Pada sekitar abad ke-4 sebelum Masehi di Korintus, hiduplah seorang filsuf Yunani yang bernama Diogenes. Diogenes terkenal sebagai seorang filsuf yang bertempat tinggal di dalam tong kayu (barrel). Ia tidak memiliki rumah untuk pulang, ke mana pun ia pergi pasti membawa tong kayu tersebut. Setiap hari, ia bangkit dari tong kayu, menyalakan lampu minyaknya dan berjalan mengelilingi kota sambil berkata-kata, “Gelap, gelap! Mengapa begitu gelap?!” Orang-orang yang melihat dia berpikir bahwa dia adalah orang gila. “Bagaimana mungkin di tengah siang bolong begini, ia mengatakan bahwa hari begitu gelap? Sungguh aneh!”, gumam seseorang yang melintas. “Aku sedang mencari orang yang jujur di sini!” sahut Diogenes. Hari-harinya dihabiskan berkeliling kota dan berbicara seperti ini. Hal ini terdengar hingga ke telinga Iskandar Agung.
Pada suatu hari ketika sang Iskandar berada di Korintus, semua penduduk datang menyambut dan memuji kebesarannya, hanya Diogenes saja yang tidak datang. Namun, Iskandar Agung sangat ingin bertemu seorang filsuf yang sangat bijaksana ini, sehingga ia memerintahkan pasukannya untuk mengawal dia mencari Diogenes di dalam kota. Dengan menunggang kudanya yang gagah, ia bertemu dengan filsuf yang sedang berada di dalam tong kayunya itu. “Keluarlah hai Diogenes, aku telah mendengar bahwa kebijaksanaanmu begitu besar. Apakah yang dapat saya perbuat untukmu?” kata Iskandar. “Pergilah dari sini, engkau menghalangi cahaya masuk ke dalam rumahku!” balas Diogenes. Sebuah reaksi yang tidak diperkirakan oleh orang-orang yang berada di sana. Iskandar lalu turun dari kudanya dan berkata, “Hampir saja gelap itu menguasaiku. Jika aku tidak menjadi seorang Iskandar Agung, aku ingin menjadi Diogenes saja.”
Cerita singkat ini menceritakan bahwa dunia ini sudah penuh dengan kegelapan. Gelap bukan berarti bahwa tidak ada cahaya, lampu ataupun terang. Namun yang dimaksudkan adalah hati manusia yang sudah gelap. Diogenes menggunakan lampu minyak sebagai simbol yang menunjukkan bahwa yang gelap adalah hati manusia, penuh dengan egois, haus akan kuasa, iri hati, dan kebencian. Dia melihat hati yang seperti ini pada semua orang termasuk sang Iskandar Agung. Ketika Iskandar Agung datang, Diogenes menegurnya dengan jujur dan keras akan hatinya yang begitu sombong. Akhirnya Iskandar Agung pun sadar dan berubah menjadi rendah hati.
Teguran ini mirip seperti yang tertulis dalam Roma 1:21, “Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.” Dosa sedang mencengkeram hidup kita dan menjadikan hati kita bodoh dan gelap. Kita tidak lagi mampu hidup di dalam terang kebenaran, melainkan hidup di tengah-tengah kegelapan tanpa pengharapan, sehingga menjadi kehilangan arah dan tidak mengerti ke mana tujuan kita. Mata rohani kita tertutup oleh kegelapan, sehingga kita mudah tertipu dan menjadi bodoh. Semua hal yang kita lakukan adalah akibat dari perbudakan dosa. Karena itu, kuasa dosa sering dilambangkan sebagai kuasa kegelapan dan hanya terang saja yang dapat mengusir kegelapan pergi.
Tetapi pertanyaan selanjutnya adalah terang yang seperti apa yang dapat mengatasi kegelapan yang seperti ini? Perlu ada terang yang dapat menembus hati sanubari kita dan membersihkan hati kita yang gelap ini. Dan satu-satunya terang yang dapat membersihkan adalah Kristus, Sang Terang itu sendiri.
Natal menjadi sebuah perayaan yang sangat berarti karena Kristus, Sang Terang itu sendiri, datang ke dalam dunia. Ketika malam Natal, Tuhan memberikan simbol melalui sebuah bintang yang bercahaya begitu terang melebihi bintang-bintang lainnya yang menandakan bahwa Sang Terang telah datang ke dalam dunia yang gelap. Sang Terang itu sendiri, yang mengambil rupa seorang manusia, masuk ke tengah dunia untuk menerangi dunia yang tak berpengharapan ini. Kristus menjadi satu-satunya pengharapan yang dapat menyelamatkan umat manusia. Di dalam konteks ini, marilah kita mencoba merenungkan arti Kristus sebagai Terang.
Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa ada 2 macam terang yaitu, terang yang bersifat natural dan supernatural. Terang natural ialah terang yang dapat kita rasakan sehari-hari, yaitu yang berasal dari matahari, lampu, atau sumber terang lainnya. Terang ini adalah terang yang dapat memberi kita pengertian mengenai ciptaan. Tetapi seperti naturnya yang hanya bersifat fisik/natural, terang ini hanya bisa menerangi secara fisik tetapi tidak dapat menerangi hati kita. Karena itu terang natural tidak cukup, perlu adanya terang macam kedua. Terang itu adalah terang supernatural, dan Allah adalah sumber terang tersebut. Terang inilah yang dapat memberi kita pengertian lebih dalam tentang hal-hal rohani, keselamatan, dan identitas diri. Pengertian inilah yang dibutuhkan manusia lebih dari pengertian mengenai alam. Pengertian inilah yang akan membawa kita untuk mengenal siapa diri kita dan siapa Allah. Filsuf Yunani, Socrates, pernah mengatakan bahwa apa gunanya kita mengenal segala sesuatu di luar diri tetapi tidak mengenal dirimu sendiri. Ia menyerukan, “Know Thy Self!”
Terang bersifat menyingkapkan atau mewahyukan. Di mana ada terang, di situ tidak ada kegelapan. Hal ini berarti dengan adanya terang kita dapat melihat sesuatu. Karena itu, kehadiran Kristus sebagai terang, memampukan kita untuk melihat hidup kita yang begitu kotor dan gelap. Terang itu menerangi dan menelanjangi setiap perbuatan dosa kita di hadapan Tuhan agar kita sadar dan mau berbalik kepada-Nya. Setelah sadar akan identitas diri kita dan hidup di dalam terang, baru kita dapat mengerti bagaimana berelasi dengan sesama kita. Relasi dengan sesama yang sudah dirusak oleh dosa, kembali diperbarui di dalam terang kebenaran. Cara kita berhubungan antar manusia yang benar hanyalah melalui dasar bahwa Tuhan adalah terang. Demikianlah kita disebut sebagai anak-anak terang.
Sebagai anak-anak terang, kehadiran kita di tengah-tengah dunia ini haruslah menjadi terang. Kita hadir menjadi alat di tangan Tuhan untuk menerangi dunia dari kegelapan, menyadarkan dunia akan kebodohannya dan membawa kedamaian yang sejati di tengah-tengah dunia. Biarlah di momen Natal ini kita kembali merenungkan, bahwa Kristus yang telah terlebih dahulu menerangi diri kita, mendorong kita untuk menjadi terang bagi dunia ini, dan membawa orang-orang yang masih tersesat kembali kepada Terang yang sejati.
Howard Louis
Pemuda GRII Bandung