The Ball, Time, and Fighting Spirit

Liputan World Cup Germany 2006

Sebagai orang awam dalam dunia persepakbolaan saya tidak terlalu bisa menilai kemampuan teknis tim-tim yang ikut. Tetapi sebagai “cheerleader profesional” saya mengamati spirit dari pemain dan membela tim yang menurut saya “reformed,” dalam pengertian kembali kepada semangat berjuang yang alkitabiah. Apa persisnya itu, mungkin bisa lebih jelas sesudah beberapa liputan pertandingan di bawah ini.

1.      Mexico vs. Iran

Nürnberg, 11 Juni 2006, pk. 18.00 C.E.T.

Pertandingan pertama grup D. Pada menit ke-28, Bravo dari Mexico mencetak gol lebih dulu. 1-0. Sebagai negara dari benua Amerika, Mexico memang lebih favorit. Tapi Iran tidak tinggal diam, Yaja Golmohammadi membalas 8 menit kemudian. 1-1. Kelihatannya menjanjikan pertandingan yang seru. Tetapi sampai akhir babak kedua, tidak banyak yang terjadi. Iran mengambil tempo permainan yang sangat lambat, nampak begitu puas dengan keadaan seri ini. Kesalahan yang fatal! Pada menit ke-76, pencetak gol yang sama dari kesebelasan Mexico membuat kejutan dengan membobol gawang Iran sekali lagi. 2-1! Tiba-tiba Iran bermain dengan sangat bagus, penuh dedikasi atau mungkin juga ketakutan, saya tidak tahu. Namun sudah terlambat, tiga menit kemudian Zinha mempersembahkan satu lagi gol untuk Mexico, dan Iran tidak punya waktu lagi untuk mengubah skor tersebut. 3-1.

Saya gemas sekali melihat Iran, yang seharusnya mempunyai potensial untuk bermain bagus, tetapi menyia-nyiakan kesempatan. Apa mereka pikir, “Ini baru pertandingan pertama, masih banyak pertandingan lagi”? Ketika tekanan darah mulai menurun, saya pun sadar, bahwa saya pun juga sering seperti mereka, menunda-nunda tugas dan tanggung jawab saya, “Ah, besok masih bisa. Besok saja, besok saja,” sampai satu saat, semua sudah terlambat dan tidak ada lagi esok. Ini kesalahan yang bisa dan biasa dilakukan mulai dari pertandingan sepak bola, perkuliahan di kampus, dunia pekerjaan atau bahkan dalam hal kerohanian kita. Jadi, pertanyaannya adalah bagaimana saya menilai waktu yang ada?

2.      Portugal vs. Angola

Köln, 11 Juni 2006, pk. 21.00 C.E.T.

Luis Figo! Siapa yang tidak kenal dia? Apalagi pemain-pemain lawan dari Angola. Pemain dari benua Afrika lebih sedikit yang dikenal, meski sesudah pertandingan ini, Loco menjadi buah bibir, paling tidak oleh tukang cukur rambut. Kepalanya botak, tapi poninya tebal.

Kembali ke Figo. Sebagai bintang, tidaklah aneh bahwa pemain lawan paling ketat menjaganya, dan tidak sungkan-sungkan bermain kasar. Pada poin ini hati saya berpaling ke Portugal, karena saya mendiskualifikasikan setiap pemain kungfu yang menyamar jadi pemain bola (dan karena ada Cristiano Ronaldo yang berumur 21 tahun). Figo dihajar sana-sini, dan bolak-balik ditarik gravitasi mencium tanah dan rumput. Sering wasit tidak menyatakan itu sebagai pelanggaran, meski penonton TV di rumah bisa melihat lebih jelas. Tetapi ia sama sekali tidak kecil hati. Jatuh, bangun lagi. Jatuh lagi, berdiri lagi, kejar bola lagi. Seakan-akan tidak ada waktu untuk marah-marah, tidak ada ruang untuk cengeng dan mengasihani diri. Hal inilah yang membuat saya sangat kagum melihat dia.

Figo memang sangat keren. Meski saya yang menonton saja sudah naik darah, ia tetap tenang dan tetap bermain dengan baik. Ia tidak membalas pemain lawan, ia tidak mencari perhatian wasit; ia memusatkan perhatiannya pada tugasnya: bermain bola. Fokusnya hanya ke bola, pemain lainnya dan gawang lawan. Dan akhirnya karena umpan Figolah (kepada Pauleta), Portugal menang 1-0. Mungkinkah Figo menguasai diri sedemikian karena ia tahu bahwa permainan ini direkam dan gampang untuk di-replay, untuk menjelaskan kebenaran bahwa ia tidak bersalah melainkan disakiti? Wasit tidak tahu, tapi kebenarannya jelas, dan meski di lapangan bola seakan-akan bukan demikian, tapi seluruh dunia tahu siapa yang salah.

