Predestinasi dan Penginjilan

“Predestinasi” merupakan kata yang sering kali identik dengan Theologi Reformed dan Calvinisme, seolah-olah Theologi Reformed hanya berbicara tentang predestinasi saja. Namun doktrin ini sering kali dipahami hanya sebatas ada umat pilihan dan kaum reprobat yang ditetapkan oleh Tuhan. Kita bahkan berdebat sana sini sampai lupa makna sejati dari penetapan Allah. Padahal ada begitu banyak kelimpahan yang Alkitab sampaikan tentang doktrin ini. Salah satunya kita temukan di Roma 9-11. Ada hal yang menarik dari tiga pasal ini. Paulus tidak hanya berbicara tentang doktrin predestinasi yang selama ini kita pahami saja. Ia juga mengaitkan doktrin pilihan ini dengan dorongan untuk memberitakan Injil. 

Inilah yang sering kali kita tidak sadari. Kita menyangka doktrin predestinasi hanya sekadar pengetahuan untuk mengisi otak kita. Lebih celakanya lagi, kita merasa tidak perlu memberitakan Injil karena Tuhan sudah menetapkan siapa yang diselamatkan. Tentu saja, sebagai orang Kristen, ini bukan respons yang tepat. Apalagi jika kita mengaku Kristen Reformed Injili, yang mana iman Reformed saja tidak cukup. Tetapi kita harus menyatakan iman itu dalam usaha pemberitaan Injil. Maka dari itu, artikel ini membahas lebih jauh maksud Paulus menuliskan Roma 9-11, bagaimana Paulus dapat mengaitkan antara doktrin pilihan dan pemberitaan Injil. Jangan sampai doktrin yang kita pahami hanya sampai di otak saja, tetapi tidak mengubah kehidupan theologi kita.  

Konteks Roma 9-11

Surat Paulus kepada jemaat Roma termasuk salah satu surat yang cukup unik di antara surat-surat lainnya. Sebagian besar tulisannya ditujukan kepada jemaat yang ia rintis dan rekan sepelayanannya. Tetapi, Surat Roma ini ditujukan kepada jemaat yang Paulus bahkan tidak pernah bertemu sebelumnya. Jemaat di kota Roma sudah terbentuk sebelum Paulus dan para rasul di Yerusalem datang ke sana. Orang-orang Yahudi diaspora yang telah menjadi Kristen menginisiasi kumpulan jemaat di kota Roma. Dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah mendapat pengaruh dari khotbah Petrus pada hari Pentakosta (Kis. 2:10-11). Menariknya lagi, komunitas jemaat Roma ini tidak hanya berasal dari orang Yahudi saja. Ada begitu banyak orang Kristen berlatar belakang non-Yahudi (Gentiles) yang ikut berbagian mengembangkan komunitas Kristen di kota Roma. 

Tetapi, perbedaan latar belakang kebudayaan ini menimbulkan polemik tersendiri. Tidak adanya bimbingan para rasul menyebabkan terjadinya perbedaan cara pandang mengenai kekristenan. Orang-orang Kristen Yahudi merasa perlu mempertahankan tradisi Yahudi seperti sunat dan upacara keagamaan. Tidak hanya diterapkan kepada orang Yahudi saja, tetapi juga kepada bangsa asing yang baru memeluk kekristenan. Di sisi lain, orang-orang Kristen non-Yahudi tidak setuju, karena tidak ada ajaran yang mewajibkan demikian. Perselisihan ini makin memburuk ketika Raja Claudius memberi perintah untuk mengusir semua orang Yahudi dari Roma pada tahun 49 M (Kis. 18:12). Lima tahun kemudian, Raja Claudius meninggal, sehingga orang Yahudi diizinkan kembali menetap di Roma. Selama lima tahun ini, kekristenan di Roma berkembang tanpa adanya campur tangan orang Yahudi. Dampaknya cukup buruk, sehingga muncul stigma bahwa pengusiran orang Yahudi adalah tanda Allah telah meninggalkan Israel. Melalui umat Kristen non-Yahudi ini, Allah telah memimpin umat yang baru. Sebuah komunitas umat Tuhan yang tidak lagi eksklusif bagi orang Yahudi saja, melainkan dari berbagai suku dan bangsa. Orang Kristen Yahudi tentu saja meradang ketika mendengar stigma tersebut. Kembalinya orang Yahudi ke Roma menimbulkan konflik yang makin tajam di antara kedua kubu. 

