaninya, “Kamu ke gereja mana sekarang? Anak-anak ikut Sekolah Minggu kan?” Lalu dia menjawab, ”…. dulu waktu muda gua juga pernah denger Pak Tong, sekarang sih ke gereja yang deket rumah gua aja, yang penting ke gereja kan? Pada dasarnya semua kan sama, ngajarin kita yang baik-baik. Yang penting kita hidup baik-baik lah…. dan bisa menikmati hidup, cukuplah buat gua.”
Dialog setahun yang lalu itu tidak kunjung hilang dari kepala saya. Dan mungkin Saudara juga pernah berpikir demikian atau malah terjebak dalam dialog yang sama. Menikmati hidup? Atau menuruti akan apa yang diinginkan diri dalam hidup? Apa itu menikmati hidup? Sebagai orang Kristen bagaimana kita menikmati hidup? Apakah sebagai orang Kristen juga ”menikmati hidup”? Bukankah orang Kristen itu katanya to glorify God and enjoy Him forever? Jadi, menikmati Allah atau menikmati hidup?
Menikmati hidup dalam versi dialog pertama di atas sudah tidak asing lagi dalam dunia kita sekarang ini bahkan dari zaman dahulu kala sekalipun, hanya obyek kesenangan yang dinikmati berbeda-beda. Setelah berlelah-lelah bekerja, marilah kita menikmati hidup. Seperti salah satu judul acara di suatu stasiun TV swasta ”Work Hard, Party Hard ”. Di situ dikisahkan tentang seorang public figure muda dan mapan yang untuk mencapai karirnya yang sekarang ini, dia bekerja dari pagi-siang-sore dan mungkin sampai malam dengan jadwal yang cukup padat dan setelah itu, diperlihatkan bagaimana di malam harinya bahkan menjelang tengah malam, baru melepaskan semua beban pekerjaan dan bersenang-senang menikmati hidup di club-club malam. Hidup yang ditampilkan serasa begitu seimbang, begitu ideal, ada waktu kerja keras dan ada waktu bersenang-senang. Apakah itu menikmati hidup? Inilah yang dunia iklankan, inilah imajinasi kesuksesan dunia dan banyak orang berbondong-bondong mengejarnya, menjadikannya tujuan hidup dan berusaha menggapainya.
Mungkin sebelum mengetahui bagaimana menikmati hidup, setiap orang harus tahu apa tujuan hidup itu sendiri. Kita diberi hidup untuk melakukan hal-hal yang sudah ditetapkan oleh Sang Pemberi Hidup karena manusia tidak menjadi hidup dengan sendirinya. Manusia secara pasif menerima hidup dan secara pasif pula menyerahkan hidup. Dalam setiap hidup manusia ada tujuan yang sudah Tuhan tetapkan, apalagi hidup orang Kristen, kesempatan hidup kedua yang sudah ditebus oleh darah Kristus yang teramat sangat mahal dan yang kekal. Dan hidup itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari hubungan pribadi kita dengan Tuhan, sejauh mana manusia sadar diri di hadapan Tuhan sejauh itulah manusia mampu mengerti tujuan hidupnya. Pdt. Sthephen Tong sering mengajarkan, “A man is not what he thinks, a man is not what he feels, but a man is what he reacts before God.” Demikian juga seperti apa yang dikatakan Blaise Pascal: sedalam apa orang tahu penderitaan Tuhan Yesus disalib menebus dosanya, sedalam itu pula cintanya kepada Tuhan. Sebagai orang tebusan dalam Yesus Kristus, akankah kita menikmati hidup untuk hidup itu sendiri? Akankah kita menikmati hidup untuk memuaskan diri? Di dalam Alkitab dikatakan: ”… Dunia dan segala nafsunya akan lenyap tetapi barang siapa yang melakukan kehendak Allah kekal selama-lamanya…”. Akankah kita memandang ke surga dan berdoa: ”Tuhan apakah yang Engkau kehendaki di dalam hidup yang Kau berikan kepadaku?” Walaupun pertanyaan sedemikian sudah ratusan kali kita tanyakan kepada Tuhan, mungkin tidaklah segera kita peka akan jawaban Tuhan atau bahkan sebenarnya tidak menginginkan jawaban Tuhan.
