The Resurrected Life

Roma 6:1-5 Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa , supaya semakin bertambahkasih karunia itu?Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa , bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis  dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya?Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan  dalam kematian,   supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati  oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup   yang baru. Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya

Paskah diingat dan dirayakan oleh orang Kristen dengan sorak-sorai kemenangan. Kematian yang dialami oleh Yesus Kristus dimengerti oleh orang percaya hanya bersifat sementara karena maut tidak mampu menahan kuasa Tuhan. Pada hari yang ketiga, Kristus bangkit. Iblis terkejut, musuh-musuh Kristus bergidik, dan pengikut-pengikut-Nya, termasuk kita yang diberi hak untuk menjadi anak-anak Allah berteriak “Haleluya!”. Haleluya! Dia bangkit! Dan mengutip kitab Roma, kita yang tadinya telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia dalam kematian-Nya, telah dibangkitkan juga dan diberikan hidup yang baru di dalam kebangkitan-Nya. Kita menjadi satu dengan-Nya.

Tetapi seringkali Paskah hanyalah merupakan fakta secara kognitif atau pengetahuan saja. Kita teringat akan Paskah hanya menjelang hari-hari persiapan KKR atau acara-acara perayaan lainnya. Kita sering tidak sadar kalau Paskah tidak hanya menjanjikan kemenangan di masa depan (baca: kedatangan Kristus yang kedua kalinya), tetapi juga memberikan kemenangan dalam keseharian hidup kita di dunia ini. Ketidaksadaran ini mengakibatkan hidup yang kita jalani sebagai orang percaya tidak terlihat berbeda dengan orang-orang yang tidak mengenal kuasa kebangkitan Tuhan. Alangkah menyedihkannya hal ini! Seharusnya bisa lebih banyak lagi laskar Kristus yang bangkit untuk menggenapi kehendak-Nya di bumi ini sehingga menjadi seperti di sorga – seperti dalam ’Doa Bapa Kami’ yang kita panjatkan –, tetapi yang lebih banyak terlihat adalah orang-orang Kristen yang tertidur dan hidup seakan-akan tidak pernah mengalami kuasa kebangkitan di dalam dirinya.

Seperti apakah hidup yang baru atau berkebangkitan seperti yang dijanjikan oleh Tuhan kita?

Dead to Sin


Sebelum kita dapat mengalami hidup yang berkebangkitan, kita harus terlebih dulu mati. Tidak akan ada kebangkitan kalau tidak pernah terjadi kematian. Kita tidak boleh lagi hidup di dalam dosa, kita harus mati terhadap dosa-dosa kita. Mati terhadap dosa berarti memutuskan hubungan dengan dosa, dan dosa tidak lagi berkuasa atas hidup kita sebagai raja[1], dan kita tidak lagi mematuhi kuasa dosa. Bukan berarti kita tidak akan pernah lagi jatuh di dalam perbuatan dosa – karena kita masih hidup dalam daging – tetapi kita tidak lagi menyerah pada kuasa dosa. Kalau dahulu kita tidak bisa untuk tidak berbuat dosa karena kita adalah hamba dosa, sekarang kita bisa untuk tidak takluk kepada kuasanya. 

Newness of Life


Siapa dari kita yang pernah terpikir sebelumnya – ketika kita masih mati di dalam dosa – kalau ada hidup yang berbeda yang dapat dijalani ketika kita kembali pada Kristus yang telah tersalib dan sudah bangkit? Hidup yang tak pernah kita miliki sebelumnya, hidup di mana kita merasa, berpikir, dan bertingkah laku yang baru terhadap hidup yang lama. The newness of life (baca: hidup yang baru), sebagaimana dijelaskan oleh Matthew Henry adalah kondisi di mana orang tersebut sekarang adalah seseorang yang berbeda dengan dia di masa yang lalu. Bukan hanya berbeda, tetapi bertolak belakang. (“The man is what he was not, does what he did not”). Di dalam terjemahan bahasa Inggris, ayat keempat dalam pasal ini dapat diterjemahkan sebagai “to walk in the newness of life”. Berjalan dalam hidup yang baru, berarti berjalan dengan prinsip yang baru, menuju tujuan yang baru, memilih jalur yang baru untuk dijalani, memiliki pemimpin yang baru untuk diteladani, dan teman-teman yang baru untuk berjalan bersama.[2] Yang lama dibuang, yang baru diantisipasi dengan kekuatan dan anugerah dari Tuhan. C.H Spurgeon pernah membahas beberapa hal yang penting mengenai hidup yang baru ini yang akan saya bagikan dalam beberapa poin di bawah ini.

