Taruhlah Dahulu Itu, Nanti Kembali Lagi

Khotbah sudah selesai. Hamba Tuhan memimpin doa penutup pengabaran firman. Semua jemaat kemudian diajak untuk menyanyikan pujian sambil mempersiapkan persembahan bagi Tuhan. Kantong persembahan pun mulai diedarkan. Dari barisan depan, berpindah dari tangan ke tangan, baris ke baris, kemudian sampailah ke tempat kamu. Uang persembahan sudah ada dalam genggamanmu, lalu kamu menjulurkan tanganmu ke dalam kantong persembahan untuk melepaskan isi genggamanmu itu… Eits, tunggu dulu. Jangan dilepaskan. Tarik kembali tanganmu dan simpanlah dulu uangmu itu. Bukankah kamu masih kesal dengan si Asep saudaramu itu? Dan bukankah dia juga masih menyimpan kekesalan yang sama terhadap kamu, gara-gara kejadian tadi di tempat parkir? Mobil kalian saling menyerempet dan kalian berdua ngotot bahwa kesalahan ada di pihak yang lain. Bukankah kamu gondok dengan dia dan dia dengan kamu? Taruhlah dulu kantong persembahannya, atau operlah dulu ke jemaat sebelah, supaya dia tidak menunggu terlalu lama, dan kolektan yang bertanggung jawab tidak berkeringat dingin. Bangunlah dari bangkumu, carilah si Asep sampai dapat. Mungkin dia duduk di balkon. Di mana pun dia, carilah dan berdamailah dengan dia. Kemudian, carilah lagi kolektan tadi, dan kali ini masukkan uang persembahanmu ke kantong itu.

Merasa tidak biasa dan aneh? Inilah kira-kira yang dirasakan oleh para pendengar khotbah Yesus di bukit (Mat. 5:23-24). Tuhan Yesus pada saat itu sedang berkhotbah tentang pengendalian kemarahan dan perdamaian dengan orang lain sebagai esensi dari hukum “Jangan membunuh”. Orang Yahudi pada zaman Yesus pasti lebih berekspektasi untuk mendengar ajaran seperti: “Jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat bahwa engkau belum mandi dan ganti baju, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pulanglah dahulu untuk mandi dan ganti baju, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu”, karena memang itulah peraturan yang berlaku bagi mereka. Akan tetapi, mencari orang untuk berdamai? Hmm, aneh…

Saya sempat berpikir, mengapa Tuhan menyuruh kita untuk menaruh dulu persembahan kita? Mengapa Yesus memilih contoh peristiwa di mezbah persembahan? Saya kira, hubungannya adalah dengan kepentingan kasih dalam Kerajaan Allah. Dalam Kerajaan Allah, tanpa kasih, persembahan kita itu palsu, hanya spektakel belaka. Dalam ilustrasi Tuhan Yesus itu, saya membayangkan seolah-olah Tuhan berkata dengan sabar, “Sudah, sudah, kamu gak usah kasih persembahan dulu”. Tuhan tidak mau persembahan kita, jika kita tidak mempunyai kasih kepada sesama. Berapa banyak persembahan yang kamu berikan? Apakah kamu yakin Tuhan mau menerimanya? Kasihilah dahulu orang lain, barulah kita bicara tentang persembahan.

Erwan
Redaksi Umum Pillar