Hal inilah yang melatarbelakangi Paulus menuliskan Surat Roma ini. Berbeda dengan surat-surat lainnya yang jelas menyatakan pergumulan spesifik di kota tersebut, tulisan Paulus di Surat Roma sangatlah kaya dan padat akan inti pengajaran iman kekristenan baik kepada orang Kristen Yahudi maupun orang Kristen non-Yahudi. Kemudian, Roma 9-11 menjadi klimaks dari apa yang hendak Paulus sampaikan tentang keselamatan Israel dan bangsa-bangsa lain. Melalui surat ini, Paulus menyelesaikan konflik yang terjadi, sehingga tidak ada lagi pemisahan antara Kristen Yahudi dan non-Yahudi, yang ada hanyalah satu umat, yaitu tubuh Kristus.

Dukacita Paulus bagi Orang Yahudi

Untuk menyelesaikan konflik di antara dua kubu ini, Paulus memulai suratnya dengan pembelaan terhadap orang Yahudi, baik yang sudah menjadi Kristen maupun yang belum. Dalam lima ayat pertama, Paulus menyatakan perasaan dukacita terhadap sikap tegar tengkuk orang Israel. Mereka selama ini diberkati oleh firman dan kebenaran. Kemudian, Allah mengutus para nabi untuk menegur dosa-dosa Israel agar berbalik dan bertobat di hadapan-Nya. Sekaligus Allah juga menjanjikan Mesias yang akan membebaskan mereka dari hukuman dosa. Tetapi ketika Mesias itu datang, justru mereka menyalibkan Sang Mesias itu. Berita kebangkitan Kristus yang dikumandangkan para rasul pun tetap tidak membuat mereka bertobat. Mereka justru makin gencar ingin menangkap Paulus. Inilah gambaran kesedihan Paulus. Betapa mereka dekat kepada kebenaran, tetapi tidak sampai kepada-Nya (Rm. 9:31). 

Lima ayat pertama ini mengindikasikan bagaimana Paulus berusaha mengoreksi pandangan yang salah dari orang-orang Kristen non-Yahudi. Bagi Paulus, anggapan bahwa pengusiran orang Yahudi dari kota Roma sebagai penolakan Allah terhadap Israel bukanlah respons yang tepat. Walaupun Paulus dipanggil sebagai rasul bagi orang non-Yahudi, tetapi ia tidak meninggalkan begitu saja kesempatan memberitakan Injil bagi kawan sebangsanya. Ia bahkan sangat bersedih hati bagi orang Yahudi yang terus menolak berita Injil Kristus. Respons seperti inilah yang Paulus harapkan dari orang-orang Kristen non-Yahudi. Sebagai orang yang tidak layak mendapatkan anugerah Tuhan, tidak sepantasnya mereka menunjukkan kesombongan, seolah-olah orang Kristen non-Yahudi lebih layak mendapat keselamatan. Paulus mengoreksi asumsi semacam demikian melalui lima ayat pertama ini. Ia berharap orang Kristen non-Yahudi juga dapat menyatakan perasaan yang sama seperti dia, yaitu di dalam cinta kasih dan bukan kesombongan diri.

Predestinasi: Tanda Belas Kasihan dari Allah

Kemudian Paulus menjelaskan bahwa perasaan yang ia nyatakan ini bukanlah tanpa sebab. Ayat-ayat selanjutnya menceritakan kedaulatan Allah sebagai tanda belas kasihan dari-Nya. Sejarah bangsa Israel menunjukkan bagaimana janji keselamatan Allah bukan semata-mata bagi keturunan secara fisik, melainkan berdasarkan keturunan iman. Kelahiran secara fisik bukanlah jaminan seseorang dapat berbagian dalam janji keselamatan Allah. Dimulai dari janji keturunan Abraham yang hanya diwakili oleh Ishak, bukan Ismael. Padahal keduanya sama-sama berasal dari benih Abraham. Selanjutnya, Esau dan Yakub berasal dari benih yang sama, dari ayah dan ibu yang sama. Tetapi itu pun tetap bergantung pada belas kasihan Allah. Allah memilih Yakub untuk meneruskan janji keselamatan-Nya, bukan Esau. Allah mengasihi kepada siapa Ia mau mengasihi (Rm. 9:15). Allah bahkan menetapkan nasib dua anak kembar ini sebelum mereka dilahirkan, ketika mereka belum menyatakan iman secara faktual. 