Hidup yang baru berarti baru dalam hal prinsip dan motivasi yang baru. Ketika kita masih mati di dalam dosa, kita melakukan hal-hal dengan prinsip yang wajar sebagai orang berdosa. Kita melakukan hal yang baik atau benar karena takut dihukum, supaya orang lain senang, atau untuk mendapatkan upah tertentu, bahkan untuk kepuasan diri karena sudah menjadi orang yang lebih baik. Tetapi ketika kita mengalami atau mendapatkan hidup yang baru, kita mempunyai prinsip dan motivasi yang baru. Kita melakukan hal yang baik bukan untuk kepuasan diri atau untuk mendapatkan upah, tetapi untuk menyenangkan Kristus yang telah mati tersalib untuk dosa-dosa kita. Kita bahkan rela melakukan hal yang sepertinya merugikan diri sendiri untuk semakin menyatakan kemuliaan Tuhan bagi orang-orang sekitar. Saya teringat ketika kemarin sempat chat dengan teman di Negeri Singa mengenai mempertahankan paspor negara asal. Dia adalah seorang ahli dalam bidang fisika dan dia ditawari untuk melepaskan paspor negara asal agar mempunyai prospek yang lebih baik dan menjanjikan di negeri Singa tersebut. Dia menolak semua janji dan tawaran tersebut (baca: reward) karena dia ingin kembali ke negara asalnya dan menyatakan kemuliaan Tuhan lebih lagi.

Hidup yang baru mempunyai obyek yang baru. Di dalam hidup yang lama, obyek yang paling utama adalah diri (baca: cinta diri). Tetapi di dalam hidup yang baru, cinta diri berubah total menjadi cinta Tuhan. Yang dipikirkan siang dan malam bukan lagi diri, tetapi mengenai bagaimana untuk lebih mengasihi Tuhan, menyenangkan Tuhan, menjauhi yang dibenci Tuhan, banyak berbicara dengan Tuhan, dan mengutamakan-Nya dalam keseharian hidup. Cinta Tuhan begitu menguasai hati dan pikiran kita, hingga mau tidak mau kita makin melupakan diri kita dan mengutamakan Dia.

Hidup yang baru mempunyai harapan yang baru. Orang yang tidak mengenal kuasa kebangkitan Tuhan pasti menggigil menghadapi kematian yang di mana tak seorang pun dapat menghindarinya. Tetapi orang di dalam hidup yang baru mempunyai pengharapan akan kehidupan immortal atau eternal dan dengan semangat antusias menantikannya sambil terus menyucikan dirinya sebagai suatu sikap menantikan kedatangan kekasih jiwanya pada kedatangan Kristus yang kedua kalinya.

Hidup yang baru memiliki harta yang baru. Yang kita pandang sebagai harta dalam manusia lama kita adalah aset yang terlihat oleh daging kita. Kekayaan kita adalah hal-hal yang dapat kita lihat dengan kasat mata kita. Tetapi dalam hidup yang baru, kita memiliki harta yang baru yaitu iman. Tuhan membuat kita kaya di dalam iman, bahkan melebihi harta kekayaan kita di dunia ini. Kita tidak lagi mengeluh akan apa yang tidak kita miliki secara materi di dalam dunia, tetapi kita memuliakan Tuhan karena harta yang baru yang tak terkatakan yang Tuhan berikan pada kita, yang tak bisa digantikan oleh siapapun, yaitu Kristus sendiri.