Saya ditegur ketika memperbandingkan pertandingan ini dengan hidup saya. Eksistensi saya menuntut saya harus tetap tenang dan tetap bermain. Wasit — manusia di dunia yang saya harapkan — tidak Mahatahu dan tidak Mahaadil. Tapi setiap “permainan” saya pasti ditonton oleh Tuhan di sorga, dan satu saat nanti, gampang saja bagi-Nya untuk me-replay pelanggaran ini dan menyatakan siapa yang bersalah. Yang penting adalah mengerjakan panggilan saya sebaik mungkin yaitu “bermain bola”! Bola dan pertandingan yang dipercayakan oleh  Tuhan seharusnya merebut seluruh fokus hidup saya, bukan yang lain. Jadi, di dalam hidup ini sebenarnya saya sedang “bermain bola”kah atau sekedar bermain-main

3.      Jerman vs. Polandia

Dortmund, 14 Juni 2006, pk. 21.00 C.E.T.

Deutschland! Pertandingan tuan rumah yang kedua di grup A. Sebelumnya, di pertandingan pertama, Costa Rica dikalahkan 2-4, dan lawan sekarang ini, Polandia, sudah dikalahkan Ekuador. Jerman harus menang!

Saya membela Jerman. Saya suka tim Jerman bukan karena mereka “penyihir” seperti Brazil, ataupun karena angka-angka tahun di mana Jerman pernah memenangkan Piala Dunia (1954, 1974, dan 1990) bila diutak-atik menghasilkan 54 x 74 – 1990 = 2006. Saya suka tim Jerman karena semangat mereka yang tidak kenal menyerah—semangat Jerman yang selalu memberikan their best, terlepas dari siapa pemainnya, tidak tergantung siapa lawan, berapa skor saat itu, atau berapa banyak lagi waktu yang tersisa. Inilah semangat precise Jerman! Selama peluit belum ditiup tanda berakhirnya pertandingan, semangat Jerman tetap sama seperti menit pertama.

Ah, Jerman pasti menang dengan mudah, pikir saya. Tetapi … ternyata tidak. Gawang Polandia bagaikan disantet (atau mungkin memang benar-benar disantet, kurang tahu juga). Tembakan bertubi-tubi dari seragam putih-hitam tuan rumah tidak masuk-masuk; kena kiper, kena tiang gawang, kena pemain random, dan akhirnya waktu sudah masuk, wasit menyatakan offside! Bundeskanzlerin Angela Merkel yang tadinya sibuk jaim (jaga image) pun tak sanggup menahan jeritan dan kekecewaan sesudah kecele bersorak-sorai untuk gol yang dianulir. 90 menit terus-terusan seperti itu; leher saya sakit karena memarahi pemain Polandia yang kasar luar biasa dan memuji wasit yang akhirnya menghadiahkan satu kartu merah kepada “penjahat” itu. Masakah seri, masakah hasil berimbang antara pemain yang kasar dan yang penuh semangat? Harus demikiankah perjuangan ini berakhir?

Dalam waktu tambahan sesudah 90 menit itu, akhirnya operan lambung dari sayap kanan Jerman disambut Oliver Neuville — yang di babak kedua  baru dimasukkan Jürgen “Klinsi” Klinsmann — dengan baik dan akhirnya “kutukan” itu pun berakhir. 1-0!

Beberapa waktu lewat sampai saya teringat Iran (poin 1) dan membandingkan mereka dengan Jerman. Mungkinkah Iran bermain seperti itu, karena mereka berpikir, “Ah, toh nggak mungkin jadi juara dunia, ngapain kasih all out, give the best?” Jerman, memang ada yang bilang mereka sombong karena mereka optimis bisa menjadi juara dunia. Akan tetapi di lain pihak, mungkin harapan itulah yang memberikan mereka kekuatan untuk mati-matian, mengorbankan semua, tidak menahan-nahan apapun juga, untuk mencapai tujuan itu.

Secara pribadi, pelajaran ini memotivasi saya untuk memberikan yang terbaik saya, tanpa harus yakin dulu bahwa saya pasti bisa. Yang betul adalah, saya harus bekerja keras. Jangan sampai “sok-realistis” saya menjadi alasan untuk bermalas-malasan. Ini berlaku bukan hanya untuk bola saja, tapi juga dalam perjuangan kita mencapai garis akhir untuk mahkota yang Tuhan sudah sediakan buat kita, dalam aspek sekolah, keluarga, pekerjaan, semuanya. Apalagi Tuhan sudah menjanjikan kepastian kemenangan. Do you really give your best for your Lord?

