Bagi kita yang pernah kuliah di Indonesia, kita mungkin pernah mendengar lima peran dan tanggung jawab mahasiswa dalam masyarakat:
Agent of change
Social control
Moral force
Guardian of value
Iron stock
Kelima konsep tersebut biasanya dipaparkan kepada mahasiswa-mahasiswa baru, khususnya pada masa orientasi. Di tengah lingkungan baru dan euforia kampus, kita melihat bahwa “masyarakat” menitipkan beban untuk meneruskan “tongkat perjuangan” dari komunitas. Sebagai mahasiswa, “masyarakat” mengharapkan mahasiswa dapat mempertahankan, bahkan jika mungkin mengembangkan, standar hidup dalam komunitas yang sudah ada. Dengan kata lain, sebagai penerus “tongkat estafet kehidupan”, mahasiswa diharapkan bisa memainkan kelima peran tersebut dengan baik.
Penanaman kelima nilai tersebut tidak jarang membuat para mahasiswa, khususnya mereka yang masuk dalam usia pemuda, untuk mempertanyakan status quo. Dalam analisis tersebut, kesalahan-kesalahan yang telah dibuat oleh generasi pendahulu akan membuat para pemuda bereaksi dengan cara tertentu. Contoh yang paling terlihat adalah gerakan antikerja, gerakan yang mengajak orang-orang untuk menolak melakukan pekerjaan seperti yang sudah terjadi sebelumnya. Di Amerika, misalnya, meskipun angka statistik menunjukkan pemulihan ekonomi yang sangat baik pasca dihentikannya pembatasan kegiatan bermasyarakat, terjadi krisis kekurangan pekerja, khususnya di bidang retail dan makanan. Di sisi dunia yang lain, fenomena tang ping (=ە٪-) atau lying flat di Tiongkok terjadi sebagai bentuk protes atas kehidupan masyarakat kota yang keras, khususnya budaya kerja 996 (red. kerja dari pk 9 pagi sampai pk 9 malam selama 6 hari dalam seminggu). Di kota-kota besar di Indonesia sendiri, bagi mereka yang mempunyai kesempatan, tidak sedikit pemuda yang berpikir untuk berpindah kerja jika kantor mereka mewajibkan mereka masuk setiap hari. Bisa dikatakan, para pemuda di negara-negara ini sedang melakukan evaluasi besar-besaran terhadap status quo yang telah dibangun oleh generasi pendahulu.
Mempertanyakan status quo bukanlah hal yang asing bagi Paulus. Sebagai seorang terpelajar yang telah dimenangkan oleh Kristus, Paulus juga menghadapi tantangan dalam pelayanannya. Tidak jarang, selain menghadapi orang-orang yang menganggap khotbah Paulus mengganggu bisnis mereka, Paulus juga menghadapi gangguan dari orang-orang Yahudi yang waktu itu menganut Yudaisme. Para pemuka Yahudi menganggap Injil yang disebarkan Paulus sebagai antitesis dari pengajaran keselamatan yang selama ini mereka utarakan di sinagoge. Dari ajaran sesat hingga fitnah dan penjara, gangguan ini tidak menyurutkan semangat Paulus dalam menyebarkan Injil. Sebagai pemuda zaman ini, bagaimana kita mengaitkan pemikiran Paulus terhadap status quo di zamannya dengan tantangan yang ada pada zaman kita?
Yudaisme dan Hukum Taurat
Pemahaman Yudaisme di kalangan bangsa Israel tidak bisa dilepaskan dari pembuangan dan penjajahan yang mereka alami. Setelah Tuhan mengizinkan pembuangan Kerajaan Israel Selatan ke Babel, bangsa Israel terus hidup dalam penjajahan. Memang pada zaman Nabi Nehemia, bangsa ini akhirnya dapat pulang ke Tanah Perjanjian dan membangun ulang Bait Allah. Dimulainya pembangunan Bait Allah Kedua ini umumnya disebut oleh para sejarawan sebagai Second Temple Period. Meskipun mereka bisa membangun ulang Bait Allah, bangsa Israel masih hidup di bawah pendudukan Kerajaan Persia.
Seiring waktu berlalu, kerajaan demi kerajaan silih berganti menduduki Israel, mulai dari Persia hingga Makedonia oleh Aleksander Agung. Kehidupan dalam penjajahan ini begitu menyesakkan mereka, karena mereka dibebani pajak yang berat oleh penjajah. Sempat terjadi revolusi pada zaman Dinasti Hashmonayim, dengan tokoh-tokoh seperti Yudas Makabeus, yang berhasil membawa Israel pada kemerdekaan. Sayangnya, kemerdekaan ini berlangsung singkat. Setelah 25 tahun merdeka, bangsa Israel kembali dijajah oleh Romawi. Sekali lagi, bangsa Israel tunduk di bawah penjajah, dan pajak kepada penjajah pun kembali dibebankan kepada mereka.