Christ’s Reflector


Ketika kita menjalani hidup yang baru di dalam kuasa kebangkitan Kristus, seharusnya membawa perbedaan yang signifikan yang membedakan kita dengan orang-orang dunia ini. Ketika orang-orang di sekitar kita melihat hidup kita, siapa yang terefleksikan oleh hidup kita? Apakah kita merefleksikan keagungan dan kemuliaan Tuhan kita atau tidak?

Sebagai guru baru di sebuah sekolah, saya belum mengenal banyak orang tua murid. Oleh karena itu, ketika ada kesempatan menjadi penyambut dalam sebuah seminar keluarga, saya memakai kesempatan ini untuk lebih mengenal orang tua dari murid-murid yang diajar. Ada kalanya karena beberapa dari mereka datang agak telat, maka tidak ada kesempatan untuk benar-benar mengetahui siapa anak mereka. Dan kesempatan itu saya gunakan untuk menebak-nebak dari fitur wajah mereka. “Hmm… hidungnya ini benar-benar mirip dengan murid yang diajar” atau “wah dari cara jalannya ini sama persis seperti murid di kelas SMP yang tiap hari ditemui”. Banyak sekali resemblance yang ditemukan di dalam orang tua dengan murid yang diajar. Tebak-tebakan ini tidak selalu tepat, tetapi hampir selalu benar. Anak-anak sungguh-sungguh mewarisi “certain traits” dari orang tua mereka, kadang dominan, kadang tidak begitu. Waktu saya bertemu dengan murid-murid di kemudian hari, maka senyum simpul pun tak bisa dihindari mengingat kesamaan dengan orang tua yang sudah ditemuinya di hari sebelumnya. Bukan hanya anak-anak usia SMP dan SMA yang tertebak, bahkan sebelum acara seminar selesai, sekitar pukul 5.30 sore, terlihat seorang balita yang sedang berjalan. Dari ekspresi antusiasime dan kuriositas anak itu dalam belajar berjalan, dari cara berjalan anak itu yang tergopoh-gopoh langsung mengingatkan saya kalau itu adalah cucu dari pendiri gereja yang dihadirinya. Seketika melihat anak itu, langsung diingatkan akan figure yang selama ini sudah dikagumi. Ajaib sekali, dari anak yang kecil ini, benar terlihat resemblance yang sangat signifikan dengan kakeknya.

Apakah itu juga terjadi dengan diri kita yang sudah memiliki hidup yang baru? Apakah ketika orang lain menyaksikan hidup kita, mereka dapat dengan segera melihat Bapa di surga dan memuliakan-Nya karena kita menunjukkan karakter-karakter-Nya yang agung, mulia, penuh cinta kasih, dan keadilan? Atau ketika orang lain melihat kita, mereka malah mempertanyakan apakah sungguh kita adalah anak dari Bapa kita; karena tidak ada satu pun kemiripan yang didapati? Bahkan mereka melihat kemiripan kita malah lebih dekat dengan musuh Bapa kita, yaitu iblis sendiri? Celakalah kita kalau kita kedapatan demikian!

Kematian Tuhan Yesus yang menggantikan kita yang terkutuk ini juga membawa kita untuk mati terhadap dosa-dosa kita. Kebangkitan Tuhan Yesus dari kubur memberikan kuasa kepada kita untuk mengalami hidup yang baru untuk semakin serupa dengan Dia. Sehingga ketika kita gagal untuk menjadi reflektor dari kemuliaan Kristus, segeralah berlari kembali kepada kekuatan ‘throne of grace’ yang berasal dari salib-Nya. Kiranya cinta kasih Tuhan dan kuasa kebangkitan Kristus memberikan kekuatan yang baru untuk kita hidup yang baru di dalam Kristus dan merefleksikan kemuliaan-Nya.

Selamat Paskah!

Yenny Djohan
Jemaat GRII Pusat

 

Endnotes:

  1. Matthew Henry, Commentary on the Book of Romans
  2. C.H Spurgeon, Christ’s Resurrection and Our Newness of Life