Manusia sudah jatuh dalam dosa artinya relasi inti dengan Tuhan sudah terputus. Manusia mengalami ketersesatan arah hidup, kehilangan orientasi hidup di hadapan Allah. Mari kita bayangkan ketika seorang astonot yang sedang berada di luar angkasa, waktu ia sedang berjalan-jalan keluar dari pesawat induknya maka tidaklah menjadi hal yang terlalu menakutkan baginya karena baju astonotnya selalu terhubung dengan pesawat induk. Tetapi, situasinya akan menjadi sangat lain jika tiba-tiba penghubung itu terputus!… dan sang astronot melayang-layang menjauh dan makin jauh dari pesawat induk, tidak ada kemungkinan untuk kembali dan tersesat di luar angkasa yang antah berantah. Pasti sangat mengerikan sekali, dan akan menjadi sangat-sangat mengerikan jika ternyata astronot itu ternyata Saudara dan saya. Manusia yang karena dosa terputus dari Allah. Mungkin banyak manusia lebih ngeri tersesat di luar angkasa daripada tersesat dalam dosa. Tapi ada satu hal yang sangat ironis, dalam zaman yang semakin bengkok ini, ketersesatan tidak lagi menjadi suatu hal yang mengerikan apalagi menggelisahkan, karena umat manusia yang berdosa ini tersesat bersama-sama, tersesat secara massal, sehingga tidak ada satupun yang merasa tersesat. Tersesat diidentikkan dengan perasaan ketersendirian yang luar biasa di mana seseorang tidak lagi bersama-sama berada searus dengan orang-orang lain. Tetapi sekarang, ketika manusia tersesat secara massal – a mass lostness, secara communal, justru perasaan gelisah dan kesadaran akan dirinya yang tersesat menjadi mati. Toh, di sini banyak orang juga yang ternyata juga berpikir dan berlaku demikian. Standar yang digunakan bukanlah lagi standar Tuhan sebagai satu-satunya yang mutlak berdaulat tapi opini mayoritaslah yang berperan. Seperti konsep iklan salah satu provider telepon selular, ”Jangan sok tampil beda sendiri, masakan sekian juta orang bisa salah?” Kebenaran sudah ditentukan oleh bukti mayoritas. Manusia tidaklah mampu untuk peka akan kehendak Tuhan dalam hidupnya. Lalu bagaimana?
Tuhan Allah menciptakan manusia seturut dengan gambar dan rupa Allah sendiri, mirip Allah, diciptakan dengan sungguh amat baik dengan satu tujuan untuk Diri Allah sendiri. Di sinilah manusia harus menerima dan bersyukur dan terkagum-kagum akan kedaulatan Allah. Tapi manusia mau menjadi allah bagi dirinya sendiri, inilah titik tolak kejatuhan manusia. Diri yang dicipta tidak mau takluk kepada Diri yang mencipta, inilah DOSA. Manusia tidak ingin takluk kepada Allah, manusia keluar dari yang sudah ditetapkan Allah, manusia lebih suka berjalan sendiri, mendekati kebahayaan dirinya sendiri. Dunia ini menjadi semakin banyak kehancuran karena manusia sekuat tenaga lari menjauh dari apa sudah Allah tetapkan dan mengangkat dirinya selayaknya allah yang berhak menentukan segala sesuatu. Ketika hal ini terjadi maka tujuan maka hidup manusia menjadi 180 derajat terbalik. Dalam dirinya, manusia masih mempunyai natur untuk menyembah sesuatu yang supra-diri yang menjadi allahnya tapi yang seharusnya berfokus pada tujuan penyembahan yaitu Allah yang sejati, sekarang berfokus pada diri karena menganggap dirinya adalah allah. Jika setiap manusia yang sudah jatuh dalam dosa mengangkat diri mereka masing-masing menjadi allah-allah, maka rusaklah tatanan dunia ini. Dalam kejatuhan, manusia hanya mengingini sifat kedaulatan seperti Allah, tapi lupa bahwa Allah yang berdaulat adalah Allah yang rela self-limit dalam setiap atribut-Nya (dikemukakan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong dalam salah satu khotbahnya). Manusia sebagai ciptaan yang mirip Allah, harusnya mau konsisten mirip Allah dalam semua aspek, semua atribut yang mirip Allah. Sehingga di sini faktor pengenalan manusia akan Allah menjadi indikator bagaimana manusia mengerti tujuan hidupnya. Jika manusia tidak sungguh mengenal Allah maka tidaklah mungkin ia menjadi image of God yang sejati karena ia tidak akan tahu pattern mana yang harus diikuti.
Konsep hidup manusia sudah terbalik-balik, mana yang pertama dan mana yang kemudian, mana yang menjadi sebab dan mana yang menjadi akibat. Seharusnya, dalam hidup, manusia mencari dan berjalan bersama Tuhan sehingga manusia menikmati pribadi Tuhan itu sendiri, Pribadi yang paling tahu diri manusia dengan sedalam-dalamnya dan mencapai tujuan yang Tuhan telah tetapkan. Tetapi manusia lebih suka yang terbalik, bahkan banyak orang Kristen pun suka yang terbalik, dalam perjalanan hidupnya terjebak, mungkin dalam ketidaktahuan, berusaha melakukan hal-hal yang ”menyenangkan hati Tuhan” untuk mengisi waktu dalam hidup seolah-olah sudah melayani Tuhan tapi melupakan Pribadi Tuhan dan relasi dengan Pribadi Tuhan itu sendiri. Jika hidup ini tidak untuk Pribadi Tuhan maka mungkin akan sampai pada satu titik kita bisa bertanya, ”Kapan waktunya menikmati hidup pribadi saya? Kapan waktu untuk saya?” Sungguh ironis tapi itu realita, tapi realita yang sejatinya tidaklah seharusnya demikian. Sebenarnya hal tersebut tidaklah terpisah, tapi karena salah penempatan mana sebab dan mana akibat maka segala sesuatu menjadi kacau.