Pemikiran Yudaisme, pemahaman yang populer di kalangan bangsa Israel, sangat dipengaruhi oleh pergolakan bangsa Israel dalam Second Temple Period ini. Pemikiran ini beranggapan bahwa kejatuhan bangsa Israel disebabkan oleh dosa-dosa yang telah mereka dan leluhur mereka lakukan. Dosa ini mengakibatkan kematian pada manusia. Hal ini tidak lepas dari pemikiran bahwa, dalam Yudaisme, Tuhan menciptakan unsur baik dan unsur jahat ketika penciptaan, yang dalam waktu ke waktu terus berkompetisi untuk memberi pengaruh terhadap kehidupan seseorang. Oleh karena itu, agar bisa diselamatkan dari dosa, manusia perlu mengikuti hukum Taurat. Salah satu kelompok yang berpengaruh, orang-orang Farisi, bahkan membuat setumpuk aturan hidup sehari-hari yang sangat ketat, berdasarkan interpretasi mereka akan Perjanjian Lama.
Secara sederhana, penganut Yudaisme melihat keselamatan sebagai timbangan. Perbuatan baik yang melebihi perbuatan jahat adalah satu-satunya cara agar bisa selamat dari kematian. Hal ini mirip dengan konsep-konsep yang diajarkan oleh beberapa agama lain.
Paulus dan Antitesis Yudaisme
Di tengah-tengah penjajahan Romawi akan Israel, muncullah Paulus. Sebagai orang keturunan Yahudi, dia berada pada posisi yang cukup baik. Di satu sisi, ia berasal dari keluarga yang cukup berada. Bapaknya termasuk orang terpandang di Tarsus. Tidak heran, Paulus dapat mengenyam pendidikan di bawah Gamaliel, salah satu Farisi yang ternama di masanya. Di sisi lain, Paulus juga menguasai bahasa Yunani. Dari latar belakang ini, bisa dikatakan bahwa Paulus adalah cendekiawan yang juga menguasai budaya dan paham leluhurnya pada zamannya.
Selain pemahaman secara kognitif, ia juga termasuk orang Farisi yang taat. Tidak heran, ketika orang-orang Kristen mulai bermunculan, Paulus adalah salah satu yang memandang mereka sebagai penyesat-penyesat baru. Ia termasuk salah satu orang yang paling bersemangat dalam memenjarakan orang-orang Kristen. Hanya ketika Tuhan menghentikan dia di jalan ke Damsyik, ia bertobat dan mendedikasikan ulang hidupnya menjadi pengabar Injil.
Berbekal iluminasi yang diberikan Roh Kudus, Paulus menekankan tentang ketidakcukupan hukum Taurat sebagai cara penyelamatan. Dalam Roma 2, Paulus berargumen bahwa jika hukum (Taurat) itu memang menyelamatkan, harusnya kemurahan dan kasih yang sudah ditunjukkan oleh Tuhan berkali-kali kepada Israel akan membawa mereka kepada pertobatan. Di satu sisi, Paulus memang mengatakan bahwa Tuhan akan menghakimi semua orang menurut perbuatannya masing-masing, pertama-tama bagi orang yang hidup di bawah hukum Taurat, kemudian juga untuk orang-orang yang hidup di luar hukum Taurat. Sayangnya, hukum yang mereka miliki tidaklah cukup; hukum tersebut hanya menunjukkan betapa keras kepalanya orang-orang Israel. Di sini, Paulus mengkritik kebiasaan orang Farisi yang hanya taat secara fisik, namun dalam hatinya masih berdosa.
Dalam kritiknya terhadap Yudaisme, Paulus sama sekali tidak menganggap hukum Taurat sebagai tidak berguna. Ia tetap memandang hukum Taurat sebagai alat yang suci dan adil (Rm. 7:12), dan memang perintah-perintah hukum tersebut “seharusnya membawa kepada kehidupan” (Rm. 7:10). Ia juga mengakui keunikan posisi orang Yahudi, sebagai orang-orang yang pertama kali menerima hukum tersebut dan diberi kesempatan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Sayangnya, kekuatan dosa, yang didefinisikan dan ditunjukkan melalui Taurat, membawa kita kepada pengadilan Tuhan, yang membawa orang berdosa kepada kematian.