Apa yang Paulus sampaikan ini makin memperjelas bahwa penetapan Allah adalah tanda belas kasihan Allah kepada umat-Nya. Bukan seperti takdir yang seolah-olah manusia hanya pasrah dengan keputusan Allah. Juga bukan dipahami sebagai ketidakadilan Allah karena ada yang dipilih dan tidak. Paulus jelas menegaskan bahwa tidak ada satu pun dari umat manusia yang layak untuk dipertimbangkan oleh Allah. “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: ‘Mengapakah engkau membentuk aku demikian?’” (Rm. 9:19). Orang Yahudi yang adalah keturunan fisik pun tidak mendapat jaminan masuk ke dalam umat perjanjian Allah. Seluruhnya berasal dari hak prerogatif Allah yang menyatakan belas kasihan kepada siapa Ia mau menyatakannya. 

Inilah yang Paulus kehendaki supaya disadari oleh setiap orang Kristen, baik orang Yahudi maupun non-Yahudi. Hanya karena belas kasihan Allah saja mereka yang bukan umat dijadikan umat bagi Allah (Rm. 9:25). Mereka yang dahulunya orang asing, yang bukan bagian dari umat perjanjian Israel, sekarang beroleh kesempatan berbagian di dalamnya. Itu semua semata-mata karena Allah yang mengasihi mereka, bukan karena Israel yang telah menolak Allah, sehingga Allah perlu mencari bangsa-bangsa lain sebagai pengganti mereka. Penetapan Allah seharusnya menyadarkan setiap orang Kristen non-Yahudi bahwa Allah masih menaruh belas kasihan kepada mereka, supaya mereka pun beroleh keselamatan dari Allah, serta berbagian di dalam janji yang sama kepada nenek moyang Israel, yaitu Abraham, Ishak, dan Yakub.

Maka tidaklah tepat mengatakan bahwa Allah telah meninggalkan bangsa Israel seperti yang diasumsikan orang Kristen non-Yahudi di Roma. Allah menaruh belas kasihan kepada siapa Ia menaruh belas kasihan, baik kepada orang Yahudi maupun non-Yahudi. Walaupun ada banyak orang Yahudi yang menolak pemberitaan Injil, tetapi masih ada sisa-sisa Israel yang diselamatkan (Rm. 9:27). Justru orang Kristen non-Yahudi seharusnya tergerak hatinya untuk memberitakan Injil kepada mereka, orang Yahudi yang begitu giat di dalam keagamaan, tetapi menolak Mesias yang sudah datang (Rm. 9:31-33; 10:1-3). Mereka perlu disadarkan bahwa hanya Kristus satu-satunya kegenapan hukum Taurat (Rm. 10:4). Siapa yang dapat menyadarkan mereka kalau bukan orang Kristen non-Yahudi, mereka yang telah menerima anugerah keselamatan itu dan memperoleh kebenaran dari Allah (Rm. 9:30)? Seperti yang Paulus sampaikan di Roma 10:14-15, bagaimana mereka (orang Yahudi) dapat percaya jika tidak ada yang memberitakan Injil? Inilah tugas yang Paulus dorong kepada orang Kristen non-Yahudi supaya tidak menyombongkan diri, melainkan memberitakan kebenaran itu kepada mereka yang belum percaya, termasuk orang Yahudi.

Di pasal berikutnya, Paulus kembali menegaskan hal ini. Ia bahkan mengibaratkan orang Kristen non-Yahudi sebagai tunas liar yang dicangkokkan kepada akar pohon zaitun atau pohon Israel. Orang-orang non-Yahudi yang dahulunya orang asing, sekarang dicangkokkan kepada pohon Israel. Ketidakpercayaan orang Yahudi diibaratkan seperti cabang-cabang asli yang dipatahkan. Sebagai gantinya, Allah mengambil bangsa-bangsa lain sebagai tunas liar yang dicangkokkan. Tetapi hal itu tidak dapat menjadi alasan bagi orang Kristen non-Yahudi untuk bermegah dan menyombongkan diri. Seolah-olah kita adalah umat kesayangan Tuhan yang menggantikan posisi Israel yang menolak Tuhan. Jelas tidak! Justru sebaliknya, jika cabang asli pun tidak segan-segan Tuhan patahkan, apalagi tunas liar yang cuma dicangkokkan. Orang Kristen non-Yahudi pun dapat sewaktu-waktu dibuang oleh Tuhan jika mereka juga tidak setia kepada-Nya. Sebaliknya, Allah dapat mengambil kembali cabang-cabang asli yang dahulunya menolak berita Injil (Rm. 11:23). “Sebab Allah berkuasa untuk mencangkokkan mereka kembali,” demikian kata Paulus di ayat yang sama. 

