Natal akan segera tiba. Bagi orang dunia, kebiasaan dan perayaan yang menghabiskan banyak uang pun mulailah. Pada masa Natal kita dimanjakan oleh banyak pilihan – mulai dari makanan enak, pakaian baru, pusat perbelanjaan yang harus dikunjungi, tempat wisata untuk berlibur, sampai jenis telepon genggam model baru yang harus dibeli. Semuanya tersedia dan ditawarkan. Bukan hanya itu, penawaran biasanya juga disertai dengan diskon yang menggiurkan, sehingga mudah sekali jatuh dalam kenyataan membeli barang-barang yang sebenarnya kita tidak terlalu butuhkan.
Semua hal di atas pada intinya didasari oleh keinginan untuk memuaskan diri dan mengejar kenikmatan diri yang sebesar-besarnya. Apa pun yang diri kita inginkan harus dipenuhi. Jangan tahan-tahan, hidup ini hanya sekali, nikmati semua yang bisa diperoleh. Konsumerisme dan hedonisme adalah saudara kembar yang tanpa sadar merajalela dan menguasai hidup kita.
Perilaku ini juga secara tidak sadar menginvasi kekristenan. Ketika kita datang ke suatu kebaktian atau perayaan Natal, kita juga mendasari kehadiran kita atas pertanyaan apakah kebaktian atau perayaan tesebut dapat memberikan kenikmatan atau fulfillment bagi jiwa atau kerohanian kita. Dengan demikian, kita pun mudah kecewa atau mengkritisi atau bahkan meninggalkan kebaktian tersebut jika acaranya tidak bisa memenuhi keinginan kita untuk mendapatkan – lebih banyak perhatian, persekutuan yang lebih hangat, doktrin pengajaran yang lebih “dalam”, dan seterusnya.
Mentalitas yang menuntut lebih dan lebih dengan sendirinya akan membentuk tendensi menggampangkan atau menyepelekan (take it for granted) banyak hal dalam hidup kita. Karena kita berfokus untuk mendapatkan lebih banyak lagi untuk diri, sering kita lupa untuk mensyukuri hal-hal yang sudah kita miliki. Misalkan, pernahkah kita bersyukur kepada Tuhan yang menciptakan sistem respirasi tubuh kita yang tersusun atas otot tak sadar, sehingga kita tidak perlu terus-menerus diingatkan untuk mengambil napas (andai kata sistem respirasi terdiri atas otot sadar)? Masihkah kita berterima kasih kepada Tuhan setiap kali kita merasakan kehangatan sinar matahari yang tidak pernah gagal untuk terbit setiap harinya? Seberapa sering kita menunjukkan betapa kita menghargai orang-orang yang kita cintai yang berada di sekeliling kita – orang tua, kakak, adik, teman-teman?
Dalam suasana Natal berlimpah yang ditawarkan dunia ini, kita perlu merenungkan apa kata Alkitab tentang satu karakter: contentment (rasa cukup) sebagai pemunah racun konsumerisme dan hedonisme yang begitu merajalela.
Now there is great gain in godliness with contentment (1 Tim. 6:6, ESV)
Melihat konteks ayat-ayat sebelumnya, Rasul Paulus menegur beberapa jemaat yang “mencari-cari soal dan bersilat kata, yang menyebabkan dengki, cidera, fitnah, curiga, percekcokan antara orang-orang yang tidak lagi berpikiran sehat dan yang kehilangan kebenaran, yang mengira ibadah itu adalah suatu sumber keuntungan” (1Tim. 6:3-5). Kita pun mungkin dengan mudah jatuh dalam kategori seperti ini, misalkan melayani Tuhan dengan motivasi mencari keuntungan material atau untuk mendapatkan kehormatan manusia.
Oleh karena itu, Rasul Paulus menasihatkan mereka bahwa “memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar” (Terjemahan ESV lebih jelas mengatakan “there is great gain in godliness with contentment”). Di dalam bahasa Yunani, “contentment” (autarkeia, transliterated) boleh didefinisikan sebagai “kecukupan akan kebutuhan sehari-hari” (sufficiency of the necessities of life). Juga dihubungkan dengan ayat 8, Rasul Paulus mengatakan “asal ada makanan dan pakaian, cukuplah” (dalam kultur Yunani, istilah “makanan dan pakaian” merujuk pada kebutuhan dasar keseharian). Dengan kata lain, Rasul Paulus mengatakan bahwa kita akan memperoleh keuntungan besar (great gain) ketika kita memiliki rasa cukup.
Ada tiga hal yang kita bisa pelajari dari nasihat Rasul Paulus ini:
Pertama, rasa cukup dikontraskan dengan keinginan menjadi kaya yang menyebabkan banyak orang jatuh ke dalam jerat dan nafsu yang hampa (ay. 9-10). Bagaimana kita bisa merasa cukup dalam hal ini? Menurut Rasul Paulus, kuncinya adalah dengan memiliki sikap dan cara pandang seperti seorang musafir yang “tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan tidak dapat membawa apa-apa ke luar” (ay. 7). Berapa banyak pun uang yang kita miliki atau kehormatan yang kita dapatkan, semuanya akan kita tinggalkan di dunia ini dan tidak akan kita bawa ke dalam kekekalan. Ingat perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh di Lukas 12:13-21.