4.      Perancis vs. Republik Korea Selatan

Leipzig, 18 Juni 2006, pk. 21.00 C.E.T.

And wonders do happen.

Siapa yang tidak berpikir bahwa Perancis pasti akan mengganyang orang-orang mata sipit ini habis-habisan? Apalagi saat menit ke-9 gol langsung dicetak oleh Thierry Henry, pikiran matematis saya langsung berputar, “… kalau setiap 9 menit dicetak satu gol, berarti hasil akhir pertandingan ini Perancis menang 10-0! Memalukan!” Untunglah bukan begitu jalannya.

Sebetulnya saya tidak mau membela tim manapun, karena dua-duanya memiliki pemain yang sangat kasar (seperti pemain kungfu yang menyamar), kurang bisa membedakan antara kaki lawan dan bola. Tapi secara instinctive hati saya lebih tertuju kepada Korea Selatan, meski rasio saya mengatakan Perancis pasti menang. Ternyata, darah lebih kental daripada anggur, dan saya akhirnya membela tim dengan 5 Kim dan 3 Lee (atau semacamnya), beserta 10-15 ribu orang di stadion dengan baju merah dan keributan seakan-akan sedang Tahun Baru Imlek. Dari awal sampai pertandingan berakhir, supporter Red Devils ini bernyanyi, berteriak, memukul-mukul alat perkusi, bergoyang dan mengangkat tangan.

Di babak pertama, sebuah gol Perancis yang lainnya tidak diakui oleh wasit. Kiper Korea Lee Woon-Jae (yang kurang familiar dengan posisi gawang, kelihatannya) berdiri di belakang garis gawang, dan ketika bola ia pukul menjauhi bahaya, sebetulnya bola itu sudah melewati garis gawang. Tidak apa-apa, bagi pemain Perancis, toh masih unggul 1-0.

Babak kedua, pemain Korea dengan baju merah menyala menunjukkan semangat yang lebih menyala lagi. Perancis membalas dengan menunjukkan permainan kasar yang alasannya tidak saya mengerti. Biasanya yang cenderung bermain kasar itu tim yang terdesak, tapi Zinedine “Zizou” Zidane pun ikutan menghajar lawan dan wasit dengan adil memberikan kartu kuning. Ia tidak boleh bermain di pertandingan Perancis berikutnya.

Pada menit ke-80, tiba-tiba muncul satu pemain Korea di sebelah kanan, sendirian dengan ngotot membawa bola menuju gawang Perancis. Dihadang satu orang, dua orang, satu lagi mendekati. Sendirian ia berjuang menjaga kontrol bola, sementara teman-teman setimnya berdiri menanti di depan gawang. Akhirnya bola ditendang keluar oleh Perancis. Tetapi kegigihan satu orang ini sudah menular ke teman-temannya. Throw-in. Dengan segala cara, jungkir balik, kacau balau, entah bagaimana, akhirnya oleh Park Ji-Sung bola itu masuk juga! 1-1!

Pertandingan itu pun berakhir. Satu kejutan yang tidak terduga! Ternyata keajaiban masih tetap ada, dan saya belajar untuk tidak cepat-cepat menstempel apa yang saya pikir tidak mungkin sebagai sungguh-sungguh tidak mungkin. Seringkali terlalu cepat saya mengatakan ini dan itu tidak mungkin karena kalkulasi matematika semata-mata dan melupakan bahwa Tuhanlah yang sebenarnya sedang mengontrol sejarah, bukan matematika. Kalkulasi itu perlu tetapi tidak boleh menggantikan posisi Tuhan dan bagi Dia tidak ada yang mustahil. Kehendak Tuhan pasti terjadi! Dengan kepastian ini kita harus terus mencari dan melakukan kehendak-Nya tanpa kompromi serta memelihara semangat yang bergantung penuh kepada Tuhan, itulah fighting spirit yang benar dalam hidup ini.

World Cup 2006 masih berlanjut. Perjuangan belum berakhir, juga perjuangan pribadi kita semua di dunia ini. May the best be victorious! Jika orang dunia sepakbola saja berjuang sedemikian rupa dalam memperoleh sebuah piala yang hanya bertahan 4 tahun. Mari kita yang sudah mendapatkan kepastian mahkota yang tidak luntur dan kekal adanya, dengan fighting spirit yang gigih dan daya tahan yang tidak berkompromi, berani hidup memenuhi seluruh panggilan kita sebagai anggota tim paling terhormat, tim yang dipilih dan dilatih sendiri oleh Tuhan Yesus Kristus, Sang Pencipta dan Sang Penebus kita! Soli Deo Gloria.

Tirza Juvina Rachmadi

Pemudi MRII Berlin