Predestinasi dan Penginjilan

Demikianlah keseluruhan isi dari pengajaran Paulus yang mendorong adanya penginjilan sebagai respons atas kemurahan hati Allah. Inilah pesan yang harus kita gumulkan juga di abad ke-21 ini. Kita pun adalah tunas liar yang dicangkokkan kepada pohon Israel. Kita beroleh kesempatan mendengar Injil. Kita percaya kepada Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat. Itu semua karena belas kasihan dari Tuhan yang memilih kita menjadi umat kesayangan-Nya. Kita dipilih untuk hidup di dalam kebenaran. Allah menyediakan berbagai sarana untuk menggenapkan tujuan-Nya. Ada sarana pemberitaan Injil, pendengaran akan firman, hingga sarana pelayanan gereja yang boleh kita ikuti. Selain itu, Allah juga membangkitkan hamba-Nya di sepanjang zaman untuk mewartakan kebenaran-Nya. Salah satunya ada Gerakan Reformed Injili yang diinisiasi oleh Pdt. Dr. Stephen Tong, hamba-Nya yang setia. Melalui gerakan ini, kekristenan baik di Indonesia maupun dunia ditarik kembali kepada kehendak Tuhan yang seharusnya dikerjakan, menjadi kekristenan yang kembali baik kepada usaha pemberitaan Injil maupun kesetiaan kepada iman dan theologi yang benar.

Tetapi bagaimana tanggapan kita? Kita yang sudah berada di dalam Gerakan Reformed Injili kerap kali jatuh ke dalam dosa kesombongan. Kita merasa diri kitalah yang paling benar dan paling dekat dengan Tuhan dibandingkan denominasi yang lain. Sama halnya dengan orang Kristen non-Yahudi yang juga merasa mendapatkan anugerah lebih dari Tuhan dibandingkan orang Yahudi. Kita merasa lebih superior dibandingkan yang lainnya. 

Maka Paulus memberikan peringatan yang sama kepada kita. Jika orang-orang Yahudi yang adalah keturunan fisik pun tidak segan-segan Allah buang, apalagi kita yang dicangkokkan ini. Jika kita tidak berlaku setia dan menganggap remeh belas kasihan-Nya, kita pun dapat bernasib sama seperti Israel. Anugerah itu akan dicabut dan tidak ada kesempatan lagi bagi kita untuk mengenal kebenaran. Tuhan bahkan sanggup membangkitkan orang lain untuk menjalankan kehendak-Nya. 

Jadi selama kita mempunyai kesempatan belajar firman dan berbagian dalam pelayanan, pakailah kesempatan itu sebaik-baiknya. Allah telah mengasihi dan menetapkan kita sebagai umat pilihan-Nya, maka tugas kita selanjutnya adalah menyampaikan kebenaran ini kepada mereka yang belum percaya. Juga kepada mereka yang masih tersesat dan jauh dari kebenaran. Allah mengasihi kita supaya kita pun dapat mengasihi yang lain di dalam pemberitaan Injil. Kesempatan itu Allah hadirkan melalui Gerakan Reformed Injili ini, gerakan yang masih terus dikumandangkan oleh hamba-Nya yang masih giat melayani walaupun sudah mencapai umur 81 tahun (red. tahun 2021). Bandingkan dengan kita yang adalah pemuda/i Kristen, yang dipilih Allah sebagai umat-Nya, apa yang sudah kita kerjakan bagi Kerajaan-Nya?

Terakhir, predestinasi bukan sekadar mengisi pengetahuan theologi saja, tetapi menyadarkan kita betapa besar anugerah dan kasih-Nya kepada kita, orang-orang berdosa yang tidak layak tetapi beroleh kemurahan dan pengampunan dari-Nya, bahkan sebelum kita mampu menyatakan iman itu. Mari kita berdoa supaya diberikan kepekaan akan pimpinan Tuhan yang harus kita kerjakan di zaman ini, supaya nyata bahwa kita yang mengaku Kristen sungguh-sungguh adalah umat perjanjian Tuhan. Amin.

Trisfianto Prasetio

Pemuda FIRES