Tuhan adalah Sumber Hidup, alangkah anehnya jika manusia menikmati hidup lepas dari Sumber Hidup itu sendiri. Apa yang sebenarnya mau dinikmati? Jikalau kita mengasihi seseorang, maka akan dengan sendirinya kita rela hati berinisiatif melakukan hal-hal yang bisa menyenangkan orang tersebut. Tapi jika kasih itu tidak disertai dengan pengenalan terus menerus secara lebih pribadi, maka hal-hal yang dulunya dengan rela kita lakukan maka lambat laun akan menjadi kewajiban yang begitu berat untuk dilakukan dan sangat membosankan. Allah yang kita percaya adalah Allah yang berpribadi, Allah Tritunggal, kita tidak menyembah ide tentang Allah atau suatu konsep Allah atau any imaginary God. Dan mengasihi Allah hanya mungkin karena manusia sudah dikasihi terlebih dahulu oleh Allah dengan adanya Pribadi Allah yang rela turun ke dalam dunia mengambil rupa manusia untuk menebusnya kembali, sehingga jika seumur hidup kita selalu mengingat sebab akibat ini dengan benar maka kasih akan Allah sudah berpangkal dari sumber yang benar, yaitu Pribadi Allah sendiri.
Dalam keterhilangan dari Tuhan, manusia terjebak dalam dunia serba sementara, serba kasat mata, di sini hal-hal materi memegang peran penting. Segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia berdosa di bawah kolong langit tidak mampu lagi menembusi dunia yang tidak kelihatan. Manusia tidak lagi sadar bahwa dirinya diciptakan dengan natur materi dan natur spiritual dalam satu paket sehingga yang satu tidaklah bisa mengabaikan yang lain. Manusia diciptakan dari debu tanah yang dihembusi oleh nafas Allah. Tanpa hembusan nafas Allah, manusia hanyalah segumpal debu tanah yang tidak ada nilainya. Dalam dosa, manusia sudah kehilangan jangkar dari kekekalan – an anchor from eternity, sehingga apa yang di depan matanya sajalah yang merupakan tujuan yang akan digapainya. Manusia tidak lagi tertarik dengan kekekalan yang dari Tuhan. Dalam Matius 6:22-23, Tuhan Yesus berfirman: ”Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik maka teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat; gelaplah seluruh tubuhmu.” Tubuh manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi media hidup manusia itu sendiri, dan mata mempunyai fungsi yang jelas untuk melihat arah ke mana tubuh itu akan bergerak pergi. Jika mata tidak berfungsi dengan seharusnya maka hidup akan berjalan ke arah yang salah. Manusia pertama jatuh dalam dosa karena mata. Mata yang tidak dapat melihat kehendak Tuhan, mata yang sudah terpikat pada materi yang dilihatnya dan langsung fokus hanya pada apa yang menarik mata itu dan kemudian melupakan mengapa Allah menciptakan mata manusia. Apa yang Allah inginkan untuk manusia itu lihat? Lalu mungkin sebagian manusia mulai memikirkan: ”Apa itu kekekalan? Apa itu spiritual? Apa itu Tuhan?”
Satu-satunya kekekalan yang dimengerti adalah status quo, selama-lamanya seperti sekarang ini seperti yang saya inginkan, bukan lagi seperti apa yang Tuhan inginkan. Perbedaan antara yang kekal dan sementara tidaklah terlalu disadari jika manusia masih hidup di dalam dunia, karena jika sementara yang satu hilang maka akan datang sementara yang lain dan begitu seterusnya sehingga manusia tidak merasa terlalu perlu untuk memikirkan kekekalan. Dalam benaknya: sementara + sementara + sementara + sementara + dan seterusnya… = waktu yang lama = kekekalan. Tapi, jikalau sementara itu benar-benar tiba pada kesudahannya, barulah manusia terperanjat, terkejut, dan baru sadar harus berhadapan dengan kekekalan yang sesungguhnya: selama-lamanya bersama Tuhan atau selama-lamanya terpisah dari Tuhan.
Adakah manusia masih berpengharapan? Puji Tuhan! Satu-satunya jalan telah disediakan Allah yaitu penebusan di dalam Yesus Kristus, Anak-Nya yang Tunggal sudah mematahkan kutukan maut akibat dosa sehingga kita boleh menemukan bahwa tabir Ruang Maha Kudus telah terbelah dua untuk manusia bisa kembali diperdamaikan dengan Allah, Sang Kekal, kembali dimungkinkan untuk berelasi dengan Pribadi Allah dengan benar, Allah Tritunggal, kembali hidup dengan satu tujuan yaitu memuliakan dan menikmati Dia selama-lamanya, sampai masanya nanti kita akan bertemu dengan-Nya, muka dengan muka. Puji Tuhan!
” Lihatlah, Ia datang dengan awan-awan dan setiap mata akan melihat Dia, juga mereka yang telah menikam Dia. Dan semua bangsa di bumi akan meratapi Dia. Ya, amin. Aku adalah Alfa dan Omega, firman Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa.” (Wahyu 1:7-8)
Dewi Arianti
Pemudi GRII Pusat