Memiliki sikap atau perilaku seperti seorang musafir adalah langkah awal hidup yang penuh rasa cukup. Ketika kita menyadari bahwa kita tidak membawa apa pun ke dalam dunia dan apa pun ke luar, kita pun akan memikirkan dengan serius apa yang berharga dan apa yang harus kita dapatkan dalam hidup ini. Ini akan memimpin kita pada akhirnya untuk menggumulkan apa maksud Tuhan menempatkan kita di dunia ini.
Kita akan mulai mencoba memikirkan bagaimana cara pandang dan rencana Tuhan bagi hidup kita. Kata seorang theolog, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar daripada kebahagiaan ketika kita menyadari bahwa jalan hidup kita dan apa yang kita usahakan tepat berada dalam rencana dan kehendak Tuhan. Ketika sikap yang berfokus pada Tuhan ini memengaruhi seluruh aspek hidup kita, maka tepatlah kata Rasul Paulus, bahwa rasa cukup (contentment) akan menghasilkan hidup yang beribadah (godliness).
Kedua, rasa cukup tidaklah dihasilkan oleh aktivitas yang menekan kebutuhan (need-suppressing efforts), tetapi berdasarkan keyakinan akan pemeliharaan Tuhan (lihat Ibr. 13:5-6). Hal ini melegakan. Ini berarti kita akan bisa merasa cukup ketika pemeliharaan Tuhan bersama kita. Tuhan yang telah menjanjikan bahwa “sekali-kali Aku tidak meninggalkan atau melupakan engkau”, maka kita bisa berkata, “Tuhanlah penolongku, aku tidak takut, apa yang manusia dapat lakukan kepadaku?” Rasa cukup akan berkata, “Saya merasa cukup akan apa pun yang saya miliki dan alami karena Tuhanlah yang memelihara hidup saya sampai saat ini dan Tuhan tidak pernah salah atau kurang dalam menyediakan bagi saya.”
Ini bukan berarti dari kacamata dunia kita selalu berkelimpahan atau kaya raya. Tidaklah demikian. Akan tetapi, apa pun yang kita miliki (banyak atau sedikit, berkecukupan atau berkekurangan), kita syukuri sebagai hal yang Tuhan sediakan. Kita pun bisa puas di dalam Tuhan, dan Tuhan pun dimuliakan. Sebagaimana John Piper pernah katakan, “God will be mostly glorified in us when we are truly satisfied in Him.”
Akan tetapi, rasa cukup tidaklah berarti Rasul Paulus mengecilkan atau menyepelekan kerinduannya pada Tuhan (passion for God) dan usahanya semakin serupa dengan Kristus. Rasul Paulus merasa cukup dengan apa yang ia miliki tetapi ia tetap “berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus” (Flp. 3:14). Ia merasa cukup dengan keadaannya di dunia ini akan tetapi ia terus berkeinginan untuk “mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati” (Flp. 3:10-11).
Rasa cukup tidak ada kaitannya dengan “spiritual complacency” (puas diri secara spiritual). Oleh karena itu, sebagaimana halnya dengan Rasul Paulus, kita harus hidup dengan rasa cukup tanpa kehilangan semangat juang untuk terus menjadi serupa dengan Kristus.
Rasul Paulus merasa cukup, tetapi itu bukan berarti ia menjadi seorang yang minimalist atau yang bekerja dan melayani seadanya saja. Sebaliknya ia “bekerja lebih keras daripada mereka semua” (1Kor. 15:10). Rasul Paulus dan tim juga “bekerja siang malam, supaya jangan menjadi beban bagi siapapun” (1Tes. 2:9). Rasa cukup tidak berteman dengan kemalasan dan bersantai-santai.
Terakhir, rasa cukup adalah suatu hal yang kita perlu pelajari, sebagaimana Rasul Paulus sebutkan di Filipi 4:11, bahwa ia telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. Rasa cukup bukanlah terjadi secara instan – dibutuhkan latihan kebiasaan dan disiplin dalam kehidupan kita, misalkan tidak membeli barang-barang lebih dari yang kita butuhkan, tidak menjerat diri dalam keingingan untuk mengejar uang sebanyak-banyaknya, belajar melatih diri untuk mensyukuri setiap hal dalam hidup, menempatkan Tuhan sebagai yang utama dalam hidup kita. Melatih rasa cukup adalah bagian dari disiplin rohani.
Marilah pada masa Natal ini, di tengah-tengah tawaran konsumerisme yang menggiurkan, kita mengejar hidup beribadah disertai dengan rasa cukup, karena keuntungan besar yang tersedia bagi kita! Sikap seorang musafir, meyakini dan menikmati penyediaan Tuhan, dan terus belajar melatih disiplin diri adalah tiga hal yang kita bisa lakukan untuk mengejar hidup yang dipenuhi rasa cukup.
Lisman Komaladi
Pemuda GRII Singapura