Sebagai alternatif dari hukum Taurat, Paulus menawarkan kematian dan kebangkitan Kristus sebagai pembenaran atas dosa. Orang-orang yang percaya tidak lagi mati karena Taurat, yang menyatakan dosa, namun dibenarkan karena ketaatan Kristus. Ia pertama-tama menunjukkan contoh pembenaran yang Tuhan perhitungkan atas ketaatan Abraham dan ketaatan Daud. Pembenaran ini dilakukan bukan karena mereka mengikuti Taurat, namun karena mereka percaya kepada pimpinan Tuhan. Kemudian, Paulus menyatakan, pendamaian yang Tuhan nyatakan kepada manusia berdosa dimungkinkan dengan keberadaan Kristus. Bagi Paulus, iman mendahului pembenaran, lalu dinyatakan melalui perbuatan yang tunduk kepada hukum Taurat. Ini bertolak belakang dengan posisi orang-orang Yahudi, yang menekankan pembenaran melalui perbuatan yang tunduk kepada hukum Taurat.
Menjadi “Mahasiswa” dan Status Quo Masa Kini
Dalam menantang Yudaisme sebagai status quo, Paulus memerankan kelima peran berikut:
Meskipun Paulus tidak langsung berhasil, namun melalui pemikiran dan usahanya, dia bertindak sebagai agent of change. Ia memenangkan orang-orang non-Yahudi bagi Tuhan. Injil yang awalnya hanya disebarkan kepada orang Yahudi, melalui Paulus dan rasul-rasul, akhirnya dikabarkan kepada orang-orang non-Yahudi.
Di dalam kapasitas terbatas, Paulus juga melakukan peran sebagai social control. Kritiknya terhadap Yudaisme mengoreksi kebiasaan-kebiasaan orang-orang Yahudi dalam kekristenan mula-mula, seperti sunat bagi non-Yahudi.
Paulus juga menjadi moral force dalam zamannya. Orang yang awalnya menjadi penyesah orang Kristen menjadi rasul yang dihormati dan martir bagi iman.
Dalam menyerang Yudaisme, Paulus berperan sebagai guardian of value dari hukum Taurat. Ia mengembalikan hukum Taurat kepada posisinya: kompas yang menunjukkan betapa berdosanya manusia, bukan sebagai timbangan yang menentukan keselamatan manusia.
Buah pekerjaan Paulus adalah iron stock kekristenan, yang kita bisa nikmati melalui tulisan-tulisannya. Para reformator seperti Luther dan Calvin mendasarkan theologi pembenaran atas iman mereka di atas tulisan-tulisan Paulus.
Kelima hal tersebut memang teladan dan “idealisme” yang sangat baik, namun apakah kita siap membayar harganya? Sejujurnya, bagi kita manusia berdosa, lebih terlihat mudah untuk hanya sekadar kuliah yang baik, cari pekerjaan dengan gaji yang baik atau membangun bisnis, menikah, punya anak (atau tidak sama sekali), lalu mati. Hal ini terdengar seperti the American Dream. Pelayanan di gereja pun hanya sebatas menjaga status sosial, atau bagi yang bisa memainkan musik, sarana penyaluran hobi. Ketimbang memerankan peran kita sebagai messenger of truth, rasanya lebih nyaman menjalani status quo yang sudah diset oleh pendahulu kita. Jika kita tidak bisa mencapai American Dream tersebut, ada alternatif lain, yaitu lying flat seperti Gudetama, tokoh lucu yang hanya bisa mengeluh dan tiduran, lelah dengan tekanan hidup yang berat ini.
Paulus menunjukkan, sebagai orang percaya yang telah ditebus, sudah menjadi panggilan kita untuk menganalisis, mempertanyakan, dan bertindak terhadap status quo. Pastinya konteks status quo kita berbeda dengan yang dihadapi oleh Paulus. Ketimbang menghadapi Yudaisme dan penjajah Roma, kita saat ini menghadapi isu-isu sosial ekonomi, seperti masalah upah kerja dan kepemilikan rumah, serta isu-isu pluralisme. Tidak cukup untuk hanya ongkang-ongkang kaki dan mengejar mimpi kosong. Mari kita renungkan sekali lagi, sebagai orang Kristen, bagaimanakah seharusnya kita menerapkan semangat Paulus dalam menjawab status quo?
Alvin Natawiguna
Pemuda GRII Kebon Jeruk
Referensi:
Ridderbos, Herman. 1997. Paul: An Outline of His Theology. Michigan: Eerdmans Publishing.
Bruce, Frederic Fyvie. 2000. Paul: Apostle of the Heart Set Free. Michigan: Eerdmans Publishing.
ESV Study Bible. 2008. Crossway.